Showing posts with label industri buku. Show all posts
Showing posts with label industri buku. Show all posts

Monday, September 28, 2015



Numpang Mobil Pak Direktur Penerbit
--Anwar Holid

Beberapa hari lalu aku ke Jakarta numpang mobil seorang direktur penerbit. Jujur saja, nama penerbitnya itu masih asing, kurang terkenal, dan sama sekali bukan tipe penerbit favoritku. Tapi apalah arti seleraku dibanding keberhasilan seseorang menumbuhkan dan merawat perusahaannya? Tentu aku harus salut atas keberhasilannya.

Aku baru berkenalan dengan pak direktur ini karena kami sama-sama aktif di sebuah grup penerbitan. Aku mendapati beliau ternyata mudah akrab dan suka bicara banyak hal, termasuk soal perusahaan dan kisahnya menjadi pelaku industri penerbitan. Karena baru kenal, aku menerima begitu saja ceritanya dan menganggap itu sebagai kebenaran. Selama di perjalanan aku coba tertarik pada ceritanya dengan sekali-kali sengaja memancing lebih dalam bagaimana dia mendirikan dan membangun perusahaannya. Awalnya aku menyangka akan mendengar omongan bombastik seorang bos atas kesuksesannya---apa pun tarafnya---tapi ternyata tidak. Yang aku dengar malah cerita seseorang yang antusias bagaimana dirinya terlibat dengan dunia buku dan bagaimana ia mencari celah ladang penghidupan di dalamnya.

Ceritanya waktu masih mahasiswa di salah satu universitas paling top di negeri ini, ia mencari tambahan uang saku dengan menjual buku dari masjid ke masjid yang bertebaran di seputar kampus dan kotanya. Sebagai aktivis kampus, dia selalu ingin praktik membuktikan bacaan, pengetahuan, dan idealisme. Sebagai mahasiswa, dia ingin mengenalkan dan menularkan buku-buku yang menurutnya 'mencerahkan', intelek, bisa mengangkat derajat pembacanya ke level di atas rata-rata. Hasilnya? Tak ada satu pun buku yang dijajakannya laku.

Sebagai mahasiswa pejuang, dia tak menyerah dengan mudah. Dia berusaha memperbaiki cara menjual dan menawarkan. Dia yakinkan bahwa bahwa buku-buku rekomendasinya pantas dikonsumsi masyarakat yang setiap hari datang ke masjid. Bayangkan berapa banyak masjid bertebaran di kota-kota di Indonesia? Berapa besar potensi pasarnya? Makanya dia tetap semangat.

Tapi setelah dicoba berkali-kali satu-dua tahun, strateginya tak ada yang mempan. Dia kecapekan dan keberatan membawa dagangannya yang tetap saja seret. Sedikit saja bukunya laku. Dia bilang, 'Ini bagaimana? Apa dari sekian banyak orang Islam tak ada yang suka baca? Malas beli buku buat pengetahuan dan masa depannya? Apa tidak bisa dianggarkan dari uang sumbangan masyarakat? Padahal di masjid kecil sekalipun kan minimal ada Al-Quran, ada rak kecil buat menyimpan bahan bacaan.' Dia mulai mengeluh dan sedikit putus asa.

Sambil kembali membawa gembolan buku jualannya ke kamar kos, dia pikir-pikir kenapa barang dagangannya cuma laku satu-dua? Itu pun bukan jenis buku favoritnya. Akhirnya dia dalami satu demi satu isi buku jualannya. Dia cari bagian paling penting, paling relevan, atau apa isi yang kira-kira paling laku dijual. Dengan begitu dia makin tahu isi buku dan makin pintar berusaha meyakinkan orang bahwa buku itu memang dibutuhkan. Strategi ini cukup berhasil. Jualannya mulai laku. Dia menemukan celah bagaimana menjual dan memasukkan buku agar bisa dibeli baik oleh pengurus masjid ataupun jemaahnya.

Namun dari buku-buku jualannya, dia tetap heran kenapa ada jenis buku tertentu yang tetap saja seret? Mau 'digimana-gimanain' tetap saja tidak laku. Jangankan laku, dicoba yakinkan saja tetap terlalu sulit. Dan ini biasanya terjadi pada buku kelas utama, yang menurut dirinya sebagai orang terdidik, ialah buku babon yang merupakan rujukan utama, adikarya, dinilai tinggi oleh kalangan tertenu. Dengan berbagai cara pun buku itu tetap saja sulit laku---tak peduli jenisnya, entah agama, karya sastra, kajian sosial-budaya, sejarah, politik, juga sains. Ini yang salah cara jualnya, pasarnya, atau kemasan barang dagangannya?

Kesulitan menjual itu memunculkan spekulasi dalam dirinya: ada buku tertentu memang tak sesuai dengan pangsa pasar kebanyakan, tak bisa dijual massal, cuma diminati sedikit orang khusus yang punya intelektual atau ketertarikan tertentu. Sebagian besar buku ialah barang kodian. Dengan pendekatan, iming-iming, dan trik tertentu buku seperti ini mudah sekali laku---dan buku seperti inilah yang banyak-banyak akan diproduksi  penerbit.

Belajar dan berbekal pengalamannya menjual buku, dia menemukan celah penghidupan. Dia memberanikan mendirikan penerbit dan pintar-pintar bersiasat menerbitkan buku yang punya potensi pasar. Caranya? 'Saya mainkan judul, perhatikan isi bukunya seperti apa, sajikan dengan mudah, yang gampang diterima calon pembaca, jangan yang susah-susah. Alhamdulillah dengan cara ini buku kami tak ada yang numpuk di gudang.'

Bagaimana dengan buku babon yang justru merupakan bacaan favoritnya? 'Biarlah buku seperti itu diterbitkan oleh orang lain yang lebih mampu melakukannya. Saya mah begini saja.'

Dia akui penerbitnya berusaha merespons pasar secepat mungkin. Begitu lihat gejala muncul trend tertentu, segera diterbitkan buku jenis itu untuk memenuhi 'kebutuhan' pasar. Kelihatannya reaktif, tapi membuat penerbitannya dinamik, kreatif, dan terus berproduksi. Begitu trend hilang, buku jenis itu dihapus dari gudang. Dia kesulitan mencari buku yang bersifat 'abadi.' Itu sebabnya dia mengaku tak punya penulis terkemuka, yang high profile. Terbitannya pun bukan macam buku yang suka diresensi oleh kritikus kelas berat di media terkemuka. 'Bukan buku yang bisa dibawa ke Frankfurt Book Fair he he he...' katanya terkekeh merendah.

Dengan segala kerja keras dan pencapaiannya, aku tetap salut pada pak direktur ini. Beliau sudah susah-payah berusaha, setia pada profesi, belajar, dan pada tahap tertentu jauh lebih berhasil secara finansial dibanding aku---minus dia tak cerita berapa banyak utangnya. Dia juga aktif berbuat ini-itu di asosiasi penerbitan. Beliau punya perusahaan, aset, karyawan, termasuk mobil operasional---yang meskipun butut tetap bisa diandalkan buat banyak hal, termasuk aku tumpangi. Saking butut, AC mobil ini mengeluarkan hawa panas. Jadilah badan kami yang di dalamnya malah seperti dibaluri Geliga. Tapi sungguh aku tak menyesal menumpang mobil ini. Aku tak melihat ini sebagai kekurangan. Aku malah salut. Aku merasakan keramahan, keikhlasan, dan kebaikannya. Dengan mobil ini beliau menolong orang lain, membantu, melayani. Sementara aku dapat banyak hal: tumpangan gratis, cerita, dan pelajaran menarik. Buatku, mobil ini bakal jadi legendaris.[]

Foto ilustrasi milik Terra Tones. Sumber: Internet.

Monday, September 15, 2014

OKTOBER SUDAH DEKAT!!!
--Anwar Holid


Persis di hari ulang tahun ke-41 aku bersama sebelas kawan lain selesai ikut fase pertama workshop marketing internasional penerbitan yang diadakan oleh Goethe-Institut Jakarta, IKAPI, dan Frankfurt Book Fair (FBF). Workshop ini diikuti 10 penerbit dengan beragam kondisi, ada penerbit pemula, penerbit terbesar di Indonesia, penerbit spesialis, buku anak-anak, anggota IKAPI maupun belum.

Di workshop ini aku membatin: SEBESAR APA PASSIONMU PADA PENERBITAN atau PERBUKUAN? Barangkali karena aku mulai mendapati sebagian kenalanku berhenti berbisnis di dunia buku, mulai masuk dunia lain, meski aku masih selalu mendapati para senior ternyata tetap semangat, bahkan aku pikir tambah ahli dan terus bersedia membagi ilmu.

Aku masih semangat menghasilkan buku baik dan hebat, ingin mengenalkan karya yang aku nilai berharga, memang pantas dijual; tapi jujur saja jalan ke arah sana kadang-kadang sulit, bahkan bisa dipersulit oleh orang-orang yang aku pikir mestinya mendukung niat baikku. Niat baik tidak selamanya ditanggapi positif bila aku gagal menerangkan apa untungnya menerbitkan naskah yang aku pikir hebat, bermanfaat, dan bakal menguntungkan.

Jelas secara finansial aku tidak jadi miliarder karena konsisten kerja di dunia penerbitan. Tapi kondisi itu tidak pernah membuat patah semangat. Aku hanya suka malu setiap kali gagal belajar dari kesalahan, tidak bekerja lebih baik, dan kesulitan menuntaskan tanggung jawab dengan baik.

Selama berkarir di penerbitan, aku lihat banyak senior terus semangat dan berdedikasi, entah dia orang Indonesia atau asing. Sementara pelaku baru terus tumbuh, punya idealisme dan inovasi; meski di antara mereka mungkin saja ada yang kutu loncat, kerja pakai pola high risk, hit and run. Kiprah pelaku muda kerap membuat aku salut dan kreativitasnya mengejutkanku, membuat kagum dan memaksa aku untuk terus belajar dan menambah wawasan.

Guru utama workshop ini ialah Sebastian Posth, pebisnis penerbitan Jerman yang terutama bergerak di ebook, olah data, namun tetap peduli dengan keberlangsungan buku cetak. Salah satu maksud workshop ini ialah membantu persiapan kami sebagai wakil penerbit Indonesia untuk menawarkan dan menjual rights buku di FBF pada 7-12 Oktober 2014.

Sejak berangkat workshop aku tidak mengakses email dan media sosial. Jadi aku buta yang terjadi dengan akunku dan berita di luar sana. Sekitar seminggu lalu dadaku sakit lagi, membuatku demam di malam hari, kehilangan nafsu makan, batuk-batuk, dan pening; memaksaku berhenti main WE9, dengar musik, dan baca-baca majalah atau buku di malam hari karena maunya istirahat lebih lama. Beruntung, kondisiku jauh lebih membaik selama ikut workshop, jelas itu karena tunjangan konsumsinya OK banget.

Seorang senior yang juga ikut workshop bilang, 'War, kamu sekarang tambah jarang nulis ya?' Pertanyaan ini membuatku sedih sekaligus terharu. Sedih karena memang itu faktanya; terharu karena ada orang dekat yang menyadari bahwa aku juga suka menulis untuk menyuarakan sesuatu.

Seingetku, aku jawab begini: 'Kalo nulis iya, tapi kalo ngasih komentar kayaknya tambah sering.' Ha ha ha... Kayaknya sekarang aku lebih baik bekerja atau melakukan sesuatu daripada menulis.' Yah, jujur saja. Aku malu bila banyak menulis seolah-olah peduli atau bisa ini-itu menyelesaikan banyak hal besar, padahal pekerjaan utamaku belum beres. Aku sudah diperingati klien untuk fokus mengerjakan tugas utama, yaitu membereskan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan orang lain. Aku ikut workshop karena ada target, bukan untuk sekadar bersenang-senang menikmati bagian dari passion duniaku.

Jujur saja, ikut workshop sebenarnya menunda banyak pekerjaanku membantu persiapan Penerbit Rosda menghadapi FBF 2014 yang sudah tinggal hitungan hari. Setiap kali mengingat ini jantungku terpacu lebih cepat dan tekanan kepalaku langsung naik. Begitu banyak yang harus aku lakukan, waktu makin sempit, sementara energiku sendiri tidak dalam kondisi maksimal. Namun penyesalan terbesarku selama workshop ialah kemampuan Englishku yang sama sekali tidak membaik, sehingga menghalangiku menyampaikan pikiran dengan jernih kepada orang-orang yang buta bahasa Indonesia. Penyesalan ini jauh lebih besar daripada aku lupa bawa kamera gara-gara masih sakit waktu berangkat saat fajar menuju workshop.

Peserta, panitia, dan narasumber workshop. Pria bule di tengah ialah Sebastian Posth.


Hal utama yang ingin aku sampaikan selama menyaksikan persiapan Indonesia dalam FBF 2014 ialah betapa dukungan pemerintah (barangkali dalam hal ini ialah ‘Komite Nasional FBF’) terhadap kehadiran penulis di FBF sangat minim. Untuk kasus Penerbit Rosda saja, kami menawari beberapa penulis untuk datang dan buat acara di FBF, tapi semua menolak karena tidak ada biaya. Padahal selama sharing session kita tahu ada dana penerjemahan yang tidak terserap dengan baik tapi katanya sama sekali tidak bisa diubah alokasinya karena berbagai alasan, salah satunya ialah takut terjerat hukum. Buat apa ada uang kalo tidak bisa dibelanjakan untuk kepentingan bersama?

Hal menyedihkan lain ialah ada banyak penerbit dan penulis yang terabaikan dari hingar-bingar persiapan Indonesia jadi Guest of Honor (GoH) Frankfurt Book Fair 2015. Katakanlah penerbit dan penulis nonmainstream atau independen, padahal mereka menurutku pantas diajak berperan serta. Aku berharap semoga representasi buku dan penulis Indonesia yang ada di GoH cukup berimbang. Harusnya ada penulis dari kalangan FLP/Islam, ada pemberontak macam Saut Situmorang, penulis buruh, dari Indonesia Timur, Indonesia diaspora, dan lain-lain. Setahuku hal itu belum terakomodasi.

Kita tahu ada penulis dan penerbit yang bisa terbang ke Frankfurt, sementara lainnya tidak, bahkan mungkin dapat akses informasi pun tidak. Tentu kita bisa tanya kenapa mereka terpilih atau bisa memperhatikan seperti apa relasi mereka dengan klik pada kelompok tertentu atau ikatan patronnya bagaimana. Contoh, penulis A bisa diundang di FBF karena dinilai pantas jadi wakil Indonesia. Tapi dari kliknya kita juga bisa lihat ia bisa hadir karena bukunya sudah diterjemahkan dalam English, dan direktur penerbit itu dekat dengan para penentu kebijakan di Komite Nasional. Jelas ada kepentingan yang main di sana.

Contoh lain: mungkinkah kita membangkitkan minat sebagian pelaku industri penerbitan agar antusias bahwa Indonesia jadi GOH FBF 2015, bila terhadap Ubud Writers and Readers Festival saja sinis?

Pelajaran utama dari fase pertama workshop ini ialah bagaimana cara meyakinkan orang agar percaya bahwa produk yang aku bawa pantas mereka beli. Kondisi ini tambah sulit kalo kemampuan komunikasiku buruk. Ini yang paling mengkhawatirkanku. Komunikasi yang buruk pasti sulit mengangkat nilai jual produk yang sangat unggul sekalipun. Claudia Kaiser dari FBF siap bantu membuatkan website agar kami bisa menghadirkan dan mengenalkan buku yang mau ditawarkan rightsnya secara lebih baik dan meyakinkan.

Kira-kira itulah yang ingin aku lampiaskan. Di dalam, PR-ku untuk Penerbit Rosda juga masih numpuk dan harus diselesaikan.[] Jakarta, 9 September 2014

Friday, March 01, 2013




Sastra dan Propaganda Agama (Islam)
---Anwar Holid

Islam kerap dicap sebagai agama yang ekspansif. Anggapan ini bisa jadi muncul mulai dari aktivitas dakwah yang memang terlihat ekstensif, beragam lembaga dakwah, banyaknya khatib (pengkhotbah, penceramah, ustad), sampai penilaian sumir terkait konspirasi terorisme dan kekerasan agama. Di Indonesia, ada banyak penerbit maupun perusahaan media massa yang mengkhususkan diri bergelut di pasar umat Islam, hingga muncul istilah "penerbit Islam." Istilah ini sebenarnya berlebihan, mengingat mereka pun suka menerbitkan buku non-Islam, bahkan tak segan menyerobot ceruk pasar "penerbit umum." Kasarnya, demi profit hajar saja.

Di sisi lain sayangnya buku-buku Islam juga kerap dianggap sebelah mata, kurang memberi sumbangan berarti bagi kemajuan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Anggapan ini makin terASA di ranah fiksi atau sastra umum. Karya yang berafiliasi dengan "sastra Islam" dianggap minor dibandingkan sastra umum, entah itu karya penulis Muslim maupun bukan. Adakah buku "sastra Islam" karya penulis Indonesia yang berusaha diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau Arab, misalnya? Itu merupakan tanda yang cukup jelas bahwa karya tersebut dianggap sepele.

Setelah pada dekade 2000-2010 dianggap mencapai puncak karena secara massif menelurkan beragam jenis karya dan mencetak bestseller, pasar sastra Islam mengalami masa surut. Ini tampak dari banyaknya penulis yang mengalami penolakan penerbit akibat stagnannya pasar sastra Islam, sementara penerbit seperti As-Syaamil dan Lingkar Pena Publishing House tutup buku, beralih rupa sebagai penerbit baru dengan pencitraan dan strategi baru pula.

Beruntung, dekade berikutnya memperlihatkan tanda kebangkitan . Pasar tampak bergairah kembali, terutama berkat karya yang bersumber dari kisah nyata atau berupa novelisasi dari kehidupan tokoh Islam. Pengikat Surga (Hisani Bent Soe) dan Sang Pencerah (Akmal Nasery Basral) membuktikan gejala itu. Salamadani, sebuah penerbit berbasis di Bandung, tampak aktif mengisi peluang ini dengan menerbitkan Sang Pemusar Gelombang (M. Irfan Hidayatullah) dan dikabarkan sebentar lagi menerbitkan novel berdasarkan kisah kehidupan Buya Hamka karya Akmal Nasery Basral.

Tanda-tanda tersebut seperti teramini ketika ada seorang editor memberi kabar bahwa penerbit Islam sekarang sudah tidak terlalu berharap agar buku fiksi terbitannya bisa mengungguli kesuksesan Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman El-Shirazy, 2003). Pernyataan ini tampaknya menjadi isyarat (harus) ada sesuatu yang baru dan berubah dalam pasar buku bertema keislaman. Karena itu mungkin wajar bila dalam dua tahun terakhir (2010-12) bisa kita lihat sekilas buku best seller bertema Islam antara lain berjudul Terapi Berpikir Positif dan Tuhan Tolong Aku. Yang pertama buku motivasional a la Islam, kedua buku memoar seorang anonim.

Membaca kecenderungan itu barangkali kita bisa menilik tiga hal:

1/ Barangkali ini tanda bahwa pembaca (pangsa pasar) membutuhkan karya yang lebih segar selain fiksi melodramatik setipe Ayat-Ayat Cinta. Saya mendapati penulis yang mampu menelusupkan nilai Islam secara halus dan implisit (nonverbal) ke dalam karyanya berpeluang memberi angin segar, bahkan bisa diterima khalayak yang lebih luas. Di sinilah massa seakan-akan butuh dan terus menanti penulis yang lebih luwes dan pandai menyihir cerita agar isinya tetap bisa membawa spirit dan nilai Islam, dibarengi cara bertutur atau pengolahan gaya baru yang memikat. Ini jelas formula abstrak yang hanya bisa dirasakan atau dikonfirmasikan kepada pembaca, tapi biasanya penerbit atau penulis bisa memberi kisi-kisi seperti apa gejala atau ciri cerita yang tengah disukai pembaca. Topik Mulyana berusaha melakukan hal itu dalam Melepas Dahaga dengan Cawan Tua. Buku tipis ini merupakan upaya revitalisasi kisah klasik Islam agar cocok menjadi urban legend (cerita yang beredar luas di masyarakat dan dianggap sebagai kenyataan) bagi masyarakat kota yang kosmopolit dan terbuka.

Menariknya, M. Irfan Hidayatullah---sebagai pelaku sastra dakwah dan orang dalam Forum Lingkar Pena---menyatakan bahwa banyak penulis fiksi Islam karena dipengaruhi latar belakang pendidikan maupun lingkungan, justru sengaja membuat karya yang eksplisit mensyiarkan Islam, menjadikannya sebagai media public relation agama. Ini terjadi bukan tanpa alasan. Situasi sosial-politik pun sudah berubah. Ini pula yang membuat istilah sastra dakwah muncul menggantikan berbagai istilah terkesan eufemistik mulai dari sastra profetik, sastra religius, dan sastra sufistik dari penulis Islam zaman Orde Baru. Irfan tampaknya bahkan bisa menerima bila sastra dakwah disebut juga sebagai sastra propaganda Islam. Memang ada ceruk pasar di situ, misalnya kalangan aktivis Islam dan golongan keluarga mampu yang memiliki gaya hidup Islami.

Umat Islam pasca-Reformasi berani dan bebas secara terang-terangan (jujur) bisa mengungkapkan seluruh identitasnya tanpa perlu kuatir diancam oleh otoritas negara. Mereka juga membutuhkan bacaaan Islami yang eksplisit.

Maka, sebagai eksponen pionir sastra dakwah yang awalnya "menghaluskan" pesan Islam lewat metafora dan bahasa bersayap yang bahkan kadang-kadang sulit dimengerti pembaca, kini Irfan justru bereksperimen menyampaikan pesan Islam lewat gelombang aktivitas gerakan Islam secara jelas dan tegas. Dia ingin merasakan seperti apa rasanya gemuruh dan dinamika aktivis Islam yang bersinggungan dengan tekanan politik, pertarungan ideologi, gerakan dakwah bawah tanah, dan kegelisahan spiritual masyarakat urban mencari jalan terang.

Dari pemikiran dan kerja keras itulah lahir novel Sang Pemusar Gelombang. Novel ini secara murni masih memperlihatkan kekhasan fiksi Islam dalam arti tradisional, misalnya penggunaan kosakata beserta adopsi gaya hidup dari Arab, dan mempertentangkannya dengan hedonisme maupun praktik yang dilarang agama. Namun yang paling menarik ialah upayanya memadukan dinamika sejarah Islam dengan realitas kehidupan masa kini para tokohnya. Pola ini patut mendapat sorotan pembaca, apakah upaya penulis telah berhasil mulus atau masih seperti tempelan yang terkesan dipaksakan?

2/ Saya mendapati dalam dua tahun terakhir terbit banyak buku motivasional sederhana yang sumber naskahnya dari tweets, blog, atau notes Facebook. Subjeknya maca-macam, mulai dari self-help/pengembangan diri, entrepreneurship, fiksi, sampai humor. Lepas dari kritik atas kualitas maupun kedalaman dari naskah seperti itu, penerbit bisa memanfaatkan penulis baru yang mengasah kemampuan menulisnya di Internet. Mungkin penerbit Islam bisa mengolah sumber-sumber literatur dunia Islam yang sangat kaya dengan cara segar, sesuai bahasa dan kebutuhan masyarakat kini. Penerbit bisa mengincar penulis yang memiliki banyak fans, baik itu di Twitter, Facebook, blog, ataupun forum komunitas online. Minimal dari sana penerbit bisa mengukur kira-kira seberapa besar nilai jualnya. Sejumlah penerbit besar malah sudah mengambil langkah tersebut.

3/ Mencari tema-tema baru yang barangkali belum tereksplor atau menjajal genre yang mulai mendapat tempat di hati pembaca, seperti memoar yang lebih sensitif, berani, bahkan bisa jadi memicu kontroversi. Dari sini kita akan bisa melihat seperti apa usaha atau tindakan umat Muslim dalam mencari solusi atas isu-isu ekstrem kontemporer, bangkit dari keterpurukan, mencari jalan terang ketika galau dihajar badai kehidupan, atau bingung oleh arus kehidupan. Contoh isu ekstrem kontemporer dalam dunia Islam misalnya seorang Muslim berani mengaku gay/lesbian, tetap bangga atas identitas itu, dan mengampanyekan agar mayoritas umat Islam toleran terhadap pilihan itu.

Tema-tema tradisional Islam sejauh ini terbukti tetap laku, apa lagi bila secara mengesankan diramu dengan kisah cinta, pendidikan, maupun perjuangan dari zero to hero. Sangkala Lima (Langlang Randhawa) di satu sisi secara jelas memperlihatkan gabungan teknik bercerita a la Laskar Pelangi dengan spirit Negeri 5 Menara, tapi di sisi lain berani mengangkat isu sensitif, mulai dari pacaran, konversi non-Muslim masuk Islam, aliran Ahmadiyah, termasuk sedikit menyerempet LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender). Bisa jadi ini tanda "kemajuan" terhadap berbagai fenomena yang muncul dalam Islam, meski nanti di karya ke depan harus dibarengi dengan kematangan dan kekhasan menemukan cara bertutur yang lebih menarik.

Akhirul kalam, terutama sebagai pembaca dan orang yang hidup dalam industri buku, saya sendiri terus berharap penulis yang berkomitmen atau berafiliasi dengan Islam terus melatih untuk mematangkan kemampuan menulisnya. Seperti dalam khotbah, nasihat ini pertama-tama ditujukan untuk diri saya sendiri agar lebih baik menulis; baru setelah itu saya berharap mendapat permata dan manfaat setiap kali bersinggungan dengan buku bertema Islam, apa pun jenisnya.[]

Anwar Holid
Editor, penulis, publisis
Blog: http://halamanganjil.blogspot.com
Twitter: @anwarholid