Monday, May 10, 2010


[HALAMAN GANJIL]

Bekerja Keras Sampai Mati
---Anwar Holid


When work is a pleasure, life is a joy! When work is a duty, life is slavery.
---Maxim Gorky


Pagi-pagi sekitar pukul 06.35 tiap kali sempat mengantar anak menunggu jemputan sekolahnya, aku antara lain menyaksikan pemandangan ini: penjual bandros (kue pancong) sudah duduk di tengah-tengah pikulannya, menyiapkan dagangan di pinggir mulut gang rumahku. Di sampingnya ada penjual lontong kare. Penjual nasi uduk dan nasi kuning mendorong gerobak ke pinggir jalan, siap-siap menjual masakan yang kata dia sudah disiapkan sejak 03.00 dini hari. Tukang gorengan mulai membersihkan kios dan menaruh adonan masakannya. Tukang sampah memilih-milih barang yang kira-kira masih punya nilai jual. Sementara tukang ojek sudah pada mulai ngumpul menunggu pelanggan sambil bersedekap menahan dingin, baik dengan minum kopi dan nonton televisi yang mereka simpan di pangkalan. Di pinggir-pinggir jalan sebagian orang juga mulai berangkat kerja, baik mengenakan seragam kaku seperti buruh pabrik atau PNS atau baju-baju segar bagi perempuan, baik yang terbuka maupun berjilbab. Angkot sudah berseliweran, mobil-mobil mulai melaju. Orang-orang sudah mandi, bergegas menuju tempat produksi untuk mencari rezeki. Yang belum buka ialah beberapa warung, tempat foto kopi, juga penjual air isi ulang. Sementara tukang bubur ayam sudah dikerubuti banyak orang dari tadi, terutama mahasiswa.

Setiap kali memandangi tontonan seperti itu, aku membatin: ternyata banyak sekali orang yang sudah siap-siap kerja keras. Di antara mereka bahkan ada yang sudah benar-benar membanting tulang sejak sebelum subuh. Sementara pekerja 9 to 5 biasanya baru bangun setelah subuh. Aku sendiri pada waktu seperti itu biasanya (1) belum mandi, (2) sudah terbangun sejak dini hari, (3) belum siap kembali bekerja untuk mencari nafkah. Tapi tidak selalu begitu. Ada kala aku benar-benar baru bangun setelah subuh, setelah kepayahan menahan kantuk ketika bangun dini hari, sampai akhirnya menyerah oleh dingin pagi dan kembali tewas tertidur lagi. Memang susah melawan alam. Malam sampai pagi idealnya untuk bobok, bukan buat kerja atau begadang. Sedangkan siang merupakan waktu terbaik untuk bekerja, sebab biasanya kita juga terjaga, segar, bersemangat.

Sehabis mengantar anak, aktivitas paling biasa yang aku lakukan ialah mencuci piring dan perabot masak, dan kalau lihat rice cooker kosong, aku segera membuat nasi. Kalau lagi eling, aku tambah dengan menyapu. Tapi jujur itu sangat jarang. Aku bahkan suka keberatan menyiram tanaman peliharaan istriku, sebab menurutku itu tanggung jawab dia. Sehabis di dapur aku baru berusaha segera mandi. Kadang-kadang sekalian dengan merendamkan cucian. Tapi kalau keadaan lagi terasa menekan, itu juga aku abaikan. Begitu selesai mandi, ganti baju buat kerja, aku lihat jam di hp, waktu menunjukkan pukul 08.45, atau karena ditambah ini-itu, jam digital menunjukkan sudah lebih dari pukul 09.00

"Waduh, sudah jam segitu lagi euy..." batinku. Aku merasa kurang sigap untuk segera kembali bekerja mencari nafkah.

Pola kerjaku memang cukup berubah setelah jadi pekerja bayaran. Dulu waktu masih ngantor, aku juga sudah harus siap-siap sejak setelah subuh. Kantorku dulu masuk pukul 07. Sekarang aku tidak seperti itu. Tapi poinnya bukan itu, melainkan bagaimana kita tetap harus bekerja keras atau berusaha sebaik-baiknya, untuk menjadi orang persis slogan basi ini: TO BE THE BEST. Kini, aku sering menemani anak-anakku tidur awal, dengan harapan bisa sekalian istirahat dan pada dini hari terbangun, atau sengaja pasang alarm. Tapi kejadiannya suka konyol dan menyedihkan. Betul aku bangun cepat setelah tidur sekitar empat jam, tapi bukannya segera pemanasan atau siap-siap mulai kerja, seringnya aku malah kedinginan, tetap kalah oleh rasa kantuk, dan akhirnya terbaring sambil memasang selimut lebih rapat. Walhasil, jam tidurku jadi terlalu panjang.

Kita suka baca berita seorang kiayi hanya butuh empat jam sehari buat seluruh aktivitasnya. Seorang kawanku yang jadi direktur perusahaan menurut sopirnya biasa pulang pukul 12 malam, setelah berangkat dari rumah sekitar pukul 09. Aku salut dengan semangat kerja kerasnya untuk mencapai sukses, meski dia menjawab santai: "Bukan untuk sukses, inginnya sih untuk aktualisasi." Mungkin harus begitu orang bekerja keras, biar pencapaian mengagumkan dan membanggakan.

Aku merasa masih kurang bekerja keras, meskipun beberapa kawanku bilang, "Santai saja, hidup mah buat dinikmati." Aku suka ingin menikmati hidup secara maksimal, tapi kata orang itu menunjukkan aku malas, mudah terpecah konsentrasi atau impulsif. Apa?! Kenapa orang bisa bilang seenaknya buat menonjok lawan bicara?

Karena kerja di rumah, aku bisa dipanggil untuk apa saja atau pintu kamar kerjaku diketuk terus-terusan, sampai akhirnya dibuka. Inilah kenapa aku bilang kerja di rumah dan kantor itu sama saja. Tantangannya khas dan harus dihadapi dengan baik. Di rumah, tantangannya ialah orang dan lingkungan terdekat. Aku suka merasa terganggu kalau dipanggil-panggil atau diminta ini-itu. Bisa jadi aku baru siap-siap duduk untuk mulai kerja, atau berusaha mengumpulkan bahan kerja. Aku bilang dengan nada keras, "Gimana sih, aku baru saja mau duduk, sudah disela lagi. Orang lain mah sudah sejak tadi pagi kerja. Bayangkan kalau kita enggak punya penghasilan." Ucapan itu terlalu kaku, sebab toh kadang-kadang aku merasa baik-baik saja bila disela oleh baca info atau pilih-pilih mp3. Bukankah itu juga bisa mengurangi produktivitas?

Mungkin aku terlalu khawatir dan terdesak ancaman. Atau sebenarnya bingung sebab sulit secara fleksibel menentukan kerja keras itu apa atau gagal memastikan sebenarnya visi besarku sebagai tentara bayaran itu apa. Apa aku semata-mata melayani para pemberi order dengan memperlihatkan kinerja hebat atau harus juga memikirkan aspek yang cukup jauh, katakanlah pelanggan hasil kerjaku itu.

Aku tahu kerja keras tidak identik dengan banting tulang atau kerja fisik habis-habisan, tapi juga yakin kerja keras sering berhubungan signifikan dengan penghasilan ataupun iman, meski itu relatif dan dipengaruhi faktor lain. Ada rahasia kenapa seseorang bisa begitu sukses berkat kerja keras, namun orang lain mendapat sedikit saja. Bisa jadi dia menyembunyikan sesuatu atau bisa saja dia cerita apa pun untuk mengagung-agungkan kerja keras---baik atas nama berkah Tuhan ataupun tiada lelah bersusah payah. Sama halnya aku cukup yakin bahwa kemiskinan nyaris tidak terkait dengan keimanan.  Kata pakar manajemen, sukses dan kerja keras terkait dengan budaya dan dukungan orang sekitar. Menurut Malcolm Gladwell, kerja keras dan sukses terutama dipengaruhi oleh "hukum 10.000 jam" (berlangsung sekitar sepuluh tahunan), ditambah faktor kondisi (status dan budaya) keluarga, kawan sebaya, atau klik-klik yang menjaga orang bisa tambah sukses.

Memperhatikan diri sendiri, aku merasa kurang bekerja lebih keras dan itu kerap membuat aku merasa masih "begini-begini saja." Sebagian orang beranggapan ini terkait dengan rasa haus akan kesuksesan, penghasilan, harta benda, terus-menerus merasa kurang dan miskin. Aku sulit mengiyakan anggapan ini sebab menurutku ada standar yang sebaiknya terpenuhi, bila tidak diri kita sendiri yang akan kepayahan dan hidup jadi lebih merepotkan. Kecuali kalau kita mau sederhana, menyetop kebutuhan, mengubur keinginan terhadap kepemilikan dalam arti kere dan papa, tanpa apa-apa serta harta benda---bukan sederhana yang 'tricky.'

Jelas standar tiap orang beda-beda, tapi benang merahnya ada, yaitu orang harus bekerja karena ada alasan mulia di sana. Setiap orang pun punya definisi, keyakinan, nilai, maupun komentar khas terhadap kerja keras. Kadang-kadang kerja keras bisa dimotivasi, meski seorang manajer SDM bilang training itu hanya berpengaruh sedikit terhadap kesadaran seseorang akan kerja keras. Idealnya niat kerja keras itu muncul di dalam diri sendiri, tidak dibangkitkan orang lain. Tapi harus diakui ada kala seseorang bisa bangkit etos kerja kerasnya karena didorong orang lain, katakanlah manajer, istri, anak, ibu, bahkan oleh persaingan dan dendam. Kita sering baca karyawan terpacu motivasi bekerja keras oleh direktur atau semangat yang dibangun budaya perusahaan. Seorang pemain bola veteran yang mungkin putus bisa saja cemerlang setelah bertemu dengan manajer hebat. Tapi ada kala seorang direktur juga kagum pada pengabdian karyawan rendahannya, dan itu bisa membuatnya bekerja tambah keras---padahal hasil mereka jelas beda.

Kadar kerja keras juga lain-lain, bisa jadi berlumur dengan pengabdian, tuntutan, aksi sok pamer, bahkan berisiko cedera. Orang bisa kerja keras karena ada iming-iming bonus berlipat atau janji jalur jabatan, fasilitas, dan kekuasaan di masa depan, ingin membuktikan pada orang lain bahwa dirinya pun bisa menunjukkan performa hebat, mampu, sulit diremehkan. Seorang pemain bola bisa bekerja demikian keras untuk kemenangan tim maupun kehebatan dirinya, sampai tak peduli dirinya sakit, tahu-tahu dalam pertandingan yang menentukan dia cedera atau bentrokan dengan lawan begitu kasar sampai membuat kakinya patah atau lututnya copot. Seorang tukang bangunan bisa bekerja demikian keras, sampai dia celaka, dan setelah cacat permanen ternyata kerjanya tak dilindungi asuransi jiwa atau kesehatan. Seorang suami bisa mengaku bekerja keras untuk kehidupan keluarga, istri, dan anak sampai tahu-tahu organ tubuhnya rusak atau ternyata pekerjaannya berlipatan dengan makelar kasus. Suami lain bisa mengaku bekerja keras, tapi ternyata istri yang ditinggal di rumah tetap kekurangan dan tidak mendapat jatah rupiah, sampai dia perlu sms teman-temannya berutang untuk membiayai keperluan anak-anaknya, sebab uang yang didapat suami habis buat entertainment atau mentraktir selingkuhan. Atau kamu bisa saja kesetanan membanting tulang, tapi di akhir ternyata sadar penghasilanmu begitu-begitu saja. Bisa jadi kamu nasibnya seperti aku. Itu contoh bahwa hidup itu bisa-bisa saja. Kita hanya dituntut sabar. Dalam hal seperti ini, kita hanya perlu menghikmati pengalaman Ayyub (Job). Meskipun sangat berat, tetap hidupnya dia jalani dengan tabah. Sebaliknya, kamu bisa celaka kapan saja selagi kerja keras dan setelah itu dicampakkan keadaan atau karirmu tamat; soal nilai dan kadar kemuliaannya hanya kamu sendiri yang tahu. Orang lain hanya bisa berempati kalau tidak berprasangka. Bisa jadi kerja keras itu tak punya bumbu sensasi, sebab yang sensasional biasanya juga berlebihan. Semua orang bekerja keras dan merasa berhak mendapat jatah terbaiknya.

Miftah Faridl (1980) berpendapat kerja keras penting sebab itu merupakan faktor utama manusia dicintai Tuhan. Tuhan mencintai manusia dengan ciri berikut ini:
1/ Punya pekerjaan untuk hidupnya.
2/ Pandai memprioritaskan pekerjaan yang penting dan tinggi nilainya.
3/ Melakukan sesuatu dengan rajin dan kontinu.
4/ Memiliki keterampilan.
5/ Banyak manfaat bagi orang lain.

Itu semua ciri bekerja keras. Ia tidak terkait dengan posisi, jabatan, penghasilan, atau anggapan seseorang. Apa pun kondisi dan status diri dan sosial kita, kita perlu bekerja keras. Untuk mendapatkan kejayaan di dunia, kamu butuh kerja keras, apalagi bila pas-pasan. Bekerja keras demi mencari nafkah itu kebaikan, dan mencarinya pun harus dengan jalan yang baik, bahkan di titik tertentu merupakan penghapus dosa, setara berjuang di jalan kebenaran. Demikian etosnya. Alangkah spiritual nilainya. Seorang Muslim (pemeluk agama Islam) bahkan boleh meninggalkan shalat tahajud bila sangat sibuk mencari harta. Padahal nilai tahajud itu hanya setingkat di bawah lima shalat wajib. Artinya, kerja keras itu setara tahajud; sebab untuk bisa melaksanakan tahajud itu cukup berat. Agama-agama lain mengajarkan nilai mulia kerja keras, punya etika kerja, sebab Tuhan benci para pemalas. Kenapa? Karena Dia sendiri aktif mencipta di mana-mana. Tapi kalau kamu bekerja keras sampai tega menelikung orang lain, mencelakai orang, membohongi diri sendiri, mencarinya lewat judi, menggandakan uang, minta jatah preman, atau korupsi, atau berbuat jahat, itu artinya melampaui batas, membuat kerja keras jadi kotor, sebab bisa jadi pemicunya ialah naluri manusia yang senang pada harta atau suka dipuja-puja.

Sekarang istilah "kerja keras" itu bulukan, sebab berkonotasi banting tulang, peluh berleleran, tapi penghasilan tetap kurang. Istilah yang kini lebih disukai ialah "work smart" (kerja cerdas). Seperti apa itu work smart? Anda harus cari jawabannya di buku-buku atau tips kerja efektif-efisien. Kalau tidak, tanyalah kepada ahli sumberdaya manusia yang bisa Anda percaya. Menurut seorang kawan, work smart itu artinya bisa menerapkan SIMPLE WORK HIGH INCOME. Work smart ialah kerja dengan praktik terbaik dan memanfaatkan talent management. Aduh, bukan kapasitasku bicara soal itu.

patah kaki akibat bekerja terlalu keras

Jujur, aku masih jauh dari work smart. Jangankan work smart, aku merasa masih kurang maksimal menggandakan kemampuan, kadang-kadang merasa bodoh dan harus belajar lebih serius, berlatih dan disiplin lebih ketat. Sebab itu tadi: beberapa kerjaku tercecer, utang-utang belum terbayar, prioritasnya lebih digerakkan uang, bukan oleh visi ke depan, sebab mewujudkan visi juga berat. Tenggat molor, hanya semangat di awal-awal, gagal mengatur waktu dengan baik. Takut ambil risiko---artinya: takut menyabet semua tawaran yang datang, apalagi yang tenggatnya mepet. Rasanya aku masih serabutan, baru sedikit mempraktikkan ajaran Paul Arden: Kerjakan saja, perbaiki sambil jalan---meski hasilnya bisa dipertanyakan. Kalau tidak percaya, tanyalah pada orang yang kecewa dengan performa kerjaku, pihak yang kecewa karena gagal mendapat sesuai harapan setelah memberi order kepadaku.

Tentu, aku juga berniat kerja cerdas, menajamkan kemampuan, penampilan meyakinkan dan tidak ditawar-tawar, berpenghasilan milyaran. Tapi ternyata aku masih seorang tentara bayaran yang kadang-kadang kuatir karirku mandek, takut lama-lama paranoid memikirkan kesuksesan, sementara pedang tumpul dan penghasilan gagal memenuhi kebutuhan. Hukum "10.000 jam" bisa jadi cuma khayalan. Ternyata bekerja keras sekalian belajar itu berat. Aku ingin meningkatkan kinerja, lebih profesional, tepat waktu, tapi mewujudkannya penuh tantangan. Mau cari tambahan ilmu biar lebih lihai, biayanya mahal. Tapi belajar sendiri juga kadang-kadang bingung memastikan sebenarnya aku sudah sampai mana? Tambah bagus atau stagnan? Tahu-tahu ubanku berjibun sementara kerja belum kelar, dan klien menunggu tidak sabar.

Pernah sewaktu semingguan tertekan mengejar deadline, aku minta jeda mengerjakan proyek lain yang lebih segera mendatangkan uang untuk keperluan bulanan. Aku kirim pesan pada klien: Saya hari ini minta izin jeda satu hari mau mengerjakan agenda lain, yaitu menyelesaikan editan konten sebuah majalah yang juga jadi tanggung jawab saya. Sebab kalau tidak, saya sekeluarga bulan ini terancam tidak punya income. Punten pisan.

Wah, jangan-jangan aku memang malas bekerja SEGITU KERASNYA.[]

Anwar Holid mencari nafkah sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

1 comment:

Anonymous said...

Itu semua ciri bekerja keras. Ia tidak terkait dengan posisi, jabatan, penghasilan, atau anggapan seseorang. Apa pun kondisi dan status diri dan sosial kita, kita perlu bekerja keras. Untuk mendapatkan kejayaan di dunia, kamu butuh kerja keras, apalagi bila pas-pasan. Bekerja keras demi mencari nafkah itu kebaikan,
stitched designer pakistani suits
cross stitch pakistani suits