Tuesday, August 18, 2009


Pat Metheny, Mahadewa Gitar yang Pernah Ada
---Anwar Holid


KARENA TERBIASA DENGAR MUSIK ROCK DAN SEJENISNYA, dulu aku cukup yakin bahwa Brian May, Eddie van Halen, Joe Satriani, atau Steve Vai merupakan gitaris paling hebat sedunia. Tapi semakin banyak jenis musik yang aku dengar, tambah yakinlah bahwa keyakinan itu bisa dibantah, dan akhirnya rontok perlahan-lahan. Perubahan itu semakin drastik ketika makin banyak album Pat Metheny yang aku dengar.

Aku pertama kali dengar Pat Metheny dari KLCBS, stasiun radio jazz di kotaku, Bandung. Tentu awalnya aku belum tahu bahwa itu karya gitaris berambut bak surai singa itu. KLCBS menggunakan satu atau dua karya Metheny sebagai musik latar untuk informasi mereka, sampai sekarang. Sebagian lagi mereka putar per lagu. Penyiar KLCBS, entah karena kebijakan apa, jarang menyebut musisi atau judul lagu yang mereka putar. Tapi kadang-kadang mereka menyebutkannya juga. Lama-lama aku tahu bahwa lagu yang mereka gunakan ialah "Last Train Home" dan "Phase Dance."

Minatku pada Pat Metheny tambah besar ketika aku makin sering dan intens dengar jazz. Suatu hari seorang temanku meminjami aku vcd konser Pat Metheny, Secret Story, yang menurutku jauh lebih subtil daripada konser gitaris rock atau heavy metal. Tampaknya gitaris rock cenderung heboh sendiri atau narsis bila sedang manggung, apalagi ketika sedang melakukan solo gitar; sementara gitaris jazz justru cenderung lebih mementingkan musik apalagi bila sedang melakukan solo. Mereka mungkin jarang kelihatan bergaya, tapi malah memperlihatkan performa hebat secara keseluruhan.

Kira-kita tahun 1996, aku beli album Pat Metheny yang terdengar sangat ajaib dari Yuliani Liputo, judulnya Zero Tolerance for Silence. Album itu sepertinya terdengar hanya berisi distorsi gitar. Selama mendengar, keherananku hanya begini: "Kok kepikiran sih bikin album seperti ini?" Album itu membuyarkan bayanganku bahwa karya-karya dia senantiasa agung dan diciptakan dengan ketelitian hebat. Tapi rupanya album itu menyimpan kontroversi dengan cerita sendiri. Setelah itu dengar Beyond the Missouri Sky (Short Stories) yang nuansanya mengawang-awang, seakan-akan mengetengahkan semesta nan luas.

Baru waktu Rumah Buku menyediakan sejumlah album Pat Metheny, kepenasaranku pada musik dia makin terpenuhi. Di sana tersedia Still Life (Talking), Letter from Home, The Road to You, We Live Here, Imaginary Day, juga Beyond the Missouri Sky, Pat Metheny Trio, I Can See Your House from Here, dan One Quiet Night, album solo terbarunya.

I Can See Your House from Here merupakan album duet bersama John Scofield, seorang dewa gitar lain yang mungkin juga terabaikan dari scene gitaris umum---yang biasanya memang lebih peduli pada gitaris rock. Album ini ternyata sangat hebat. Judulnya saja sangat kena, seakan-akan bilang mereka tahu rahasia dapur masing-masing. HIGHLY RECOMENDED.

Kerja sama Metheny/Scofield bukan sekadar pertemuan dua mahadewa gitar atau datang untuk bersahut-sahutan, melainkan saling isi dan menjalin. Seakan-akan berusaha saling paham, berkomunikasi. Rasanya belum pernah aku dengar album gitar sehebat ini, bahkan hasil pertemuan gitaris rock sekalipun. Terlintas nama Cacophony (Marty Friedman & Jason Becker) untuk diadukan, tapi menurutku Cacophony monoton dan lebih ngotot untuk kebut-kebutan. Mungkin lebih menarik membayangkan Tom Morello dan Steve Vai bikin album yang betul-betul senyawa, bukan sekadar pamer aksi memainkan efek dan kecepatan. Menurutku, nuansa I Can See Your House from Here ini lebih condong ke rock daripada jazz.

PATRICK BRUCE METHENY lahir pada 12 Agustus 1954 di Lee's Summit, Missouri, Amerika Serikat. Dia memutuskan total main musik setelah ke luar dari University of Miami, yang hanya dia masuki satu semester. Namanya mulai muncul di ranah jazz pada 1975, ketika dia gabung dengan band Gary Burton dan merekam sebuah album trio bersama Jaco Pastorius (bass) and Bob Moses (drum) berjudul Bright Size Life. Pada 1977 Metheny merilis Watercolors, yang menampilkan Lyle Mays (piano, keyboards). Kerja sama dengan Mays ini secara resmi dia kukuhkan sebagai Pat Metheny Group (PMG), yang pada 1978 menghasilkan album perdana menggunakan nama tersebut.

Dengan PMG boleh dibilang Metheny mencapai puncak kreativitas dan popularitas, meski dia terus bertualang mencari berbagai alternatif terhadap batasan-batasan musik. Dia bisa berkolaborasi baik sebagai duet, trio, pemain tamu, menghasilkan album etnik, belum lagi solo. Maka gayanya sulit dijelaskan, tapi yang jelas merupakan unsur dari progressive jazz dan jazz kontemporer, post-Bop, jazz-rock fusion, and folk-jazz. Salah satu contohnya ialah pada tahun 1998 PMG memenangi dua Grammy Award kategori Rock Instrumental Performance untuk "The Roots Of Coincidence" dari album Imaginary Day, sekaligus Contemporary Jazz Performance untuk album tersebut. Ke mana saja tuh gitaris rock pada tahun itu?

