Wednesday, March 26, 2025


Eksplorasi Sosial dan Eksperimen yang Menggugah

Oleh: Anwar Holid 

 

Judul: Pelayaran Terakhir - Kolase Kisah dari Bumi Timah hingga Jawa 
Penulis: Anggit Rizkianto
Penerbit:  MCL Publisher, 2024
Tebal: 284 hlm.
ISBN: 9786235915449


Di bulan Ramadan tentu relevan j‭ika kita mengajukan bacaan bernuansa Islam atau menyangkut kehidupan orang Muslim. Entah sengaja atau kebetulan, seluruh cerpen di buku Pelayaran Terakhir karya Anggit Rizkianto (MCL, 2024) ini berkaitan dengan kehidupan orang-orang Islam, meskipun bisa jadi muatan agamanya sangat tipis dan lebih tersirat dalam kebiasaan atau latar kehidupan sehari-hari. Alasan ini saja sudah membuat buku ini pantas direkomendasikan. Muatan cukup eksplisit misalnya terasa di cerpen "Pilkada di Kampung Lada." Cerpen ini mengetengahkan pertentangan antara seseorang yang berusaha taat menjalankan ajaran agama, tapi malah banyak berdampak buruk pada kehidupan dan sosial, terutama pada orang-orang terdekatnya.

Kik Saman pulang kampung setelah merantau di Jawa. Dia kembali setelah istrinya meninggal dunia dan mengundurkan diri dari pekerjaan yang dianggapnya tidak Islami (tidak berkah.) Di kampung dia menikah lagi, jadi petani lada, dan jadi guru ngaji di masjid yang sesuai dengan keyakinannya. Dia sering berkonflik dengan masyarakat setempat, meskipun di sisi lain dihargai dan dianggap sangat paham ilmu Islam. Dia melarang istrinya jualan rokok, menolak bersalaman setelah salat, tidak mau mengumandangkan azan saat penguburan jenazah, tidak mau tahlilan, mengecam budaya yang dianggap musyrik, namun membayar rendah upah kerja ipar yang mengerjakan kebun. Dia terlibat kampanye untuk tidak memilih kepala daerah non-muslim, tapi setelah kandidat yang didukungnya menang, marbot di masjidnya kehilangan gaji bulanan sehingga urusan masjid banyak terlantar.

Cara bertutur Anggit terasa tenang, mengalir stabil, membuat pembaca terseret untuk terus mengikuti narasi hingga akhir. Dia memiliki daya tarik tersendiri, mampu mengubah hal-hal biasa menjadi narasi yang memikat. Karena cerita-ceritanya banyak yang tragis dan melankolis, suasana yang dihasilkan kerap menorehkan perenungan atas kesedihan nasib manusia. Anggit paling menyimpan kejutan di ending cerita sering dibiarkan terbuka, sedikit menyisakan pertanyaan dan kesan menggantung yang memancing pembaca untuk berpikir lebih jauh. 

Semua cerpen di buku ini termasuk kategori long short-story (cerpen panjang), sehingga terasa kompleks dan menawarkan eksplorasi lebih luas dibanding cerpen biasa. Pendekatan ini memungkinkan Anggit menggali lebih dalam karakter dan situasi yang diciptakan, termasuk bereksperimen dengan teknik penulisan "cerita dalam cerita" — misalnya di cerpen "Tamu."

Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini sarat dengan nuansa lokal Indonesia, khususnya kehidupan masyarakat Pulau Belitung. Anggit menampilkan kekayaan budaya dan keragaman hayati daerah tersebut dengan baik, mencakup detail seperti jenis makanan khas, ikan, dan tumbuhan yang menjadi bagian integral cerita. Latar sosial-budaya bukan sekadar tempelan, tetapi diungkapkan dengan rinci dan berperan penting sebagai elemen pendukung narasi, memperkuat atmosfer dan konteks cerita. Di luar Belitung, Anggit menghadirkan kisah berlatar urban Surabaya.

Fokus cerpen kebanyakan menyinggung kehidupan masyarakat biasa, kelas pekerja, dan kelompok lemah. Pilihan ini membuat isu yang muncul mencerminkan realitas yang kuat, bahkan di sana-sini memunculkan petisi pada ketidakadilan, misalnya atas nasib wanita atau konflik yang lahir karena perbedaan ras (etnis). "Lelaki Patah Hati yang Membela Tauhid" menghadirkan fakta keras betapa seorang pemuda Jawa gagal menikahi gadis pujaannya karena ditolak keluarga calon istri yang keturunan Arab. Pemuda ini menggugat, meski Islam mengajarkan kesetaraan manusia, tetap ada pemisah yang terlalu berat untuk dirobohkan. 

Cerpen "Pelayaran Terakhir" yang dijadikan pengikat buku ini, menghadirkan Asna menanti kepulangan suaminya dari pelayaran terakhir setelah puluhan tahun jadi pelaut. Usai pulang kampung, tak lama kemudian sang suami meninggal dunia. Waktu menjelang Idul Fitri, Asna tetap menganggap suaminya masih hidup. Dia menyiapkan masakan yang banyak untuk keluarganya, meski kedua anaknya juga tidak bisa mudik karena ada Covid-19. Masakan itu dibagi-bagikan ke tetangga dan pengontrak rumahnya. Di malam takbiran, setelah salat Isya, Asna tertidur dan mimpi seperti menyambut suami dan anak-anaknya pada datang pulang mudik. Dia sadar oleh azan Subuh, tapi sebenarnya tidak ingin bangun selama-lamanya. Di tangan Anggit, paduan penantian, harapan, dan kesedihan itu menghadirkan suasana realisme magis yang sangat menggugah.

Sebagai debut fiksi, Pelayaran Terakhir sungguh tidak mengecewakan. Secara keseluruhan, buku ini cocok bagi pembaca yang menghargai narasi eksploratif dengan sentuhan budaya dan realitas sosial yang tajam. Akmal Nasery Basral, prosais yang membaca awal naskah ini memberi endorsement: "Kumpulan cerpen ini menunjukkan Anggit Rizkianto sebagai pengamat sosial yang jeli dan pecinta estetika yang murni. Dia mencoba menyeimbangkan kadar dua elemen itu dalam semua karya yang tersaji." Di review singkatnya, begini komentar Ivan Lanin atas kumpulan cerpen ini: "Alur tiap cerita cukup cepat dengan narasi yang mengalir, enak dibaca, dan mudah dipahami. Deskripsi yang diselipkan di sana-sini membuat saya membayangkan adegan yang terjadi. Dialog dibubuhkan dengan cukup tepat. Anggit tampak ingin mengangkat satu topik untuk direnungkan pembaca melalui cerita-ceritanya."[]


Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis. IG: @anwarholid. 

Tuesday, February 27, 2024

Keutamaan The Message Of The Quran

Oleh: Anwar Holid

 

Foto: Wartax.


Pada awal Januari 2024 aku baru sempat mulai baca buku The Message Of The Quran karya Muhammad Asad (Leopold Weiss) seiring aku meneruskan ngaji Al-Qur’an masuk ke juz dua puluhan dan kini mulai baca juz 26. The Message Of The Quran merupakan salah satu buku paling tebal (1396 hal.) dan paling mahal yang pernah aku beli — itu pun aku pesan lewat ordal Mizan. Meski dulu waktu menerima semangat membuka-buka dan sempat membaca review Ulil Abshar Abdalla atas buku ini, ternyata buku ini akhirnya cukup lama cuma jadi pajangan yang jarang ditelisik dalam-dalam.

 

Waktu mulai cukup intens membaca The Message Of The Quran, aku langsung kagum dengan kejernihan dan kekuatan makna tafsir Al-Qur’an yang diungkapkan penulis. Terjemahan Al-Qur’an di buku ini memberi dimensi dan pencerahan baru dari pengetahuan yang selama ini aku baca dari terjemahan Al-Qur’an standar Departemen Agama, baik berupa tafsir terjemahan di samping ayat bahasa Arabnya maupun terjemahan kata per kata. Tentu pemahaman baru tersebut muncul berkat kualitas terjemahan yang tersampaikan dengan baik dan memuaskan. Sering Muhammad Asad menggabungkan beberapa ayat jadi satu paragraf, sehingga membuat pesan Al-Qur’an menjadi terasa lebih utuh dan lebih jelas dipahami bagi pembaca awam. Ini berbeda dengan penyajian Al-Qur'an standar Departemen Agama yang menampilkan terjemahan ayat demi ayat, sehingga kadang-kadang muncul pikiran bahwa isi ayat Al-Qur'an bisa sangat sendiri-sendiri dan terpisah dari inti surat secara keseluruhan.

 

Yang sangat menakjubkan dari Muhammad Asad ialah keluasan wawasan ilmu, pengetahuan, pertimbangan (moderasi), termasuk kedalaman bahasanya. Kualitas Asad ini tecermin dengan sempurna dari catatan kaki bukunya. Di catatan kaki ini beliau mengungkapkan secara luas sekali khazanah keilmuan, baik dari segi sejarah, kejelian memilih makna, serta komentar dan memberi  informasi berharga untuk memahami setiap ayat Al-Qur'an. Secara khusus dia melampirkan dan membahas empat hal pelik yang selama ini sangat penting untuk dipahami setiap pembaca Al-Qur'an, yaitu simbolisme dan alegori (majasi) dalam Al-Qur'an, al-muqaththa'at (huruf-huruf terpisah, seperti alif lam mim), istilah dan konsep jin, terakhir mengenai isra' mi'raj.

 

**

Seorang teman di WAG mengomentari The Message Of The Quran: Ini juga terjemahan favorit saya. Tapi, belakangan setelah lebih banyak belajar, saya mulai agak kritis membaca terjemahan Muhammad Asad ini. Yang perlu diingat adalah bahwa Muhammad Asad menafsirkan, bukan sekadar menerjemahkan. Sebagian besar terjemahan ayatnya sudah melalui proses penafsiran.

 

Untuk yang terbiasa dengan bacaan “sekuler”, terjemahan Asad ini sangat nyaman dibaca karena banyak bagian-bagian Al-Qur’an yang sifatnya di luar nalar diterjemahkan menjadi lebih rasional. Misalnya Al-Mulk ayat 5 yang umumnya diterjemahkan sebagai bercerita tentang bintang-bintang sebagai pelempar setan, oleh Asad ditafsirkan sebagai bintang-bintang sebagai bahan tebakan/ramalan oleh pengikut setan (ahli nujum).

 

Sebaliknya, terjemahan Asad ini mungkin tidak cocok bagi pengikut tasawuf. Setelah membaca-baca Futuhat al Makkiyah, saya baru paham bahwa Ibnu Arabi menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur'an secara literal, tapi dengan takwil yang masuk entah ke akal atau ke hati.

 

**

Sekadar komentar, banyak pasase di The Message Of The Quran merupakan rangkaian panjang kalimat yang beranak-pinak dan berkoma-koma, sehingga berisiko bisa melelahkan pembacaan. memang dengan pembacaan yang hati-hati kalimat sangat panjang itu tidak membingungkan atau terasa janggal, hanya saja terasa kurang efektif.

 

Mungkin aku tidak akan bisa segera menamatkan buku ini, namun aku merasa bisa menikmatinya secara optimal tiap kali membacanya.

**
Note:

Sekilas tentang Muhammad Asad (Leopold Weiss): Muhammad Asad lahir pada 2 Juli 1900 di Galicia,  sekarang bagian dari kota Lviv, Ukraina — dulu bagian dari Kekaisaran Austro-Hongaria). Dia studi di bidang filsafat dan sejarah seni, sempat menjadi asisten perintis film (Dr. Murnau) dan genius teater (Max Reinhardt), di Berlin. Pada 1922, Asad menjadi reporter harian Frankfurter Allgemeine Zeitung, kemudian menjadi koresponden untuk negara Timur Dekat. Berkat kesan mendalam dari pengembaraannya di negara-negara Islam Timur Tengah dan Asia Tengah, dia memeluk Islam pada usia 26 tahun. Pada 1952, Asad ditunjuk mewakili Republik Islam Pakistan di Markas Besar PBB di New York sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh. Asad wafat pada usia 92 tahun di Granada, Spanyol. Ketika menulis The Message of the Quran, dia sampai perlu tinggal bertahun-tahun dengan suku Badui Arabia demi memperoleh wawasan unik tentang semantik bahasa Al-Qur'an. Orang-orang Arab Badui memang masih banyak menggunakan bahasa Arab seperti yang dipergunakan dalam Al-Qur'an. Beberapa karyanya yang lain: The Road to Mecca, Islam at the Crossroads, The Principles of State and Government in Islam, dan Shahih Al-Bukhârî: The Early Years of Islam. Sumber: Mizanstore.[]

Tuesday, October 04, 2022

Gowes dan Khatam Al-Qur'an

Oleh: Anwar Holid

 

Pada Desember 2021 aku menargetkan khatam Al-Qur'an pada Mei 2022 (akhir Ramadhan 1443 H). Waktu itu aku indekos di Paseban, Jakarta Pusat. Indekos di situ merupakan pengalaman mengesankan, karena kosan itu memberi layanan sarapan dan makan malam, cuci-setrika, ditambah Wi-Fi (bagi yang mau). Di kosan itu hidupku simpel, tak kerepotan mencuci, setrika, bebersih di luar kamar, cari makanan, masak, dan lain-lain. Aku bisa mengisi waktu luang melakukan yang aku inginkan, seperti olahraga ringan dan baca Al-Qur'an, baik pagi sebelum berangkat kerja atau petang setelah kerja. Di kosan ini aku sempat khatam Al-Qur'an meneruskan daras sebelumnya.

                Baru sebentar ngekos di Paseban tempat kerjaku pindah kantor ke Bintaro, Tangerang Selatan. Di sini aku menempati kamar belakang kantor. Tinggal di kantor yang paling bikin sibuk ialah harus cuci-setrika sendiri dan cari makanan. Kalau mau londri harus ke luar kompleks kantor. Warung paling dekat kantor sekitar 1 km bolak-balik. Tak lama kemudian aku dapat rekomendasi katering. Jadi buat makan siang dan malam tak repot lagi.

                Bintaro adalah kawasan elite. Lingkungannya makmur, maju, tertata rapi, dan nyaman. Jalan-jalan besar beraspal mulus. Pinggiran kawasannya pun bisa dibilang rapi dan bagus, tapi masih banyak sampah berserakan di pinggir jalan dan sebagian ruas jalannya bocel-bocel. Jalan yang bagus dan tidak sangat padat lalu lintas waktu pagi membuat hobi gowesku tersalurkan dengan baik di kawasan ini. Bagi komunitas goweser, Bintaro terkenal dengan Bintaro Loop, yaitu gowes bolak-balik sepanjang Jalan Boulevard Bintaro sekitar 25 km. Rute Bintaro Loop nyambung ke kawasan elite lain di sekitar Tangerang Selatan, seperti Graha Raya, Alam Sutera, BSD, dan Mozia yang memberi kenyamanan lebih bagi pesepeda, terutama pengguna sepeda balap.

                Begitu tinggal di Bintaro hobi gowesku jadi terasa optimal. Hampir setiap pagi aku gowes sekitar satu sampai satu setengah jam. Setelah salat subuh dan beres-beres biasanya aku langsung siap-siap gowes. Aku lebih suka gowes di pinggir kawasan utama Bintaro daripada ke Bintaro Loop. Sebabnya jelas: aku tidak bisa ngebut. Kecepatan rata-rataku di bawah 20 km / jam. Lagi pula gowes ke pinggir kawasan Bintaro lebih berkelok-kelok, variatif, dan jarang berpapasan dengan mobil ngebut. Saking rutin, sejak di Bintaro aku beberapa kali berhasil memenuhi tantangan Strava gowes 800 km atau paling sering 400 km per bulan. Tanpa disadari rutinitas dan disiplin ternyata bisa menghasilkan kejutan.



                Kebiasaan gowes pagi di Bintaro segera menghapus kebiasaanku mengaji habis subuh waktu di Paseban. Akibatnya kemajuan ngajiku tersendat. Memang habis magrib aku berusaha rutin ngaji, tapi biasanya sebentar, hanya sampai menjelang salat isya tiba. Sementara sebelum magrib aku pun kadang-kadang gowes sore setelah kerja atau memilih segera ke Masjid Raya Bintaro Jaya (MRBJ) untuk membaca surat-surat tertentu sesuai keinginan sampai azan berkumandang, tidak meneruskan bacaan sebelumnya. Surat yang suka aku baca di antaranya Ar-Rahman, Al-Mulk, Al-Kahfi, dan Yasin.

                Kebiasaan baru membaca surat-surat tertentu ini mungkin dipengaruhi oleh informasi bahwa surat tersebut memberi berkah, fadhilah atau kemuliaan tertentu bagi pembacanya. Kurang jelas kenapa aku jadi terpengaruh dan tertarik oleh iming-iming berkah. Dari dulu aku kurang tergerak oleh iming-iming semacam itu. Mungkin aku kurang beramal baik, akhirnya jadi ngarep betul pada limpahan berkah. Mungkin ada yang berubah dalam diriku. Mungkin anjuran dari pengajian yang kadang-kadang aku hadiri. Mungkin dari posting wag yang aku ikuti. Mungkin dari lini masa yang melintas di media sosial.

                Karena lebih semangat dan disiplin gowes daripada rutin ngaji, khatam Al-Qur'an baru kelar pada Muharram 1444 H, padahal targetnya akhir Ramadhan 1443 H. Selain gowes, yang bikin aku tersendat melanjutkan baca Al-Qur'an ialah mengerjakan urusan sehari-hari, seperti cuci setrika, cari sarapan, dan beres-beres. Rasanya lama sekali upaya menamatkan Al-Qur'an periode kali ini. Terasa betul gowes lebih prioritas daripada upaya memahami kedalaman Al-Qur'an. Pasti karena gowes lebih mudah dan menyenangkan dilakukan daripada baca Al-Qur'an. Ironik dan mengenaskan. Seorang muslim bisa menjawab tantangan gowes 400 km per bulan, tapi kesulitan menamatkan beberapa juz Al-Qur'an dalam sebulan. Sungguh terlalu. Waktu sampai Juz Amma baru hadir rasa lega dalam diriku. Alhamdulillah, sekarang aku pelan-pelan jalan menyelesaikan juz-juz awal mengulang dan berusaha menamatkan Al-Qur'an.[]

Anwar Holid, tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.