Showing posts with label Kompetensi Seorang Editor. Show all posts
Showing posts with label Kompetensi Seorang Editor. Show all posts

Saturday, December 14, 2013


Tanpa Pengalaman, Apa Aku Bisa Jadi Editor?
--Anwar Holid

Seorang sarjana baru yang tertarik pada buku, sangat suka baca, dan cinta dunia tulis-menulis ingin jadi editor, tapi dia kecewa lamarannya ditolak terus karena selalu ada syarat "berpengalaman jadi editor minimal satu tahun." Kalau tidak diberi kesempatan jadi editor atau minimal jadi asistennya, tentu selamanya ia tidak akan pernah punya pengalaman itu dan bakal gagal jadi editor. Apa yang harus dia lakukan? Dia kirim surat dan minta saranku.

Berikut ini versi surat yang sudah aku edit:

Banyak temanku yang jadi editor bukan karena latar belakang pendidikan editing, bahasa, atau penerbitan, melainkan semata-mata karena kepekaan dan cita rasa berbahasa, juga passion mereka di dunia tulis-menulis. Baik senior dan kawan sebayaku yang jadi editor dulu ada yang kuliah di jurusan astronomi, fisika, teknik industri, sosiologi, agama islam, seni rupa, dan lain-lain. Aku sendiri memang dilatih jadi editor. Intinya, latar belakang pendidikan bukan halangan untuk jadi editor, malah menjadi kekayaan yang bisa mengembangkan karir mereka.

Menurut kami, bekal utama jadi editor adalah kecintaan terhadap tulisan, dunia buku, kepekaan menilai naskah, kemampuan mengolah bahasa dan menyajikannya dengan hebat, enak, serta keinginan menerbitkan sesuatu yang bermanfaat. Pendapat ini diamini banyak orang. Sebagian orang mengaku "kecebur" di dunia buku, tapi toh menikmati karirnya dan bisa melesat, baik sebagai eksekutif/manajer penerbitan, pengusaha penerbitan, juga media yang terkait dengan dunia buku.

Soal butuh pengalaman (minimal satu tahun) jadi editor, aku pikir bisa diatasi dengan beberapa cara. Kalau kamu pernah gabung dengan pers kampus atau organisasi/klub terkait dengan dunia kepenulisan (misalnya jurnalistik, media, dan penerbitan), pengalaman itu pantas disebutkan dalam CV, bahwa kamu punya kualifikasi untuk dicoba menerima order penyuntingan  atau bahkan magang di sebuah penerbit. Kalau memungkinkan, coba datangi sebuah penerbit dan yakinkan bahwa kamu mampu menyuntingg dengan baik, sesuai standar mereka, atau bahkan punya ide lain yang keren untuk membuat naskah jadi punya nilai lebih dan berharga di pasaran. Kalau mau nekat, bilang saja kamu bersedia magang jadi editor cukup dibayar dengan makan siang, asal kamu bisa belajar langsung seperti apa sebenarnya editor itu! Kalau sungguh-sungguh dan punya passion aku yakin keinginanmu akan terwujud.

Kalau diminta contoh naskah yang kamu sunting, cari saja contoh tulisan dari manapun terutama yang menurutmu jelek, terus kamu sunting/perbaiki sesuai keyakinanmu. Kalau keyakinanmu benar dan hasilnya OK, aku yakin penerbit akan percaya bahwa kemampuan menyunting dan menulismu, juga rasa bahasamu OK. Kalau belum bisa praktik menyunting, coba belajar langsung ke senior, kenalan, yang bisa dipercaya untuk praktik menyunting. Mungkin dosen pembimbing, penulis, dan wartawan yang ada di kotamu. Sekarang banyak orang menulis di blog; coba ambil yang menurutmu pantas disunting, dan ajukan hasil suntinganmu sebagai bukti bahwa tulisan itu bisa jauh lebih baik dan punya dampak. Kalau susah mengirim CV atau contoh editan lewat Internet, kirim saja via kantor pos biasa. Jangan sungkan.

Contoh, ada orang diterima jadi editor bukan karena kemampuan menulisnya OK, tapi karena kemampuan bahasa Inggrisnya terbilang sempurna. Orang seperti ini bisa jadi editor naskah terjemahan yang hebat, jadi literary agent, juga negosiator perjanjian bisnis. Pada dasarnye kemampuan menyunting/editing itu bisa dipelajari dan seiring waktu biasanya makin membaik.

