Showing posts with label BUKU INCARAN. Show all posts
Showing posts with label BUKU INCARAN. Show all posts

Wednesday, January 18, 2017

Hidup Terlalu Berharga buat Mendengar Album Jelek
--Anwar Holid

Setelah Boombox Usai Menyalak
Penulis: Herry Sutresna
Penerbit: Elevation Books, Jakarta
Halaman: 229
Tahun terbit: 2016

Buku kumpulan tulisan Herry Sutresna ini sepintas kelihatan kurang solid. Meski semua tentang musik, isinya campur aduk membahas banyak hal. Buku ini tidak seperti kopi espresso single origin dengan kepekatan tertentu. Ia lebih seperti cappuccino yang cukup ringan, tapi menawarkan keragaman rasa dengan kadar kepahitan dan kedalaman tertentu.

Meski bisa dibuka dari bab mana saja, buku ini tetap menawarkan kesatuan yang unik. Apa itu? Yaitu usaha keras untuk terus mengaitkan musik dengan aktivisme sosial-politik. Dari sini kita bisa bertanya: sebenarnya tujuan utama bermusik itu apa? Bukankah banyak orang mengira tujuan utama bermusik ialah hiburan atau katarsis bagi pencipta dan pendengarnya?

Herry tidak melulu menyampaikan kuliah singkat hip hop yang memang kerap langsung dihubungkan dengan dirinya, melainkan juga soal punk, hard core, thrash metal, grind core, sampai post rock. Dia  bilang: hip hop sudah barang tentu cinta pertama saya, namun punk rock memberi kontribusi utama dalam memasok kewarasan (hal. 80). Dia tidak cuma penuh semangat menceritakan Public Enemy, Run DMC, Beastie Boys, atau Jay Z dan Kanye West yang populer, tapi juga hati-hati saat membahas John Cage, Godflesh, Refused, dan Godspeed You! Black Emperor yang segmented. Dia memperhatikan ada apa dengan musik, dari sana membahas siapa yang berjasa menghasilkannya.

Bagi Herry, musik sebagai hiburan sudah selesai. Ya, pertama sekali dia memang membahas musik yang menyenangkan dan menggerakkan dirinya, tapi harus punya nilai tambah dan menawarkan sesuatu. Mau ngapain kita setelah asyik menikmati musik? Herry dengan tegas mengungkapkan kesukaannya sebagai fandom, berupa esai personal yang memuja dan tak berjarak dengan yang disukainya, namun ekspresif, tak segan menghajar, dan terasa dalam. Terasa betul keluasan dan penguasaannya atas subjek yang dia bahas, sampai membeberkan detil yang kerap terasa sulit diangkat sebagai bahan tulisan.

Jadi musik harus punya muatan dan tugas yang lebih hebat dari sekadar hiburan, pelipur lara, maupun pembersih jiwa. Apa itu? Ia harus bisa memantik dan menggerakkan kesadaran sosial-politik, mulai dari kalangan dekat musisi dan produser, lantas kalau bisa secara besar-besaran, melampaui ruang dan waktu asalnya. Jika sudah seperti itu, baru musik terasa punya kekuatan dahsyat yang menggelorakan, baik sebagai penanda zaman atau ikut membantu meruntuhkan rezim.
Foto diolah dari Internet.

Musik memang komoditas, benda mati yang diperjual-belikan, tapi ia berarti karena mesti punya isi. Dengan begitu musik bukan hanya cara untuk bersenang-senang, berusaha meraih popularitas dan kaya, menggandakan kapital, menggerakkan industri, tapi lebih condong sebagai pernyataan, mencanangkan idealisme, menyampaikan keyakinan, mengkritik kejumudan. Musik seperti itu tidak bakal kosong, tapi sejak awal diperhitungkan, penuh muatan. Tinggal bagaimana musisi dan barisan pendukungnya (produser, teknisi, label, dan lain-lain) mengemas agar bisa menghasilkan musik yang kuat. Belum tentu musik ideal bermuatan kritik jeblok penjualannya atau tidak sesuai selera pasar. Belum tentu juga musik kodian langsung meledak, membuat orang mengambil album dan membelinya, apa lagi menginspirasi dan menggerakkan pendengarnya. Bisa jadi album yang diciptakan buat bersenang-senang berbalut kedalaman menangkap dan mengungkapkan gelegak ekspresi, malah menjadi semangat generasi, mendobrak, dan tak ragu lagi dinilai sebagai adikarya.

Buku ini merupakan buah dari pengalaman Herry sebagai pendengar musik yang rakus dan serius, bahkan terlibat di dalamnya. Di dalamnya berisi opini, membahas band, resensi, obituari, sampai desainer cover album. Kita bisa membayangkan bagaimana musik menyertainya ketika terancam mati saat ikut demonstrasi di zaman reformasi, apa lagu atau album yang pantas direkomendasikan, bagaimana album menjadi penting dan sebuah genre bisa lahir. Lebih dari itu, ia menuturkan bagaimana musik bisa membentuk diri dan menentukan sikap dalam kehidupannya. Sikap dan tulisannya bernyali. Ketegasan sangat berguna saat menilai, misalnya terhadap suatu album. Penilaian harus independen. Katanya: Segila apa pun sebuah album diresensi bagus oleh media, tak akan mengubah fakta bahwa ia album yang buruk. Sebaliknya, siapapun yang tak menyukai album buruk tak lantas menggenggam nilai kebenaran estetik absolut yang harus diikuti khalayak (hal. 91). Mungkin karena itu pula Herry sengaja menyingkirkan Rage Against the Machine menjadi tidak penting. Sayang juga ia terbilang jarang membahas skena musik Indonesia.

Terbit dengan semangat copyleft, patut disesalkan bahwa kualitas cetakan buku ini mengkhawatirkan. Ini terasa sekali dalam ilustrasi, padahal ia hadir di setiap bab dengan porsi cukup banyak. Selebihnya, buku ini intens dan cermat. Tulisan Herry lugas, hidup, penuh passion, penting untuk bertukar pikiran, membongkar wawasan, dan bersifat referensial. Dia kuat memposisikan diri, dan karena itu membuat bukunya sangat pantas direkomendasikan.[]


Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis, tinggal di Bandung.

Tuesday, January 10, 2017

Editor, Orang Gila, dan Sebuah Kamus
Kisah Seru di Balik Kelahiran Oxford English Dictionary
---Anwar Holid

The Professor and The Madman
Judul asli: The Professor and the Madman: A Tale of Murder, Insanity, and the Making of the Oxford English Dictionary
Penulis: Simon Winchester
Penerjemah: Bern Hidayat
Penerbit: Serambi, Januari 2007
Halaman: 341
ISBN: 979-1112-53-3

Ada ungkapan tentang buku, yaitu Habent sua fata libelli. Artinya: buku punya nasibnya sendiri-sendiri. Setiap buku punya cerita masing-masing kenapa ia mesti hadir dan akhirnya dibaca orang yang sempat melakukannya. Memang mustahil bila semua buku yang ada di dunia ini sempat dibaca semua orang, meski itu buku paling terkenal dan paling laris sekalipun. Tapi sudah banyak buku berisi cerita tentang sebuah buku tertentu maupun berbagai buku lain. Kini juga mulai biasa muncul buku beranotasi tentang suatu buku yang dianggap menarik untuk 'ditemani.' Namun kesan yang umum muncul ialah 'buku tentang buku lain' biasanya dianggap lebih inferior ketimbang buku yang dibahas. Contoh: buku tentang Al-Quran biasanya dinilai lebih rendah dibanding Al-Quran itu sendiri. Jadi lebih baik orang juga langsung bersentuhan dengan subjek bahasannya. Jarang ada buku tentang buku yang benar-benar kuat dan mandiri, atau malah sama menarik dengan buku yang dibahas.

The Professor and The Madman dengan sangat menarik dan rinci menceritakan tentang pembuatan Oxford English Dictionary, sebuah kamus legendaris luar biasa tebal yang biasa disebut dengan OED. Lebih dari itu, buku ini menemukan banyak kisah seru di balik para editor dan kontributor (relawan), institusi literer, yang puluhan tahun bahu-membahu hendak menciptakan kamus paling hebat sedunia. Inti kisah paling menarik itu ialah antara James Murray, editor kepala proyek OED tersebut, dengan Dr. William Chester Minor, kontributor yang boleh dibilang paling penting dalam penyusunan OED, sebab ternyata sejak pertama jadi relawan OED dia adalah pasien Rumah Sakit Jiwa Kriminal Broadmoor. Dia memang menghuni RS itu setelah melakukan pembunuhan atas George Merret, seorang penduduk Lambeth Marsh, kawasan kumuh pinggiran London. Minor mulai membantu mencarikan kutipan-kutipan untuk OED sekitar 1880, dan terus bekerja secara sistematik dalam sel sekaligus perpustakaannya, biarpun dia didera skizofrenia yang di ujung hidupnya begitu parah.

Bagaimana ceritanya dua orang yang bak bumi dan langit ini bisa bekerja sama, sampai akhirnya bertemu? Inilah yang diceritakan Simon Winchester dengan sangat menarik. Winchester bertindak sebagai detektif yang berusaha melakukan reka ulang atas semua peristiwa penting, baik terhadap pembunuhan, upaya awal pembuatan kamus besar, biografi Murray dan Minor---dengan hasil menakjubkan. Lebih menarik lagi karena kisah itu terjadi pada zaman Victoria, yang tentu saja harus direka ulang dengan ketelitian luar biasa, hati-hati, meskipun tetap imajinatif dan merangsang rasa penasaran.

Winchester mesti bergumul dengan tumpukan arsip bulukan, penelusuran literatur, membaca rujukan kuno, bahkan berhadap-hadapan dengan berbagai institusi congkak karena menganggap arsip yang dibutuhkan Winchester itu masuk kategori rahasia dan tertutup bagi siapapun. Untunglah Tuhan memberkatinya, hingga dia mengalami sejumlah kejadian mengejutkan, misal mendadak mendapat kiriman arsip yang persis dia butuhkan, atau mendapat bantuan orang-orang yang menghargai niat baiknya. Berbekal semua bahan itu dia mengira-ngira dengan jeli seperti apa kejadian dramatik itu berlangsung, dan akhirnya tersusunlah buku yang mirip sebagai novel sejarah.

Buku Winchester ini masuk kategori nonfiksi, karena dia menulis berdasar fakta, bertumpuk-tumpuk data dan analisis, sementara hukum nonfiksi ialah dilarang bohong. Dia menulis selentur novel berkualitas tinggi, menghadirkan rangkaian kisah begitu lancar, tanpa sandungan sama sekali. Edisi Indonesia buku ini citranya agak dibelokkan sebagai novel, mungkin dengan harapan agar calon pembaca tertarik pada cerita pembunuhan dan kegilaan, dibandingkan pembuatan sebuah kamus. Tindakan Serambi mirip yang dilakukan GPU tatkala menerbitkan Angsa-Angsa Liar (Jung Chang), yang dikategorikan "fiksi dewasa."

Persoalannya dalam konteks Indonesia ialah: siapa mau peduli tentang OED? Ini tantangan amat berat bagi sebuah buku yang memilih subjek tentang hal yang terasa asing di masyarakat Indonesia. Mungkin hanya sebagian kecil orang Indonesia yang bisa dengan baik membayangkan OED dalam kepalanya. Mereka boleh jadi mahasiswa sastra Inggris, penggila buku, atau malah lembaga dengan koleksi pustaka mengagumkan. Maka klaim bahwa OED jadi acuan para hakim, pembuat undang-undang, cendekiawan, filsuf, dan pengarang itu mengacu pada peradaban Barat, terutama Inggris dan AS. Dengan iming-iming apa pun, rasanya sulit memancing rasa penasaran orang Indonesia umum terhadap OED. Mungkin buku Winchester ini baru menarik perhatian terutama sekali bagi para penggila buku dan jurnalis. Dunia tulis-menulis biasanya mudah dipancing dengan kisah menakjubkan tentang buku dan literer. Di dunia perbukuan, OED merupakan salah satu kisah agung yang bakal membuat pikiran siapa pun terkagum-kagum. Mereka yang tertarik dengan bahasa, kepenulisan, penerbitan, pastilah ingin tahu tentang hal itu.

