Menari-nari di Atas Bangkai Reputasi
---Anwar Holid
Kalau lagi tertarik, aku baca headline di Yahoo!Indonesia, apa pun topiknya. Salah satunya ialah setiap kali media on-line ini menampilkan topik terkait Cut Tari, apa pun subjeknya, entah tentang suami, upayanya untuk bangkit dari keterpurukan dan kembali meraih kepercayaan diri, bahkan keinginannya kembali ke dunia yang melambungkan namanya, yaitu hiburan.
Sebagai media profesional, ada kesan Yahoo!Indonesia pun ingin mendukung upaya comeback Cut Tari, betapa perempuan ini benar-benar kapok dan tobat atas skandalnya yang terbongkar di masa lalu, dan kini pelan-pelan berupaya memperbaiki diri. Perempuan ini sudah jujur mengaku bahwa dirinya berzina dengan Ariel Peterpan, meski sang pria hingga kini masih menolak mengakui perbuatannya. Cut Tari bahkan berurai air mata ketika mengakui perbuatan itu.
Gambar dari Internet |
Tapi dari berita itu, yang jauh lebih menarik perhatianku ialah respons publik terhadap Cut Tari maupun upaya dia untuk bangkit. Ternyata publik sangat sulit memaafkan perzinaan dan kekhilafan itu. Buktinya ialah dari ratusan komentar setiap kali berita Cut Tari muncul, hanya sedikit sekali komentar yang nadanya membesarkan hati atau bernada positif. Boleh dibilang nol koma sekian persen dibandingkan komentar mayoritas. Sisanya ialah menghujat, memaki, mensyukuri (dalam arti "mampus kamu!"), sangsi, dan lebih mengerikan lagi: berprasangka, ngerasani, tega, dan mungkin bisa dibilang tanpa ampun. Setiap kali membaca komentar mengerikan itu, aku selalu gentar. Ternyata bangsa Indonesia itu bisa sangat kejam. Ternyata publik itu bisa sangat kasar. Ternyata respons orang lain itu di luar dugaan. Praduga atau hukuman dari publik itu ternyata lebih mengerikan dari upaya seseorang mencari keadilan. Padahal kita tahu, mayoritas penduduk Indonesia itu beragama dan memiliki bentuk religiositas yang sangat kentara. Alangkah sulit membangun lagi kepercayaan publik yang sudah terkontaminasi oleh kebusukan kelakuan sendiri.
Tampaknya, berita apa saja tentang Cut Tari di media justru jadi kesempatan publik untuk memuntahkan sifat brutal, menyerang, dan membuat dirinya jadi bulan-bulanan tanpa selaput pengaman sedikit pun. Mulai dari penyesalan hingga topik tentang suami, anak, upaya menjalani hidup secara normal, keinginan mendapat pekerjaan seperti dulu, hingga kerinduan terhadap teman setia. Oh, itu semua keinginan orang normal, kataku. Tapi dalam kasus Cut Tari, alangkah sulit dia mendapatkan kembali itu semua.
Dalam hati aku membatin: alangkah ngeri kalau aku jadi Cut Tari. Belum tentu mentalku sekuat perempuan ini bila karena kesalahan fatal mendadak aib-aibku diuar-uarkan di depan publik. Mungkin aku langsung mengubur kepala ke dalam tanah dengan mental hancur berkeping-keping. Perempuan ini hebat. Meski banyak publik terang-terangan bilang bahwa dirinya tak tahu malu, dia tampak berusaha tabah untuk memperbaiki diri. Untuk hal itu, aku salut.
Pengalaman Cut Tari membuatku teringat beberapa kejadian kecil di komunitas tertentu---yang dialami beberapa kawanku, bahkan dalam beberapa taraf meyerempet aku juga. Ada kawan yang tampak rusak reputasinya karena publik menganggapnya melakukan tindakan tak etis atas karir profesionalnya. Ada kawan yang bukunya dicincang-cincang sampai tampak tiada berharga. Ada perusahaan yang reputasinya jadi terkenal jahat dan alangkah sulit membela diri bahwa mereka tengah berupaya memperbaiki diri. Sebagian orang tentu ingat akan wanprestasiku, dan karena itu mungkin mereka menertawakan aku diam-diam. Aku menerima itu dengan pasrah.
