Showing posts with label copy editor. Show all posts
Showing posts with label copy editor. Show all posts

Friday, November 18, 2016


Frustrasi Melawan Frustasi
--Anwar Holid

Dulu saya baca Our Iceberg is Melting (John Kotter dan Holger Rathgeber) terbitan Elex Media Komputindo, 2007. Buku menarik ini berisi fabel modern tentang koloni penguin di Antartika dalam mengambil tindakan saat menghadapi krisis karena ancaman perubahan yang terjadi pada gunung es tempat mereka tinggal. Di buku itu saya menemukan kira-kira enam kali kata frustrasi. Sekali dieja tepat sebagai f-r-u-s-t-r-a-s-i, sisanya salah semua, yakni dieja sebagai f-r-u-s-t-a-s-i. Kebetulan sekali, entah kenapa buku terjemahan itu juga tidak mencantumkan editor, jadi tak ada pihak yang langsung harus bertanggung jawab atas keteledoran tersebut.
Contoh lain betapa kita kesulitan mengeja frustrasi ialah Ufuk Press menerbitkan novel berjudul Joey, Si Frustasi yang Beruntung (Mark Robert Bowden) dengan poin huruf mencolok. Ketika seorang editor mengulas buku itu pun, penulisan 'frustasi' ini pun luput dari perhatiannya. Berarti dia menganggap ejaan itu sudah benar. Di bidang musik, Ebiet G. Ade dan band Tipe-X sama-sama menciptakan lagu berjudul "Frustasi." Sementara di milis-milis berisi para penulis dan jurnalis pun anggotanya mudah menulis salah eja persis hal serupa. 

 
Tiap kali menemukan salah eja saat membaca, saya tertawa. Bersama seorang teman yang jeli dan juga mudah terganggu oleh salah eja, kami kerap mengolok-olok salah eja yang dilakukan penerbit, penulis, maupun lembaga pers. Kami menganggap salah eja mampu meruntuhkan kredibilitas, membuktikan bahwa mereka abai terhadap ejaan yang semestinya. "Bagaimana kami bisa percaya terhadap keseluruhan isi wacana itu, bila dalam hal mendasar saja mereka sudah salah?" demikian pikir kami.
Boleh jadi salah eja itu sederhana dan tidak begitu serius. Saya harus lebih santai terhadap kesalahan elementer dalam penulisan. Kadang-kadang kejengkelan atas kesalahan itu saya rasakan sebagai kerewelan atau sikap perfeksionisme berlebihan terhadap penulisan. Salah eja merupakan hal yang sangat umum, bahkan ada kala saya pun terpeleset melakukannya.
Nah, bayangkan bila lembaga penerbitan yang selama ini terkenal menetapkan standar tinggi dalam penerbitan dan berbahasa---misalnya Tempo, Kelompok Kompas-Gramedia (KKG), Mizan, dan Pikiran Rakyat, atau mereka yang terlatih agar berbahasa baik seperti editor, jurnalis, penerjemah, dan penulis---justru berkali-kali melakukan kesalahan. Apa kata dunia? Bukankah mereka memiliki gaya selingkung (house style), terus berusaha menambah wawasan dan mengembangkan bahasa Indonesia, termasuk rutin menyediakan kolom bahasa?
Karena menganggap keterlaluan sebuah penerbit besar melakukan kesalahan fatal, abai terhadap akurasi ejaan, saya terpikir barangkali kesalahan itu terjadi bukan gara-gara ketidaktahuan penerjemah, editor, atau proofreader, melainkan secara bawah sadar para pekerja buku itu menganggap yang benar memang frustasi, bukan frustrasi. Yang selip bukan lagi lidah atau tangan, melainkan pikiran.
Boleh jadi karena pengaruh budaya, aksen (logat), dan dialek, secara alamiah orang Indonesia kesulitan mengucapkan konsonan dobel, dan berkecenderungan menghilangkannya. Seperti orang Sunda terbalik-balik mengucapkan huruf 'p', 'v', dan 'f', orang Indonesia kesulitan mengeja frustrasi. Kata yang juga kerap salah pengejaannya antara lain ekspresi, transfer, transportasi, dan deja vu.
Ada apa dengan lidah dan ejaan kita? Ternyata sulit mendisiplinkan diri agar kita dengan tepat menulis dan mengucapkan frustrasi sesuai sumbernya. Apa ini tanda agar kita menerima "frustasi" sebagai ejaan yang benar (diterima) daripada kita terlalu mudah salah menuliskan maupun melafalkannya? Ini mirip dengan orang Malaysia yang dengan sadar memilih ejaan "moden" karena lidah mereka kesulitan mengucapkan "modern."
Usul menerima 'frustasi' sebagai ejaan yang baku berisiko akan menuai protes para editor, penulis, munsyi, dan penganut teguh EYD. Namun, perhatikan betapa lidah kita sudah terbukti lebih nyaman mengucapkan "potret" daripada ribet mengeja sesuai sumbernya, yaitu "portrait", yang terasa kurang praktis pengucapannya karena mengandung tiga dempet konsonan. "Potret" sudah diadopsi jadi kosakata resmi. Kita juga berhasil memapankan ucapan "buku" yang terdengar lebih luwes karena berakhiran vokal sebagai ganti "boek" atau "book." 
Tiada salahnya menggunakan ejaan yang terasa lebih mudah bagi lidah dan pengucapan kita sendiri. Sah-sah saja menyerap kebiasaan berbahasa yang lebih dulu tumbuh dan digunakan masyarakat, lantas memopulerkan dan membakukannya. Sejumlah kosakata asing diserap sesuai pengucapannya alih-alih penulisannya. Biar setelah ini kita berhenti merasa patut menertawakan salah eja yang sebenarnya bisa tidak fatal. Santai sajalah seperti orang di negara tetangga kita juga melakukannya.[]

Thursday, September 30, 2010


[PENERBITAN]

Proofreader: Cermat, Teliti, dan Peka pada Kata
---Anwar Holid

Di dalam organisasi penerbit, secara struktural proofreader (penyunting teks/nas; atau copy editor) kerap berada di bawah editor kepala atau pengelola; namun bekerja di bawah editor pelaksana. Proofreader bertanggung jawab terhadap naskah buku yang digarapnya dari masing-masing editor bersangkutan. Oleh karena itu sudah niscaya proofreader terus-menerus bekerja sama dengan beragam editor untuk menjaga kualitas buku.

Proofreaderlah yang menjaga keseragaman teks (nas) dalam sebuah naskah/buku. Dia pula yang menerapkan gaya selingkung penerbit, mulai dari penerapan ejaan, istilah, hingga ke detail kelengkapan buku, antara lain isi buku (daftar isi), indeks, lampiran, dan memeriksa dummy (cetak coba).

Karena proofreading merupakan tahap akhir proses penyuntingan, diharapkan semua masalah maupun kesalahan penyuntingan sudah ditemukan dan diperbaiki ketika ada di tangan proofreader. Seusai diperiksa, mestinya naskah sudah sempurna, baik dari segi dan tampilan. Dalam hal ini, proofreader jangan diminta mengerjakan tugas editor, melampaui pekerjaan utamanya, atau jadi editor gadungan. Ini semata-mata untuk efisiensi. Beberapa penerbit bila mengout source orang sebagai proofreader ada yang berpesan begini: "Sekalian kalau ada kalimat yang inefektif, bertele-tele, atau tidak enak dibaca, tolong diperbaiki ya." Wah, itu bukan tugas proofreader! Itu tugas editor. Itu membebani tugas proofreader namanya. Kenapa? Karena tugas utama editor ialah justru mengefektifkan kalimat sesuai maksud penulis. Tugas proofreader sudah harus bebas dari tahap penyuntingan, misal dalam hal akurasi data dan ketepatan istilah. Kalau seorang proofreader menemukan hal seperti itu, tentu harus menjadi kredit baginya. Kasarnya, bukan tugas proofreader untuk memberi tahu atau mengecek ada terlalu banyak kata 'yang' dalam satu kalimat hingga membuat kalimat itu menjengkelkan asal dia persis tahu bahwa 'yang' di situ ditulis y-a-n-g, bukan y-a-n-c atau y-a-n-h. Proofreader mungkin tidak perlu tahu persis apa beda Columbia dan Kolombia, apa itu kolumnis atau komunis, asal dia bisa memastikan bahwa ejaan keduanya benar dan penempatannya benar.

Kecermatan, ketelitian, kehati-hatian, kepekaan pada ejaan dan kata, serta konsentrasi sudah semestinya jadi dasar kinerja proofreader, sebab dia menjadi "penyaring kedua" setelah nas diolah sedemikian rupa oleh penyunting sampai layak dan siap terbit. Sederhananya, proofreading merupakan proses membetulkan ceceran pekerjaan editor yang sengaja dilewatkan demi efektivitas produksi. Bisa juga proofreader menjadi orang yang berempati kepada (calon) pembaca. Ia membaca teks (nas), menempatkan diri sebagai pembaca yang sangat mungkin kecewa terhadap buku (produk) karena ada kesalahan sekecil apa pun di dalamnya. Akibatnya seorang proofreader tak akan membiarkan satu pun kesalahan muncul pada nas garapannya.

Tanggung jawab proofreader antara lain meliputi:
1. Akurasi penulisan (ejaan) kata dan tanda baca.
2. Pemenggalan kata.
3. Ketaatasasan istilah dan gaya yang digunakan dalam naskah.
4. Konsistensi penyajian bentuk naskah:
    a. Setting.
    b. Penggunaan font (jenis huruf).
    c. Judul dan subjudul.
    d. Catatan kaki.
    e. Nomor dan penempatan halaman (sesuai tidak dengan di isi buku).
5. Kata atau istilah yang perlu ditulis italic.
6. Akurasi penempatan dan urutan catatan kaki.
7. Akurasi catchword (belah kiri: biasanya berupa nama penulis atau judul buku; belah kanan: bagian/bab buku).
8. Membuat isi buku.
9. Membuat indeks (indeks subjek, indeks umum, nama).
10. Ketepatan transliterasi maupun transkripsi.

Langkah kerja proofreading:
1. Memeriksa kelengkapan materi naskah.
2. Mengeja dan memeriksa secara tepat unsur paling vital dalam naskah:
    a. Judul dan subjudul.
    b. Catchword dan halaman.
    c. Pemenggalan kata.
    d. Kata atau istilah yang perlu ditulis italic.
    e. Akurasi nama orang (contoh: betapa susah mengeja nama ini: Mihaly Csikszentmihalyi), geografi, organisasi, kata asing (contoh: déjà vu).
    f. Ejaan dalam isi buku dan tanda baca kalimat.
3. Memeriksa dummy (cetak coba).[]

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | http://halamanganjil.blogspot.com

Copyright © 2009 oleh Anwar Holid