Kalau perlu cari buku panduan menulis dan menyunting di toko buku. Ada cukup banyak buku tentang dunia penulisan dan industri penerbitan di berbagai genre. Sebagian isi blogku berisi topik industri penerbitan dan dunia penyuntingan.

Ada banyak cara untuk membantu seseorang yang semangat mau masuk dunia penerbitan atau ingin jadi editor. Sebagian editor atau penulis senang saling belajar, suka sharing tentang dunia yang mereka hadapi, baik ilmu, informasi, seluk beluk, persoalan, termasuk kebusukan-kebusukannya. Di Facebook ada beberapa grup editor dan pecinta buku/sastra seperti Apresiasi Sastra, Penerjemah-Editor, Forum Editor, dan sejenis itu. Coba gabung dan belajar banyak dari sana, sebab ada saja informasi lowongan kerja yang pantas dicoba.

Barangkali kamu bisa mulai karir jadi editor di penerbit kecil. Kalau kinerjamu bagus dan perusahaan berjalan dengan baik, penerbit itu akan besar, dan kamu juga pasti bisa berkembang. Otomatis karirmu meningkat dengan sendirinya. Kamu enggak perlu kerja di perusahaan yang kelihatan lebih besar, tapi cuma membuat kamu jadi sekrup yang kurang berarti karena sulit mengembangkan bakat dan idealismemu. Sebagian penerbit yang dulu kecil bisa menggeliat, terus berkembang, dan akhirnya menjadi ancaman penerbit lama yang sudah besar. Reputasi editor di penerbit seperti itu pasti diperhitungkan.
Foto dari Internet.

Ini beberapa hal yang bisa dieksplor sebagai bekal jadi editor:
* Apa keunggulan atau kemampuan khusus dirimu sehingga bakal membuatmu bisa menjadi editor yang istimewa? Misalnya: berbahasa Inggris OK banget, nilai TOEFL 900, menguasai fotografi, punya blog yang keren, dan lain-lain.

* Sebesar apa ketertarikan kamu pada dunia buku, penulisan, penerbitan? Apa passionmu? Buku apa yang paling kamu sukai? Bidang apa yang paling kamu minati dan tekuni? Misalnya: agama, kajian sosial, sastra, filsafat, seni, kuliner, musik. Banyak orang yakin passion atau kecintaan bisa membuat seseorang punya energi penuh untuk menjalani pilihan hidupnya.

Banyak orang bilang mereka menjadi editor, kerja di dunia penerbitan, jadi penulis, pengusaha di industri buku, karena cinta, karena punya passion besar di bidang itu. Passion bisa menajamkan 'mata hati', insting, juga keberanian seorang editor dalam menilai dan memutuskan naskah yang berharga untuk diterbitkan, termasuk memberi wawasan, imajinasi, dan kreativitas waktu mengemas naskah bakal jadi buku seperti apa.

Di luar itu, aku mau memberi tahu sejak awal, editor itu di satu sisi cuma bagian karir yang bisa berkembang ke berbagai hal. Kalau kamu sukses jadi editor, entah di penerbit atau dari kerja freelance, mungkin kamu akan menjadi kepala penerbitan, dan tugas kamu tidak lagi jadi editor/menyunting naskah, tapi mencari naskah dan menemukan penulis yang potensial untuk diterbitkan, atau diminta untuk menghasilkan jenis buku tertentu sesuai kebutuhan pasar atau menciptakan pasar buku baru. Bisa jadi kamu ditawari banyak pelanggan (customer, klien) untuk menangani, membuat, dan menerbitkan buku tertentu atau pekerjaan terkait dunia penerbitan. Sebaliknya, kalau kamu bosan jadi editor atau mendapati kenyataan bahwa menjadi editor tidak menjanjikan secara karir dan finansial, mungkin kamu akan pindah kerja menjadi tenaga marketing, promosi, juga penjual buku. Hidup bisa berubah dan begitu juga cara manusia menghadapi dinamikanya.

Semoga jawabanku membantu dan bisa sedikit memberi solusi. Keep your hand moving, keep up the good work.[]

Anwar Holid, aka Wartax, berkarir di dunia penerbitan/penerbitan sejak 1996. Penulis buku Keep Your Hand Moving.

Thursday, May 20, 2010


Kompetensi Seorang Editor
---Anwar Holid


Saya memulai karir di dunia perbukuan sebagai 'asisten editor' di Mizan. Editor yang saya layani terutama ialah Hernowo, Yuliani Liputo, Rachmat Taufiq Hidayat, Taufan Hidayat, Sari Meutia, dan Tholib Anis. Tugas utama saya kira-kira mencakup copyediting, proofreading, membuat indeks, mengawasi cetak coba, dan melayani segala kebutuhan editor. Sesekali saya juga mendapat kepercayaan untuk bertugas sebagai editor---sebab itulah niat utama saya bekerja di industri buku. Kadang-kadang saya diminta mendampingi atau menemui penulis, meski belum benar-benar bekerja sama dengan mereka. Tapi minimal kami berinteraksi.

Pada periode itu salah satu yang paling saya ingat ialah Hernowo---manajer kami---tampaknya sedang memasuki masa transisi dalam karirnya. Gejalanya ialah hampir setelah rapat mingguan dia memberi tulisan untuk kami baca, baik berhubungan langsung dengan penerbitan maupun manajemen. Kami suka heran, ada apa nih mas Her kok agak berubah, yaitu sering mengutarakan pikiran-pikirannya agar kami baca. Saya waktu itu masih anak bawang di dunia kantor, jadi meskipun tulisan itu saya baca, ada kalanya langsung saya taruh di laci setelah sekali baca.

Sebenarya hampir semua editor di Mizan juga suka menulis. Yuliani berkali-kali mempublikasikan tulisan di Kompas, bahkan menimbulkan polemik. Sari Meutia, Rachmat Taufiq Hidayat, Taufan Hidayat juga suka menulis di media lain. Tulisan saya pernah dimuat Gatra dan Republika.

Suatu hari ketika datang ke Mizan lagi untuk mengerjakan order, di showroom saya membuka-buka Mengikat Makna (2001) karya Hernowo. Saya kaget dan berteriak dalam hati, "Loh, ini kan tulisan-tulisan mas Her yang dulu dia bagi-bagikan ke kami!" Rupanya dia secara padu dan menarik mampu mengolah perca tulisan yang dulu kami anggap sebagai buah kegelisahan menjadi buku tentang bacaan dan penulisan paling fenomenal di Indonesia. Berani taruhan, sejak itulah namanya menjadi terkemuka tidak hanya sebagai editor sebuah penerbit yang khas, melainkan menjadi diri sendiri. Saya pikir, Mengikat Makna merupakan buah dari pengalaman dan pembelajarannya bertahun-tahun menjadi editor senior di Mizan. Itu menakjubkan.

Karena gagal membangun karir di Mizan, saya berusaha belajar menjadi 'editor sesungguhnya' secara serabutan, baik lewat ngantor maupun dengan menjadi editor freelance, termasuk buat para penulis perorangan. Selalu ada pembelajaran menarik setiap kali berinteraksi dengan sesama penulis dan editor. Saya kembali belajar dari Hernowo waktu naskah saya akan diterbitkan MLC, meskipun akhirnya gagal. MLC ialah imprint Mizan yang dulu banyak menerbitkan buku pembelajaran, penulisan, dan perbukuan.

Inilah rangkaian nasihat selama kami berinteraksi hendak menerbitkan buku:
1/ Yang lebih penting ialah lebih dulu "menemukan" diri sendiri--- penulis mau apa dengan naskahnya, fokus atau kabur subjek yang dia jelajahi, bagaimana cara dia mengungkapkan gagasan, apa harapannya terhadap naskah, dan kelengkapan lainnya.

2/ Yang sebaiknya memberi karakter pada naskah ialah penulis sendiri, bukan orang lain. Idealnya yang memastikan sebuah buku mau diposisikan seperti apa bukan editor, penerbit, atau orang di luar penulis.

3/ Lontarkan saja apa sebenarnya keinginan penulis atau bayangan buku seperti apa yang penulis harapkan? Apakah buku ini misalnya bisa seperti buku Hernowo (Mengikat Makna) atau buku Sofia Mansoor-Niksolihin (Pengantar Penerbitan)?

4/ Jadikan tulisan itu untuk membantu penulis menemukan diri, mulai dari keinginan, harapan, karakter, apa  pun. Bila menemukan sesuatu, penulis nanti akan menemukan "konsep", "judul" atau apalah yang mewakili diri penulis berkaitan dengan naskahnya. Ini akan membuat naskah jadi dahsyat.

5/ Selain menyusun naskah secara normatif---Eric Jensen menyebutnya sebagai "makna yang dirumuskan" (reference meaning)---idealnya penulis berusaha menyentuh "makna yang dihayati" (sense meaning). Tujuannya untuk mendapatkan makna terdalam sebuah naskah dan menghindari menangani naskah secara kering dan normatif.

Saya juga mendapat masukan dari Ahmad Baiquni ketika menerbitkan buku di Mizania. Dialah editor kedua buku saya. Dari Baiquni saya belajar tentang cara menyampaikan gagasan secara halus dan persuasif. Ini bisa jadi dipengaruhi oleh kepekaan Baiquni yang hebat terhadap bahasa dan kata. Dia awas terhadap efek bahasa dan kemungkinan penerimaan pembaca terhadap cara ungkap. Apa sebuah kalimat akan membuat telinga orang jadi  panas atau membuat hatinya sejuk? Tentu sia-sia bila kita menulis sebuah buku tentang agama, namun efeknya malah membuat orang jadi antipati terhadap agama tersebut. Misinya gagal.

Menyimpulkan dari belajar gaya serabutan itu, menurut saya, kompetensi yang  paling dibutuhkan seorang editor antara lain:

1/ Peka bahasa, luwes menulis, jernih mengungkapkan gagasan. Kompetensi ini sangat kualitatif, tapi efeknya gampang dilihat, misal dari enak-tidaknya buku dibaca, jelas-tidaknya gagasan dalam sebuah buku. Kompetensi ini sudah saya saksikan sejak awal meniti karir. Editor yang hebat pastilah pandai menulis---tak peduli apa dia pernah menerbitkan buku atau tidak. Kompetensi ini akan melanggengkan karir seorang editor. Ini otomatis menggugurkan adagium bahwa editor ialah penulis gagal. Bahkan bisa jadi sebaliknya, editor ialah penulis yang sedang mengasah pena kepenulisannya.

2/ Menangkap gagasan terbaik dari penulis dan memberi saran untuk menciptakan visi tentang sebuah buku. Dalam hal ini mari kita belajar dari Jonathan Karp, pendiri sekaligus Editor in Chief di penerbit TWELVE. Yang paling menonjol dari TWELVE ialah cara Karp menangani penulis dan naskah satu demi satu secara eksklusif untuk menghasilkan buku yang benar-benar bermakna dan mengubah masyarakatnya---Amerika Serikat. Kinerja dia membuktikan idealismenya. Dalam perjalanan karirnya, Karp mengaku sangat terkesan pada Kate Medina, editor yang dia asistensi di Random House sebelum mendirikan TWELVE. Inilah yang dia pelajari dari Medina:

Saya memperhatikan cara dia mendekonstruksi novel, atau manuskrip apa pun, dan memandang naskah itu secara menyeluruh (holistically): dari sisi struktural, tematik, dan seterusnya. Dia bisa memandang gambaran besar dan detailnya sekaligus. Dengan cara positif, dia bisa menyetir penulis, untuk menciptakan karya yang lebih baik dan  hidup. Yang dia lakukan terutama ialah membuat novel itu jadi lebih jernih. Dan karena telah mengetikkan lusinan memo selama bertahun-tahun, saya mulai belajar disiplin menjadi seorang editor. Saya memperhatikan apa karakter-karakter itu terdengar nyata. Apa cara berceritanya bergerak dengan tepat. Apa bahasa punya dampak tertentu atau tidak. Rasanya seperti mendengar suara seseorang di dalam kepalamu. Saya mengenakan headphone itu dan mendengarkan dia melaksanakan pengobatan editorialnya. Itu betul-betul membentuk diri saya.

Sebenarnya ada banyak alasan kenapa Kate Medina jadi editor hebat. Saya kebetulan bisa menguping semua percakapan dia via telepon, dan saya persis ingat sangat terkesan oleh kenyataan bahwa dia tak pernah menyaringkan suaranya dan selalu ramah pada semua orang. Waktu itu saya masih seorang lelaki pemarah berumur dua puluh limaan. Saya ingat pernah masuk ruangannya dan berkata kepadanya, "Kate, kamu tidak pernah berteriak." Balasnya, "Yah, aku menemukan selalu ada cara yang baik untuk menghadapi sesuatu." Itu betul-betul mengubah saya. Saya  menyaksikan profesionalismenya, caranya yang sangat positif dan membangun dalam menghadapi orang. Saya juga memahami visinya.

Kita melihat editor memberi manfaat kepada penulis. Perhatikanlah para penulis yang tulus berterima kasih pada editor, itu bukti bahwa sebagai orang luar, editor bisa memberi masukan berharga baik pada naskah dan gagasan penulis. Editor dan penulis merupakan tim; editor idealnya bisa memberi pendapat pada naskah dan memberi masukan untuk keperluan penulis, apalagi demi kepentingan bersama. Dari dulu saya yakin bahwa bila idenya menarik, sebuah naskah sebenarnya bisa dinegosiasikan buat diterbitkan, meski kita tahu pertaruhan penerbit  banyak dan mereka menuntut editornya untuk bekerja lebih hebat mendatangkan keuntungan.

3/ Belajar terus dari sesama penulis dan editor. Kemungkinan ini terbuka luas sekali, apalagi interaksi antarindividu sekarang bisa terjadi begitu mudah. Pelajaran bisa dipetik di mana-mana. Kita bisa belajar apa saja, mulai dari penulisan hingga marketing. Saya mendapat manual editing dari Yuliani, tahu Karp dari Sari Meutia, tahu cara editor fiksi menilai naskah dari Hetih Rusli, masih sering membaca tulisan Hernowo, dan tahu makna menciptakan buku beserta proses penulisannya dari sejumlah penulis.

4/ Editor harus berani mengungkapkan apa yang menurut pemikirannya benar, tapi harus mampu menyampaikan pendapatnya dengan baik. Perhatikan cara editor menghadapi penulis dengan baik. Kematangan Kate Medina bisa menjadi teladan. Atau editor harus menguasai EQ dengan baik. Keberanian frontal hanya akan menciptakan musuh dan membuat sebagian orang antipati, ini bisa menjadi bumerang. Sebab sebagian editor lain kurang tahan kritik, begitu juga dengan penulis. Kalau sudah begini, bisa menimbulkan konflik. Pelajarilah cara menyampaikan kritik yang baik, sepahit apa pun itu. Meski maksudnya baik, jangan sampai kritik jadi ajang menjelek-jelekkan.

Contoh: Saya berpendapat ejaan kata untuk pekerjaan itu ialah 'karir', bukan 'karier', sebab 'karier' artinya 'pengangkut' atau dalam konteks biologi ialah gen pembawa sifat cacat.

5/ Berusaha menikmati dan menyelami segala jenis buku. Betul spesialisasi tampaknya penting, tapi saya pikir menikmati segala jenis buku akan memperkaya khazanah dan makin mengasah kemampuan berbahasa seorang editor, ujung-ujungnya akan membuat dirinya awas betapa cara bertutur, menyampaikan, dan mengungkapkan gagasan itu dinamik dan terus berkembang. Setelah sejak awal saya tertarik fiksi dan agama, akhir-akhir ini saya tertarik dengan buku-buku nonfiksi seputar kreativitas dan manajerial. Ternyata banyak sekali buku kreativitas yang sangat bermakna, misal Whatever You Think, Think The Opposite karya Paul Arden. Kita bisa belajar menulis provokatif dari buku seperti itu, membolak-balikkan logika, dan menantang kejumudan berpikir.

Terkait dengan itu semua, editor harus terus melatih kompetensi yang relevan dengan pekerjaannya, baik menguasai perangkat penulis, menganalisis naskah, mulai dari kreativitas hingga referensi, apalagi membaca dan menulis. Karena terus berhubungan dengan teks dan gagasan, editor mestinya menikmati permainan bahasa, mengotak-atik, bereksperimen, mencoba berbagai kemungkinan. Kalau setiap editor punya semangat belajar dan berlatih, saya yakin industri perbukuan akan terus dinamik, dan generasi baru editor hebat akan terus lahir.[]

Anwar Holid kini bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

PS: Pointer dari esai ini saya presentasikan di pertemuan Writing for Editors, penerbit Mizan, Bandung, 19 Mei 2010.