Tuesday, June 23, 2009



KALAU KAMU INGIN MELANJUTKAN, LEBIH CEPAT, ATAU MEMBERI KEJUTAN

---Anwar Holid


Dalam dua kali Jumatan ini, tukang khotbah di depanku selalu bicara tentang pemilihan presiden 2009 yang akan datang. Entah kenapa selama khotbah itu aku juga tidak ngantuk dan mendengarkan pesan mereka. Tentu saja pesan mereka moralistik dan nyaris absurd, sebab menginginkan pemimpin yang tidak tersedia dalam pilihan. Mereka bilang, pilihlah pemimpin yang adil bijaksana, bertakwa kepada Tuhan, menolong orang miskin, meneladani moral dan tindakan Muhammad Saw. Pesan itu membuat hatiku tertawa sebelum akhirnya ikut shalat Jumat.

Rumus pemilihan presiden tahun 2009 ini sebenarnya sederhana. Kalau kamu ingin MELANJUTKAN semua yang terjadi di Indonesia selama ini, pilihlah SBY-Boediono. Kalau kamu yakin bahwa LEBIH CEPAT LEBIH BAIK, pilihlah JK-WIRANTO. Kalau kamu ingin MEMBERI KEJUTAN kepada negerimu, tinggal pilih MEGA-PRABOWO. Kalau kamu malas dengan tiga pilihan itu, tidurlah pada hari pemilihan umum atau sibuk ikut Facebook. Setel musik, putar film, lihat gosip, baca tabloid. Ada banyak pilihan menarik juga di hari itu, dan sisanya kemungkinan tetap akan baik-baik saja sampai lima tahun ke depan.

Tapi bagi sebagian orang, pemilihan presiden itu penting. Budi Warsito, temanku yang tinggal di Ujung Berung bilang, "Pemilihan presiden itu penting lho mas. Kan menentukan kepala negara. Mau apa kita kalau salah pilih? Jadi aku akan milih satu di antara dua. Satu lainnya itu mah sudah jelas bukan pilihan. Enggak mau saya milih itu." Urip Herdiman Kambali, penyair tinggal di Jakarta, dalam posting "Isu Pertahanan Dalam Kampanye Pilpres 2009" membahas betapa memprihatinkannya wawasan pertahanan ketiga calon pasangan kepala negara itu---meskipun tiga-tiganya punya unsur militer. Dua orang tukang khotbah barusan jelas akan ikut mencontreng, meski dia tentu bakal bingung sendiri menentukan siapa pasangan yang sesuai dengan pesannya. Pendapat itu akan menghantui dirinya, karena ternyata suaranya mirip gaung kosong. Sejumlah ilmuwan bayaran, tim sukses, pemeran beserta rombongan dalam iklan politik, sudah pasti akan memilih patron masing-masing. Seorang saudaraku malah lebih tegas lagi: dia akan cabut ke luar negeri kalau jagoannya kalah. Dia menolak bila harus dipimpin oleh orang bukan pilihannya. Keputusan berani.

Aku juga sudah berkali-kali menerima email baik berupa dukungan dan hujatan atas ketiga pasangan itu, tapi semua langsung aku delete. Aku menganggap itu sama dengan email ajakan bisnis internet dengan pendapatan lima milyar sebulan.

Aku sendiri hidup tanpa patron politik, sementara iklan politik hanya membuat bibirku bergerak sedikit, dan boleh dibilang sudah kehabisan patriotisme. Jadi kemungkinan aku akan sekadar jadi komentator. Negara dan politik kerap hanya membuat aku sedih. Ia sama dengan komoditas. Berguna kalau ada maksudnya. Ia digunakan untuk kepentingan tertentu. Aku nangis nonton Letters from Iwo Jima dan Flag of Our Fathers (karya Clint Eastwood), juga film-film pendek dalam 9/11, baca Angsa-Angsa Liar (Jung Chang), tapi entah kenapa itu hanya mengeraskan pendapat bahwa manusia adalah korban situasi politik.

Saking nihil, aku bahkan berspekulasi, meski penderita paranoid mengepalai negeri ini pun sebenarnya kita tetap bisa baik-baik saja. Bahkan mungkin hal itu bisa memberi peluang terjadinya kejutan. Lihatlah pengalaman sejarah. Bukankah sebagian kepala negara, kaisar, atau raja itu menderita sakit tertentu? Zaman perang dan sengsara yang hebat malah bisa membentuk manusia hebat. Sartre besar setelah dia melewati zaman perang yang fatal. Zaman penjajahan yang menakutkan memberi bekas pada karya-karya Budi Darma yang legendaris. Krisis identitas dan rasialisme di Amerika Serikat mewujudkan sosok yang berpengaruh dalam diri Barack Obama.

Zaman hedonistik seperti sekarang melahirkan filsuf dekaden seperti Michel Foucault. Kemajuan teknologi informasi memungkinkan Anwar Holid merasa perlu sibuk mengurusi soal yang dia anggap penting. Membuat setiap orang kalau mau bisa tampil sesuai gambaran yang dia inginkan sendiri.

Ayo kita awas sebentar. Rezim Suharto yang konon represif toh masih menyisakan banyak pemuja fanatik. Presiden Gus Dur yang konon pahlawan HAM, suka ceplas-ceplos, dan egaliter ternyata malah diberhentikan dengan paksa. Apa SBY-JK berhasil membuat kehidupan sosial dan ekonomi kita semua lebih baik? Apa kebijakan politik, campur tangan mereka, benar-benar merupakan wujud kemurahhatian sebagai kepala negara?

Masih ada banyak orang selamat dan baik-baik saja ketika Hitler memimpin Jerman secara mengerikan.

Ajaib. Meskipun skeptis pada politik, ternyata aku masih bisa menulis soal ini dengan gembira, seakan-akan harapan tetap ada, bahwa dengan menuliskannya aku akan bahagia. Sekilas aku perhatikan, iklan politik tiga calon presiden dan wakilnya itu hanya terdiri dari tiga jenis, yaitu (1) mengusung mitos megalomaniak, (2) dukungan-sokongan, (3) pamrih nama. Di Bandung, walikota Dada Rosada mendukung JK-Wiranto, sejumlah kaum petani ada di belakang Prabowo, dan intelektual bayaran memasang spanduk untuk mendukung SBY. Aku pilih mendukung diri sendiri.

Jadi sekarang bagaimana?

Harapanku sederhana. Semoga Jumat depan aku enggak mendengar lagi omong kosong tentang pemilihan presiden, apalagi dengan kriteria pemimpin ideal untuk bangsa ini. Atau kalau tukang khotbah tetap ngotot, semoga aku sudah tertidur, dan bangun-bangun tinggal shalat. Setelah itu, aku ingin melanjutkan, lebih cepat, dan memberi kejutan atas kerja-kerja yang jadi tanggung jawabku.[]

No comments: