Monday, January 23, 2017

Membangun Benda Mati vs Manusia 
Saran Untuk Debat Pilkada DKI 2017
--Ilham D. Sannang


Gara-gara diskusi soal "membangun manusia vs benda mati" dalam debat pilkada DKI Jumat lalu, saya jadi pingin nimbrung. 

Rumah ibadah adalah benda mati. Manusia adalah makhluk hidup. Mana yang lebih penting: membangun rumah ibadah atau membangun manusia?

Celana adalah benda mati. Manusia adalah makhluk hidup. Bersekolah adalah cara membangun manusia. Pilih mana: beli celana tapi gak bersekolah, atau bersekolah tanpa celana?

Gua batu adalah benda mati. Tapi, tanpa benda mati itu, hidup manusia purba akan susah: bisa kehujanan, kedinginan, masuk angin, sakit, lalu mungkin gampang mati. Begitu juga kapak batu adalah benda mati. Dan tanpa kapak batu, manusia purba itu akan susah berburu, bisa kelaparan, dan mungkin mati. Tanpa gua batu dan kapak batu (benda mati), manusia purba mungkin tidak akan pernah menjadi manusia modern.

Tapi, gua batu dan kapak batu---benda-benda mati itu---tentu bukan segalanya bagi manusia purba. Tanpa mempelajari alam, tanpa mempelajari diri sendiri, tanpa mengembangkan diri---singkatnya, tanpa pendidikan dan kebudayaan---tentu manusia purba akan selamanya jadi manusia purba, tidak akan berkembang menjadi manusia modern. Dengan akalnya yang berkembang pelan-pelan, manusia purba akhirnya lama-lama belajar menulis di batu. Batu-batu itu---benda-benda mati itu---menjadi sarana lahirnya kebudayaan dan zaman sejarah.

Jadi, buat apa mempertentangkan benda mati dan makhluk hidup?

Lama-lama, manusia menulis di atas kertas. Kertas adalah benda mati. Tapi, kertas berasal dari benda hidup: pohon. Buku adalah benda mati. Tapi, buku kedokteran bisa jadi alat untuk kehidupan. Begitu juga pisau bedah dan kamar operasi: benda-benda mati yang mendukung kehidupan.

Bangunan rumah, masjid, sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan, kantor, bendungan, komputer, handphone, piring, sendok, toilet, pasar, tempat sampah, mobil, kereta, MRT, motor, pulpen, keran, sekrup, kabel, kondom, kacamata, celana, baju, dan lain-lain, semuanya benda-benda mati. Tapi apa jadinya kehidupan kita tanpa benda-benda mati itu?

Di sisi lain, dapatkah benda-benda mati itu (yang sudah jadi bagian penting dari hidup kita sehari-hari) diproduksi tanpa manusia-manusia pintar dan terdidik (tanpa membangun manusia)?
Ilustrasi dari Internet.

Jadi, buat apa mempertentangkan antara membangun benda mati atau membangun manusia?

Tidak ada satu pun calon gubernur yang menafikan pentingnya membangun manusia dan membangun infrastruktur dan benda-benda mati. Itu bukan pilihan A atau B. Sebab, kita butuh A sekaligus B. Kita butuh membangun manusia sekaligus membangun "benda-benda mati."

Jadi, supaya debat selanjutnya lebih berkualitas, lebih baik masuk ke detail dong: berapa yang akan dianggarkan untuk pembangunan infrastruktur transportasi massal, supaya macet Jakarta bisa dikurangi? Dari mana sumber pembiayaannya? Kalau macet berkurang, kan lebih cepat kita bisa pulang ke keluarga tersayang! Dan itu bagian penting dari pembangunan manusia lewat quality time bersama keluarga!

Berapa yang akan dianggarkan untuk gaji guru, bangun sekolah, Kartu Jakarta Pintar, dan lain-lain anggaran sektor pendidikan dan kebudayaan? Darimana duitnya? Bagaimana realisasinya? Kenapa serapannya rendah?

Berapa banyak yang dianggarkan buat perbaikan trotoar (benda mati), lahan parkir dekat stasiun (benda mati), menanam pohon (makhluk hidup), bikin jalur sepeda, zebra cross, lampu lalu-lintas, jembatan (benda mati lagi), supaya makin banyak yang nyaman berjalan kaki atau pakai transportasi umum atau bersepeda? 

Sudahlah, jangan memperdebatkan hal-hal umum yang sudah jelas .... mari masuk ke detail!

Jauuuuh sebelum debat pilkada DKI 2017, lebih dari 1400 tahun lalu, sudah diwahyukan kepada manusia begini: Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Demikianlah Allah... (Al-Quran 6:95).

Jadi, sudah lama kita tahu bahwa makhluk hidup bergantung pada benda mati, dan benda mati bergantung pada makhluk hidup. Benda mati dan makhluk hidup saling bergantung dalam siklus. Demikianlah alam ini dibuat oleh Sang Perancang. Jadi, tak perlulah kedua jenis ciptaan-Nya itu dipertentangkan. Kalau soal ini saja masih diperdebatkan, berarti selama 1400 tahun kita belum belajar apa-apa dooong...

Mari bicara angka, proporsi: apakah 1 unit rumah (benda mati) cukup untuk menampung 10 manusia (makhluk hidup)? Masih banyak orang Jakarta yang belum punya rumah (berapa banyak?) Kenapa unit apartemen masih banyak yang kosong, padahal tunawisma juga banyak? Apakah karena properti dijadikan ajang spekulasi dan investasi kaum berduit? Bagaimana solusinya? Dari mana anggarannya? Apa perlu ada pembatasan pembelian properti, atau pengenaan pajak progresif untuk properti ke-2?

Apakah 1 unit bangunan sekolah (benda mati) cukup untuk menampung 1000 siswa (makhluk hidup)? Masih banyak anak Jakarta yang belum bisa sekolah di gedung sekolah dan ruang kelas yang layak (berapa banyak?) Bagaimana solusinya? Dari mana anggarannya?

Apakah 1 km jalan (benda mati) cukup untuk menampung 1000 mobil yang berisi manusia (makhluk hidup) dengan nyaman? Jakarta masih macet. Bagaimana solusinya? Dari mana anggarannya?

Dan seterusnya, dan seterusnya....

Jadi, tolong berikan tawaran solusi yang konkret dong pak, bu!

Kalau bisa, sama konkretnya seperti lebih dari 1400 tahun lalu, ketika seorang peminta-minta mengemis kepada Sang Nabi, lalu Nabi justru memberinya solusi konkret berupa kapak (benda mati) supaya dia bisa mencari kayu bakar di hutan untuk mencari nafkah. (Di zaman sekarang, bisa bikin inkubator bisnis a la Sandiaga Uno atau budidaya ikan kerapu di pulau Seribu a la Ahok: ayo bandingin mana yang lebih logis).

Atau, berikan solusi yang sama konkretnya ketika para tunawisma diberi atap berteduh di selasar masjid nabawi (benda mati) di Madinah... (ini mungkin analog dengan pemberian BLT ala Agus, kalau memang tunawisma beneran dikasih BLT atau tempat nginep gratis oleh Agus....Gimana supaya BLT-nya gak dikorupsi? Mengingat kader dari partai pendukung zaman dulu terbukti banyak yang terlibat korupsi. Mau sampai kapan dikasih BLT? dan lain-lain, dan seterusnya.)

Ayo dong.....mbok ya debatnya yang konkret gitu lho, supaya nonton dan milihnya juga seru!

Kalau waktu debatnya terlalu sempit buat bicarakan teknis angka, kebijakan, strategi, dan lain-lain, boleh juga cagub-cawagub meng-upload versi panjangnya di Youtube. Jadi, milihnya kan lebih enak....

Yah?! Yah?! Yah?![] 17 Januari 2017

Ilham D. Sannang ialah seorang penduduk Jakarta. Bekerja sebagai editor dan penulis freelance.

No comments: