Thursday, July 12, 2007

MENEMUKAN INTI PENULISAN
----------------------------------------------------
ANWAR HOLID


Para pengulas buku telah mengajariku bukan saja tentang caraku menulis, tapi juga mengapa aku menulis.
>> Amy Tan, Lawan dari Takdir (h. 320)


BERKAH seorang peresensi ialah mendapat kesempatan menulis buku yang dia cintai, yang setelah selesai baca berhasil menginformasikan kepada publik betapa berharga buku tersebut, sehingga patut direkomendasikan, dimiliki. Resensi, baik eksplisit maupun implisit, biasanya menyebut bahwa buku tersebut layak dibeli. 'Niat saya hanya ingin membantu pembaca buku menentukan pilihan. Untuk itulah saya mencoba menulis resensi agar calon pembaca/pembeli terbantu,' demikian aku Hernadi Tanzil, seorang peresensi produktif, yang resensinya tersebar ke sejumlah media massa, milis, dan blog.

Peresensi selalu mendapat kepuasan setiap kali berhasil menulis tentang buku yang sudah dia baca. Pada dasarnya peresensi menyesal bila sudah tamat membaca tapi akhirnya gagal menulis tentang buku tersebut, apalagi bila buku tersebut faktanya bagus, layak direkomendasikan, pantas disarankan kepada publik. Tapi harus diakui bahwa menulis resensi pun ternyata bisa cukup sulit. Sama dengan jenis tulisan jurnalistik lain, resensi punya kesulitan tertentu yang harus bisa diatasi oleh peresensi. Salah satu halangan menulis resensi bisa jadi kegagalan menentukan subjek atau fokus atas resensi tersebut.

Bila resensi hanya berupa otak-atik comotan salinan pengantar penulis dan penerbit, pemberi kata pengantar, termasuk sinopsis beserta blurb, tentu saja jauh lebih berharga memahami buku daripada sekadar meresensi semata-mata demi dimuat di media massa. Kemalasan peresensi membaca biasanya akan terbukti oleh orang yang tahu persis kandungan tersebut, atau pembaca lain yang sungguh-sungguh menyelami isinya, dan paling fatal, biasanya resensi tersebut dangkal. Pembaca tentu sulit berharap banyak pada resensi dangkal, selain info ada buku baru. Tapi, lepas dari itu semua, ada adagium ternyata penerbit pasti senang setiap kali ada resensi atas buku yang mereka terbitkan, bahkan resensi yang buruk sekalipun. Ini juga menunjukkan peran penting resensi, apa pun media penerbitannya. Kini kita tahu resensi bisa muncul di mana saja, tapi resensi di media massa umum seperti koran, majalah, tetap memiliki standar yang kuat dan punya reputasi yang sulit diganti. Carol Meyer, mantan editor Random House dan HBJ, penulis The Writer's Survival Manual, menyatakan: Tanpa resensi sulit bagi sebuah buku mencolok dari kerumunan buku lain yang diterbitkan berbarengan, terutama jika buku itu tak punya budget iklan. Intinya, buku Anda butuh perhatian media.

RESENSI yang baik berupaya melampaui hasil pembacaan; ia berhasrat menemukan inti kedalaman subjek buku, yang sudah berhasil dijabarkan penulis. Taruhan terbesar resensi bisa jadi kejujuran menilai, ditambah kejelian memposisikan seberapa penting (berhasil) buku tersebut memberi sumbangan kepada khalayak. Menilai dan memposisikan buku mesti ditentukan baik-baik. Komentar positif saja masih kurang. Amy Tan, penulis Amerika Serikat, juga menghendaki agar resensi jangan sampai mengeluarkan buku dari segi hakikat penulisannya; bila itu buku sastra, timbanglah kadar sastranya, jangan justru menekankan kritik pada aspek sosial atau politik. Di sini pentingnya peresensi menghargai pencapaian penulis, berhenti menyerang dari sudut yang bukan sasaran penulis.

Dari resensi yang bagus kita bisa belajar bahwa resensi selalu berisi komentar berimbang antara kritik dan pujian, disertai pendapat yang jelas kenapa peresensi berpendapat demikian. Sementara peresensi yang sungguh-sungguh (berdedikasi), membuktikan ternyata menulis resensi bisa didekati dari mana saja. Antara menyajikan resensi yang menarik, bahasanya lincah, asyik dibaca, jernih, sebanding dengan berkomentar secara wajar, mengolah lagi hasil pembacaan, menghargai upaya penulis, memberi pertimbangan yang dibutuhkan (bisa dengan menunjukkan kelemahan atau membandingkan dengan buku & penulis lain, memberi tahu manfaat buku tersebut pada khalayak.

Dari resensi bagus kita bisa belajar bahwa resensi tersebut pasti sudah beres dari seluruh aspek penulisan, ia memenuhi standar publikasi, bahkan mungkin bisa dibilang sempurna; ia berisi informasi berharga yang layak diketahui publik, kedalaman pendapat, berhasil menutupi kejanggalan mungkin ada pada buku (dan resensi itu sendiri), dan terutama sekali: fokus. Fokus ini akan memberi permata pada pembaca, membimbing pembaca persis kenapa perlu memperhatikan buku tersebut.

Salah satu upaya fokus dalam meresensi ialah mutlak membaca buku tersebut seluruhnya, utuh, sebaik mungkin, dan pada saat bersamaan di pinggir halaman tandailah kalimat atau pasase yang penting, butuh perhatian, mengundang pertanyaan, atau harus diberi penjelasan. Membaca memang memakan waktu, butuh energi, menyita tenaga, tapi bayarannya pun sepadan: kita akan punya pandangan utuh terhadap buku tersebut, mudah menentukan fokus, dan alternatif menentukan pendekatan.

Sebelum hendak mengirimkan resensi ke media massa, pastikan peresensi berhasil menutupi kejanggalan (lubang) dalam artikel tersebut, dan jangan segan menyunting dan merevisi tulisan bila perlu dilakukan. Biasanya menyunting dan merevisi terkait dengan subjek tulisan dan ruang yang tersedia. Menyiasati ruang bukan sekadar bisa menulis panjang atau pendek, melainkan tetap harus memperhatikan apa yang berharga disampaikan, mesti dibuang (karena berpeluang mengaburkan fokus), termasuk struktur (alur tulisan) pun mesti enak dinikmati.

SALAH satu alternatif yang mungkin menarik diobrolkan ialah keleluasaan berkarir sebagai peresensi. Di Indonesia jarang sekali ada media yang khusus mempekerjakan peresensi atau kritikus buku, yang bisa menjadi pilihan karir dan dijalani bertahun-tahun; yang sering ialah penjaga rubrik (desk) buku, dengan tugas utama menyunting resensi dari para kontributor. Di sisi lain, sistem sindikasi media belum diterima di Indonesia. Farid Gaban, jurnalis dari Pena Indonesia, berpendapat sistem sindikasi sebenarnya membuka peluang penulis freelance (termasuk peresensi) mendapatkan honor dari beberapa media atas sebuah tulisannya. Dalam Harga Sebuah Impian (Chicken Soup for the Writer's Soul edisi Indonesia) beberapa penulis sukses karena tulisannya dijual memanfaatkan sistem sindikasi. Selama ada media yang membeli tulisan tersebut, peluang mendapat honor tetap ada; sementara media selalu bersedia membeli tulisan yang bagus, bahkan yang pernah terbit bertahun-tahun lalu. Artinya, peresensi senantiasa boleh menganggap tulisannya sebagai investasi yang sewaktu-waktu bisa mendatangkan penghasilan.

Bila kita perhatikan, hampir semua media massa memiliki rubrik resensi dan buku; itu semua merupakan peluang bagi peresensi. Semakin rajin peresensi dan matang tulisannya, makin besar peluang dia menembus media. Pada saat bersamaan, penerbit pun pasti akan suka cita mengirim buku terbaiknya, berharap salah satu menarik minat peresensi dan mampu membangkitkan antusiasme menulis. Bukan itu saja, sebagian penerbit bahkan menyemangati peresensi dengan memberi tambahan honor setiap kali resensi atas buku terbitan mereka berhasil dipublikasi media massa terkemuka. Tahu sebabnya? Karena resensi yang dimuat terbukti meningkatkan pesanan dari toko buku. Bila sudah begitu, tinggal peresensi sungguh-sungguh mencurahkan energi dan waktu untuk membereskan tulisan.[]

No comments: