Monday, July 16, 2007

Simpatik tapi Tidak Kritis
---------------------------------------
Anwar Holid

JALALUDDIN RAKHMAT (Kang Jalal) memberi kata pengantar amat menyengat di buku Muhammad: Prophet For Our Time karya Karen Armstrong (Mizan, 2007), judulnya: ‘Karen Armstrong, Simpatik tapi Tidak Kritis.’ Kata pengantar tersebut merupakan 'hadiah' sangat berarti untuk menemani pembaca selama menikmati buku biografi Nabi Muhammad dari sudut pandang seorang komentator agama. Bagi sebagian Muslim pun, pendapat Kang Jalal tentang sirah nabawiyah itu boleh jadi tetap bakal mengguncang, apalagi bagi Muslim yang kurang terbiasa dengan khazanah non-Sunni. Muhammad: Prophet For Our Time sendiri disiapkan nyaris sempurna, mulai dari penerjemahan dan editing, didesain amat cantik, hingga menambah bobot buku lebih dari sekadar benda cetak atau sumber pengetahuan. Karen Armstrong menulis dengan sangat luwes, lincah, jernih, dan menyajikan wacana seperti bila kita meluncur di permukaan licin, tanpa kesukaran pemahaman sama sekali.

Saya sudah menamatkan beberapa buku Karen Armstrong, membaca-baca berbagai file profil dia, wawancara, artikel mengenai dirinya, pikiran dia dari berbagai sumber, termasuk menulis profil dia di Matabaca, tapi tak terlintas sedikit pun kesimpulan bahwa dia tidak kritis. Bahwa Armstrong simpatik tentu semua pembaca buku-buku dia sepakat. Tapi disebut tidak kritis? Baru Kang Jalal berani berpendapat demikian. Walhasil, kata pengantar dia sangat berguna mengimbangii isi buku. Sebuah kata pengantar yang sangat tajam dan menunjukkan betapa keyakinan (iman) lain dengan penelusuran sejarah atau interpretasi terhadap teks dan riset dari berbagai sumber rujukan. Padahal, berkat pengabdian Armstrong dalam membangun jembatan memajukan pemahaman antaragama pada 1998 Islamic Center California Selatan menganugerahi dia penghargaan. Pada 1999 dia menerima anugerah dari Muslim Public Affairs Council Media.

Bagaimana Karen Armstrong jadi tidak kritis di mata Kang Jalal?

Salah satu yang paling mencolok, Armstrong ternyata lolos memperhatikan dan tak merujuk sejumlah biografi Nabi Muhammad karya penulis Muslim terkemuka, misalnya Sejarah Hidup Muhammad (Muhammad Husain Haekal). Padahal buku Haekal tersebut sangat bermanfaat dalam menjelaskan soal kisah gharaniq (ayat-ayat setan). Kelemahan Armstrong itu terutama disebabkan karena dia mengutip buku 'tarikh dalam terjemahan Inggris. Itu pun terbatas pada sumber Ahli Sunnah, yang diterimanya tanpa kritik.' Kang Jalal mengambil satu kisah peristiwa vital yang dia jadikan bukti bahwa Armstrong tidak kritis, yaitu ketika Muhammad menerima wahyu pertama, dan setelah itu beliau menggigil ketakutan, disertai kecemasan, kebingungan, dan kesedihan. Begitu pulang beliau berkata kepada Khadijah, "Selimuti aku! Selimuti aku!" sampai hilang rasa takut itu.

Tulis Kang Jalal: Tidak pernah wahyu datang dengan cara yang 'mengerikan' seperti ketika ia datang kepadaa Nabi Saw. Bukankah beliau adalah kekasih Rabbul `Alamin, yang tanpa Dia, seluruh alam semesta tidak akan diciptakan. Atas dasar apa Jibril menakut-nakuti Nabi dan menyakitinya? Kisah itu menunjukkan bahwa peristiwa menerima wahyu yang seharusnya mencerahkan, malah menggelisahkan. Kisah itu bertentangan dengan gambaran Al-Quran Surah Al-An`am ayat 125: Barang siapa yang Allah kehendaki untuk memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (H. 28 - 30). Karena itu, tegas Kang Jalal, riwayat turunnya wahyu seperti itu harus kita tolak karena bertentangan dengan Al-Quran.

SAYA terperangah dengan argumen Kang Jalal. Betapa berbeda cara dia membaca, menilai, dan menyimpulkan suatu informasi sangat lain dibandingkan pendapat umum selama ini. Dia memadukan pengetahuan itu dengan keyakinan kuat, memanfaatkan khazanah yang luas lagi dalam, dan siap sedia andai keteguhan itu diguncang. Saya lemas, ternyata selama ini pun tidak kritis. Kenapa tidak kritis? Karena menerima keterangan begitu saja. Maka wajar bila sudah baca beberapa buku Karen Armstrong, tak pernah terbetik pendapat lain terhadap dia, yaitu mengamini bahwa dia seorang komentator agama yang simpatik. Saya gagal menemukan atau meraba betapa ada yang salah dalam keterangan maupun keyakinan selama ini, mirip keyakinan mayoritas orang tak kritis lain. Sikap tak kritis ketika membaca amat riskan mengeraskan pendapat salah yang dianggap sebagai kebenaran umum. Sesuai kapasitas sebagai cendekiawan, Kang Jalal mengajak pembaca agar lain kali lebih kritis saat membaca, sebab dengan itu kita bisa jelas-jelas membedakan mana pendusta, kaum munafik, penipu, suka riya, mau untung sendiri, dengan orang beriman. Kita mudah menemukan Muslim yang memegang teguh kisah tentang proses penerimaan wahyu pertama itu begitu saja, menganggap itu sebagai kebenaran, dan sulit sekali menghapusnya,

Pembaca, penulis, sarjana, memang bagus bila bekerja keras melakukan riset dari berbagai rujukan; tapi bila tidak kritis, dia bakal salah menyisipkan detil itu ke dalam rangkaian tulisan yang sedang dikerjakan, lebih parah lagi, bisa ikut berkubang dalam kesalahan, melestarikan kebodohan, dan malah menyebarkannya pada publik. Wah, mengerikan jadinya![]

Note: Esai ini dipublikasikan di harian Republika, rubrik Selisik, Minggu, 15 Juli 2007.


KONTAK: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B, Bandung 40141, Telp. (022) 2037348 – SMS: 08156140621

No comments: