Thursday, June 11, 2009
Warisan Literer Bernama
Tetralogi Laskar Pelangi
---Anwar Holid
Baru saja saya menemukan kartu voucher isi ulang seri Laskar Pelangi keluaran sebuah operator telepon selular. Gambarnya sama dengan versi poster film tersebut. Begitu melihat kartu itu, angan-angan saya mencari tahu, produk apa saja yang sudah memanfaatkan merchandise dari turunan karya ini? Apa sudah ada cangkir dan handuk bergambar Laskar Pelangi? Mendadak saya membatin, "Kalau sudah begitu berhasil menyelusup ke banyak celah kehidupan, apa buku itu pantas disebut sebagai warisan literer bangsa Indonesia?"
Pertanyaan ini seakan-akan terasa "grandeur", tapi entah kenapa saya tergoda untuk menemukan jawabannya. Boleh jadi karena meledaknya tetralogi Laskar Pelangi membuat saya mengira bahwa novel ini merupakan contoh sempurna dari teori "Black Swan" (Angsa Hitam), yakni sesuatu yang muncul secara mendadak, kebetulan, namun pengaruhnya mampu meruntuhkan pandangan dunia sebelumnya.
Saya mengeksplorasi sejumlah komentar terhadap tetralogi tersebut. Cukup banyak komentar tersedia, bahkan sebuah situs mencuplik pendapat saya sendiri terhadap Laskar Pelangi, yakni berasal dari kolom Selisik (Republika), pada 30 Januari 2006: "Laskar Pelangi nyata-nyata mampu menarik perhatian publik dan membuat banyak orang merasa terlibat." Waktu itu saya menghadiri talkshow di Galeri Soemardja, ITB beberapa minggu setelah novel itu terbit. Orang-orang membahas isu pendidikan di dalamnya. Salah satu aspek menonjol yang lahir dari fenomena Laskar Pelangi ialah betapa tetralogi ini mampu menjadi bahan pembicaraan banyak orang terutama dalam hal pendidikan dan berhasil memenuhi selera massa yang begitu besar---meski golongan yang resisten juga terus-menerus mempertanyakan ada apa di balik fenomena tersebut.
Saya butuh pendapat yang relevan dan cukup menguatkan bahwa tetralogi ini memang pantas untuk dinisbatkan sebagai warisan literer Indonesia, kira-kira setara bila kita dengan bangga menyebut-nyebut bahwa sebuah buku tertentu pantas masuk dalam kategori masterpiece (adikarya)? Adakah syarat tertentu yang membuat sebuah buku bisa dianggap sebagai warisan literer? Atau boleh semata-mata dilihat dari penerimaan publik?
Misal pada kasus gambar kartu voucher isi ulang tadi. Operator telepon selular memilih mengeluarkan kartu voucher seri para pesohor jelas karena alasan dan sasaran khusus, di antaranya ialah mempertimbangkan faktor popularitas. Seperti dulu saya pun pernah mengambil kartu voucher bergambar Coldplay, grup rock asal Inggris yang mendunia. Karena image mereka sudah begitu familiar, operator berharap massa bisa dengan mudah menyerap komoditas tersebut. Di sisi lain, produser merasa telah mengeluarkan sesuatu yang berharga, collectible (pantas dikoleksi dan dicari-cari), dan membanggakan buat pangsa pasarnya.
Begitu juga halnya dengan Laskar Pelangi. Sebagai komoditas, dikemas lewat berbagai media Laskar Pelangi tetap mampu menarik minat banyak orang. Berbagai produk turunan dari sana pun tetap diserbu pembeli, bahkan berpotensi menjadi fetish. Itu menunjukkan mereka sama-sama merasa ikut memiliki atas sebuah produk. Ingin menjadi bagian dari budaya massa.