OED merupakan proyek ambisius sebuah bahasa negara yang karena saking besar, di luar dugaan ternyata banyak juga melahirkan banyak penulis tersohor. J.R.R. Tolkien, penulis The Lord of the Rings, aslinya seorang filologis dari Universitas Oxford dan pernah jadi pegawai OED bagian riset etimologi (ilmu bahasa yang mencari asal-usul kata.) Julian Barnes, novelis kontemporer Inggris, juga pernah jadi pegawai OED, meski dia mengaku benci kerja di sana.

Selain mampu menggali kedalaman batin Murray maupun Minor, Winchester juga membongkar mitos tentang kedua tokoh tersebut, selain tentu saja memposisikan betapa penting arti OED bagi bangsa Inggris. Sebelum OED lahir pun bangsa Inggris telah memiliki tradisi dan warisan sastra yang kaya. Munculnya kamus itu menguatkan bahasa Inggris di bidang ilmiah dan sosial-politik.

Simon Winchester sendiri merupakan penulis nonfiksi sarat pengabdian. Karir kepenulisannya diawali sebagai koresponden luar negeri untuk koran The Guardian, sebelum akhirnya menulis sejumlah buku dan jadi kontributor media seperti National Geographic, Smithsonian Magazine, dan resensi buku di The New York Times---koran yang melahirkan standar buku bestseller. Walau telah menulis beberapa buku sebelumnya, The Professor and The Madman merupakan sukses utama pertamanya. Judul ini digunakan untuk edisi AS dan internasional, sementara aslinya di Inggris berjudul The Surgeon of Crowthorne (Ahli Bedah dari Crowthorne.) Crowthorne adalah county tempat RSJ Broadmoor berada. Kemudian dia menulis sekuel buku itu, yaitu The Meaning of Everything: The Story of the Oxford English Dictionary. Berkat pengabdian di dunia jurnalisme dan literatur, Ratu Elizabeth II menganugerahi dia gelar OBE (Order of the British Empire), penghargaan tertinggi bagi warga sipil kerajaan Inggris.[]

Note: Ilustrasi dari Internet

---Anwar Holid, bekerja sebagai penyunting, penulis, dan publisis. Tinggal di Bandung.

Monday, July 14, 2014


Menyayangi Negeri dengan Membaca
--Anwar Holid

Menjadi Bangsa Pembaca 
Penulis: Adew Habtsa
Penerbit: Wisata Literasi, 2014
Halaman: 200 hal., soft cover
ISBN: 978-60295788728
Harga: Rp.40.000,-
Jenis: memoar, nonfiksi


Menjadi Bangsa Pembaca adalah memoar yang enak dibaca. Di buku ini Adew Habtsa menulis secara simpel, jelas, dan santun. Pemikirannya praktis, dengan kadar visioner yang masuk akal. Dia berkampanye mengenai literasi, berusaha menggugah kesadaran berbangsa melalui buku dan musik.

Apa guna literasi di zaman kini yang lebih silau pada kesuksesan, ketenaran, dan kemewahan? Bukannya dunia literasi tidak bisa mengantarkan orang pada hal semacam itu, tapi target utamanya bukan itu, melainkan bersifat lebih mendasar seperti penyadaran. Literasi membuat seseorang jadi tergerak untuk membaca diri, masyarakat, apa yang terjadi di dalamnya. Ia menjadi mahardika. Orang seperti ini biasanya tergerak untuk berbuat maupun berdedikasi pada masyarakat. Dia akan memikirkan ada apa dengan bangsa dan negerinya. Ia mencari jalan apa yang sebaiknya dilakukan demi mengejar ketertinggalan dan memacu kemajuan.

Pada skala nasional pun literasi kurang diperhatikan dan didukung sepantasnya dibandingkan nilai pentingnya. Pemerintah tampak sudah puas dengan anggapan bahwa literasi tercapai berkat tingginya angka melek huruf. Padahal itu baru aspek literasi tingkat dasar. Literasi tingkat lanjut mensyaratkan adanya penguasaan pemahaman, keterampilan, dan pengaruhnya terhadap psikologi individul, sosial, dan reproduksi budaya.
 
****

Dari mana Adew membangun keyakinan terhadap literasi? Dia membaca buku, memperhatikan lingkungan dan kondisi sosial-politik, terlibat di komunitas literasi dengan agenda dan gerakan kreatifnya. Adew melihat ada energi lebih melampaui buku.

Komunitas literasi bisa dibilang relatif independen, dikembangkan oleh beragam kalangan kelas sosial dengan keyakinan tertentu, dan semua mengalami jatuh-bangun tergantung dukungan, ketahanan, dan strategi masing-masing. Bentuknya beragam. Bisa toko buku, perpustakaan, penerbitan, kelompok penulis dan pembaca, studi budaya, dan peduli pada berbagai isu penyadaran lain. Mereka bersaing secara kreatif, menawarkan pemikiran dan strategi kepada massa, mencari jalan ke luar dari kemampatan ide, sekaligus mendobrak berbagai kejumudan berpikir. Mereka kritis, betapa sesuatu yang dari permukaan dianggap baik dan mulia ternyata bisa menyimpan kebusukan dan pengkhianatan terhadap bangsa dan negeri sendiri semata-mata demi keuntungan kelompok kecil.

Sebagai kunci pencerahan, Adew berpendapat bahwa para aktivis dan founding fathers Indonesia merupakan contoh generasi yang tercerahkan berkat literasi. Mereka bergerak, bekerja sama, mencari jalan demi kemajuan bangsa dan negerinya. Kini generasi penerus punya agenda baru, yaitu mengubah keterpurukan serta ketidakberdayaan karena berbagai krisis, mengubahnya jadi sumber kekuatan. Tantangan makin besar dan mendesak, sementara ruang makin sempit dan waktu terasa makin instan. Dalam kondisi seperti itulah literasi memiliki peluang momentum, persis ketika Kartini mendapat momentum 'dari gelap terbitlah terang.'




Dipecah dua seksi, bagian pertama buku ini mengisahkan meski tumbuh di lingkungan padat penduduk yang cukup keras, ia bisa ‘selamat’ berkat keluarga dan buku. Waktu kuliah ia bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP), mengasah diri menjadi penyair dan musisi. Di luar itu pergaulannya terbilang luas. Ia berinteraksi dengan berbagai pihak lain, bahkan yang sangat kontras sekalipun, baik dari latar belakang, status sosial, maupun ideologi. Ia menilai perbedaan bukanlah celah pertentangan dan sumber keretakan, namun peluang untuk saling mengisi. Ia berusaha menjalin benang merah agar literasi semakin massif.

Bagian dua menuturkan bagaimana dirinya terlibat lebih intim dalam literasi. Di fase ini ia mempraktikkan, mengampanyekan, menggali dan merekomendasikan berbagai buku untuk dipelajari dan digali lagi relevansinya, termasuk buku tua yang mungkin terlupakan.

Adew adalah generasi yang menyaksikan betapa di awal tahun 2000-an beragam variasi gerakan literasi mudah tumbuh di kalangan muda, meski kadang-kadang cepat layu karena berbagai halangan. Setelah ditempa waktu dan belajar cukup banyak demi perbaikan, sepuluh tahun kemudian kini mereka pelan-pelan tumbuh, mengembangkan peluang, mencoba menghasilkan buah, dan terus terbuka terhadap perubahan.

Yang terasa agak kurang di buku ini ialah tiadanya cuplikan puisi maupun lirik karya Adew sendiri. Bukankah ia sudah naik-turun panggung berkelana dari tempat ke tempat mengutarakan visi dan mencoba menjalankan misinya? Tentu ia punya lirik menggugah untuk disertakan. Barangkali kita harus menunggu sampai Adew merilis album musik sebagai karya selanjutnya. Kelemahan lain ialah ia masih banyak mengutip pemikiran orang lain, terutama dari Barat, alih-alih mencoba mengungkapkan pandangan dengan bahasa sendiri. Padahal di ujung buku ia berniat ingin mengedepankan pemikir Indonesia, karena jelas lebih tahu kondisi masyarakat dan negerinya.

Buku ini dengan baik merekam dinamika gerakan literasi di Bandung, kota tempatnya tumbuh. Ia patut dirayakan siapapun yang peduli maupun terlibat langsung dengan isu literasi, para pelaku industri buku, untuk memikirkan pengembangannya agar lebih massif dan kreatif.[]

Anwar Holid, editor, tinggal di Bandung.

Tuesday, January 07, 2014

Pintu Gerbang untuk Memasuki Indonesia
--Anwar Holid

Menurut Anda orang asing paling penasaran soal apa tentang Indonesia?

Sebagian menjawab orang luar negeri paling tercengang oleh khazanah budaya Indonesia, keragaman seni, juga sumber daya alamnya yang luar biasa. Selain itu banyak dari mereka juga ingin tahu lebih dalam soal Islam serta berbagai tradisi khas yang terkadang cuma satu-satunya ada di dunia. Mereka ingin tahu seperti apa Islam di negeri kepulauan ini, apa spirit dan wujudnya berbeda dengan yang di Timur Tengah? Orang asing juga meneliti khazanah sastra sekaligus takjub dan ternganga oleh beragamnya warisan budaya dari Sumatra hingga Papua.

Indonesia adalah tempat pertemuan berbagai budaya sampai akhirnya berubah khas, membuatnya jadi menarik untuk dinikmati dan dikaji. Di sanalah letak keunikan Indonesian studies.

A. Chaedar Alwasilah sengaja menulis Islam, Culture, and Education dalam bahasa Inggris selain untuk menerangkan Indonesia kepada bangsa lain dari kacamata pribumi, juga meluruskan pandangan keliru mereka terhadap Indonesia. Contoh soal pesantren. Sebagian orang asing berprasangka pesantren adalah tempat pembibitan kaum radikal Islam; padahal banyak negarawan besar Indonesia lahir dari sini, seperti Abdurrahman Wahid, almarhum mantan presiden Indonesia dan ketua Nahdatul Ulama. Pesantren juga melahirkan sistem pendidikan dan tradisi budaya yang khas.

Terutama dikenal sebagai pakar pendidikan dan aktif di ranah budaya dan sastra, guru besar di FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung ini mengomentari dan berpendirian tegas mengenai berbagai persoalan terkini bangsa Indonesia, seperti radikalisme dan pluralisme agama, kebijakan pendidikan, birokrasi, politik, korupsi, literasi, juga berbagai kekhasan Indonesia, seperti mudik dan pengembangan sastra daerah (ethnic literature).

Lewat buku ini Chaedar tampak ingin mengantarkan pembaca asing pada perjalanan mencerahkan sekaligus kritis terhadap agama, budaya, dan pendidikan Indonesia. Isu sensitif seperti keharmonisan beragama, konflik antaretnik, juga budaya Melayu dibahas sesuai kenyataan, disertai solusi maupun komentar bagaimana sebaiknya kita bersikap.
___________________________________________________________
INFO BUKU

Judul: Islam, Culture, and Education - Essay on Contemporary Indonesia
Penulis: A. Chaedar Alwasilah
Format: Hard cover; 437 + xxvi hal.
Penerbit: Rosda International, 2014
ISBN: 978-979-692-453-0
Harga: Rp.107.000,- (dalam negeri); US$19,90 (internasional)

Pemesanan: Telepon (022) 5200287 atau pemasaran@rosda.co.id
___________________________________________________________

Sesuai kredibilitas penulisnya, buku ini secara solid membahas situasi pendidikan dan dunia perguruan tinggi, pengajaran bahasa dan sastra, termasuk sastra daerah dan Inggris, pendidikan multibudaya, pendidikan karakter, demokratisasi bahasa, juga literasi dalam cara yang mudah dipahami dan patut kita perhatikan bersama.

Buku ini sangat bermanfaat bagi akademisi dan peneliti Indonesian studies, namun sekaligus dapat berfungsi sebagai pintu gerbang yang luas dan jernih bagi setiap orang asing yang hendak memasuki Indonesia.[]

Link terkait:
http://www.rosda.co.id

Saturday, September 25, 2010

[BUKU INCARAN]

Rileks Karena Tiga Buku
 ---Anwar Holid

Pada Rabu, 22 September 2010 sebelum ke Mizan untuk menyerahkan kerjaan yang sudah lama sekali terbengkalai, aku dapat sms dari mas Rinto di GPU Bandung, "mas, kalau kebetulan ke luar, silakan mampir ke gpu. ada titipan buku dari mas dwi helly."

Pagi itu Bandung cerah. Di Mizan aku menyerahkan pekerjaan ke Ibeq, setelah beberapa menit sebelumnya ngobrol ini-itu soal dunia penerbitan. Kemudian ketemu Dwi, disambung ngobrol mengenai dunia tulis-menulis dengan mas Hernowo. Dia banyak membahas soal ide, cara mengungkapkan pikiran sebagaimana maksud penulis, persoalan copy-paste, juga bagaimana mengelaborasi pemikiran. Di Mizan aku mendapat edisi revisi You Are A Leader! (Arvan Pradiansyah), padahal aku sekarang sedang terus mengumpulkan ide dan energi untuk menggali isi dari buku terbarunya, You Are Not Alone (Elex Media, 2010, 252 hal.)

Pulang dari Mizan kepalaku mulai terasa pening. Tengah hari terasa sangat terik, sebentar duduk di angkot aku tertidur, dan sampai di Cicaheum mendapati Bandung sudah basah diguyur hujan yang entah kapan turun. Jelas ketika aku tidur ia cepat-cepat muncul dan menyisakan gerimisnya sepanjang jalan aku menuju kantor GPU di Grha Kompas-Gramedia di jalan Riau (R.E. Martadinata). Sepanjang jalan dari Cicaheum ke Riau macet, mungkin ditambah karena Persib mau menundukkan lawan di Stadion Siliwangi. Kepalaku tambah berat ketika sampai di kantor GPU, tapi keramahan mas Rinto membuatku berusaha mengabaikannya. Aku tahu ini merupakan gejala alamiah yang kadang-kadang terjadi bila aku bepergian agak lama di tengah lalu lintas yang macet dan penuh polusi.

"Ini mas, ada novel Only a Girl karya Lian Gouw. Sudah ditandatangani beliau khusus untuk mas," begitu kata mas Rinto. Lian Gouw menandatangani buku itu pada 20 Mei 2010. Wah, begitu perhatiannya. "Novel ini akan terbit dalam minggu-minggu ini, kemudian kami akan mengadakan launching di Jakarta dan Bandung. Rencananya, di Bandung novel ini akan dibahas pak Remy Silado yang tahu banyak soal sejarah dan mengenal Bandung luar-dalam." Setting awal Only a Girl terjadi di Bandung tahun 1932; bahkan covernya pun menggunakan siluet gunung Tangkuban Parahu. Lian Gouw dulu tinggal di sini sebelum pindah sekeluarga ke Amerika Serikat. Meski bahasa ibunya ialah Belanda, dia akhirnya belajar menulis dalam bahasa Inggris dan karyanya dimuat media negeri Abang Sam itu, di antaranya dalam SF Writers Conference.

Dari GPU aku menuju Rumah Buku/Kineruku untuk menyiapkan acara yang aku siapkan untuk besok; tapi kepalaku tambah tegang. Untung bayangan bahwa aku akan segera bisa menikmati segelas kopi tetap membuatku semangat. Maka begitu menyimpan tas di locker, aku segera shalat, kemudian minta izin bikin kopi. Cuaca tambah dingin, meski sapuan hujan mulai lenyap. Karena nama Lian Gouw di sini aku jadi sedikit ngobrol dengan Joedith tentang keluarga-keluarga keturunan Cina. Menyeruput sedikit demi sedikit segelas kopi sambil buka-buka di sana betul-betul mampu mengurangi pening di kepalaku. Maka ketika sampai di depan pintu rumah, rasanya aku sudah lepas dari gejala kambuhan itu.

"Ayah, bawa hadiah apa?" sergah Ilalang sambil membukakan pintu. "Tuh, tadi aku beli lumpia kering di Cicaheum." Kemarin waktu puasa aku mendapati ternyata kami suka lumpia kering dan satu toples makanan itu sudah habis menjelang Lebaran lalu. "Ada buku kiriman dari Dinyah Latuconsina," tambah Ilalang. Buku itu ialah Nietzsche: Syahwat Keabadian, sebuah buku puisi karya Nietzsche terjemahan Agus R. Sarjono & Berthold Damshauser. Paket untukku biasanya langsung dia buka. Mungkin anak-anakku menyangka mereka bisa menemukan harta karun dalam bingkisan itu.

Jadi dalam sehari itu aku mendapat tiga buku. Aku memegang-megang ketiganya dengan perasaan rileks sempurna. Ini sekilas info untuk mengenalkan mereka pada Anda:

1/ You Are A Leader! karya Arvan Pradiansyah (Kaifa, 2010, 347 hal.) Harga: Rp.69.000,-

Buku ini merupakan edisi baru (revisi) setelah sukses dicetak ulang sebanyak sepuluh kali sejak pertama kali terbit pada tahun 2003. Apa saja revisinya? Tentu saja berbagai materi yang sangat kontekstual dengan kondisi manajemen perusahaan dan industri zaman sekarang, misalnya membahas knowledge management, visi organisasi di masa depan, maupun kepemimpinan yang hebat di zaman sekarang itu seperti apa.

Premis buku Arvan ini kuat, yaitu keyakinan bahwa setiap orang itu memiliki bakat terbesar dalam dirinya, yaitu "setiap orang adalah pemimpin." Bagaimana cara agar potensi itu muncul? Dengan membangunkan orang untuk menggunakan potensi utamanya, yaitu kekuatan memilih.

Arvan Pradiansyah ialah seorang ahli sumber daya manusia sekaligus pembicara publik dan penulis di beberapa media bisnis, di antaranya SWA dan Bisnis Indonesia. Buku-bukunya juga diterima dengan baik oleh pembaca.

Link terkait: http://www.mizan.com

2/ Only a Girl karya Lian Gouw (American Publishing, 2009, 295 hal.) Harga: US$27.95

Edisi Indonesia novel ini sebentar lagi akan diterbitkan GPU. Lian Gouw lahir di Jakarta, tumbuh di Bandung, kini tinggal di Amerika Serikat. Only a Girl menceritakan tiga generasi perempuan Cina yang berusaha mempertahankan identitas di tengah perubahan situasi sosial-politik yang mereka alami secara drastik dari zamam penjajahan Belanda di Indonesia, invasi Jepang, dan Revolusi Indonesia---ditambah pengaruh Perang Dunia II.

Dari keluarga Cina totok, mereka mendapat pengaruh budaya dan adat Belanda maupun Barat. Begitu Belanda tersingkir dari Indonesia dan Indonesia merdeka, mereka sadar bahwa kebiasaan dan pandangan itu tak bisa lagi diterima, bahkan dikata-katai sebagai "buangan anjing peliharaan Belanda." Bagaimana mereka menghadapi situasi seperti itu?

Link terkait: http://www.amazon.com/Only-Girl-Lian-Gouw/dp/1607493977/ref=cm_cr_pr_product_top

3/ Nietzsche: Syahwat Keabadian karya Agus R. Sarjono & Berthold Damshauser (editor), (Komodo Books, 2010, 192 hal.)

Buku ini merupakan "Seri Puisi Jerman VI" hasil kerja sama dengan Goethe-Institut Jakarta, berisi dwi bahasa Jerman dan Indonesia kumpulan puisi Friedrich Nietzsche (oh, harus jeli banget menulis namanya!)

Semua peminat budaya-seni-filsafat sudah tahu siapa Nietzsche dan apa pengaruhnya bagi dunia pemikiran dan masyarakat hingga di zaman posmodern ini. Jadi kita tinggal membaca lagi dan merasakan apa pemberontakannya terhadap norma-norma usang di dunia ini masih punya getaran atau tetap susah diakses? Puisi tersebut antara lain berasal dari buku "Kepada Tuhan yang Tak Dikenal (1858 - 1877), Sabda sang Bijaksana (1882), Yang Kelak Terdesak Banyak Berkabar (1882 - 188), Nyanyian Zarathustra (1883 - 1885), Cuma Pandir! Cuma Penyair! (1882 - 1888).

Bila buku ini sudah tidak tersedia di toko buku, Anda bisa menemukannya di perpustakaan Goethe-Institut Jakarta dan Bandung.

Link terkait: http://www.goethe.de/jakarta.[]

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Copyright © 2009 oleh Anwar Holid

Monday, September 20, 2010

link tulisanku menjelang lebaran 2010. sebuah daftar buku untuk libur lebaran.

silakan baca: link: http://jakartabeat.net/buku/377-lima-buku-untuk-teman-libur-lebaran.html

Wednesday, September 01, 2010


[Buku Incaran]

Upaya Menaklukkan Kekakuan Sejarah Nabi
---Anwar Holid

Pengikat Surga
Penulis: Hisani Bent Soe
Penerbit: Ten-Q, 2010
Tebal: 400 halaman
ISBN: 978-602-96891-0-5

Jakob Sumardjo di dalam buku Menulis Cerpen (1997) menyatakan bahwa salah satu ciri karya besar ialah penyajiannya harus menarik. Gaya bercerita harus memikat dan mampu memuaskan nafsu para pembaca terhadap keindahan. Di sini yang dipersoalkan adalah bagaimana-nya suatu karya, bukan apa-nya (subjek karya tersebut).

"Nyata sekali bahwa sebuah karya besar tidak perlu memasang masalah besar dalam takaran filsafat atau ilmu pengetahuan," demikian paparnya. Jakob mencontohkan karya Sutan Takdir Alisyahbana, Grotta Azzura. Novel ini bicara tentang kebudayaan yang besar secara detail dan komplet, tapi sayang penggambaran kebesaran masalah itu gagal dituangkan secara menarik dan manis.

Hetih Rusli, penyunting fiksi di Gramedia Pustaka Utama, berpendapat bahwa salah satu hal paling penting dalam novel yang bagus ialah memperhatikan kekuatan tokoh utama (protagonis). Dia menyatakan: "Yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas."

Dua pandangan tersebut menggiring pada opini bahwa tema atau subjek persoalan suatu cerita bisa mengenai apa saja, namun kunci fiksi itu tetap bagaimana cara menyajikannya. Tegas Jakob Sumardjo, "Jangan mengorbankan sastra hanya untuk tema."

Hisani Bent Soe, seorang pengajar (ustadzah) di Ma'had Al-Imarat, Bandung, berusaha menaklukkan kekakuan sejarah kisah kehidupan nabi Muhammad ke dalam novel berjudul Pengikat Surga. Kisah kehidupan dan kehidupan nabi Muhammad (shirah nabawiyah) jelas sudah sangat populer bagi pembaca Muslim, terus-menerus dieksplorasi oleh sekian banyak penulis Muslim dan non-Muslim baik ke dalam risalah nonfiksi maupun karya fiksi, serta menghasilkan karya dengan ciri masing-masing.

Hisani memanfaatkan kelebihan pengetahuannya tentang detail sejarah Islam yang luas dan mumpuni sebagai bahan dasar untuk menciptakan suasana awal munculnya Muhammad sebagai penerus akhir agama tauhid (yang mengesakan Tuhan) hingga masa awal terpilihnya Ustman bin Affan sebagai pemimpin bangsa di jazirah Arab---yang juga terdapat komunitas Yahudi, Kristen, maupun kaum penyembah berhala dan politeis. Bisa jadi karena Hisani sejak awal berniat menulis trilogi, maka periodisasi dalam novel ini tanggung dan akhir novel ini sengaja dibiarkan menggantung.

Hisani pada dasarnya juga mampu menemukan sudut pandang yang sangat menarik untuk menceritakan seluruh kisah perjalanan kenabian itu, yaitu dari kacamata Asma, gadis kecil yang sejak awal dekat dengan keluarga Muhammad. Dari mulut dan pikirannya novel ini tersaji. Di awal-awal buku kita akan membaca pertanyaan-pertanyaan naif seorang gadis ayahnya, yaitu Abu Bakar, mengenai Islam dan awal mula dakwah Muhammad. Ayah Asma sendiri lebih senior dari Muhammad dan sejak awal mereka berbagi kegelisahaan soal dekadensi moral dan spiritualitas masyarakatnya. Pada gilirannya, nanti Abu Bakar akan menjadi mertua Muhammad karena dia menikahkan putri bungsunya, Aisyah. Muhammad sendiri juga memiliki putri sepantaran Asma bernama Ruqayyah. Mereka berdua sudah berteman akrab sejak kecil dan sering bermain bersama, karena orang tua mereka selain sesama rekanan bisnis juga telah berkawan erat. Merekalah saksi sejak kanak-kanak bagaimana orang tua masing-masing bertransformasi menjadi agen perubahan masyarakat dan mengorbankan segala-galanya demi tegaknya Islam. Seiring waktu dan dinamika peristiwa, Asma menyaksikan nyaris seluruh peristiwa penting dalam sejarah Islam dari jarak sangat dekat, termasuk tambahan berita dari ayah, suami (Az Zubayr bin Awwam), maupun adiknya (Aisyah). Bahkan sejak awal Abu Bakar melibatkan Asma untuk menjadi pencatat dan pendata seluruh pemeluk Islam beserta rahasia strategi gerakan Islam yang direncanakan di rumah Muhammad. Dari peran itu tergambar betapa Asma bisa dikatakan termasuk seorang Muslim utama, sebab ia berada di pusaran lingkaran dalam para tokoh Islam.

Dinamika perkembangan awal Islam inilah yang justru merupakan inti dan mendapat porsi terbesar dalam novel ini. Kehidupan pribadi Asma dan dunia batinnya juga kurang terungkap secara memikat, sebab dia sangat sibuk terlibat dengan dunia luar. Selain menjadi juru tulis dan pemegang rahasia ayahnya, Asma juga merupakan pionir tenaga paramedik setiap kali umat Islam terlibat peperangan. Dari sudut bias gender, secara implisit Hisani ingin membuktikan betapa Islam sejak awal memuliakan perempuan dan membuka peluang agar mereka secara bebas dan maksimal bisa berperan di masyarakat umum.

Mengolah bahan sejarah nan panjang dan melimpah ruah dengan informasi namun butuh kejelian menangkap detail dan suasana batin protagonis itulah yang masih kurang dikuasai dengan baik oleh penulis. Kemampuan Hisani untuk menuturkan kisah atau melakukan novelisasi terhadap sejarah faktual masih belum mampu menghilangkan kesan bahwa novel ini tetap mengulang formula kisah yang selama ini telah dikenal oleh umat Islam pada umumnya. Bedanya, Hisani berusaha menghadirkan setting, percakapan, plot (alur cerita), menghadirkan sejumlah ketegangan maupun konflik, namun unsur tersebut kurang tergarap secara maksimal.  Akibatnya kita membaca kisah ramai yang datar, namun riak-riak emosi para pelakunya nyaris tak muncul.

Di balik aktivitas dan pengaruh terhadap seluruh kisah dan peristiwa, kelemahan karakterisasi terhadap Asma membuat dia seperti sosok tanpa nyawa maupun punya "suara" sendiri. Bagaimana gelombang emosi perempuan bila dilanda cemburu, apa komentar dan perasaan ketika adiknya seperti dijodohkan pada pria yang tampak lebih pantas jadi kakeknya, tidak muncul. Dalam kasus perkawinan Muhammad-Aisyah, Hisani justru tidak memperlihatkan kekritisan terhadap penafsiran ulang atau menelaah lebih teliti terhadap sejarah yang selama ini sulit diterima umum, malah mengamini mitos bahwa Muhammad menikahi gadis di bawah umur, meskipun dia telah haid.

Kekurangan tersebut diperburuk oleh rendahnya kemampuan teknis sang penulis dan editor gagal menjalankan fungsi untuk meningkatkan kualitas karya. Penulisan novel ini masih berlepotan dan mengandung banyak sekali kesalahan elementer, mulai dari salah eja, tanda baca, inkonsistensi penulisan, hingga unsur pengganggu yang masih terlewatkan untuk disiangi. Hisani juga masih tampak takut untuk berusaha melenturkan ungkapan kalimat ayat Al-Quran agar lebih kena (kuat) dan menggetarkan bagi pembaca Indonesia, namun malah membiarkannya tetap kaku sebagaimana terjemahan Departemen Agama---padahal novel merupakan media yang tepat untuk mengungkapkan firman Allah agar memiliki daya dobrak besar terhadap pembaca. Bukankah Al-Quran ialah sastra yang agung? Bagaimana kita bisa merasakan keagungan bila untuk memahaminya pun sudah kerepotan? Padahal latar belakang keilmuan penulisnya otoritatif untuk melakukan hal tersebut. Meskipun konteksnya tepat, tebaran ayat Al-Quran dalam di berbagai halaman hanya membuat novel ini kehilangan elastisitas sebagai karya sastra yang idealnya imajinatif dan segar.

Kita boleh berharap agar Hisani Bent Soe mampu meningkatkan cara bercerita dan mengungkapkan emosi pada proyek penulisan dua sekuel berikutnya. Di debut Pengikat Surga ini dia telah sukses mempersembahkan karya yang mampu menghadirkan kisah sejarah dari sudut pandang unik. Tinggal kerja keras ini terus diasah sebaik mungkin agar mampu menyiapkan karya secara hati-hati, teliti, dan berkualitas tinggi hingga melahirkan karya yang jauh lebih memuaskan. Lepas dari sejumlah kekurangan dalam novel ini, Pengikat Surga tetap pantas dijadikan sebagai pendamping buku sejarah kenabian dan Islam secara umum, terutama dari sisi feminin.

Semoga komentar dan kritik ini makin menyemangati Hisani berkarya dan menjadi batu loncatan untuk membuat karya yang mengguncang dunia di masa depan.[] 26/8/2010

Pengikat Surga terbit secara self-published. Pemesanan: 085862051531

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Friday, August 20, 2010

[BUKU INCARAN]

Menemukan Misi Diri Demi Kebaikan Hidup
---Anwar Holid

Masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat religius tapi sayangnya bukan masyarakat yang spiritual. Kita rajin pergi ke tempat ibadah tapi begitu ke luar dari sana kita menjadi orang yang berbeda 180 derajat. Kita percaya pada Tuhan tapi tidak beriman kepada Tuhan. Ketika beribadah kita menyembah Tuhan, tapi ketika berbisnis kita memasabodohkan Tuhan. Kita melakukan hal-hal tercela tanpa beban, seolah-olah Tuhan tidak melihat kita, bahkan menganggap Tuhan tidak pernah ada.

Tuhan bukanlah sosok yang jauh. Dia sangat dekat dengan diri kita dan senantiasa memperhatikan kita. Dosa, kesalahan, dan perbuatan tercela sesungguhnya disebabkan manusia tidak percaya bahwa Tuhan itu senantiasa melihat dan bersamanya. Pemikiran inilah yang semakin meyakinkan saya betapa pernyataan "You Are Not Alone" sangat powerful.

Demikian tulis Arvan Pradiansyah di kata pengantar buku terbarunya You Are Not Alone: 30 Renungan tentang Tuhan dan Kebahagiaan (Elex Media, 252 hal.) yang terbit awal Agustus 2010. Buku tersebut merupakan renungan dirinya mengenai Tuhan dan kebahagiaan. Tuhan yang dimaksud dalam buku tersebut lebih bersifat sebagai Tuhan universal, tidak mengacu pada ajaran agama tertentu. Tujuannya agar renungan tersebut dapat dinikmati oleh pembaca dengan beragam latar belakang, bahkan yang mengaku ateis sekalipun. Jadi buku ini berbicara mengenai spiritualitas, bukannya religiositas. Maka dalam buku itu bertebaranlah pernyataan penyejuk jiwa dari berbagai khazanah manusia, mulai dari agama-agama di dunia ini, kisah dan perlambang, juga berbagai kajian spiritualitas yang berkembang di masa kontemporer. Bagi peminat karya-karya Arvan, buku ini mungkin akan segera mengingatkan pada Life is Beautiful karena juga disajikan melalui kisah singkat yang mampu membangkitkan kedalaman spiritual.

"Saya ingin menulis buku yang dapat mengirimkan pesan kuat untuk memprovokasi pikiran orang agar dapat berubah menjadi lebih baik," tegas Arvan. Dia berharap buku ini memiliki dampak cukup signifikan bagi pengembangan karakter masyarakat Indonesia. Tentu sungguh memprihatinkan bila kita membaca fakta betapa mayoritas penduduk di negeri religius ini justru memiliki kebiasaan korupsi yang mengerikan. Tidak ada satu pun lembaga penegakan hukum yang bersih dari korupsi.

Karenanya, dalam buku ini Arvan berusaha mengaitkan spiritualitas dengan pembentukan manusia agar menjadi lebih berkualitas. Dia menyatakan bahwa manusia itu diciptakan dengan misi masing-masing dari Tuhan. Tulisnya: Hidup adalah sebuah misi yang harus kita pertanggungjawabkan. Tuhan tidak menciptakan kita sekadar untuk memenuhi dunia. Tuhan pasti menciptakan kita dengan maksud tertentu. Ada misi Tuhan yang dititipkan kepada kita. Namun Dia hanya secara implisit menyatakan yang Dia inginkan dari kita masing-masing. Kitalah yang harus mencarinya dengan cara mengeksplorasi dan mengenali diri masing-masing. Karena itu, hal terpenting dalam hidup ini ialah menemukan apa yang terpenting dan menjalankan apa yang terpenting. (Hal. 123.)

_____________________________________
DETAIL BUKU

You Are Not Alone: 30 Renungan tentang Tuhan dan Kebahagiaan
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Elex Media, 2010
Halaman: 252 hal., soft cover
Kategori: Spiritualitas; Inspirasional; Pengembangan Diri
ISBN: 978-979-27-7918-9      
Harga: Rp.52.800,-
_____________________________________

Arvan menggunakan judul You Are Not Alone dari lagu Michael Jackson untuk menyatakan bahwa manusia tidak sendiri. Di manapun kita berada, ke manapun kita pergi, kita selalu menjumpai Tuhan. Lagu itu pertama kali dia dengar ketika bersekolah di The London School of Economics (LSE), London, Inggris, jurusan Industrial Relations & Human Resources tahun 1995 berkat beasiswa British Chevening Awards dari The British Council. Arvan dikenal sebagai ahli sumber daya manusia, konsultan perusahaan, kolumnis, dan pembicara publik. Arvan juga telah menulis beberapa buku best seller, di antaranya You Are a Leader!, Life is Beautiful, dan The 7 Laws of Happiness. Selain itu dia juga merupakan narasumber tetap untuk talkshow "Smart Happiness" di Smart FM Network setiap hari Jumat pukul 07.00 - 08.00 WIB yang disiarkan langsung ke-22 kota di Indonesia. Semua itu melengkapi aktivitasnya sebagai Managing Director di Institute for Leadership & Life Management (ILM), sebuah lembaga pelatihan dan konsultasi sumber daya manusia, kepemimpinan, dan life management berbasis di Jakarta.

Arvan Pradiansyah menyebutkan rencananya bahwa buku You Are Not Alone akan dilaunching di toko buku Gramedia Matraman, Jakarta, pada Sabtu, 28 Agustus 2010.[]


Copyright © 2009 oleh Anwar Holid

Situs terkait:
http://www.elexmedia.co.id
http://www.ilm.co.id

Arvan Pradiansyah juga berinteraksi di http://www.facebook.com

Saturday, June 19, 2010


Raksasa Bedah Saraf dari Klaten
---Anwar Holid

Tinta Emas di Kanvas Dunia
Penulis: Pitan Daslani
Penerbit: Kompas, 2010
Tebal: 226 + xxi
ISBN: 978-979-709-466-9

Pada Senin, 14 Januari 2008, masuklah seorang pasien koma karena stroke ke RS Siloam, Karawaci. Dia langsung ditangani Dr. Eka J. Wahjoepramono, seorang spesialis bedah saraf. Dr. Eka segera melihat hasil CT scan pasien tersebut, lantas memberi penjelasan singkat pada istri pasien: "Ibu, kondisi suami sangat gawat. Perdarahannya luas. Kita hanya punya dua pilihan. Pertama, we do nothing. Kita diam saja, dan suami ibu akan meninggal within hours, dalam beberapa jam lagi. Kedua, kita operasi, tapi saya bukan Tuhan. Hasilnya seperti apa, saya tidak tahu."

Keterangan itu membuat sang istri tambah syok, sebab di rumah sakit sebelumnya dia diberi tahu bahwa kesadaran suaminya "menurun."

Begitulah Dr. Eka Julianta Wahjoepramono, Sp. BS. Dia sigap dan cekatan melakukan operasi. Bicaranya lugas, informal, suka campur-aduk menggunakan kosakata bahasa Indonesia dan Inggris. Dia terkenal jujur terhadap kondisi pasien, ekspresif, sekaligus sangat perhatian dan teliti. Bila sedang menangani pasien, dia mencurahkan seluruh energi, pengetahuan, kemampuan, dan kesabaran demi kesembuhan pasien. Dia enggan menyembunyikan kondisi pasien hanya demi menyenangkan keluarga pasien atau takut dikira menambah beban psikologis keluarga.

Seperti cerita Tingka Adiati dalam memoarnya Miracle of the Brain (2009), setelah operasi Eka berkata tentang kondisi suaminya: "Bapak mengalami perdarahan di otak. Saya enggak tahu saraf mana yang kena, dan sejauh mana dampaknya. Itu baru kelihatan nanti kalau sudah sadar. But I can tell you for sure, dapat saya katakan dengan tegas, tubuh kiri bapak akan lumpuh."

Dokter spesialis bedah saraf ini berani terus-terang tentang kelemahan dan keterbatasan dirinya sebagai orang yang paling diandalkan untuk memulihkan pasien, meski dalam setiap operasi bedah saraf, dia bersama tim akan memberikan kemampuan maksimal.

"Saya selalu tekankan kepada staf jangan ada sedikit pun kesalahan atau human error dalam penanganan pasien. Semua harus mendapat pelayanan terbaik. Penderita dan keluarga mereka akhirnya percaya, kami benar- benar menjalankan komitmen profesi kami," demikian katanya pada seorang wartawan.

Kisah, kinerja, dan pribadi Eka juga tergambar lugas dalam biografi karya Pitan Daslani ini, Tinta Emas di Kanvas Dunia. Meski endorsement-nya penuh oleh puja-puji kolega atas pencapaian Eka, di sana kita bisa ikut menimba semangat betapa perjalanan untuk mewujudkan cita-cita, menjadi yang terbaik, dan tetap bersahaja, mustahil berhenti setelah seseorang ada di puncak. Gail Rosseau, Kepala Bedah Saraf di Neurological & Orthopedic Hospital of Chicago, Amerika Serikat berkomentar, "Biografi ini bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama sebagai sumber inspirasi bagi calon penggerak bedah saraf masa depan di Indonesia."

Reputasi Eka sebagai dokter bedah saraf terangkat setelah bersama tim sukses melakukan operasi batang otak untuk pertama kali dalam sejarah kedokteran Indonesia (2001), sebuah kasus yang sangat langka. Batang otak (pons) ialah organ sebesar ibu jari, kenyal serupa tahu, berfungsi sebagai kumpulan kabel vital yang amat lembut dan menghubungkan semua fungsi orak dan tubuh manusia. Bila batang otak tak berfungsi, seseorang secara klinis sudah meninggal dunia, istilahnya mengalami brain-dead.

Dunia kedokteran menyebut wilayah ini sebagai no man's land, karena tak seorang pun sebelumnya sanggup mencapai dan menyentuh organ itu (hal. 60). Kondisi ini tambah mendebarkan betapa Dr. Eka pun belum pernah melakukan operasi di batang otak, padahal kondisi pasien sudah begitu memilukan. Pasien ini pemuda berusia 20 tahun, seorang buruh nelayan. Hanya berkat keyakinan dan mengalahkan segala halangan mental dan fisikal, termasuk peralatan mikro seadanya, akhirnya dia sukses melakukan bedah saraf yang amat berisiko itu, meskipun awalnya berdebar-debar. Pada tahun itu Eka ialah dokter Asia pertama yang mampu melakukannya.

Keberhasilan Eka terbilang istimewa, karena dia berhasil melakukan operasi sangat sulit meskipun tanpa dibimbing secara khusus. Kebanyakan dokter bedah dibimbing dulu oleh senior sebelum dia betul-betul menjadi ahli.

Keberhasilan itu bersifat spiritual baginya. Di satu sisi namanya meroket dan kemampuannya menanjak drastik, bahkan disebut-sebut sebagai giant of neurosurgery; di sisi lain ia makin prihatin betapa perhatian bangsa kita terhadap penyakit sakit dan operasinya masih begitu minim. Indonesia belum punya yayasan yang fokus memperhatikan otak maupun saraf. Karena itu dia bersama rekan mendirikan Yayasan Otak Indonesia (YOI), yang fokus membantu pasien untuk operasi otak dan saraf, dan mendapat dukungan dari Pemerhati Otak Saraf, sebuah komunitas yang terdiri dari mantan pasien bedah saraf beserta sanak keluarganya untuk tolong-menolong dan bertukar informasi mengenai hal ini.

Komitmen Eka di bidang bedah saraf kian hebat ketika ilmu pengetahuan dan pengalamannya ditumpahkan ke dunia pendidikan, yaitu fakultas kedokteran. Ia ingin ada regenerasi yang sehat dan terjadi transfer pengetahuan yang lebih baik. "Dari jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, Indonesia hanya punya sekitar 120 dokter bedah saraf," imbuhnya. Komitmen ini bisa jadi timbul karena cita-cita menjadi dokter awalnya tampak terlalu muluk bagi dia saat kecil tumbuh dari keluarga sederhana di Klaten, Jawa Tengah.

Karena keluarganya kurang mampu, sejak kecil Eka bersekolah atas biaya dari pakde (kakak orang tua), sampai ia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Persis di seberang rumah orang tuanya di Klaten, tinggal seorang dokter umum terkenal di kampungnya, dr. Subiyanto, yang ternyata juga dosen anatomi di Universitas Gadjah Mada. Eka berteman akrab dengan anak dr. Subiyanto, sering main ke rumahnya, sampai melahirkan gambaran naif bahwa profesi ini sangat mulia di matanya.

Kenyataannya, Eka mengalami berbagai kesulitan dan halangan untuk menjadi dokter yang berdedikasi. Bisa jadi karena keturunan Cina, dia mengalami berbagai perlakuan menyebalkan. Begitu masuk saringan di Universitas Diponegoro, dia sudah dihadang dengan sumbangan dalam jumlah besar. Begitu juga waktu hendak mengambil spesialisasi bedah. Dia gagal ikut pendidikan spesialisasi di almamaternya, meskipun lulus. Mau pindah ke Universitas Airlangga, dia ditampik. Di Bandung, setelah lulus spesialisasi dari Universitas Padjadjaran dan mendapat surat keputusan bekerja di RS Hassan Sadikin, dia malah diadukan atasannya pada Direktur Jenderal Pelayanan Medis Departemen Kesehatan. Eka tahu bahwa dunia kedokteran di Indonesia masih feodal, sedangkan dokter yang berjiwa demokratis dan berpikiran terbuka masih jarang. Setelah mondar-mandir mencari rumah sakit yang tepat untuk karirnya, akhirnya dia memutuskan bekerja di RS Siloam.

Di lingkungan RS Siloam kemampuannya berkembang maksimal. Rumah sakit ini menjadi bagian integral ketika Universitas Pelita Harapan (UPH) pertama kali hendak membuka fakultas kedokteran, yang salah satunya juga berkat upaya Eka. Di sinilah dia mengembangkan ilmu kedokteran sesuai idealisme dan perkembangan zaman, sekalian terus berguru, baik secara formal dengan mengambil program doktoral di tiga universitas dalam waktu berdekatan, maupun memburu ilmu dengan mengundang banyak pakar yang relevan dengan kedokteran saraf, pemenang Hadiah Nobel bidang kedokteran, serta rutin mengadakan visiting professor atau guest lecture di UPH dan organisasi profesi dokter bedah saraf. Berkat sumbangsihnya, Eka akan diangkat sebagai guru besar UPH pada 17 April 2010.

Biografi ini dengan semangat menceritakan betapa ada anak Indonesia begitu berhasrat menjadi dokter bedah saraf kaliber dunia. Teknologi dan fasilitas yang terbilang seadanya bukan halangan baginya untuk berkembang, melakukan inovasi, berbagi ilmu, sebab Eka percaya tak ada sesuatu yang terlalu sulit bagi orang yang mau belajar dan bekerja keras. Pitan Daslani menampilkan Eka secara lugas, nyaris tanpa polesan, berhasil memotret sosok Eka bagaimana adanya. Dia tidak menulis ala jurnalisme sastrawi yang berusaha meliuk-liuk baik untuk mengungkapkan perasaan atau berniat mendapatkan informasi ala jurnalisme investigatif untuk mengorek hal-hal yang cukup sensitif. Sedikit ada kejanggalan, ilustrasinya banyak menggunakan sudut pandang "aku." Ini menimbulkan ambiguitas, apa buku ini sebenarnya biografi resmi atau autobiografi yang disamarkan.[]

Anwar Holid kini bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Sunday, May 30, 2010



Malcolm Gladwell yang Penasaran
---Anwar Holid

What the Dog Saw, dan Petualangan-Petualangan Lainnya
Judul asli: What the Dog Saw and Other Adventures
Penulis: Malcolm Gladwell
Penerjemah: Zia Anshor
Penerbit: GPU, 2010
Tebal: 480 hal.; Ukuran: 13.5 x 20 cm
ISBN: 978-979-22-5249-1
Harga: Rp.80.000,-

"Keingintahuan mengenai apa yang ada di balik pekerjaan harian orang lain adalah salah satu dorongan paling mendasar pada manusia, dan dorongan itulah yang menyebabkan buku yang sekarang Anda pegang ini ditulis," demikian kata Malcolm Gladwell di pengantar What the Dog Saw (GPU, 2010, 461 hal.) Dia terus memelihara dan mengembangkan rasa ingin tahu terhadap sembilan belas macam kepenasaran dengan matang. Rata-rata menghasilkan esai yang sangat panjang untuk ukuran artikel bernada investigatif demi mengorek suatu subjek, kemudian menuliskannya dengan sangat lincah dan menggigit. Semua pembaca buku Gladwell sudah tahu betapa kuat ciri khas tulisannya, dan betapa tulisan itu membuat ketagihan.

Petualangan Gladwell demi menelusuri suatu fenomena di dalam What the Dog Saw bisa dibaca dari mana saja. Kita akan segera tahu betapa rasa penasaran manusia itu memang meluap-luap, tak terbendung bahkan oleh teka-teki atau misteri paling gelap sekalipun. Buku ini menyajikan lebih banyak lagi menu tentang betapa manusia dan drama kehidupannya bisa melahirkan peristiwa yang kerap terlalu sulit untuk saling diprediksi. Manusia bergerak lebih cepat dari prasangka ataupun prakiraan orang lain; mereka suka membuat kecele orang yang mencoba menangkap gelagatnya. Betul manusia bisa menganalisis, menebak, dan memprediksi, tapi hasrat dan antisipasi lebih cepat lagi bergerak menanggapi analisis.

Rasa penasaran ada yang sederhana dan rumit. Kalau perempuan ingin mengecat rambut dengan warna tertentu, bisa jadi itu teka-teki sederhana; sementara kalau kita ingin tahu bagaimana polisi dan detasemen khusus menentukan target operasi terorisme, mungkin itu misteri yang hebat dan mendebarkan. Tapi sama saja: keduanya butuh jawaban, dan orang seperti Gladwell dengan segala cara berusaha menjelaskannya. Upayanya jelas telah sukses membuat jutaan orang suka, meski tidak semua. Sebagian orang menilai Gladwell terlalu simplisistik (menggampangkan) dan mengabaikan faktor penting lain dalam berbagai fenomena yang rumit; dan itu membuat mereka menilai tulisannya sebagai pseudosains. Tapi yang jelas kehebatannya meyakinkan orang banyak sulit ditandingi. Wajar bila media massa seperti Time, Newsweek, juga GQ menobatkan Gladwell sebagai penulis yang dewasa ini paling mempengaruhi cara orang berpikir.

Gladwell memilah What the Dog Saw dalam tiga bagian. Urutan paling menariknya justru dari belakang. Di bagian ketiga dia membahas tentang kepribadian, sifat, dan kecerdasan manusia. Dia membicarakan kenapa sebagian orang sudah genius sejak muda, namun sebagian lain justru baru panas setelah berusia matang? Apa beda kesuksesan teori relativitas dan keberhasilan perusahaan semacam Microsoft? Bagaimana polisi mengembangkan teori kejahatan dan menangkap tersangka terorisme padahal ciri penjahat sangat kabur dan mudah sekali berubah? Kenapa seseorang bisa panik dan akhirnya kalap? Dan kisah-kisah yang lebih menyangkut indra, emosi, dan pikiran daripada sesuatu yang fisikal.

Di bagian kedua dia mengembangkan teori, prediksi, dan diagnosis. Misal seperti ini: kenapa perusahaan yang sangat terbuka, dikelola dengan baik, diisi orang-orang cerdas kelas satu, berkembang pesat, punya kapital luar biasa, sahamnya diminati investor, punya semua kriteria unggul, memenuhi standar kehebatan macam-macam, toh akhirnya bangkrut dan gagal diselamatkan? Kenapa badan intelijen yang punya analisis tiada terperi tetap gagal menemukan Osama bin Laden? Semuanya paradoks rumit yang bisa melahirkan kisah penelusuran menarik.

Di bagian pertama dia menulis tentang "genius minor", yaitu orang hebat yang perannya dianggap sepele, seperti pawang anjing, produsen pewarna rambut, atau raja saus tomat. Padahal kerja dan temuan mereka hebat juga. Gladwell membuat mereka jadi setara dengan penemu penting kelas dunia. Bayangkanlah bila orang Indonesia tak kenal sambal, bagaimana rasanya. Tapi kenapa kita tidak tergerak untuk menelusuri, siapa yang pertama-tama membuat ramuannya?

Meski begitu, isi ketiga bagian buku ini masih terasa inkonsisten. Sebab di bagian pertama kita bisa menemukan tulisan tentang Nassim Nicholas Thaleb yang terkenal berkat The Black Swan, yaitu teori probabilitas untuk menerangkan falsifikasi. Dia jelas bukan tipe "genius minor." Sementara di bagian kedua dan ketiga kita bisa menemukan topik agak ringan, seperti contek-mencontek karya yang bercampur dengan ilham atau hasil riset dan bagaimana seekor anjing menentukan ada kejahatan di depan matanya.

Keunggulan Gladwell tampaknya berporos pada dua hal: (1) cara berpikirnya unik dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan; (2) cara penulisannya hebat dan lincah sekali. Dalam hal teknik penulisan, bergabungnya dia sebagai staf penulis The New Yorker punya andil besar, sebab majalah ini sudah terkenal berkat gaya dan cita rasa sastranya. Dalam hal cara berpikir, dia cerdas, meskipun bukannya tanpa cela.

Sepintas, isi buku-buku Gladwell tampak klise. Sebagian orang bingung apa beda blink dengan ilham, intuisi, atau wisdom dari pengalaman yang diasah terus hingga membuat orang peka? Dalam Outliers, banyak orang masih bingung apa hubungan tanggal lahir dengan kesuksesan. Tapi toh mereka tetap semangat membaca tulisannya.

Gladwell tahu cara menuliskan petualangan-petualangan pemikirannya. Dia mampu menyabet topik yang awalnya berserakan dan kabur menjadi tajam dan membangkitkan rasa penasaran. Dia bergerak dari satu narasumber ke penyelidikan lain, berusaha langsung mengalami fakta-fakta yang mungkin terbayangkan, lantas melakukan studi literatur dan menemukan pasase yang tepat. Gladwell berkata, "Bila mau menulis buku, Anda perlu punya lebih dari sekadar cerita yang menarik. Anda harus punya hasrat untuk menceritakan kisah itu. Dalam beberapa hal Anda bahkan secara personal perlu mengupayakannya bila memang berguna bagi tulisan."

Banyak buku motivasional atau bisnis sudah membicarakan subjek yang dibahas Gladwell. Tapi kenapa buku dia tetap bisa menonjol dan bestseller gila-gilaan? Bisa jadi karena ini: (1) Argumen Gladwell kuat dan cara berpikirnya menarik; (2) Gladwell bisa merangkai fakta trivial (sepele, sering diabaikan atau dianggap rendah) ke dalam logika besar dengan cara pop-ilmiah menjadi mudah dipahami; (3) Gladwell bisa membuat koneksi antara hal klise dengan teori yang awalnya orang bingung penerapannya bagaimana dalam keseharian atau kasus khusus. Istilah teoretis yang dia munculkan juga catchy.[]

Anwar Holid ialah editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Sunday, April 25, 2010


[BUKU INCARAN]

Cerita, Mantra, Diaspora
---Anwar Holid

Pada Kamis sore, 22 April 2010 saya datang ke acara Kamisan FLP Bandung di halaman Masjid Salman ITB yang akan membicarakan Mantra Maira (Jalasutra, 2010, 132 hal.) karya Sofie Dewayani. Saya berharap kawan-kawan FLP sudah baca buku itu, atau sebagian dari karya Sofie, karena karyanya bisa digoogling atau sudah tersedia di sriti.com, dan Sofie juga punya blog di multiply. Tapi rupanya mereka yang berkumpul di awal pertemuan belum ada yang baca karya dia. Ini membuat saya jadi kesulitan mau menelisik beberapa topik yang muncul setelah baca buku tersebut.

Di awal pertemuan, mula-mula sudah ada sekitar 20 orang berkumpul, dan terus berdatangan sampai menjelang magrib peserta bertambah lebih dari separo. Salah satunya ialah Wildan Nugraha. Dia sempat menulis esai tentang cerpen dan Facebook yang jadi subjek dalam cerpen Bangku Belakang karya Sofie, yang juga masuk dalam Mantra Maira. Dia bilang Bangku Belakang merupakan contoh cerpen yang mampu merespons fenomena sosial-kontemporer dengan pas dan halus.

Berisi sebelas cerpen, Mantra Maira ialah buku yang mungil, tipis, dan serius. Saking tipis, kalau mau kita bisa menamatkan buku ini hanya dalam beberapa jam. Meski begitu, subjek cerpen Sofie rata-rata serius, dengan bentuk khas sastra koran Indonesia, yaitu pendek-pendek. Kesan serius tampak dari cara penyajian bukunya. Faruk HT memberi kata pengantar dengan topik 'sastra pasca-aksara' dengan pendekatan Saussurean, sementara sang penulis juga mengawali bukunya dengan esai mengenai hubungan aksara dan manusia memanfaatkan pemikiran Jack Goody, Walter J. Ong, Shirley Brice Heath.

Faruk dan Sofie sama-sama mengusung topik literasi---yang secara tersirat sepakat mereka anggap merupakan budaya manusia yang lebih unggul dan reflektif dibandingkan lisan. Keseriusan tambah menghebat manakala sebelas cerpen itu dibagi tiga dengan komposisi 4-4-3 menggunakan judul ala makalah ilmiah, yaitu 'teks dan internalisasi individual,' 'modernitas dan identitas,' dan 'kelas dan literasi.' Apa masing-masing cerpen ini benar-benar berbeda satu sama lain, sehingga perlu dengan tegas dipisah? Subjek tentang individu pasti mudah terkait dengan identitas, dan teks pasti mudah menyerempet ke soal literasi.

Pertanyaan utama saya atas buku ini: apakah 'sastra pasca-aksara' itu?

Mayoritas cerpen dalam Mantra Maira berisi tentang diaspora orang Indonesia di Amerika Serikat. Ini mungkin akan mengingatkan orang pada Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (Umar Kayam) atau Orang-Orang Bloomington (Budi Darma). Kadar diaspora dalam buku ini berlapis dengan tema keperempuanan yang sangat kuat, dan itu membuat saya berani melabeli buku ini sebagai salah satu contoh ecriture feminine alias tulisan perempuan.

Budi Darma, salah seorang legenda hidup sastra Indonesia, menyatakan buku ini "menarik berkat kewajarannya mempergunakan nuansa-nuansa wanita, melalui pilihan kata yang biasa dipergunakan wanita, gaya bahasa khas wanita, dan permasalahan yang dihadapi oleh wanita."

Karena para hadirin belum pada baca Mantra Maira, saya jadi bersemangat menyarankan agar kawan-kawan membaca buku ini, apa lagi buku ini cukup murah, hanya Rp.20.000. Lagian, Sofie Dewayani bersimpati pada gerakan FLP. Dia pernah bicara pada Silaturahim Nasional FLP 2008. 

Seorang peserta malah bertanya pada saya, "Karena mas terkenal rewel sama buku, bagaimana kualitas editing buku ini?" Jujur saja, untuk buku setipis ini, mestinya editing bisa sempurna. Tapi buku ini masih mengandung salah tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan pemenggalan kata.

Sofie Dewayani dulu kuliah di Jurusan Teknik Lingkungan ITB, tapi konon kini dia memutuskan menanggalkan semua yang dipelajarinya di sana dan beralih ke sastra dan humaniora. Dia sekarang tengah mengambil program doktoral di University of Illinois, Amerika Serikat. Buku dia sebelumnya ialah Rumah Cinta Kelana (2002).[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Tag: Seharusnya kamu merasa beruntung karena terganggu oleh bacaan. (Hal. 42).

Sofie Dewayani ikutan Facebook, bertemanlah dengan dia.

Situs terkait:
http://dialogkecil.multiply.com --> blog Sofie Dewayani
http://www.jalasutra.com

Monday, March 01, 2010


[BUKU INCARAN]
Luapan Emosi Terpendam Jiwa Manusia
---Anwar Holid


The Ninth (GPU, 2010, 296 hal.) berkisah tentang seorang anak kesembilan dari sebelas bersaudara. Dia berumur sembilan tahun, kira-kira kelas 4 SD. Dia bukan anak bungsu, melainkan punya dua adik, anak ketiga terakhir. Seorang saudaranya sudah meninggal waktu kecil, satu saudara sulungnya sudah menikah, tinggal di kota lain, di Debrecen. Di novel ini angka sembilan terasa mencolok, sengaja dipilih, mungkin punya mitos tertentu. Pilihan judul The Ninth tampak menekankan sesuatu. Apalagi novel ini terdiri dari sembilan bab.

Keluarga si anak ini miskin. Rumah sementara mereka sempit dan umpel-umpelan, tidur seranjang bertiga. Untuk menunjang ekonomi, keluarganya bisnis kecil-kecilan benda-benda religius Katolik seperti rosario dan salib, dijual ke gereja di sekitar kota mereka tinggal di Hongaria, dipasarkan oleh ayahnya. Mereka tinggal di kota kecil tanpa nama, kemungkinan di sekitar Debrecen, karena seluruh anak itu lahir di sana. Kalau tidak, mereka tinggal di dekat perbatasan Romania, sekitar tahun 1960-an, ketika negeri itu di bawah rezim komunis. Ayahnya pekerja keras, rewel, kaku. Ibunya bekerja paro waktu di pabrik pulpen, religius, tadinya ingin jadi pianis, mencintai sastra, dekat dengan pengurus gereja, bahkan mengarahkan anak-anaknya untuk beraktivitas di sana, misal dengan menjadi anak altar, penyanyi gereja, dan pembantu pastor bila ada orang meninggal.

Karena terlalu tertekan oleh kebutuhan ekonomi, anak-anak dalam keluarga ini terabaikan. Sampai-sampai secara ironik anak kesembilan ini bilang bahwa kebanyakan saudaranya punya kelainan, entah cacat fisik atau kesulitan belajar. Kecelakaan terakhir yang dia saksikan ialah jemari seorang saudaranya putus karena terjepit oleh hentakan ranjang lipat. Meski begitu mereka suka gotong royong dan sama-sama kerja keras waktu mengerjakan kerajinan, termasuk kakak-kakaknya harus ikut membangun rumah idaman yang akan mereka tinggali kelak.

Untuk mencari kesenangan di tengah kegaduhan keluarga, anak ini suka kelayapan sehabis pulang sekolah, baik ke stasiun tempat ayahnya pernah bekerja, juga ke rumah orang dan toko-toko yang ada di sana sekadar untuk melihat-lihat barang yang gagal dia dapat atau membaui aroma roti dan daging panggang di sebuah toko kue. Di sekolah, dia juga mengalami penindasan (bullying), mulai dari berupa celaan sampai secara fisik oleh kakak kelasnya. Saat kelayapan itu dia menemukan banyak hal. Dia tahu ada ayah teman sekelasnya tiap hari mabuk sampai harus dibopong ke luar dari bar oleh anak-anaknya. Dia suka mengintip rumah lain karena tampak sangat berbeda dengan rumahnya yang sumpek dan selalu ribut. Untuk mendapat uang saku, dia menjadi anak altar. Dia tambah senang bila ada orang meninggal, karena itu berarti uangnya bisa tambah banyak, membuat dirinya bisa jajan berbagai makanan di toko-toko dekat stasiun.

Suara anak kecil dalam The Ninth muncul dengan intensitas tinggi. Anak ini juga pengamat sosial yang tajam. Dia penasaran kenapa gaji ayahnya gagal memenuhi kebutuhan keluarga, seorang kawannya menyembunyikan foto perempuan telanjang, dan di sela-sela main sepak bola bersama saudara dan kawan-kawannya, pikirannya kerap khawatir soal hari esok, sampai dia sendiri akhirnya nekat melakukan dosa pertama, meskipun ia pernah menjadi putra altar dan ibunya senantiasa mengajak doa bersama sebelum tidur. Dosa itu membuatnya trauma, sangat bersalah, dan takut---tergambar dengan hebat di bab delapan dan sembilan---karena ia lakukan pada guru yang dia cintai. Guru inilah yang pernah memberinya tugas mengarang---dan secara implisit karya ini mungkin bisa dianggap sebagai perwujudan dari rasa bersalah ketika mengerjakan tugas tersebut.

Ferenc Barnás menyajikan novelnya sebagai luapan emosi terpendam jiwa manusia. Ingatan anak kecil ini luar biasa. Dia lebih dari sekadar jujur menceritakan rahasia paling kelam, mimpi paling brutal karena tekanan hasrat terpendam ingin menyalurkan dendam, iri dengan bekal milik kawannya, bertahan dan sesekali membalas dari kekerasan kakak kelas, kesenangan setiap kali ada orang yang meninggal, juga bersaing dengan kawan sekelas untuk menarik perhatian gurunya. Dia teliti membongkar kehidupan masa kecilnya yang sarat dengan tekanan dan persoalan. Dia juga berusaha meraba-raba persoalan samar, mulai dari bahasa tubuh ibunya, keunikan saudara kandung, sampai perilaku keras ayahnya terhadap aparat negara yang dianggapnya mau korupsi.
______________________________________
Detail Produk:
Judul: The Ninth (Anak Kesembilan)
Penulis: Ferenc Barnás
Penerjemah: Saphira Zoelfikar
Penerbit: GPU, Februari 2010
Tebal: 296 hal.; 13.5 x 20 cm; soft cover
ISBN 978-979-22-5459-4
______________________________________

Soal relevansi dengan Indonesia, Katalin B. Nagy yang memprakarsai penerbitan The Ninth berkomentar, "Rasanya hubungan budaya di antara Indonesia dan Hongaria belum seerat semestinya, karena kita belum sadar pengalaman kita sepanjang masa banyak miripnya. Saya berusaha 'membangkitkan' kesadaran ini melalui sastra terjemahan. Karya Ferenc bisa berarti karena aspek universalnya: seorang 'anak' berjuang melawan gereja, negara, dan diri sendiri melalui hasrat dan kebingungan."

Sekitar tahun 1960-an, Partai Komunis Hongaria yang berkuasa merupakan boneka Uni Soviet, sementara di Indonesia Partai Komunis Indonesia juga berpengaruh kuat. Apa dengan begitu membuat The Ninth bernuansa politik? Jawab Katalin, "Karya tersebut tak berpolitik atau mengkritik rezim komunis, melainkan hanya menggambarkan latar belakang sosial budaya. Rezim otoriter yang digambarkan dalam novel oleh seorang anak bisa saja di mana-mana."

Dulu Fuad Hassan---mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan---menerjemahkan Sang Mahasiswa dan Sang Wanita, berisi 10 cerpen Hongaria, dan Pulang, kumpulan cerpen karya Árpád Göncz. Bentang Pustaka pernah menerbitkan Fateless (Imre Kertész) dan The Last Window Giraffe (Péter Zilahy). Semua buku lama itu kini sudah tak dicetak ulang.

Ferenc Barnás mendapat pengakuan internasional setelah memenangi dua anugerah sastra Hongaria paling terkemuka: Sándor Márai Prize (2001) dan Tibor Déry Prize (2006). The Ninth mendapat grant penerjemahan dari PEN America, dikerjakan oleh Paul Olchváry. Barnás menerima sejumlah undangan residensi penulisan di Amerika Serikat, antara lain di Yaddo, MacDowell Colony, Edward Albee's The Barn, Virginia Center for the Creative Arts, dan Espy Foundation; pada tahun 2001 berceramah di Lahti International Writers Reunion, Finlandia.[]

Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Link terkait:
http://www.gramedia.com
http://www.ferencbarnas.com

===========================
KOMENTAR PEMBACA

The Ninth is a testament to the still-unplumbed depths of contemporary Hungarian literature, and a departure from the alienated fever dreams and horrors to which we've grown so accustomed to reading.
---Jeff Waxman, dari Three Percent Review

Kebanyakan kritikus menilai The Ninth sebagai novel terbaik karya Ferenc Barnás---merupakan pencapaian luar biasa dilihat dari segi gaya, bentuk, dan isi sekaligus.
---Paul Olchváry

The Ninth adalah novel perenungan pribadi yang lebih memberikan dasar untuk eksplorasi daripada yang muncul di permukaan, dan merupakan novel yang berhasil memunculkan suara anak kecil dengan baik.
---Josh Maday

For me, The Ninth is all the more provocative because it depicts, through a nimble exploration of a child's stream-of-consciousness, the vicissitudes of his imagination, and the tee-tottering state of his soul amid the village's sickening perfidy, corruption, and stupidity.
---Chad W. Post

The Ninth is an elegant book, and a ruthless one. It is a courageous book, one that knows fear. As is always the case with good literature, it is about us, wherever we may live in the world.
---Anonim

Tuesday, February 23, 2010


[BUKU INCARAN]

Butuh Berapa Orang untuk Menerbitkan Sebuah Buku?
---Anwar Holid


Sekitar Agustus 2007 Anwar Holid mendapat surat dari Katalin Nagy bahwa dia ingin mengakrabkan sastra Hongaria ke pembaca Indonesia. Dia mencari penerjemah untuk mengerjakan proyek The Ninth (A kilencedik) karya Ferenc Barnás, sekaligus mencari penerbit untuk novel tersebut. Ferenc telah memenangi dua anugerah sastra paling terkemuka di tanah airnya: Sándor Márai Prize (2001) dan Tibor Déry Prize (2006). Edisi Inggris A kilencedik memenangi grant penerjemahan PEN America, terbit dalam seri Writings from an Unbound Europe. Katalin berkomitmen besar terhadap proyek tersebut. Dia menanggung biaya penerjemahan dan siap membeli sekitar seratus kopi begitu novel itu terbit dalam bahasa Indonesia, sementara Ferenc menggratiskan hak terjemahannya.

Waktu itu Anwar sedang kerja di penerbit J_, jadi dia usul agar penerbit itu menerima tawaran tersebut. Tawaran ini menurutnya cukup menggiurkan, meski bukannya tanpa beban. Dia menilai penerbit bisa mendapat prestise maupun publisitas dengan menerbitkan novel dari bangsa yang jauh. Hongaria---negeri seperti apakah itu, selain konon terkenal berkat Kubus Rubik, Ferenc Puskas, dan para pemenang Hadiah Nobel? Katalin ingin cetakan pertama novel itu minimal antara 3000 - 5000 kopi. Itu cukup berat bagi penerbit J_, apalagi bagian pemasaran ragu bisa menjualnya dengan mudah. Jadi mereka menolak. 

Anwar punya 4-5 kenalan editor di beberapa penerbit lain. Dia menyurati yang kira-kira tertarik proyek tersebut, menceritakan maksud dan kondisinya, berharap bisa mudah mendapat penerbit. Sementara itu Katalin mengontak penerjemah agar mengerjakan bab pertama dari edisi Inggris terjemahan Paul Olchváry. Terpilihlah Saphira Zoelfikar. Tidak langsung menerjemahkan dari bahasa Magyar? Susah mendapat penerjemah Indonesia yang bisa bahasa mayoritas di Hongaria itu.

Ternyata keinginan Katalin dan upaya Anwar agak sulit segera terwujud. Beberapa editor mengabaikan surat itu. Ada editor di penerbit tua menyatakan berminat. Ia mengusahakan menerbitkan novel itu. Beberapa waktu kemudian dia bilang bahwa manajemen mau memproduksi novel itu dengan syarat ada yang menanggung biaya produksi---jadi harus ada pendonor tambahan lagi. Ini sulit buat Katalin, karena di luar pilihannya. "Mau berkomitmen" itu bukannya berarti bahwa penerbit ikut menanggung biaya produksi, sebab mereka juga yang akan menikmati keuntungan---bila buku itu nanti ternyata cukup mudah dijual ke pembaca target, tak sesulit prakiraan awal. Secara implisit kawan ini berhenti berjanji mengusahakan penerbitan di perusahaannya.

Setahun berlalu dan harapan menerbitkan novel itu masih kabur. Pada kesempatan lain, Anwar menulis surat lagi ke editor lain---kali ini termasuk ke kenalan jauh yang kadang-kadang terasa spekulatif. Kawan-kawannya yang kerja di bagian pemasaran atau distribusi pun dia kontak, dengan harapan bisa meneruskan ke editor akuisisi atau para pengambil keputusan. Dia pikir mungkin ada yang salah dengan usaha pertama dulu, hingga proposal ini kurang menggerakkan. Di saat bersamaan, proyek penerjemahan Saphira terus berjalan. Meski belum mendapat kepastian penerbit, komitmen Katalin rupanya mulai benar-benar terwujud. Dia sejak awal secara menyeluruh memeriksa terjemahan itu, meski lebih suka menyebut dirinya sebagai "penyelaras pada naskah asli" alih-alih sebagai "editor."

Usaha kedua ini segera berhasil. Anastasia Mustika, editor GPU, langsung menyanggupi menerbitkan The Ninth, sambil bertanya, "Bagaimana proses selanjutnya?" Proses selanjutnya merupakan detil usaha penerbitan yang lebih merepotkan, banyak urusannya, dan melibatkan orang lain lagi. Siapa akan mendesain covernya? Bagaimana pembayarannya? Bagaimana publisitasnya? Dan seterusnya. Detail ini menambah deretan orang yang terlibat dalam penerbitan sebuah judul buku jadi makin panjang, dan menguak bahwa biaya penerbitan harus dijabarkan lebih pasti. Pilihan pertama desainer covernya ialah Ariani Darmawan, seorang desainer-sutradara, pemilik Rumah Buku. Dia membuat lima alternatif cover, salah satunya menggunakan foto karya Paulo Costa, orang Brasil. Cover ini jadi favorit orang yang terlibat di awal proses penerbitan. Ariani mengontak Paulo menanyakan izin dan copyright foto tersebut, yang di luar dugaan malah dia berikan gratis untuk cover The Ninth. Ini kejutan menyenangkan!
____________________________
ENDORSEMENT

The Ninth adalah novel perenungan pribadi yang lebih memberikan dasar untuk eksplorasi daripada yang muncul di permukaan, dan merupakan novel yang berhasil memunculkan suara anak kecil dengan baik.
---Josh Maday
____________________________

Begitu penyuntingan selesai, muncul rencana publisitas. Makin besar lingkaran orang terlibat untuk mengenalkan novel ini ke publik Indonesia. Siapa mau mengurus? GPU mengajukan Ade Trimarga. Sementara di Jogja Katalin berhubungan dengan Marie Le Sourd (Direktur LIP) membuat Festival Budaya Hongaria untuk meramaikan publisitas, juga mengajak Saphira dan Raudal Tanjung Banua untuk mengisi acara. Dia juga mengundang pianis Michael Asmara yang menciptakan komposisi berdasarkan novel itu.

Di Bandung, Budi Warsito terlibat mengurus publisitas ini. Rencana publisitas merupakan wujud dari obrolan dengan dia. Siapa kira-kira yang bakal cukup asyik membicarakan topik relevan dengan ini? Nama Ari Jogaiswara muncul. Kami pernah 1-2 kali melihat dia jadi host talkshow buku di QB Setiabudi Bandung. Kami menghubungi dua orang agar bisa mengontaknya, dari rekanan dan mantan mahasiswanya. Ahda Imran kami tawari untuk jadi moderator acara nanti, yang baru ia konfirmasi beberapa minggu kemudian. Untuk menggugah kesan pada isi buku, terbetik membacakan cuplikannya. Yopi Setia Umbara bertugas mengisahkannya, bareng kawannya (Riksa) yang akan memberi ilustrasi musik. Anwar menghubungi 3-4 penyiar yang memiliki program buku, dengan respons beda-beda. Sebagian acara ternyata sudah tutup buku atau kini harus bayar. Theoresia Rumthe dari SKY FM antusias siap membicarakan The Ninth, termasuk sekalian dengan mengundang penulisnya.

Ternyata butuh lebih dari selusin orang untuk berpartisipasi dalam penerbitan sebuah judul. Kata Joyce Wycoff, buku merupakan cerminan usaha, cinta, dan dukungan begitu banyak orang. Ada banyak utang budi di setiap upaya penerbitan---sebagiannya langsung lunas dibayar secara profesional. Tanpa pengaruh atau jerih payah bantuan sejumlah pihak, sebuah buku belum tentu bisa terbit. Ini belum melibatkan pembaca lebih luas yang nanti diharapkan merespons, mengkritik, mengomentari, atau menikmati karya itu. Ari Jogaiswara bilang, "Apa arti The Ninth diterbitkan bagi publik Indonesia? Kira-kira harapan penulisnya sendiri seperti apa? Siapa kira-kira pembaca The Ninth? Kalau dia baca The Ninth, buku macam apa lagi yang ada di rak bukunya? Apa masih kurang mendapat pembaca lebih luas dari masyarakat berbahasa Inggris?" Ari berpendapat bahwa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sudah merupakan 'award' tersendiri bagi penulis nonbahasa Inggris, terutama untuk mendapat perhatian lebih besar.

Di Indonesia, The Ninth terbit 23 Februari 2010. Pada Sabtu, 13 Maret ada acara publisitasnya di Rumah Buku Bandung, dilanjutkan Jumat, 19 Maret di LIP Jogjakarta. Ferenc Barnás akan hadir di acara tersebut.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Situs terkait:
http://www.gramedia.com
http://www.ferencbarnas.com
http://www.rukukineruku.com
http://www.nupress.northwestern.edu/ue

Monday, February 08, 2010


[BUKU INCARAN]
Warisan Orang Tionghoa di Indonesia

---Anwar Holid

Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya
Penulis: Gondomono, et al.
Penyunting: Al. Heru Kustara
Penerbit: Intisari Mediatama dan Komunitas Lintas Budaya Indonesia, 2009
Tebal: 352 hal., dengan ilustrasi berwarna dan peta; p. 31 cm.
ISBN: 979-3590-88-1


Saya pertama kali lihat buku Peranakan Tionghoa Indonesia di perpustakaan Bale Pustaka. Begitu lihat-lihat, dalam hati saya bilang, "Wah, bagus amat buku ini."  Buku ini berukuran besar, hard cover, tebal, menggunakan art paper, penuh ilustrasi bagus, dan disiapkan dengan cukup baik. Di Bale Pustaka buku ini masuk ruang referensi, artinya hanya boleh dibaca di tempat dan dilarang dibawa ke rumah oleh anggotanya.

Untunglah Rumah Buku segera mengoleksi buku itu. Ternyata akuisisinya terjadi dari kebetulan yang malah menyisakan persoalan belum beres. Jadi setiap kali ke perpustakaan favorit itu, saya berusaha menyempatkan membaca-baca, memperhatikan detail, termasuk memperhatikan ilustrasinya yang kaya. Sampai akhirnya saya pinjam dan berusaha tuntas membacanya.

Sesuai anak judul, buku ini berusaha fokus meliput seluruh budaya orang Tionghoa di Indonesia. Isinya terdiri dari dua belas bab hasil sumbangan delapan penulis keturunan Tionghoa ahli di bidang masing-masing, jadi otoritatif dan meyakinkan. Selengkapnya sebagai berikut:
1/ Masyarakat dan Kebudayaan Peranakan Tionghoa (Gondomono)
2/ Menjadi Peranakan Tionghoa (Mona Lohanda)
3/ Unsur Lokal dalam Ritual Peranakan (Mona Lohanda)
4/ Perkembangan Arsitektur Tionghoa di Indonesia (Handinoto)
5/ Sastra Melayu Tionghoa (Myra Sidharta)
6/ Pers Melayu Tionghoa (Myra Sidharta)
7/ Ragam Pakaian Kaum Peranakan (David Kwa)
8/ Gambang Kromong dan Wayang Cokek (David Kwa)
9/ Aneka Jenis Bahan Perabotan (Musa Jonatan)
10/ Motif Dekorasi, Arti, dan Kisah di Baliknya (Musa Jonatan)
11/ Aneka Rupa Masakan Peranakan (Helen Ishwara)
12/ Sistem Ukuran dan Fungsi Perabot (Rusdi Tjahyadi)

Terbayang betapa isinya cukup komprehensif, belum lagi detail isinya terbilang kaya, karena tiap bab merupakan esai panjang yang ditulis menarik dan informatif. Ini membuat buku tersebut pantas jadi referensi kajian budaya bagi keragaman penduduk Indonesia. Dari detail itulah berbagai informasi tambahan lain bermunculan, sekaligus memperlihatkan dengan sangat terang betapa Indonesia benar-benar terdiri dari berbagai bangsa dan budaya (multi budaya dan ras), lantas secara dinamik maupun eksklusif bercampur di sebuah tempat kepulauan bernama Indonesia. Sementara budaya Tionghoa Indonesia juga memperlihatkan wajahnya yang sangat kaya, dinamik, sekaligus telah mewariskan budaya yang sangat membekas dan tak terasa memberi warna bagi kebiasaan kita semua. Dari buku ini juga tecermin betapa hubungan orang Tionghoa di Indonesia beserta segala dinamikanya naik-turun, bahkan kerap mengalami pelanggaran HAM dan sikap diskriminatif.

Istilah "peranakan" maupun "Tionghoa" sebenarnya bermasalah, kalau bukan berbau prasangka rasialis. Mungkin istilah "etnik Tionghoa" lebih netral, mengingat kita bisa menerima istilah "etnik Sunda, etnik Batak" dan sebagainya. Istilah bermasalah melahirkan prasangka buruk, stereotipe, maupun stigma (cap buruk yang sulit diterima) sampai akhirnya menumbuhkan kecurigaan tanpa sadar. Ini lama-lama bisa mengerikan dan tetap menghalangi akulturasi secara alamiah dan damai. Sejak zaman Reformasi (1998) sebutan "peranakan Tionghoa" dianggap lebih sopan dari istilah "orang Cina" yang terasa mengandung kesan kebencian karena ditumbuhkan politik awal Orde Baru yang memusuhi negara Cina (RRC) sebab ditengarai membantu Gerakan 30 September (Asvi Warman Adam, 2009). Padahal orang Indonesia mengenal istilah "Pecinan" atau "obat Cina", dan tidak ada istilah "Pertionghoaan." Apa salahnya istilah "orang Cina", "peranakan Tionghoa", bahkan "Cokin" sekalipun, selain prasangka buta? Tentu ada kesadaran bawah kolektif yang membuat istilah itu jadi berkonotasi buruk.

Meski sejarah membuktikan bahwa bangsa Tionghoa sudah datang dan berinteraksi dengan penduduk di kepulauan Indonesia jauh lebih awal dan lama dibandingkan orang Arab---apalagi Eropa---kini kesan interaksi itu seakan-akan tinggal jadi relik yang sia-sia. Bangsa Tionghoa datang ke Indonesia sebagian akibat dari diaspora bangsa Cina yang tinggal di pesisir Laut Cina Selatan. Sungguh menarik, Wikipedia Indonesia mencatat betapa istilah "Tionghoa" itu khas Indonesia, yakni dari kata "Cung Hwa." Istilah ini tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) di luar masyarakat Indonesia, misal Malaysia dan Thailand. Mestinya bukti ini jadi pelajaran berharga buat kita bahwa penduduk Nusantara telah menerima orang Tionghoa sejak awal. Sie Hok Tjwan (1999) menulis: "Sebelum kedatangan kaum kolonialis dari Eropa, hubungan orang Tionghoa dengan orang pribumi di wilayah Indonesia tidak menunjukkan persoalan ras." Perhatikan juga betapa kaum Muslim Indonesia sangat bangga kepada Laksamana Cheng Ho yang menurut sejarah menyebarkan ajaran Islam di sepanjang pantai Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Namun dengan tabiat prasangka buruknya, rezim Orde Baru melarang peredaran buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968) karya Prof. Slamet Muljana sampai sekarang. Menurut Asvi, tesis buku itu patut dikaji ulang karena mengungkapkan bukti yang menyatakan bahwa Walisongo---organisasi ulama paling berpengaruh dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa---adalah keturunan Tionghoa, bertentangan dengan keyakinan umum selama ini yang berpendapat bahwa Walisongo ialah keturunan Arab.

Sebagai bangsa yang datang ke tempat baru karena diaspora dan terbukti bisa hidup rukun dengan penduduk setempat atau membuka berbagai tempat baru, mestinya kita bisa belajar dari blunder sejarah politik penguasa Indonesia yang beberapa kali memperlakukan keturunan Tionghoa dengan buruk, dan itu membuat sebagian dari mereka bersikap eksklusif---meski fenomena eksklusivitas hadir di setiap etnik. Inilah pentingnya makna buku ini bagi kita. Ia merupakan bentuk upaya rekonsiliasi dari bangsa yang sudah lebih dari satu dekade ini berusaha menyembuhkan diri dari bencana sosial, gejolak politik, dan krisis ekonomi. Irwan Julianto dari Komunitas Lintas Budaya Indonesia yang memprakarsai buku ini menulis di kata pengantar: "bangsa yang besar ialah bangsa yang dapat berdamai dengan dirinya sendiri." Setelah berbagai peraturan politik yang tolol, prasangka sosial, kecemburuan, pengambinghitaman, serta pelanggaran HAM, saatnya kini kita bersikap terbuka dan berinteraksi lebih baik, meninggalkan perilaku rendahan kaum fanatik cupet yang suka mengancam pihak yang berlainan keyakinan dan pandangan.

Keunggulan utama buku ini jelas tampak dari ilustrasi yang sangat kaya, baik berasal dari arsip lama hingga detail yang hebat. Suasana Pecinan lama, budaya lama Tionghoa, arsitektur, ragam batik dan baju khasnya, pernik perabot rumah tangga, juga kekayaan kuliner muncul secara artistik. Sayang, justru dari ilustrasi inilah muncul persoalan pelanggaran hak cipta sebagaimana disinggung di awal, persisnya sembilan foto ilustrasi pada bab Gambang Kromong dan Wayang Cokek (David Kwa). Foto-foto tersebut berasal dari film Anak Naga Beranak Naga (2006) karya Ariani Darmawan, yang dimuat tanpa pemberitahuan dan izin kepada pemiliknya lebih dulu.

Dari esai, Gondomono dan David Kwa berbeda pendapat soal makna istilah "peranakan." Gondomono menyatakan peranakan berasal dari jabatan Kapitein der Parnakkan-Chineezen (hal. 41), yang mengacu pada keturunan Tionghoa Muslim; sedangkan David Kwa menyatakan peranakan ialah "mereka yang diperanakkan di tanah ini" (hal. 134)---jadi lebih universal dan berlaku bagi semua penduduk Indonesia. Ada kesan para penulis sebenarnya agak enggan menggunakan istilah "peranakan Tionghoa", lebih suka langsung disebut orang Cina atau Tionghoa saja---sama dengan kita tanpa beban bilang sebagai "orang Madura" atau "orang Papua." Persoalan seperti ini memang cukup pelik dan beban politiknya berat. Kita mesti memberi kesempatan mana istilah yang akan lebih diterima dengan rela dan bangga, termasuk kemungkinan kembali menggunakan nama dan bahasa khas Cina. Bukankah ini akan memperlihatkan kekayaan budaya Indonesia?

Penyuntingan buku ini boleh dibilang memuaskan, meski tetap ada salah eja atau inkonsistensi penulisan terjadi di sejumlah halaman, bahkan di halaman copyright. Secara keseluruhan, buku ini memberi lebih dari sekadar memperkaya wawasan dan kebangsaan, melainkan juga kepuasan batin dan estetika.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Situs terkait:
http://www.rukukineruku.com (untuk sewa buku dan info film Anak Naga Beranak Naga dan Sugiharti Halim)
http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia
http://www.indonesiamedia.com/rubrik/manca/manca99november-sejarah.htm (artikel Sie Hok Tjwan, "Sejarah Keturunan Tionghoa yang Terlupakan")