Monday, June 21, 2010


Mereka Sudah Dewasa dan Kita Hanya Beruntung
---Anwar Holid

Dulu seorang kenalanku jadi sorotan di komunitasnya. Dia seorang suami beranak tiga. Kawan-kawan di komunitasnya mensinyalir bahwa dia berselingkuh dengan seorang gadis. Kawan-kawannya tampak yakin bahwa perselingkuhan itu sudah dibarengi dengan zina. Seseorang pernah berkali-kali melihat pasangan ini sering ada di kamar berlama-lama, atau kawan sekantornya akhirnya memergoki bahwa hp mereka penuh dengan sms mesra a la chatting cybersex. Setelah terbongkar, kawan-kawan mereka ribut, bahkan konon sampai menjatuhkan sanksi sosial dan etika kepada mereka berdua, yaitu mengasingkan kedua orang ini dari pergaulan komunitas sekaligus mengawasinya.

Pada dasarnya aku kurang peduli dengan hal semacam itu, jadi aku melewatkannya. Aku enggak selera. Aku memang dengar, tapi aku diam saja. Sampai suatu hari seorang kawan lain membicarakan perselingkuhan itu kepadaku.
"Kalau begitu kenapa mereka bisa sampai selingkuh?" tanyaku setelah didahului ini-itu.
"Katanya dia enggak bahagia dengan istri dan perkawinannya. Sementara cewek ini suka dengan dia sejak lama."
"Cocok dong kalau begitu," komentarku ringan.
"Mereka itu sebenarnya saling jatuh cinta."
"Apalagi kalau begitu. Terus apa yang salah dengan jatuh cinta? Kan boleh?"
"Ah, kamu ini. Jodohnya bukan dia. Lagian, dia kan sudah punya istri dan anak."
"Memang apa yang bisa menghalangi orang dari jatuh cinta?"
"Tapi selingkuh itu dosa!"
Huahahaha... aku ngakak habis-habisan. "Katanya cinta itu jorok, bisa terjadi pada siapapun dan di manapun. Budaya dan agama juga memberi kesempatan buat laki-laki punya istri lebih dari satu. Memang jatuh cinta bakal ciut sama dosa? Kan enggak. Gimana orang bisa jatuh cinta kalau enggak ada kesempatan untuk memupuknya?"
"Ah, kamu memang enggak peduli sama dosa."
"Aduh, mereka itu kan sudah pada dewasa. Sudah bisa bertanggung jawab pada pilihan perbuatan masing-masing. Mereka siap kok dengan risikonya. Katanya orang dewasa boleh berbuat apa saja."
"Ah dasar kamu juga ingin kayak dia!"

Perkawinan, rumah tangga, dan cinta itu merupakan hal rumit sekaligus sederhana. Orang dewasa kerap menempatkan perkawinan atau hubungan seksual pada posisi sakral, membebaninya dengan berbagai anggapan dan konsep berat, padahal perkawinan bisa turun hanya jadi persoalan sama-sama suka dan persetubuhan. Kalau sudah begitu, dosa tak lagi jadi urusan. Orang bisa menikah dengan alasan apa saja dan mungkin bisa jatuh cinta secara tak terduga pada siapa saja. Kalau kamu rockstar, kamu bisa mencecerkan sperma pada banyak wanita. Ah, enggak perlu jadi rockstar. Tinggal membulatkan keberanian saja. Kalau kita perhatikan rubrik konsultasi perkawinan (rumah tangga) di berbagai media, segala persoalan hidup bisa mempengaruhi rumah tangga. Mulai dari soal penghasilan, keyakinan, hubungan seksual, relasi perilaku suami-istri, sampai pandangan terhadap masa depan dan detail-detail kehidupan. Semua menguras energi dan emosi; bisa menguras biaya dan air mata. Suami istri bisa bermasalah karena apa saja, termasuk mengenai urusan yang kabur. Misalnya pada awal Juni ini aku membaca berita di Yahoo! bahwa pasangan Al & Tipper Gore memutuskan bercerai setelah menikah selama 40 tahun.

Al Gore adalah mantan Wakil Presiden Amerika Serikat di masa pemerintahan Bill Clinton. Dia penerima Hadiah Nobel Perdamaian yang sukses menggalakkan kampanye kesadaran terhadap lingkungan hidup lewat film "An Inconvenient Truth" dan secara signifikan mampu memopulerkan istilah "global warming." Sementara gebrakan Tipper Gore sebagai ibu wakil presiden ialah ketika sukses menggolkan petisi Parents' Music Resource Center (PMRC) agar melakukan rating pengawasan terhadap isi rekaman dalam industri musik, terutama terhadap lirik lagu kasar mengenai masalah seksual, pemujaan terhadap penggunaan narkoba, satanisme, atau segala bentuk perlawanan terhadap otoritas mapan. Lembaga inilah yang berhak memberi stempel sebuah album bisa dilabeli stiker 'Parental Advisory: Explicit Lyrics/Contents' yang kontroversial.

Kenapa pasangan serasi ini akhirnya bubar? Alasan utamanya kabur. Juru bicara mengatakan bahwa mereka berdua pada tahun-tahun terakhir ini sering hidup terpisah karena aktivitas masing-masing. Jadi kayaknya memang lebih baik pisah. Benar, pasangan Al & Tipper Gore boleh dibilang mesra, serasi, dan berkali-kali sukses menghadapi krisis keluarga, misalnya ketika salah seorang anaknya direhabilitasi dari ketergantungan narkoba. Pasangan ini berbanding terbalik dengan Bill & Hillary Clinton yang kerap guncang karena Bill Clinton sering selingkuh. Al Gore sejauh ini rasanya tidak pernah diberitakan selingkuh.

Aku berpikir sederhana: suami-istri ini sudah tua (lebih dari dewasa), sementara anak-anaknya juga pada dewasa; pastilah mereka punya pilihan terbaik sendiri-sendiri. Enggak usah diceramahi lagi. Kalau sudah tidak saling rela terhadap pasangan, lebih baik bubar saja. Jalan sendiri-sendiri, siapa tahu nanti ada gantinya. Atau suatu saat rujuk lagi. Kesempatan lain pasti terbuka. Daripada bersatu tapi tersiksa.

Apa arti jadi manusia dewasa? Artinya ia benar-benar tumbuh berkembang dan matang. Dia sadar dengan pilihannya. Tahu apa yang diinginkannya. Perlukah kita khawatir dengan orang dewasa? Tidak. Tidak perlu manusia dewasa dinasihati ini-itu, karena belum tentu mempan dan ia punya ribuan pilihan lain. Kalau ada buah matang, kita tinggal memakannya. Begitu juga dengan manusia. Orang dewasa itu sempurna. Dia sempurna dengan kelengkapannya. Dia boleh berbuat apa saja. Dia dipersilakan melakukan apa pun. Dia bisa bertindak apa saja. Dia hanya terbatas oleh kekurangan-kekurangannya. Dia hanya perlu bertanggung jawab atas perbuatan sendiri, baik pada diri sendiri atau pada nilai yang dia yakini. Orang lain hanya perlu mengamini atau memaklumi kalau prihatin. Kenapa, sebab sebagai sesama manusia dewasa, pada dasarnya kita ingin melakukan kegiatan tanpa halangan sedikit pun. Manusia dewasa ingin bebas mutlak; penghalangnya hanya orang lain, aturan, dan kefanaan.

Maka begitulah kita saksikan betapa perilaku manusia dewasa kerap mengejutkan. Fenomenanya ada-ada saja. Kadang kala di luar dugaan dan abnormal. Padahal sebenarnya itu ditujukan untuk memahami bahwa yang normal itu begitu luas dan relatif. Sesuatu yang dianggap abnormal bisa menjadi normal setelah terus-menerus dibiasakan oleh sistem tertentu atau seseorang. Tidak ada patokan standar untuk menjalani kehidupan. Betapa dengan menjadi manusia, ia bisa bertualang melakukan hal-hal mengejutkan. Kebiasaan didobrak, etika dilanggar, pakem dibengkokkan, otoritas dipertanyakan, digugat, dilecehkan, ditendang-tendang. Yang sakral dilawan. Aturan diterabas. Mereka yang percaya pada aturan terlalu mudah tersinggung bahwa dunia bakal runtuh oleh berbagai perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Tapi satu hal, sebagai sekumpulan makhluk sosial dan organisasional, manusia memang memiliki aturan, ketentuan, dan hukum. Hampir seluruh aspek manusia merupakan negosiasi antara kebebasan, peraturan, dan celah-celah untuk mendobrak, mungkin melakukan inovasi, atau bersandar pada preferensi tertentu yang dianggap bagus. Kalau bukan itu, tambahannya ialah keajaiban yang kadang-kadang terjadi meskipun sulit dimengerti.

Dengan kebebasannya, manusia boleh makan manusia lain, tapi orang akan menamakannya kanibal. Orang boleh mengambil milik siapapun, tapi hukum akan menyebutnya mencuri. Orang boleh bersetubuh dengan siapapun, tapi kalau bukan dengan pasangan resminya, itu disebut zina. Orang boleh mengambil nyawa orang lain, yang disebut membunuh, atau baru terjadi dalam situasi perang. Perempuan boleh menggugurkan janin yang dia tolak, termasuk lewat aborsi. Dalam keadaan normal, hal-hal seperti itu kemungkinan dilarang terjadi. Tinggal manusia berani melakukan atau tidak. Mari kita lihat contohnya di Amerika Serikat. Pornografi dan perzinaan dilegalisasi untuk kemudian menjadi industri yang menguntungkan negara, mendatangkan pajak, devisa, melahirkan kesejahteraan dan popularitas, bahkan ada penghargaannya. Sementara di Indonesia pelaku pornografi dan zina bisa dihujat dan dituding meruntuhkan moral. Padahal pelaku itu awalnya berbuat untuk bersenang-senang, berekreasi, tak ada dalam pikiran mereka soal moral dan tindakan asusila. Tapi begitulah, massa bisa menggunakan aturan untuk menyeret mereka jadi pesakitan---bahkan sebelum masuk pengadilan. Kita ingat selingkuh atau zina sejumlah orang, baik yang sudah terkemuka maupun malah jadi terkemuka setelah berzina, semua dilakukan karena mereka sudah dewasa dan bersenang-senang dengan kebebasannya. Kita hanya beruntung masih tertutupi aib dan skandalnya. Belum terbongkar kebejatan moralnya. Kemaluannya belum ditelanjangi. Jadi, berhentilah menghujat, apalagi sok mau menegakkan moral. Malulah pada diri sendiri. Mending menikmati aksi mereka, kalau mau dan tahan. Habis jelek begitu kualitas audio-visualnya. Enggak ada menariknya dan gagal membangkitkan selera. Atau kalau mau introspeksi: ayo segera hancurkan barang bukti yang bisa menjebak atau mencelakakan kita sendiri nantinya.[]6/14/2010

Anwar Holid, berusaha baik karena takut.

Ini bagian dari [halaman ganjil].

2 comments:

Andy MSE said...

setelah membaca ini, di satu sisi aku menyesal beristri lebih dari satu... di sisi lain malah jadi pengin kawin lagi... hahaha
*maap, jarang komentar, tapi aku tetep silent reader kok*

Anwar Holid said...

makasih atas komentarnya mas andy! yang penting mah perkawinan mas berjalan baik-baik saja kan!?