Komentar Riri Riza (sutradara) dan Mula Harahap (pelaku penerbitan) terhadap novel tersebut mungkin cukup bisa menggambarkan kekuatan kandungan sosio-kultur di dalamnya. Kata Riri, "Andrea Hirata memberi kisah indah tentang keragaman dan kekayaan tanah air, sekaligus memberi pernyataan keras tentang realita politik, ekonomi, dan situasi pendidikan kita. Tokoh-tokoh dalam novel ini membawa saya pada kerinduan menjadi orang Indonesia." Sementara Mula berkomentar, "Cerita-cerita yang dituturkan oleh Andrea Hirata ini menjadi menarik karena ia diletakkan dalam setting Magai yang terpencil itu, tempat budaya Melayu berinteraksi dengan budaya Cina Khek, dimana ekonomi nelayan berinteraksi dengan ekonomi perusahaan tambang timah, dan nilai moral Islami berinteraksi dengan nilai modern yang dekaden."
Lepas dari sejumlah bocel yang diperlihatkan oleh para pengkritik untuk membuktikan kelemahan kisah tersebut, tetralogi Laskar Pelangi menyimpan banyak daya tarik. Begitu kuat dayanya, hingga bisa mempengaruhi keluarga-keluarga yang awalnya boro-boro mau belanja buku selain buku wajib untuk sekolah anaknya, akhirnya rela membelikan novel itu dengan harapan agar anaknya terinspirasi oleh Ikal dan kawan-kawan.
Kritik yang paling menarik minat saya terhadap tetralogi tersebut ialah kajian sisi poskolonialisme di dalamnya. Topik ini mula-mula muncul dari esai Heru Hikayat---yang lebih terkenal sebagai kurator seni rupa daripada kritikus buku---untuk diskusi lain Laskar Pelangi di sebuah universitas. Persoalan itu muncul lagi dari esai "Mengantar dari Luar" (Puthut E.A.) dan buku LASKAR PEMIMPI; Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi (Nurhadi Sirimorok). Ketiga orang ini penasaran, kenapa Ikal begitu terpikat pada Jakarta, sementara masyarakat kaumnya menganggap bahwa Jawa merupakan simbol peradaban, kemudian saat dewasa menilai Eropa sebagai jantung kemajuan umat manusia. Mereka menemukan ternyata Ikal inferior terhadap budaya sendiri, dan kerap menjadikannya sebagai bahan olok-olok. Ironi yang menghibur. Kritik Puthut E.A. masuk akal: "Semoga akan ada banyak karya yang mengkritisi isi produk sastra kita; semoga ada yang punya waktu luang, kesabaran dan keberanian untuk membeberkan dimensi politik dan ekonomi sastra kita. Tanpa pengetahuan soal itu, para pelaku sastra ibarat bermain pedang di lanskap gelap."
Di Maryamah Karpov (Bentang, 2009)---novel terakhir tetralogi Laskar Pelangi---olok-olok itu sangat terasa, sampai menghabiskan hampir seperempat bagian isi buku. Meski begitu, Ikal kembali pada akarnya, menggali dan mengagungkan kekuatan budaya setempat, menggunakan warisan leluhurnya. Dia berani menanggalkan atribut kebanggaan setelah merantau amat jauh dari luar pulau untuk menyadari betapa kaumnya sendiri memiliki sesuatu yang pantas dibanggakan.
Sebagai produk budaya, tetralogi Laskar Pelangi cukup universal, ia bisa dinikmati baik oleh orang dewasa dan anak-anak. Isu utama yang muncul dari komoditas produk tersebut ialah soal pendidikan, warisan budaya, identitas, dan penghormatan pada orangtua. Rupanya, publik juga menerima strategi tersebut dengan antusias. Ini terlihat dari reaksi para guru, orangtua, murid-murid, pembaca buku, juga penonton film. Produk turunannya boleh dibilang selalu mereka tunggu. Seperti sekarang, ketika film Sang Pemimpi sedang dalam tahap proses produksi.
Nah, apakah publik akan benar-benar menganggap rangkaian buku Laskar Pelangi ini sebagai warisan budaya atau semata-mata komoditas, bisa jadi bergantung pada penilaian masing-masing orang, terutama seberapa berharga makna buku tersebut buat dirinya.[]
ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor & penulis freelance. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Copyright © 2008 oleh Anwar Holid
Informasi lebih banyak di:
http://www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
http://www.mizan.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment