Wednesday, July 28, 2010

Perjalanan yang Penuh Muatan
---Anwar Holid

BANDUNG - Apa perjalanan bisa mengubah seseorang? Apa yang sebenarnya berubah dalam dirinya? Apa setiap perjalanan selalu menggetarkan? Rasa penasaran sejenis ini muncul dari para hadirin di acara publisitas buku Jingga (GPU, 2010) karya Marina S. Kusumawardhani di Potluck Coffee Bar & Library, Bandung pada Kamis, 22 Juli 2010. Jingga merupakan buku keduanya setelah Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1000 Dolar (GPU, 2008) yang sangat sukses, padahal sebenarnya perjalanan ke kedua negara tetangga kita itu dia lakukan lebih awal, yaitu ketika masih jadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung, antara tahun 2003 - 2004. Perjalanan ke India dan Thailand itu dia sebut sebagai perjalanan untuk mencari "surga di bumi"---tampaknya lebih menjadi renungan spiritual daripada sekadar pergi ke tempat eksotik yang dianggap memiliki daya tarik mistik.

Obrolan yang dihadiri puluhan backpacker, kawan sealma mater, juga teman-teman cybernya itu berlangsung sederhana, tanpa basa-basi. Ini merupakan diskusi kedua setelah launching di Kinokuniya, Jakarta, awal Juli lalu. Marina mengaku buku itu lahir dari upaya penemuan diri, pencarian makna, dan perpisahan. Dorongan lebih kuat lagi muncul setelah dua kawannya meninggal karena "krisis eksistensial." Mengapa India dan Thailand? Jawaban sederhananya waktu itu dia terinspirasi oleh perjalanan band Kula Shaker ke India. Band dari Inggris ini pernah sempat melahirkan hit "Govinda" yang meleburkan unsur musik India dan alternative rock. Marina lebih dari sekadar histeria terhadap band ini, melainkan berusaha menemukan arti dari lirik-lirik mereka.

"Imajinasiku ketika pergi ke kedua negara itu ialah dominan jingga," katanya. Mulai dari pakaian para bhiksu, sinar matahari, suasana alamnya. Itulah yang menyatukan kedua negara tersebut. Tapi ternyata, di ujungnya perjalanan itu semua bergantung pada suasana batin pelakunya sendiri. Kata dia, "Mau seindah apa pun, yang fisikal itu akhirnya memudar." Jadi ada sesuatu yang lebih dalam dari perjalanan, misalnya belajar soal adaptasi, keterbukaan, serta menelusuri jalan kebahagiaan. Dia mengisahkan ketika berada di Kashmir, sebuah wilayah konflik di bagian utara India yang berbatasan dengan Afghanistan dan Cina. Waktu itu di sana sedang kuat-kuatnya solidaritas agama, terutama Hindu dan Islam, padahal itulah salah satu sumber konflik. Dia merenung, kalau begitu apa arti agama? Kenapa pada tahap tertentu ia malah menjadi sumber kehancuran, apakah ia cuma topeng dan identitas yang bisa memisahkan golongan manusia? Atau ia menjadi jalan manusia untuk mencapai Tuhan? Marina berpendapat bahwa umat beragama itu pada dasarnya sedang berjalan menuju Tuhan. "Cuma persoalannya, apa perjalanan itu sampai ke sana atau tidak," demikian tandasnya. Mungkin itu sebabnya Wimar Witoelar berkomentar bahwa Jingga "menjadi santapan mental yang jauh lebih luas." Bagi Wimar, buku ini memberi kenikmatan membaca sekaligus menambah perlengkapan orang mengarungi kehidupan multibudaya---yang rentan hilang dalam masyarakat karena fanatisme golongan, daerah, suku, dan agama.


Yang membuat para backpacker bertanya-tanya dengan nada takjub ialah pengalaman Marina tentang budget dan menemukan muatan dari perjalanan tersebut. Karena tahu setiap perjalanan butuh biaya, sebagian backpacker mengaku sudah berusaha sangat hemat, tapi menurut mereka yang dilakukan Marina ternyata super-duper hemat. Apa dia mengorbankan kenyamanan atau kemewahan lebih dari segala-galanya? Menurut Marina, itu tergantung definisi masing-masing orang terhadap yang dijalani atau dinilainya. Dia bahkan baru kenal istilah "backpacker" ketika berada di Thailand dan sadar ternyata membentuk komunitas pertemanan yang amat besar di dunia ini.

"Perjalanan itu semakin spontan, semakin terbuka pada banyak hal, akan semakin bagus dan seru," katanya. Marina juga berpendapat perjalanan ke suatu tempat itu jauh sangat bermakna dan nyaman bila kita kenal dengan orang setempat, apalagi bila membuahkan pertemanan yang langgeng. Sekadar jalan-jalan ke suatu kota dan berpotret-potret di sebuah landmark akan membuat capek dan membosankan. Perjalanan yang hebat idealnya melahirkan pengalaman dan pengetahuan bagi pelakunya.

Berdasarkan nilai dan budayanya, Marina yakin bahwa orang Indonesia itu jauh lebih adaptif dan terbuka pada budaya dan orang luar. Kita cenderung melihat orang lain sebagai teman, berbeda dengan orang barat yang biasanya mula-mula membedakan orang dalam tiga kategori, yaitu orang asing (stranger), teman (friend), dan rekan kerja (colleague).[]

Silakan kenalan dengan Marina di Facebook:
http://www.facebook.com/jedimarina

_________________________________________
Anwar Holid bekerja sebagai penulis, editor, & publisis. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

No comments: