Monday, March 22, 2010
[Halaman Ganjil]
Lelaki Berumah Tangga Nginap di Hotel
---Anwar Hotel
Suatu hari istriku menginap di rumah seorang kawan. Dia bilang, kamar mandi di rumah itu sama persis dengan kamar mandi di hotel-hotel berbintang. "Bathtub, air panas, shower, luas, harum, selalu kering, toiletries lengkap." Aku mendengarkan betapa dia terkesan dengan fasilitas mewah seperti itu bisa tersedia di sebuah rumah. Rumah seperti apa itu, batinku. Tentu bukan rumah biasa, melainkan rumah yang dirancang sebagai hotel.
Setiap kali punya kesempatan menginap di hotel, aku memang selalu terhenyak. Apalagi bila hotelnya sangat bagus. Kamar mandi rapi, kamar tidur nyaman dan harum, lingkungan bersih, makanan enak, pelayan siap sedia membantu. Semua tinggal pakai. Benar saja, sebab aku memang hanya bisa menginap di hotel kalau dibiayai. Gratis. Tapi setiap kali memikirkan "gratis" itu, aku kembali membatin: berapa banyak mereka keluar uang untuk membiayai kebutuhanku ini? Ternyata ada harganya, dan itu kerap kali mahal. Gratis buatku, tapi kenyataannya tetap mahal. Gratis semu.
Biasanya, menginap di hotel selalu menyenangkan. Entah kenapa, padahal belum tentu kita ke hotel karena hendak liburan. Sebagian orang ke hotel justru untuk bekerja dan menyelesaikan setoran. Mungkin karena faktor tadi: seolah-olah gratis, semua serba tercukupi, dan enak---bersatu dalam paket "service" dan "fasilitas." Sebenarnya tidak semua tercukupi. Contoh soal makan. Hotel hanya menyediakan sarapan. Sisanya harus beli; dan biasanya lebih mahal dari warung yang mencukupi. Karena itu perhatikan, pelayan hotel biasanya malah kedapatan makan di warung nasi murah. Sekarang kita bisa dengan santai menikmati fasilitas wifi di hotel, dulu kalau mau menelepon biayanya minta ampun. Begitu juga dengan "minibar" yang menjebak. Murahnya tarif telepon genggam mungkin membuat banyak hotel menghapus layanan telepon ke luar hotel.
Dulu, aku pernah menginap di Hotel Salak, Bogor, berada persis di depan Istana Bogor. Ini merupakan salah satu hotel paling mengesankan buatku. Konon dahulu Iwan Simatupang hidup lama di hotel ini. Tentu asyik membayangkan penulis tinggal di sebuah kamar hotel yang nyaman untuk menghasilkan karya berkelas. Sekelas dengan bintangnya. Rupanya pihak hotel mengira aku termasuk orang yang bisa menginap lagi di sana suatu ketika. Karena itu aku rutin menerima email tawaran menarik dari marketing communication mereka, baik untuk paket meeting, week end, maupun family. Dalam hati aku tertawa. Siapa yang mau membiayai aku ke sana lagi? Dalam kesempatan apa aku bisa ke sana lagi? Walhasil email itu terkirim pada orang dengan demografi yang salah.
Begitu juga pada Maret 2010 selama tiga hari di Jogja kami sekeluarga menginap di hotel kuno kecil yang apik. "Good choice," kata sejumlah orang. Mengesankan juga. Di hotel ini kita bisa dengan mudah melihat perempuan-perempuan berpakaian seksi, atau kala pagi hari mereka ke luar kamar hanya mengenakan daster sebatas pantat, duduk-duduk sambil ngobrol dan sarapan. Aku hanya berani melirik mereka sekejap, takut ketahuan.
Namun entah kenapa suatu hari istri dan anak-anakku aku dapati makan sate di tenda lusuh yang ada di depan hotel itu. Mungkin justru itu tempat makan para pelayannya. Dalam hati aku heran, kenapa istriku milih makan di tempat biasa itu, tidak pesan di hotel saja. Aku berprasangka mungkin dia khawatir uangnya bisa terlalu cepat menyusut. Aku sendiri setelah menuntaskan kerja bersama sejumlah orang makan di sebuah restoran besar dekat-dekat dari sana. Dan entah kenapa kali ini istri dan anak-anakku menyisakan begitu banyak sate, lantas cepat-cepat kembali ke kamar. Tidak biasa-biasanya. Kalau kami beli sate di warung biasa di dekat rumah kami, biasanya tandas. Dalam hati aku dongkol karena tidak bisa menghabiskan sisa sate itu karena sudah kekenyangan. Akhirnya aku membayar dengan sedikit sia-sia. Sebagian uang terbuang percuma dan sisa sate itu kemungkinan besar dibuang begitu saja. Tapi apa baik-baik saja, hanya karena menganggap nilai uangnya sedikit? Sedikit itu berapa? Di kamar, istriku tanya, "Gimana rasanya sate tadi? Enak menurut kamu?" "Ya alhamdulillah." Aku sempat mencicipi dua tusuk punya putriku.
Esoknya, sebelum pulang, anak sulung kami kedapatan ngompol di kasur. Itu membuat kamarnya jadi pesing. Aku jengkel karena sudah mengingatkannya agar pakai diaper sebelum tidur, dan dia selalu jawab "iya, iya; tunggu-tunggu; sebentar lagi-sebentar lagi", sampai akhirnya aku tewas kecapaian sampai pukul 05:46. Dia rupanya ketiduran juga, dan diaper masih tercecer di lantai. Walah. Alangkah merepotkan dan dia pun malu. Kami memaksa agar anak sulung ini minta maaf pada pihak hotel. Penjaga dengan ramah bilang, "Ah, tidak apa-apa. Bisa kami bereskan kok." Tentu saja, meski risiko ompol itu mungkin lebih buruk dari prakiraan layanan mereka biasanya. Bisa jadi sebenarnya mereka jengkel karena tahu bahwa kami sekeluarga menginap di situ hanya karena dibayari. Masih untung tidak dimaki sebagai tamu tak tahu diri. Sudah dapat gratisan, ngasih ompol lagi![]
Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
replica bags wholesale india gucci replica handbags p9d78j0p07 replica bags joy look at this site z4p53t4q63 replica bags from china best replica ysl bags replica bags read this post here n1d78d5b44 replica goyard bags
Post a Comment