Tuesday, April 14, 2009



[HALAMAN GANJIL]

Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan?
--Anwar Holid


Suatu hari, aku pernah tanya seorang kawan: apa yang paling penting dalam perkawinan? Dia jawab: kebersamaan. Entah kenapa, aku langsung tertawa mendengar jawaban itu. "Memang, menurut kamu apa?" balas dia."Menurutku, penghasilan, mendapatkan nafkah."

Entah kenapa aku cukup yakin dengan jawaban itu. Boleh jadi dalam bayanganku waktu itu ialah aku teringat acara fauna di televisi. Acara itu menayangkan seekor serigala jantan membawa mangsa untuk keluarganya. Mangsa itu dia cengkeram kuat-kuat dengan mulutnya, lantas dia persembahkan pada anak-anak dan pasangannya. Setelah itu dia memperhatikan mereka berebut makanan yang dia bawa. Terdengar narasi: Pasangan dan anak-anak serigala itu senang bahwa dia pulang dengan selamat; tapi ia tahu mereka jauh lebih mengharapkan makanan yang dia bawa daripada kehadiran dirinya sendiri.

Terdengar ironik?

Meskipun cukup yakin bahwa yang paling penting dalam perkawinan ialah penghasilan, aku pada dasarnya sulit memutlakkan jawaban itu. Boleh jadi sebagian orang akan bilang bahwa yang paling penting dalam perkawinan itu ialah cinta, kasih sayang. Ha ha, dalam rumah tangga kasih sayang menurutku sudah jadi terlalu basi. Cinta dan kasih sayang sudah harus selesai sejak jauh-jauh hari sebelum pasangan menikah dan membangun rumah tangga. Tanpa itu, rumah tangga dan perkawinan berarti sia-sia.

Dulu, rasanya heroik dan menakjubkan kalau kita mendengar bahwa ada orang yang bisa hidup dengan cinta. Bisakah orang hidup dengan cinta? Nggak. Orang hanya bisa hidup dengan makanan. Tapi entah kenapa kita kok merasa agak yakin bahwa cinta bisa menyelesaikan segala-galanya. Boleh jadi memang begitu, sebenarnya, terutama orang yang terbutakan oleh cinta. Perhatikanlah perceraian suami-istri atau perpisahan sepasang kekasih, terlebih bila perpisahan itu disertai keributan, termasuk sekalian dengan kekerasan dan kemarahan yang kadang-kadang terlalu sulit dipadamkan. Kalau kita menyaksikan hal seperti itu, entahlah ada di mana cinta yang pernah tumbuh di dalam diri mereka berdua itu. Cinta jadi terasa sebagai omong kosong. Dari perceraian, ribut-ribut, cekcok, dan pertengkaran, kita tahu bahwa cinta adakalanya gagal berfungsi untuk menyelesaikan segala-galanya, dan yang tersisa hanyalah rasa sebal, jengkel, atau kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan.

Di dalam perkawinan, cinta melebur ke dalam segala sesuatu, hingga ia menyelimuti atau membentengi kehidupan pasangan; tapi karena itu pula ia menjadi gaib, dan kadang kala bila sedang diperlukan ternyata ia tak segera menampakkan diri. Akibatnya, pasangan jadi kehilangan kesabaran dan menuduh dia tak lagi punya cinta. Perhatikanlah konsultasi perkawinan di media massa. Dari sana kita belajar bahwa persoalan perkawinan bisa diakibatkan hal yang sangat sederhana (misalnya kebiasaan pasangan yang ternyata lama-lama sulit diterima) maupun hal yang berat (misalnya pasangan melakukan tindak kriminal, selingkuh, berbohong, berubah orientasi seksual, atau sakit jiwa.) Kita tahu dalam perkawinan bobot masalah "sederhana" dan "berat" ternyata sama saja. Masalah adalah masalah, dan ia harus diperhatikan, sebab kalau tidak akibatnya bisa fatal.
Begitu juga dengan penghasilan. Bisakah Anda mencari contoh pasangan yang kehidupan perkawinannya baik-baik saja meski tanpa penghasilan atau tak punya nafkah? Mungkin itu akan bisa mematahkan pendapat awal. Tapi mungkin sedikit lain soalnya bila pasangan itu punya warisan atau diberi kekayaan yang terus tersedia cukup meskipun dia sekadar menghabiskan dan tak perlu kerja. Tapi dengan perilaku begitu pun bisa jadi pasangannya mengeluh, sebab kerjanya hanya "menghabiskan harta orangtua" dan terkesan malas-malasan. Boleh jadi pasangan tanpa mata pencaharian itu merupakan aib. Bayangkanlah Anda melamar seorang gadis dalam keadaan nganggur atau bila suatu hari yang akan datang anak gadis Anda dipinang pemuda pengangguran. Beranikah Anda mengizinkan anak gadis Anda kepada pemuda itu? Sehina apa pun pekerjaan Anda, Anda menolak bila mereka meremehkan pekerjaan Anda. Pekerjaan itu sesuatu yang mulia.


Demi penghasilan, sepasang suami-istri rela berpisah, mau menjalani jadi weekend husband/wife, atau bahkan merantau ke luar negeri. Dulu, aku sendiri pernah menjadi seorang weekend husband. Bila weekend husband/wife sudah dianggap lazim dalam kehidupan modern, kini tanyalah pasangan yang hanya ketemu sebulan sekali, tiga bulan sekali, atau bahkan setahun sekali. Jelas karena tidak mengalami, rasanya aku sulit berempati kepada pasangan yang hanya ketemu sebulan, tiga bulan, atau setahun sekali. Buat apa dong mereka dulu memutuskan menikah? Bukankah mereka menikah untuk "bersatu", berdekat-dekatan? Wajarkah pasangan mengorbankan kebersamaan demi mendapat nafkah, meskipun aku menyatakan penghasilan merupakan hal paling penting dalam perkawinan? Rasanya absurd. Tapi sekali lagi, bayangkanlah bila tanpa itu semua mereka tak punya penghasilan, atau itulah satu-satunya cara mereka mendapat nafkah. Kalau sudah begitu, apa boleh buat. Kita hanya bisa maklum dan ikut berdoa supaya mereka selamat. Daripada bersatu tanpa penghasilan?

Orang menempuh berbagai mode untuk mendapat nafkah. Ada yang normal dan abnormal. Ada kalanya seseorang tak tahu persis apa pekerjaan pasangannya; tapi selama ada penghasilan, aku berani bertaruh itu akan baik-baik saja. Tanyalah pada istri para kriminal, koruptor, atau pembunuh bayaran. Mereka tentu bakal terkejut bila dibenturkan pada fakta bahwa nafkah yang selama ini mereka terima ternyata hasil dari kejahatan atau uang haram, lantas mereka bersikap tak mau tahu atau malah ingin cuci tangan secepatnya. Tapi selama tak tahu, mereka akan baik-baik saja, dan yakin sebagaimana pasangan normal lain, nafkah itu berasal dari cara yang baik.

Bila menyangkut penghasilan, orang bisa begitu emosional dan irasional. Kita sulit mengira-ngira sampai sejauh apa orang merasa bangga, baik-baik saja, terpaksa, atau rela menjalani profesinya. Boleh jadi orang bangga dengan profesi sebagai pembunuh bayaran. Siapa tahu. Bintang porno di AS bangga kok dengan profesinya. Apa sebab? Karena mereka juga bayar pajak, berpartisipasi dalam pembangunan sosial. Itu mulia. Kita yang tak mengalami mungkin bisa menertawakan atau menganggap hina kerja sebagai bandar judi, pembuat narkoba, direktur klub malam, tukang sampah, mucikari, atau bandar narkoba. Tapi kalau penghasilannya melimpah ruah, Anda mau apa? Pendapatan itu nyata. Lihatlah di jalanan, lihatlah di tempat kerja, di lapangan. Begitu menyangkut pendapatan, nyawa taruhannya. Kadang-kadang orang masih merasa kurang dengan sekadar mengandalkan kekuatan fisik. Perhatikanlah cara kerja debt collector atau tukang sita.

Pasangan pengangguran tentu sulit diterima. Jangankan penganggur, pasangan dengan penghasilan setara, tampak kurang motivasi, atau kurang berkenan saja bisa bermasalah. Dunia adalah tempat yang sulit dan keras. Nggak ada tempat buat pemalas, atau kalau tidak berubahlah jadi orang ikhlas, yang bisa bersyukur dan menerima segala keadaan. Kita dituntut menghasilkan nafkah dengan memanfaatkan segala kemampuan dan kesempatan yang memungkinkan. Dengan itulah kita memelihara perkawinan, kebersamaan, menjalankan roda kehidupan, memastikan bahwa dua puluh empat ke depan---atau beberapa tahun ke depan---keadaan cukup bisa dipastikan kesejahteraannya.

Tapi kenapa pasangan dengan nafkah berkecukupan pun kehidupan perkawinan mereka bisa hancur-hancuran? Tentu ada faktor lain entah apa lagi. Aku juga bukan ahli perkawinan. Itu menunjukkan walaubagaimanapun penghasilan ternyata bukan satu-satunya faktor paling penting dalam perkawinan. Jadi apa dong? Mungkin ada jawaban lain, yaitu keikhlasan.
Sementara keikhlasan butuh permbicaraan baru lagi.[]


Anwar Holid telah menikah, dikaruniai dua anak.
KONTAK: wartax@yahoo.com  |
Panorama II No. 26 B Bandung 40141

1 comment:

Bahtiar Baihaqi said...

Khusus untuk yang "suami bulanan/tahunan", ada yang memberikan jawaban ini Mas:
Ada tiga kenikmatan yang hanya bisa dirasakan para suami perantau itu. Pertama, nikmat perpisahan saat hendak pergi merantau. Kedua, nikmat kerinduan saat ada di rantau. Ketiga, nikmat pertemuan saat pulang mudik. (Mungkin, makin lama rentang perantauan itu makin seru nikmatnya Mas).
Aku sendiri paling lama berpisah dengan keluarga sebulan saja. Tapi juga gak tentu, bisa jadi dalam sebulan dah dua kali ketemu istri dan anak2. Mereka saat ini sedang tinggal di rumah orang tua di Bandung. Sayang waktu liburanku boleh dibilang cuma sehari, jadi gak bisa menyambangi tempat Mas Wartax nih.