Wednesday, November 11, 2009
Keep Your Mind Thinking
Yang Bisa Saya Rumuskan Per Hari ini Tentang Menulis Ilmiah
---Alfathri Adlin
Saya ingat bahwa sejak awal belajar menulis, saya sudah memulainya dengan nekad menuliskan ‘analisis sok ilmiah’. Tulisan utuh pertama saya adalah tentang jilbab yang dikaitkan dengan semiotika dan budaya populer. Tulisan tersebut sangat emosional dan buruk sekali. Dengan percaya dirinya saya kirim tulisan itu ke Republika. Hasilnya? Ditolak mutlak. Namun tulisan ini kemudian berevolusi terus-menerus setiap tahun hingga akhirnya memanjang menjadi tiga puluhan halaman dan di muat di Jurnal IIIT. Kemudian saya revisi lagi dan masuk dalam antologi "Menggeledah Hasrat." Hanya itu saja dari tulisan awal saya yang berevolusi terus menerus, tulisan-tulisan awal lainnya pada umumnya sudah hilang entah ke mana. (Lagi pula kalau membacanya lagi pastilah memalukan.)
Selain emosional, tulisan-tulisan saya di fase awal sangatlah divergen. Panjang sekian puluh halaman, penuh kutipan dan saduran, namun tidak ada fokus dan kesatuan tema. Selama bertahun-tahun saya selalu menulis dengan cara seperti itu. Namun, karena bantuan dan masukan dari sekian banyak teman yang cerdas dan berbakat dengan mengedit dan memberi saran tentang bagaimana sebaiknya saya menulis, sedikit demi sedikit mulai ada perbaikan. Ketertarikan terhadap ‘yang sok ilmiah’ itu juga terlihat pada saat menerjemahkan buku di Mizan. Saya lebih memilih buku yang membahas suatu topik ilmiah (Posmodernisme dan Cultural Studies) sekalipun disajikan secara populer. Dan saat ini, saya bekerja sebagai editor yang salah satu tugasnya menangani naskah penulis lokal khusus kajian
humaniora. Nah, dengan sepenggal pengalaman menulis itu, dan beberapa pengamatan pribadi saat mengedit buku penulis lokal, saya mencoba memberanikan diri memaparkan apa yang saya mengerti per hari ini tentang menulis ilmiah.
Terlihat pada judul"tulisan ini bahwa saya memang memplesetkan slogan yang sangat sering dipakai oleh Anwar Holid: Keep Your Hand Moving. Plesetan ini selain buat lucu-lucuan, sebenarnya juga untuk menekankan aspek yang berbeda dari menulis ilmiah. Slogan "keep your hand moving" mengisyaratkan suatu keproduktifan membuat tulisan, bahkan kalau bisa dilakuken setiap hari. Istilah kerennya`prolifik. Apakah menulis ilmiah pun harus dilakukan saban hari (mengikuti nasihat mas Hernowo)?
Jenis tulisan itu bermacam-macam. Ada tulisan personal, sastrawi, ilmiah, dan lain sebagainya. Tulisan personal adalah salah satu tulisan yang bisa dilakukan setiap hari. Namun keprolifikan serupa tidak bisa dituntut dalam menulis ilmiah. Untuk menulis ilmiah yang"baik, orang perlu membaca, merenung" panjang dan menyusun argumen yang sistematik dan tajam. (Belum lagi kalau mau menulis kajian filsafat, untuk memahami buku rujukan yang dipakai sebagai bahan menulis membutuhkan waktu yang tidak sebentar.) Kesemua proses menulis ilmiah itulah yang saya rumuskan menjadi "keep your mind thinking."
Di dunia ilmiah banyak pemikir besar yang sepanjang hidupnya hanya menghasilkan sedikit buku atau tulisan, namun meskipun terbilang tidak prolifik, pemikiran mereka mengubah paradigma pada masa berikutnya. Contoh paling ekstrem ialah Ferdinand de Saussure yang dinobatkan menjadi bapak linguistik modern dan pencetus semiologi (sekarang lebih dikenal dengan istilah semiotika) justru melalui buku yang tidak pernah ditulisnya. Pengantar Linguistik Umum yang monumental serta mengubah wajah filsafat dan linguistik abad ke-20 itu "hanyalah" catatan kuliah dari para murid yang kemudian mereka kumpulkan dan rangkai menjadi sebuah buku legendaris.
Saya ingat sebuah cerita. Suatu ketika Einstein tengah berada di sebuah pesta dan dia melihat seorang fisikawan yang selalu sibuk mencatat dengan membawa notes. Einstein bertanya kepada fisikawan itu tentang kebiasaannya. Sang fisikawan menjelaskan bahwa itu membantunya untuk bisa selalu sigap mencatat setiap lintasan ide yang melintas di benaknya, sehingga bisa dia catat dan tuliskan nantinya. Sang fisikawan menganjurkan Einstein untuk mencobanya juga. Einstein berkata: "Entahlah apa itu berguna buat saya, karena saya hanya punya satu ide sepanjang hidup saya."
Dalam dunia ilmiah, biasanya pemikir besar memang "hanya" memiliki satu ide besar yang kemudian dia kembangkan dan beranak-pinak menjadi sekian buku atau tulisan. Tak jarang dalam perjalanan karirnya, sang pemikir bisa merevisi pemikiran-pemikiran terdahulunya---itulah pentingnya mencantumkan tanggal dalam setiap tulisan agar para kritikus mengetahui dan memahami evolusi pemikiran sang penulis ilmiah tersebut. Jadi, dalam menulis ilmiah, keprolifikan bukanlah hal yang "didewakan." Ketajaman tawaran pemikiran dalam tulisan itulah yang lebih "didewakan."
Kalau Anda ingin menulis yang sastrawi---juga termasuk esai personal---kemampuan memikat melalui "craft" (keahlian merangkai) kata-kata mutlak diperlukan. Sementara dalam dunia menulis ilmiah, "craft" kata-kata untuk membuat tulisan yang memikat bukanlah hal utama.
Contoh paling ekstrem dari hal ini adalah Max Weber. Melalui bukunya yang membahas tentang Kapitalisme dan Etika Protestan, Max Weber menancapkan pengaruhnya yang panjang hingga hari ini dalam dunia sosiologi dan bidang humaniora lainnya. Namun, ada satu hal yang memprihatinkan dari Max Weber: tulisannya buruk sekali. Aneh bukan? Seseorang bisa mempengaruhi dunia pemikiran justru melalui tulisan yang kualitasnya nyaris dodol. Tapi itulah dunia menulis ilmiah.
Kalau boleh saya menganalogikannya, menulis ilmiah itu menyerupai percakapan William Wallace dengan pamannya dalam film Brave Heart. Dalam suatu upacara peringatan para pahlawan perang Skotlandia di malam hari, Wallace kecil tampak tertarik pada pedang pamannya. Mengetahui hal itu, pamannya berkata kepada Wallace kecil: "Kamu bisa membaca?" Wallace menggeleng. Kemudian pamannya berkata: "Pertama-tama aku akan melatih kamu menggunakan ini (sambil sang paman menyentuhkan telunjuknya ke jidat Wallace), setelah itu baru aku akan melatih menggunakan ini (sambil sang paman mengacungkan pedangnya)."
Ya, dalam menulis ilmiah itu yang paling utama ialah Anda melatih kemampuan berpikir analitis-teoretik terlebih dahulu, soal "skill" menulis itu bisa dilatih belakangan. Dan tidak perlu "ngotot" untuk prolifik, dahulukanlah ketajaman analisis-teoretik.[]
Alfathri Adlin bekerja sebagai editor (nonfiksi) Penerbit Jalasutra. Dia bisa dikontak lewat Facebook.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
makasih atas komentar & kunjungan kamu. salam!
pertamax setuju sekali dengan opininya...yang penting dalam menulis adalah mengasah kemampuan otak kita dalam menganalisis sesuatu dan menilainya dari sudut pandang entahsi penulis sendiri maupun orang lain..dan caranya hanya satu,menulis,menulis,dan menulis...soal skill-nya bagus atau tidak terserah pembaca yang menilai..lagipula semakin sering menulis..pasti skill-nya juga akan meningkat...
THINK OUT OF THE BOX
@ daniel: bener banget komentar kamu. cuma, dalam kasus penulis yang keras kepala, mereka kadang-kadang kurang toleran pada pembaca. ada kok jenis penulis seperti ini. mungkin kita hanya perlu maklum. he he he...
Nice posting. Terima kasih
Post a Comment