Katakanlah Sejujurnya
---Anwar Holid
Perahu Kertas
Penulis: Dee
Penerbit: Bentang Pustaka & Truedee, 2009
Tebal: 444 hal.
ISBN: 978-979-1227-78-0
Harga: Rp.69,000,-
Semua orang tahu pepatah usang ini: honesty is the best policy. Kejujuran itu tindakan terbaik. Perlu berapa lama untuk menunggu seseorang jujur? Butuh berapa halaman untuk mengungkapkannya? Dalam kasus Dee: empat tahun, 444 halaman. Persisnya 434 halaman bila kita mengabaikan endorsement, awalan, dan akhiran novel Perahu Kertas (Bentang & Truedee, 2009, Rp.69,000,-). Halaman setebal itu dia bentangkan besar-besaran untuk mengisahkan betapa berharga kejujuran, meskipun awalnya semua orang tampak bermasalah dengan kejujuran. Alasannya sederhana: takut menyakitkan.
Tapi "takut menyakitkan" ini akibatnya benar-benar fatal dan membuat semua orang menderita, kehilangan momen berharga, menambah-nambah masalah, dan menyiksa pembaca sampai harus membuka halaman terakhir, sebenarnya ada apa dengan kisah cinta dua orang bernama Kugy dan Keenan. Mungkin di situlah Dee mempertaruhkan keterampilannya bercerita: dia menaruh sehamparan misteri dan rintangan sebelum sepasang kekasih ini menyerah dan mengakui kejujuran masing-masing.
Misteri dan rintangan terbesar dari kedua orang itu justru keinginan untuk menyenangkan orang-orang terdekat yang berhubungan secara emosional dengan mereka, orang yang secara alamiah tumbuh bersama mereka. Karena berhasil menyembunyikan kata hati dan mampu membungkusnya secara melegakan, secara permukaan hubungan itu baik-baik, meski pada dasarnya mereka sesak. Apa manusia-manusia kota ini memiliki problem komunikasi atau malah amat sukses mengembangkannya jadi semacam "etiket" pergaulan dalam kehidupan? Mungkin kadar EQ (Emotional Quotient) mereka rendah, jadi kesulitan melampiaskan perasaan dan maksud dengan jelas. Semua jadi tampak bersayap. Soalnya kalau tidak, Dee sebenarnya bisa lebih cepat menamatkan novelnya, mungkin lebih dari separo jumlahnya.
Dalam beberapa sisi, drama menunggu kejujuran antara Kugy dan Keenan ini terasa ngayayay---istilah Sunda untuk bertele-tele. Tapi untung, Perahu Kertas merupakan page-turner, novel dengan alur cerita memikat, dan karena itu hanya butuh waktu sebentar untuk menamatkannya. Bisa jadi karena itu, seorang editor dari Jogja bilang, "Biarpun tebal, novel Dee ini mantap." Formulanya bikin pembaca terpana. Pengakuan para pembaca awal novel ini merupakan bukti bahwa Dee memang seorang penutur kisah hebat dan ia mampu menciptakan plot memikat. Kita boleh bertaruh apa para pemberi endorsement itu jujur dengan pernyataannya atau berusaha membungkus ungkapan dengan pujian.
Indah Darmastuti, seorang penulis dari Solo berkomentar: "Novel itu sangat menghibur aku. Aku suka kosakata yang cair khas Dee. Lucu dan plot yang mendebarkan. Dan ending sesuai harapanku." Kisah cinta rata-rata memang mudah ditebak. Tinggal bagaimana penutur menceritakannya, karena kunci buku yang sukses ada pada susunan kerangka cerita yang menarik. Meski subjek sebuah cerita bisa saja klise, karena memang nyaris tiada yang baru di dunia ini, seorang tukang cerita mesti mencari cara terbaik agar memenangi penikmatnya.
Perahu Kertas merupakan kisah sejenis itu. Bertindak sebagai dalang atau Tuhan serba tahu (omniscient narrator), Dee mengombang-ambingkan perasaan Kugy di balik lipatan perahu kertas yang dia luncurkan dari selokan atau anak sungai yang dia temui. Di situlah kejujurannya tertera dan mengalir. Sementara Keenan menenggelamkan diri pada lukisan, melampiaskan emosi tertahan pada seseorang yang dia anggap pasangan jiwanya. Mereka berputar-putar dulu menjadi sesuatu yang bukan diri mereka demi kelak menjadi diri masing-masing lagi. Saling menghancurkan dahulu sebelum akhirnya menyusun ulang agar utuh kembali? Seperti ungkapan Goenawan Mohamad, "sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi."
Dee membuat drama Kugy dan Keenan terlalu lama. Maka pertama-tama Kugy harus mengecewakan pacarnya, lantas sahabat terbaiknya, juga pria pemberi cincin permata lapis lazuli. Sementara Keenan harus jadian dulu dengan Wanda yang penuh pamrih, Luhde yang inosens, berkonflik dengan ayahnya sampai dia stroke, dan sebentar melemparkannya pada kehinaan dan kemiskinan. Tapi orang-orang di sekitar merekan pun bermasalah serupa. Agaknya di novel ini kejujuran jadi semacam penyakit endemik. Mereka menyangka serangkaian pilihan itu bisa membebaskan perasaan. Ternyata tidak. Mereka betul-betul kesulitan menunggu momen kapan hati dan impian bersama itu bertemu. Keduanya terus mencari dalih, berusaha menutup-nutupi kejujuran. Misal dengan bersikap defensif, cemburu, kabur dari masalah, atau marah. Masing-masing mengenakan topeng untuk menyembunyikan kejujuran. Sebab kuncinya terselip pada ungkapan ini: Carilah orang yang enggak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau
memberikan segala-galanya (hal. 427).
Dari satu sisi, Perahu Kertas merupakan tipikal novel chicklit yang ringan, menghibur, menyenangkan. Dee bercerita secara kronologik, lengkap dengan bulan dan tahun, bahkan kerap sekaligus menampilkan Kugy dan Keenan secara bersisian. Mungkin karena dia merombak kisah ini dari arsip draft lamanya, yang dia tulis sejak tahun 1996, lantas dia revisi total pada 2007 untuk mula-mula muncul sebagai novel digital. Kini, ketika muncul edisi kertasnya, sebentar lagi kisah ini pun akan muncul lewat layar lebar. Sebagian orang mungkin berharap labirin kisah romantis ini bisa menguras emosi dan menggemaskan, karena membayangkan Kugy yang cute dan Keenan yang tampak misterius dengan daya pikat seperti magnet.
Cover alternatif dari Internet.
---Anwar Holid
Perahu Kertas
Penulis: Dee
Penerbit: Bentang Pustaka & Truedee, 2009
Tebal: 444 hal.
ISBN: 978-979-1227-78-0
Harga: Rp.69,000,-
Semua orang tahu pepatah usang ini: honesty is the best policy. Kejujuran itu tindakan terbaik. Perlu berapa lama untuk menunggu seseorang jujur? Butuh berapa halaman untuk mengungkapkannya? Dalam kasus Dee: empat tahun, 444 halaman. Persisnya 434 halaman bila kita mengabaikan endorsement, awalan, dan akhiran novel Perahu Kertas (Bentang & Truedee, 2009, Rp.69,000,-). Halaman setebal itu dia bentangkan besar-besaran untuk mengisahkan betapa berharga kejujuran, meskipun awalnya semua orang tampak bermasalah dengan kejujuran. Alasannya sederhana: takut menyakitkan.
Tapi "takut menyakitkan" ini akibatnya benar-benar fatal dan membuat semua orang menderita, kehilangan momen berharga, menambah-nambah masalah, dan menyiksa pembaca sampai harus membuka halaman terakhir, sebenarnya ada apa dengan kisah cinta dua orang bernama Kugy dan Keenan. Mungkin di situlah Dee mempertaruhkan keterampilannya bercerita: dia menaruh sehamparan misteri dan rintangan sebelum sepasang kekasih ini menyerah dan mengakui kejujuran masing-masing.
Misteri dan rintangan terbesar dari kedua orang itu justru keinginan untuk menyenangkan orang-orang terdekat yang berhubungan secara emosional dengan mereka, orang yang secara alamiah tumbuh bersama mereka. Karena berhasil menyembunyikan kata hati dan mampu membungkusnya secara melegakan, secara permukaan hubungan itu baik-baik, meski pada dasarnya mereka sesak. Apa manusia-manusia kota ini memiliki problem komunikasi atau malah amat sukses mengembangkannya jadi semacam "etiket" pergaulan dalam kehidupan? Mungkin kadar EQ (Emotional Quotient) mereka rendah, jadi kesulitan melampiaskan perasaan dan maksud dengan jelas. Semua jadi tampak bersayap. Soalnya kalau tidak, Dee sebenarnya bisa lebih cepat menamatkan novelnya, mungkin lebih dari separo jumlahnya.
Dalam beberapa sisi, drama menunggu kejujuran antara Kugy dan Keenan ini terasa ngayayay---istilah Sunda untuk bertele-tele. Tapi untung, Perahu Kertas merupakan page-turner, novel dengan alur cerita memikat, dan karena itu hanya butuh waktu sebentar untuk menamatkannya. Bisa jadi karena itu, seorang editor dari Jogja bilang, "Biarpun tebal, novel Dee ini mantap." Formulanya bikin pembaca terpana. Pengakuan para pembaca awal novel ini merupakan bukti bahwa Dee memang seorang penutur kisah hebat dan ia mampu menciptakan plot memikat. Kita boleh bertaruh apa para pemberi endorsement itu jujur dengan pernyataannya atau berusaha membungkus ungkapan dengan pujian.
Indah Darmastuti, seorang penulis dari Solo berkomentar: "Novel itu sangat menghibur aku. Aku suka kosakata yang cair khas Dee. Lucu dan plot yang mendebarkan. Dan ending sesuai harapanku." Kisah cinta rata-rata memang mudah ditebak. Tinggal bagaimana penutur menceritakannya, karena kunci buku yang sukses ada pada susunan kerangka cerita yang menarik. Meski subjek sebuah cerita bisa saja klise, karena memang nyaris tiada yang baru di dunia ini, seorang tukang cerita mesti mencari cara terbaik agar memenangi penikmatnya.
Perahu Kertas merupakan kisah sejenis itu. Bertindak sebagai dalang atau Tuhan serba tahu (omniscient narrator), Dee mengombang-ambingkan perasaan Kugy di balik lipatan perahu kertas yang dia luncurkan dari selokan atau anak sungai yang dia temui. Di situlah kejujurannya tertera dan mengalir. Sementara Keenan menenggelamkan diri pada lukisan, melampiaskan emosi tertahan pada seseorang yang dia anggap pasangan jiwanya. Mereka berputar-putar dulu menjadi sesuatu yang bukan diri mereka demi kelak menjadi diri masing-masing lagi. Saling menghancurkan dahulu sebelum akhirnya menyusun ulang agar utuh kembali? Seperti ungkapan Goenawan Mohamad, "sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi."
Dee membuat drama Kugy dan Keenan terlalu lama. Maka pertama-tama Kugy harus mengecewakan pacarnya, lantas sahabat terbaiknya, juga pria pemberi cincin permata lapis lazuli. Sementara Keenan harus jadian dulu dengan Wanda yang penuh pamrih, Luhde yang inosens, berkonflik dengan ayahnya sampai dia stroke, dan sebentar melemparkannya pada kehinaan dan kemiskinan. Tapi orang-orang di sekitar merekan pun bermasalah serupa. Agaknya di novel ini kejujuran jadi semacam penyakit endemik. Mereka menyangka serangkaian pilihan itu bisa membebaskan perasaan. Ternyata tidak. Mereka betul-betul kesulitan menunggu momen kapan hati dan impian bersama itu bertemu. Keduanya terus mencari dalih, berusaha menutup-nutupi kejujuran. Misal dengan bersikap defensif, cemburu, kabur dari masalah, atau marah. Masing-masing mengenakan topeng untuk menyembunyikan kejujuran. Sebab kuncinya terselip pada ungkapan ini: Carilah orang yang enggak perlu meminta apa-apa, tapi kamu mau
memberikan segala-galanya (hal. 427).
Dari satu sisi, Perahu Kertas merupakan tipikal novel chicklit yang ringan, menghibur, menyenangkan. Dee bercerita secara kronologik, lengkap dengan bulan dan tahun, bahkan kerap sekaligus menampilkan Kugy dan Keenan secara bersisian. Mungkin karena dia merombak kisah ini dari arsip draft lamanya, yang dia tulis sejak tahun 1996, lantas dia revisi total pada 2007 untuk mula-mula muncul sebagai novel digital. Kini, ketika muncul edisi kertasnya, sebentar lagi kisah ini pun akan muncul lewat layar lebar. Sebagian orang mungkin berharap labirin kisah romantis ini bisa menguras emosi dan menggemaskan, karena membayangkan Kugy yang cute dan Keenan yang tampak misterius dengan daya pikat seperti magnet.
Cover alternatif dari Internet.
Jujur saja: saya lebih suka berharap Dee menggunakan keunggulan mendongengnya untuk meneruskan proyek penulisan Supernova. Untuk menceritakan kisah dengan idealisme tertentu, yang berkarakter, kuat. Janganlah Dee menyia-nyiakan kejujurannya untuk berputar-putar dulu mengisahkan sesuatu yang klise. Pengalaman menyatakan betapa kejujuran terlalu berharga untuk ditutupi bila sekadar untuk menyembunyikan rasa sakit.[]
Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung; bekerja sebagai penulis, editor, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141
PS: Rasanya judul resensi ini berasal dari lagu pop lama, tapi saya lupa apa persisnya. Ada yang tahu?
Situs terkait:
http://dee-idea.blogspot.com
http://www.dee-55days.blogspot.com
www.mizan.com
www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
Facebook: Dewi Lestari
Twitter: deelestari
2 comments:
pengen banget memiliki buku ini.kayaknya bagus..bisa gak ya penerbitnya kirim ke aku?
bisa banget! mohon saja. aku aku rekomendasiin dulu? (kayaknya gak perlu ya...) BTW, kalau belum kenal salah satu editor Bentang, silakan kontak dengan Salman Faridi. Insya allah ramah.
Post a Comment