Di album Pat Metheny Trio-->Live (2000), aku berspekulasi, kalau penggemar rock/metal dengar, mereka mungkin akan malu bilang bahwa John Petrucci, Yngwie J. Malmsteen, atau Vernon Reid sebagai dewa gitar. Ini tentu pendapat berlebihan untuk menonjolkan betapa gila daya jelajah Metheny. Di album itu ada lagu "Faith Healer" (19 menit), yang mungkin tak pernah terbayang bakal tercipta bahkan oleh gitaris metal terhebat yang pernah ada.

PMG juga termasuk band jazz besar yang awet. Selain dua pendirinya, anggota lain yang paling bertahan ialah Steve Rodby (Bass) dan Paul Wertico (drums). Meski begitu mereka kerap menampilkan musisi tamu, yang lama-lama jadi bagian utuh grup tersebut, terutama ketika tur, misalnya Mark Ledford (vocals, trumpet, gitar), Armando Marçal (perkusi), dan Nana Vasconcelos (perkusi dan suara mulut). Dengan PMG juga Metheny memenangi belasan Grammy Award. Tapi entah kenapa, setelah menghasilkan The Way Up (2005) yang ambisius, grup ini istirahat. Metheny kemudian malah terlibat dengan Brad Mehldau, sesama pianis seperti Mays, untuk menghasilkan dua album. Hanya saja Mehldau lebih tampak sebagai pianis tradisional daripada Mays yang memberi nuansa begitu kaya dalam latar musik mereka.

The Way Up merupakan album konsep yang terdiri dari satu lagu sepanjang 68 menit, namun dipecah jadi empat bagian, semata-mata untuk kepentingan navigasi cd dan keperluan komersial. Pembukanya (Opening) merupakan intro sepanjang lima menit yang amat luar biasa dan sempurna sebelum masuk ke wilayah musik yang kompleks, meliuk-liuk, mengawang-awang, menegangkan, namun juga amat terampil, dinamik, dan memperlihatkan improviasasi dan permaian solo hebat. Metheny menyatakan bahwa album itu merupakan reaksi terhadap kecenderungan musik sekarang yang biasanya menuntut perhatian singkat-singkat namun kekurangan nuansa dan detail. Argumen yang sangat wajar. Ganjarannya, pada 2006 album ini memenangi Grammy Award untuk Best Contemporary Jazz Album.

Dengan puluhan album yang telah dia hasilkan, mendengarkan Pat Metheny seperti merupakan petualangan menjelajahi musik yang tiada habis. Aku sendiri belum mendengar SEMUA karya dia. Namun, apalagi yang ingin aku dengar dari karyanya, kecuali sejumlah album yang mungkin sulit aku dapat, misalnya Upojenie (2002) albumnya bersama Anna Maria Jopek dan The Falcon and the Snowman (1985), sebuah soundtrack dari film berjudul sama, di sana mereka bekerja sama dengan David Bowie---teman main Setiawan Djody. Aku sendiri bergantung pada Rumah Buku dan Satia Nugraha untuk mendapatkan banyak diskografi Metheny.

Moral utama yang aku dapat dari mendengar karya-karya Metheny ialah totalitas dan kualitas. Jika kamu seorang gitaris, jadilah gitaris hebat, produktif, inovatif, membuka seluruh kemungkinan. Jika kamu penulis, tulislah sebaik-baiknya, sebanyak mungkin, totallah di sana. Semangat seperti itu tentu baru sedikit saja bisa aku lakoni, itu pun dengan kualitas yang boleh dipertanyakan. Tapi seperti daya dobrak Metheny yang hebat, inspirasinya selalu kuat. Bukankah hebat ketika kita dengar musik, ternyata di sana juga ada semangat dan dinamika hidup?[]

Anwar Holid, sayangnya, tidak bisa main gitar. Apa ini termasuk ganjil? Dia bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Untuk pinjam CD album Pat Metheny, silakan hubungi http://www.rukukineruku.com

2 comments:

Anonymous said...

Tulisan ini asyik, cuman seperti kebanyakan pola tulisan elo, yang berusaha mati-matian elo gambarin adalah kesan personal yang susah ketransfer. Gue bayangin bakalan lebih heboh impresinya kalo elo nguasain teknik maen gitar--yang kayaknya gak elo kuasain--dengan gitu elo bisa nyeritain kehebatan PM ini seperti apa persisnya, teknik yang gimana, nada-nada seperti apa, dan unsur teknik lainnya. Kayaknya elo gak tertarik buat maparin apa pun dengan peristilahan teknis ya, dan lebih suka nulisin kesan personal. Tul gak?

Anwar Holid said...

makasih ya sudah baca dan komentar. pendapat kamu bener banget. aku sengaja menghindari istilah teknik musik karena memang buta tentang hal itu. aku sulit memasukkan istilah seperti riff, shredding (genjreng?), chorus, atau hook, dalam tulisan mengenai musik. enggak ngerti. bahkan kalau aku baca review album, misalnya di rolling stone indonesia, istilah itu selalu bikin aku bingung.

tentu aku pengen bisa menulis lebih baik lagi tentang musik, termasuk menyertakan istilah-istilah itu kalau memang paham dan pas konteksnya. untuk kasus metheny, yang unik dari dia misalnya peralatannya, salah satunya ialah gitar pikasso, yang ajaib banget bentuknya---walau dia baru menciptakan 1-2 lagu dengan gitar khusus itu.

makasih atas masukan kamu!