Friday, June 17, 2011

Benarkah Hidup Ini Absurd dan Sia-Sia?
---Anwar Holid

Semua ini berawal dari obrolan dengan seorang sopir angkot. Kami hanya bicara selama perjalanan sebentar searah itu berkat kebiasaanku yang suka duduk di depan karena rasanya lebih nyaman. Entah bagaimana mulainya, mengingat aku bukan tipe orang yang gampang menyapa dan lebih sering merespons terhadap sesuatu. Tapi ke sananya toh kami ngobrol soal keluarga, anak, sekolah, dan akhirnya masuk ke soal pekerjaan. Obrolan berlangsung dalam bahasa Sunda.

"Yah, kecil-kecil juga lumayan ada penghasilan," kata pak sopir.
"Bener pak, kata orang mah yang penting bisa bersyukur," timpalku.
"Iya. Enggak kayak teman saya. Kasihan."
"Memang dia kenapa pak?"
"Dia itu teman saya dari kecil. Tetanggaan malah. Cuman bedanya dia mah pintar, sementara saya akhirnya jadi sopir angkot. Teman saya ini sekolahnya di ITB, jadi dosen di situ dan di PTS lain, S2 juga di luar negeri. Tapi apa yang terjadi sekarang? Dia kena stroke. Ngajogrok aja enggak bisa apa-apa. Tergeletak begitu aja. Jadi beban keluarga. Nah, mending saya kan? Masih bisa usaha, bisa menghidupi keluarga. Ada manfaatnya gini-gini juga."
"Kenapa dia kena stroke pak?" Aku begidik membayangkan penyakit mengerikan seperti itu menyerang seseorang. Di sisi lain, ada sesuatu yang mulai runtuh.
"Enggak tahu sih persisnya. Cuman kata keluarganya dia dulu terlalu kerja keras. Akibatnya baru kerasa sekarang. Semua yang sudah dia lakukan kayaknya sia-sia. Sakitnya kan nguras harta keluarga. Lama. Enggak sembuh aja. Ngabisin biaya. Memberatkan semua orang di rumahnya."

Aku bingung dengan fakta begini. Benarkah orang yang kena stroke ini sia-sia atas semua usaha dan pencapaian yang pernah dia lakukan? Apa artinya ketekunan, kepintaran, kerja keras, juga penghasilan dia di kala baik-baik saja langsung sia-sia? Sayang sekali enggak ada cerita apa dia punya asuransi. Sementara orang kayak aku, yang penghasilannya kacrut, suka megap-megap karena lemas menghadapi kesulitan mapun masalah, terlilit obsesi kabur tentang kehidupan, dan pak sopir ini---yang mengaku hidupnya juga pas-pasan---jadi lebih berharga? Aku takut menjawab. Jujur, itu membuat hidup jadi terlihat absurd persis di depan hidung. Aku takut jadi orang sombong, padahal tiada hak bagiku. Enggak pantas.

Hidup bisa absurd, ironik, kejam, di luar nalar. Aku suka masih merasa sia-sia bersyukur padahal hatinya gelap dan luka parah sebab ada banyak kekurangan yang terasa sulit dibiarkan begitu saja. Ingin sederhana, tapi biaya tetap wajib dibayar. Ingin senang-senang, tapi sejumlah kerja belum beres dan kesulitan menggugah diri sendiri menghalau kemalasan. Kamu juga pasti mustahil hidup tanpa penghasilan. Coba hidupmu tanpa listrik selama lebih dari 24 jam. Kamu bisa kaku mati gaya dan emosimu langsung terkuras banyak. Baru kaku dan sebal, belum stroke. Itu membuat hidup jadi kompleks dan misterius.

Beberapa waktu lalu aku baca konsultasi seorang bujang lapuk sarjana S2 yang terus kesulitan dapat kerja tetap, dan yang baru dia bisa dapat ialah jadi pengajar les privat dengan penghasilan pas-pasan. Jodoh mah boro-boro. Di Jakarta pernah ada kejadian seorang penjahat pembobol rumah kosong padahal dia lulusan S2 universitas di Australia. Lihat sejumlah orang berpendidikan, dari kalangan sosialitas kelas atas dan berkuasa, dan perhatikan tuduhan atas kejahatan yang mereka lakukan. Memalukan. Sementara orang lain lagi masih ribut soal penghasilan, nama baik, motivasi, sertifikasi, album baru, buku bestseller, rekor kelas coro, travelling, operasi plastik, pemilu. Oh, apa ini juga hina? Di sisi lain, silakan baca kisah Dora Indrayanti Trimurni yang terpaksa harus menyamar jadi laki-laki biar tetap aman jadi tukang ojek, satpam, sekalian petugas kebersihan gedung demi membiayai hidup, kuliah, dan sekolah adik-adiknya. Dan apa yang terjadi? Di suatu hari nahas, tubuhnya yang kurang istirahat dan asupan gizi tersungkur, tahu-tahu mengidap sakit parah yang langka. Beruntunglah sejumlah orang kini bersimpati akan nasibnya dan siap membantu dia sekeluarga. Aku pernah dengar cerita tentang seorang dokter spesialis saraf sombong yang tertimpa masalah sampai membuatnya stres. Dia merasa bahwa dirinya adalah kepanjangan tangan Tuhan yang bisa menentukan hidup-mati seseorang. Karena itu dia tidak butuh bantuan orang lain. Tapi faktanya dia disuruh ikut terapi dan konsultasi psikologi. Waktu dengar cerita itu, aku dengan nada kasar bilang, "Kalau dia ngerasa jadi kepercayaan Tuhan, kenapa dia enggak minta Tuhan menyembuhkan stres atau kesombongannya?" Wah, aku paling malas menghakimi orang.

Hei dalang! Betapa kolosal drama yang terjadi pada manusia. Alangkah absurd jalan ceritanya. Sampai aku mau menangis pingsan menonton dan ikut menjalaninya![]

Anwar Holid, dapat peran figuran di berbagai acara kehidupan.

3 comments:

Anonymous said...

dear anwar,
kalau mikir hidup adil atau gak adil kadang malah pusing sendiri, ujung2nya bisa jadi mempertanyakan Tuhan, katanya tidak akan memberikanya cobaan yang tidak sanggup dipikul, tapi banyak orang gila karena mungkin bebannya dirasa over limit,lihat orang baik n pekerja keras malah berakhir sengsara n sakit2an misalnya, tapi mungkin cerita nabi Musa n nabi Khaidir bisa bantu kita paham bahwa Allah punya rencana yang sering kita gak tahu, kita cuma bisa lihat luarnya dari kisah orang2 itu, bukan juga bermaksud menghakimi buat mereka yg dapat cobaan,cuma agar kita fokus memperbaiki hidup sebaik mungkin, berharap kehidupan n Allah akan berbaik hati juga ma kita... so i thought, Wallohualam,,,btw i always enjoy reading your shared thought, trims..:)
euis

Anwar Holid said...

makasih atas komentar dan masukannya. iya, cerita tentang nabi juga banyak yang menarik dan kontroversial. pengen aku nanti nulis salah satunya.

btw, aku langsung lihat link blog mbak... hmm, sudah lama tuh harus diisi lagi. :) keep up the good work. wasalam.

dhimust said...

semangat, usaha, dan keyakinan. itu yg harus dipegang tegus seseorang untuk mencapai mimpinya. dari kisah ini mengingatkan kita untuk selalu bersyukur terhadap tuhan YME, boleh khan halaman ini saya bookmark untuk wacana saya. terima kasih banyak. good job, and never give up. GBU.