Saturday, July 14, 2007

TIRAMISU
---Adilla Anggraeni


Semua selalu sama. Rasa lezat, adonan lumer, dan lembut di lidah. Semua terbungkus lembut. Dan Rania terbuai.

Selalu sama. Kafe yang sama, tempat duduk di sudut yang sama; percakapan lain. Tapi tumpukan kertas di hadapannya seolah tak perduli. Mereka mencampur semua, meramu semua.

Tua, muda. Kenapa kedua kata sifat itu seolah bukan hanya bertentangan, tetapi juga mencerminkan dua sisi berlainan? Mengapa semua orang mengucapkan kata "tua" dengan rasa jijik, takut, dan antisipasi berlebihan? Mengapa wajah mereka memucat, seolah tengah melihat sendiri lubang kuburan mereka digali? Tak bisakah kata "tua" dan "muda" diucapkan seolah mengucapkan kata merah dan hijau? Tanpa tendensi dan makna terselubung?

Dan Raina kembali tersenyum. Menggoyangkan pena di tengah kedua jemari, mencoba menerka apalagi yang akan ia tulis di helaian kertas di hadapannya. Hidup. Tentu, tiada yang lebih bernyawa dan menginspirasi dari hidup itu sendiri. Bahkan lebih dari cinta yang diagung-agungkan banyak orang sebagai sumber inspirasi terbesar. Bukankah cinta itu sendiri hadiah kehidupan?

Kening Raina berkerut. Pandangannya kembali terlempar pada sosok-sosok sekitar, yang menghirup kopi atau cairan apa pun yang ada di gelas mereka dengan kepuasan tersendiri. Seorang lelaki duduk tepat di hadapannya, pakaian sedikit lusuh, tapi dengan raut wajah bersinar ketika ia membolak-balik koran di tangannya. Kebahagiaan itu! Manusia macam apa yang bisa begitu bahagia hanya dengan menikmati secangkir kopi, di udara membekuka tulang seperti ini?

Manusia yang tahu cara mensyukuri hidup. Raina memutuskan. Dan kembali tertunduk mencoretkan sesuatu di atas kertas. Bibirnya membentuk seutas senyum. Jikalau aku bisa merekam adegan di hadapanku ini seperti pelukis pada kanvasnya! Raina iri, sangat iri karena ia perlu menggoreskan seribu kata sebelum akhirnya mampu menandingi kelancaran bahasa seorang pelukis.

Raina begitu iri, sehingga pikirannya kacau saat itu. Dosis kafein yang ia tenggak sebelumnya gagal meredakan kekalutan. Raina meremas kertas di hadapannya keras-keras. Selalu sama, selalu sama. Kejadian ini berulang lagi, hingga ia ingin berteriak begitu keras dan melupakan segala, kecuali rasa tiramisu yang masih menari-nari di lidah.

Kenapa adonan di depannya ini bahkan bisa berbicara lebih banyak daripada kertas naskah ini? Bisa cerita lebih banyak dari kerutan yang menghiasi wajah seseorang? Bukankah kerutan itu menandai setiap peristiwa besar kehidupan? Garis kegembiraan yang terbentuk setelah bertahun-tahun menjadi satu kerutan. Lalu ada garis tangis. Garis terkejut. Garis lengkung tanpa arti yang terbentuk karena keheranan. Itu saja. Tapi ia telah kalah berbicara.

Setiap ada di café ini Raina selalu membandingkan dua hal: kopi pahit dan tiramisu manis menggigit. Taplak meja bersih dan serbet kotor. Kakinya yang bersepatu hak tinggi dan pengemis telanjang kaki di luar. Lembar uang di meja yang pasti cukup untuk hidup selama seminggu dan recehan dalam kaleng di muka pengemis itu.

Lucu begitu rasa dan aroma yang selama ini diacuhkan banyak orang bisa menjadi alat pengenang masa lalu. Mereka seperti menyekap dan membelenggu, memaksa menoleh masa lalu yang ingin dikubur oleh orang bersangkutan. Mereka hantu berwujud, diam-diam mencengkeram dari belakang.