Mungkin sebagian dari kita akan bilang, itulah bayaran dari perbuatan buruk seseorang. Bahasa Arabnya: Qisas. Kasarnya: Utang nyawa dibayar nyawa. Peribahasanya: Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Tuntas. Itulah bayaran setimpal bagi orang yang bermain-main dengan zina dan moralitas. Sayangnya, tidak setiap perbuatan seseorang langsung dibayar tuntas. Sebagian diangsur, sebagian ditunda entah kapan---sehingga pelaku kejahatan lain masih bisa tenang-tenang tanpa kuatir bakal digelandang massa. Mungkin dalam hal ini Tuhan tebang pilih atau kita buta apa misteri di balik peristiwa tersebut. Kalau mau uji nyali, bayangkanlah kalau Anda adalah Cut Tari. Bayangkanlah kalau reputasi Anda yang dicincang-cincang massa yang bisa begitu buas mencabik-cabik karakter seseorang. Tindakan brutal itu bisa jadi dipicu karena orang bisa menyembunyikan identitas.
Arvan Pradiansyah di dalam Cherish Every Moment menulis salah satu alasan kenapa orang beragama gagal jadi orang baik ialah karena agama sering menggunakan pendekatan surga dan neraka yang bagi manusia kebanyakan terasa masih jauh dan amat lama. Kalau mau efektif, agama perlu menyosialisasikan bahwa neraka itu tidak hanya terjadi di akhirat. "Surga dan neraka itu juga ada di dunia ini, pada saat ini juga," demikian katanya. Contoh konkretnya bila kita berbuat jahat, mengumbar nafsu, meliarkan hasrat, maupun bertindak berlebihan, balasannya bukan hanya akan kita terima di akhirat nanti, melainkan kontan terjadi di dunia ini. Neraka itu ada di dunia ini. Kalau Anda selingkuh, kelakuan Anda bukan saja rentan terbongkar seperti kasus Cut Tari dan reputasi Anda langsung busuk, melainkan juga berisiko terhadap penyakit kelamin maupun AIDS. Di tingkat pribadi saja, Arvan menulis: "Kalau Anda sering marah dan dendam pada orang lain, tubuh Anda akan memicu timbulnya zat-zat yang sangat berbahaya seperti dopamin dan kortisol. Ini juga adalah bentuk neraka." Bisa kita bayangkan, komentator negatif atas kasus Cut Tari itu tanpa sadar merangsang zat-zat yang membahayakan tubuh sendiri.
Mungkin Anda pernah mengalami neraka dunia itu. Ketika dunia jadi begitu jahat pada Anda. Cuma masih untung, beritanya tidak terendus penulis dan tingkat radiasinya lokal saja. Bayangkan kalau Anda Cut Tari, Zainuddin MZ, Suharto, Aa Gym, Nurdin Halid, atau Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka semua sudah mengalami apa itu neraka dunia, dan orang menari-nari di atas bangkai reputasinya.[]
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Copyright © 2010 Anwar Holid
2 comments:
publik justru lebih menerima ariel yang sikapnya sampai sekarang belum mengakui kesalahannya mas. mereka nonton konser ariel di penjara hingga aksi mendukung dan menguatkan mental ariel.
ternyata begitu ya, publik lebih memilih kepalsuan daripada kebenaran.
aku juga baru sadar. makasih ya mas,
:D begitu ya? mungkin itu yang terjadi pada penggemar fanatik (die-hard fans). kalau yang tidak punya kepentingan sih kayaknya komentarnya macam-macam dan cenderung kasar.
thanks atas komentar kamu ya.
Post a Comment