---Anwar Holid
Demi berkomitmen dan bersikap profesional terhadap janji, sudah sekitar tiga bulan ini aku selalu berusaha berangkat ke Jakarta sekitar pukul 04.00 dini hari. Tentu saja aku menyiapkan kepergian itu lebih dari setengah jam sebelumnya; jelas aku harus lebih sigap dari awal. Entah karena ngebut atau kehilangan orientasi waktu, bangun-bangun sering aku mendapati mobil travel yang aku tumpangi sudah berada di pintu gerbang tol Pondok Gede. Di waktu sepagi buta itu ternyata semua pintu tol sudah penuh oleh kendaraan. Antrean mobil mengular panjang, memenuhi semua jalur masuk. Kendaraan sudah begitu banyak. Beruntung para pengendara tertib, jadi lalu-lintas cukup lancar meski sangat padat. Mungkin mereka hanya perlu ekstra hati-hati agar tidak menyerempet maupun terjadi insiden.
Masuk ke tengah kota lebih-lebih lagi, motor dan mobil saling berdempetan. Kali ini suasana lebih semrawut; tapi meski begitu tampaknya masih terkendali. Orang-orang sudah menguasai jalanan, siap berlomba menuju tempat masing-masing. Belum lagi ternyata halte-halte busway juga sudah penuh oleh penumpang. Menyaksikan itu semua, dalam hati aku bilang, "Wah, orang Indonesia ternyata rajin-rajin kan? Enggak semalas seperti cerita yang sering aku dengar." Buktinya orang sejak pagi buta sudah siap-siap berangkat kerja. Aku jadi ingat seorang tetangga yang punya warung. Dia harus berangkat ke pasar induk pada dini hari untuk belanja barang, biar dirinya masih punya waktu untuk tidur sebelum shalat subuh, setelah itu langsung buka hingga menjelang magrib. Dulu banget, aku pernah diajak teman ke Depok sore-sore naik KRL. Wadao, tiada terbayang penuh dan berdempet-dempetnya. Kepadatan dan situasinya mungkin hanya bisa disaingi orang-orang Yahudi malang yang dipaksa masuk untuk diangkut ke dalam gerbong kereta oleh tentara Nazi. Kejam dan tidak manusiawi.
Menyaksikan kerja keras dan sifat rajin bangsa sendiri itu, entah kenapa rasanya terbit rasa bangga di dada. Tapi sebersit tanya juga muncul: "Kenapa ya kita masih terkenal sebagi bangsa yang malas atau tingkat kesejahteraannya rendah? Ini cap jelek atau kenyataan? Bukannya ini semua bukti nyata bahwa kita pun sangat rajin?" Aku jadi rada jengkel dengan puja-puji terhadap kehebatan bangsa lain di negeri tetangga. Kayaknya yang bagus-bagus itu selalu dari luar negeri. Bahwa mereka kayaknya lebih rajin dan giat. Contohnya pujian bertubi-tubi pada bangsa Jepang setelah peristiwa bencana tsunami pada awal Maret 2011. Wah, pujian itu justru membuat dadaku mendidih, sampai menyemangati aku untuk menyelesaikan tulisan ini. "Kita juga bangsa yang rajin kok. Kita mungkin hanya terlalu undervalue dan underrated terhadap diri sendiri, dan sebaliknya terlalu overvalue terhadap bangsa lain. Kita sudah sama-sama giat, tapi mungkin masih ada sesuatu yang salah hingga kondisi kita masih terbilang buruk." Nah, tanya kenapa. Memang rajin, bekerja keras, dan tabah itu seperti apa?
http://markodia.blogspot.com/2010/10/renungan-hari-rabu-tgl-13-oktober-2010.html |
Seorang kawan berkomentar. "Kalo rajin datang tepat waktu terus absen, itu mah cuman rajin karena. Kebanyakan orang itu pada datang pagi-pagi hanya karena agar tidak telat masuk kantor. Sehabis itu banyak yang ngopi-ngopi sambil santai merokok… dan menunggu jam 5 datang. Apa rajin yang seperti itu? Sedangkan kerjaannya cuma melihat jam? Ini terjadi loh di kantor pemerintahan."
Kawan senior berkata, "Mesti dilihat dulu beda rajin dengan keharusan. Mereka rajin pagi-pagi datang ke kantor karena kemauan dan kesadaran diri atau karena 'takut' dapat teguran dari atasan yang notabene bisa mengancam karir mereka di kantor? Dilihat dari kehidupan sehari-hari memang harus diakui bangsa Indonesia masih jauh dibandingkan bangsa Barat." Tuh kan, meski mengakui bahwa kita memang bangsa rajin, teuteup saja terdengar nada undervalue di sana. Sengit pada bangsa sendiri.
Aku sendiri pernah menyaksikan kehebatan sebuah bangsa. Ceritanya aku ikut workshop buku fotografi di lembaga budaya negara tersebut. Aku melihat dan meraba sendiri seperti apa kehebatan dan kemajuan mereka dalam menciptakan produk. Benar-benar sampai membuat kami para peserta minder, bahkan aku sendiri pesimistik sampai membatin begini: "Entah apa yang harus kami lakukan untuk mengejar ketertinggalan itu."
Jadi bagi bangsa Indonesia, rajin dan tabah saja masih kurang. Belum ada nilai tambahnya. Masih dari senior tadi, dia menambahkan, bangsa lain itu punya budaya on-time yang hebat. "Bahkan di tempat hiburan pertunjukan anak, orang Barat sangat menghargai waktu. Aku pernah hanya telat sekitar 10 menit ke tempat pertunjukan, namun waktu negosiasi dengan petugas sambil menunjukkan tiket, mereka bilang pertunjukan sudah mulai dan bila aku masuk akan mengganggu konsentrasi orang yang sedang menonton. They are very punctual person." Padahal soal jadi "punctual person" sebenarnya kita pun sudah dilatih, misal dari jadwal ibadah dan deadline. Tapi entah kenapa rasanya masih belum berpengaruh besar pada hidup kita.
Apa ini soal skala kemassifan? Secara individu ada banyak di antara kita yang etosnya sangat rajin, bekerja keras, tepat waktu, dan profesional. Tapi karena jumlahnya masih minoritas dibandingkan bangsa Indonesia secara keseluruhan, kebiasaan baik itu masih gagal menciptakan budaya massa yang mampu mengalahkan secara telak kebiasaan buruk sebuah bangsa. Akibatnya, kita bangsa Indonesia masih begini-begini saja. Kekurangan, cacat, dan pelanggarannya masih terlalu banyak dibandingkan upaya memperbaikinya.
Contoh pengalamanku sendiri. Meski jadwal berangkat persis pukul 04.00, sering mobil travel baru berangkat lima belas menit atau bahkan setengah jam kemudian. Kenapa? Menunggu penumpang yang ketinggalan. Lebih parah lagi, beberapa kali kejadian mobil ternyata belum ada di lokasi. Akibatnya para penumpang jelas terlambat sampai di tujuan. Kawanku yang rutin naik KRL juga begitu. Gangguannya ada-ada saja. Entah jalur rusak, mati listrik, ubah jadwal seenaknya, atau antre giliran. Akibatnya, penumpang terlambat dan terlantar. Padahal mereka sudah berangkat jauh lebih pagi dan mengantisipasi kejadian buruk.
Seorang instruktur Barat pernah menyebutkan kunci kemajuan bangsanya: "Ini bukan untuk merasa jadi arogan. Barangkali pengalaman bicara. Kami belajar. Kami menemukan dan mencari." Aku memperhatikan, bagian paling sulit dari pencapaian itu antara lain soal penghargaan (apa pun bentuknya, berupa apresiasi maupun uang), upaya mencapai kesempurnaan (inovasi), juga eksplorasi dan suasana kompetisi.
Ada komentar, kawan-kawan? Apa yang harus kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan itu? Apa ini soal karakter bangsa atau benar-benar soal sikap? Kasih tahu aku, biar kita tetap optimistik.[]
Tanah Abang, 03/29/2011
2 comments:
kalau saya sih melihatnya karena takut kehilangan pekerjaan atau nafkah.. hehe
:d makasih atas komentar kamu ya. aku sendiri enggak tahu mana yang benar-benar dominan jadi ciri khas bangsa kita, tapi mungkin kita bisa menonjolkan kekuatan kita sebagai bangsa yang baik.
Post a Comment