Raina menghirup kopi. Entah saraf apa yang dihidupkan kopi ini ketika ia tersentak dan dipaksa bangun untuk merangkai jaring-jaring kehidupan di atas kertasnya. Raina tidak melukis. Ia merangkai dan memutus jaring-jaring kehidupan, membingkai dan menempelkan di tempat yang cocok.

Dalam dunianya Raina merasa menjadi Tuhan. Ia menulis nasibnya dalam versi lain, dengan boneka-boneka takdir tanpa daya yang akan menuruti segala kehendaknya. Ia menjungkirkan fakta, membolak-balikkan kenyataan dan mengguncang sekaligus. Lalu ada tiramisu, yang rasanya bagai ambrosia, minuman para dewa.

Raina mungkin perwujudan Prometheus, yang dihukum karena melanggar kekuasaan sendiri. Prometheus yang terjebak keabsurdan hidup, dalam ketragisan heroik. Apa semua pahlawan tragis sebenarnya bodoh? Mungkin akan ada sebuah literatur Jawa mengatakan bahwa Kurawa sebenarnya pintar karena mereka mampu mengatur strategi untuk merebut sesuatu dan menjadikan hal itu milik, bukan nrimo tanpa perlawanan!

Ketragisan heroik dan hukum rimba setali tiga uang. Siapa bilang hukum rimba dalam pergaulan manusia itu hanya ada di kota besar, atau lebih spesifik, di ibu kota? Raina tersenyum sinis. Hukum rimba sudah ada saat manusia pertama kali diciptakan! Telah ada saat Qabil membunuh Habil. Saat jerapah berleher pendek sia-sia beradaptasi dan harus punah karena kandas menjangkau daun di pepohonan tinggi.

Mungkin pengemis itu hasil hukum rimba, seleksi alam maha luas yang membuat dia asing akan manis dan lembut tiramisu; matahari dan hujan lebih meresap dalam tulang-tulangnya, sehingga senyum puas dan terima kasih dia lebih indah daripada milik lelaki setengah baya di hadapan Raina yang dari tadi mengaduk-ngaduk cangkir kopi pekat dengan wajah orang yang bisa melihat seisi dunia lewat cupu manik Astagina.

Raina ingin lari ke luar dan minta pengemis itu bertutur, memohon mencicipi sesuap tiramisu dan mendengar tawanya. Mungkin tawa dia akan terdengar merdu dan jernih seperti mata air yang telah menembus peradaban, bergema membius hutan-hutan dengan gemericikannya.
Raina ingin bicara tentang patriotisme, nasionalisme, merah dan putih, darah dan tulang, tanah dan air dalam buku-bukunya. Ia ingin mengejawantahkan tawa pengemis yang tak kunjung terdengar, mendeskripsikan rasa tiramisu, menurunkan hujan di gurun selebat di pegunungan. Kata-kata saja kurang, kadang-kadang menggagalkan, menyeret ekspresi hingga ke titik nadir, bukan melambungkannya ke titik zenith.

Inspirasi dan bukan sesuap nasi. Pilihan sulit. Segala yang tabrakan bisa berakibat seperti asteroid yang menimbulkan hujan meteor, meski hasilnya bisa tak seindah itu. Raina sudah memanfaatkan kesepuluh jemari untuk meraih keinginan sejauh ia ingat. Jika tidak, air mata jadi senjata pamungkas. Pada dasarnya manusia mustahil benar-benar tumbuh sejak bayi. Kepolosan tangisan bayi bahkan telah digugurkan oleh sejenis tangis lain dengan tujuan sama, mendapatkan keinginan.

Adegan yang sama. Raina, tiramisu, kopi. Bahkan adegan serupa masih terulang ketika sebuah suara memanggilnya mengajak pulang, memutus adegan yang tengah berkejaran.Adegan berisi Raina, tiramisu, dan kopi.[]

Adilla Anggraeni lahir di Jakarta 16 Februari 1988. Saat ini mahasiswi tahun terakhir Nanyang Business School, NTU, Singapura. Telah menerbitkan Contra Veritas (kumpulan cerpen, 2006).
Kontak: HP: +6598823890/+62 852 15 666 908 E-mail: lunar_gaia@yahoo.com - forthingdale@hotmail.com.

No comments: