Monday, May 23, 2011
Eugenio dan Veríssimo
---Anwar Holid
SAYA bertemu dengan dia di Jalan Dewi Sartika, di antara lapak penjual buku dan majalah loak. Waktu itu saya sedang istirahat kantor dan ingin jalan-jalan agak lama karena penat. Memang kadang-kadang pertemuan memang terjadi karena kebetulan. Dia ada di antara buku-buku yang kebanyakan sudah lecek dan sampulnya sudah terlipat-lipat. Awalnya dia juga diam saja waktu saya sedang memilih-milih buku. Tapi akhirnya kami berkenalan.
Namanya Eugenio Fontes, panggilannya Genoca. Dia protagonis dalam Ketika Hati Harus Memilih (GPU, 1990) karya Érico Veríssimo, terjemahan Masri Maris. Batin saya waktu itu: siapa yang tahu dia? Harus diakui pada tahun 2000-an penulis Brasil yang paling terkenal adalah Paulo Coelho, dan di Indonesia hak terjemahannya paling banyak dipegang Gramedia. Kini saya tahu ada nama lain sebelum Coelho, dan karyanya jauh lebih awal diperkenalkan.
Untung ada Merriam-Webster's Encyclopedia of Literature yang dulu pernah saya ceritakan. Betul dia salah satu penulis paling penting dalam khazanah sastra Brasil. Informasi tentang dia bisa juga ditelusuri lewat Internet. Di sana ketahuan bahwa buku-buku dia sudah termasuk golongan 'antiquarian' dan harus pesan dulu bila ingin beli.
ÉRICO Lopes Veríssimo lahir di Rio Grande do Sul, pada 17 Desember 1905, meninggal di Porto Alegre pada 28 November 1975. Sebelum bekerja di penerbit Editora Globo dia sempat bekerja di sebuah apotek. Di penerbit itu mula-mula dia menerjemahkan serta menerbitkan karya penulis antara lain Aldous Huxley. Ketika berusia 28 tahun dia menulis novel pertamanya, Clarissa, yang ternyata diterima dengan baik oleh pembaca, kemudian diikuti rangkaian novel laris Caminhos Cruzados (1935), Olhai os Lírios do Campo (1938), O Resto É Silêncio (1943). Olhai os Lírios do Campo adalah judul asli Ketika Hati Harus Memilih, yang diterjemahkan Jean Karnoff sebagai Consider the Lilies of the Field (Macmillan, 1947) dan pada 28 November 1969 diterbitkan ulang Greenwood Publishing Group. Siapa sangka pada tanggal itu, enam tahun kemudian dia wafat?
Veríssimo juga seorang ahli sejarah sastra dan kritik; mampu dengan baik pula menulis dalam bahasa Inggris, berjasa mengenalkan sastra Brasil ke seluruh dunia, termasuk tentang kondisi sosial dan warisan budayanya. Karena fasih berbahasa Inggris, pada Perang Dunia II dia pergi ke Amerika Serikat, mengajar sebentar di University of California (UCLA) di Berkeley; hasilnya dia menerbitkan History of Brazilian Literature: an Outline (1945). Dalam karirnya dia menjadi direktur Departemen Urusan Budaya Uni Pan-Amerika (1953-56).
Dia penulis subur. Selain lima buku itu dia menerbitkan sejumlah novel lain, cerita pendek, buku kanak-kanak, juga esai perjalanan, belum termasuk trilogi yang merupakan adikaryanya, O Tempo e o Vento (1949-62), terdiri dari O Continente, O Retrato, dan O Arquipélago.
SUNGGUH kejutan menyenangkan saya menemukan buku bagus tanpa pernah memikirkannya. Ceritanya tentang anak pintar yang lahir dari keluarga miskin. Ayahnya seorang penjahit, tapi dia bahkan tidak bisa menyediakan celana layak buat anaknya. Sementara ibunya bekerja sebagai pencuci di sebuah akademi. Rumah mereka menurutnya mirip kandang babi.
Yang sebenarnya lebih mengesankan karena ada Eugenio itu. Sebenarnya dia mirip bocah lelaki Brasil lain, suka main bola. Tapi sayang, karena miskin dia hanya bisa menendang bola dari buntalan kain rombeng. Dia pernah berdoa agar Tuhan memberi dia bola plastik saja; tapi tak dikabul, akibatnya waktu mahasiswa dia tidak ingin percaya pada Tuhan. Kata dia, 'Andaikata Tuhan ada, maka berarti Dia telah melupakan dunia, seperti seorang sastrawan yang sengaja melupakan buku karangannya yang membuatnya malu.' Tapi kadang-kadang keyakinan itu goyah, karena sebenarnya dia halus budi.
Kelambanan main bola dan keminderan karena miskin dia bayar dengan kepintaran dan pengetahuan. Dia beralih pada buku dan pelajaran, sampai dia pintar dan masuk fakultas kedokteran, awalnya lebih didorong karena dia ingin menolong orang yang sakit-sakitan, seperti ayah dan ibunya. Sayang harapan itu kandas, sebab ayahnya meninggal sebelum dia diwisuda.
Begitu miskin, hingga waktu SD celananya bolong-bolong di pantat dan dia dicemooh oleh seluruh teman sekelasnya. Kemiskinan yang traumatik mengikis habis mental dan percaya diri, sampai tak sadar psikisnya sakit, membuatnya mudah sekali curiga bahkan kepada orang baik. Apa mereka baik karena kasihan, karena dia miskin, seakan-akan berderajat lebih rendah dan hadir menjadi hamba demi mengaminikan ucapan tuan. Dia merasa tak patut dikasihani. Kemiskinan memenjarakan pikiran dan mentalnya.
Mengira kebahagiaan ada dalam harta dan status sosial, membuat dia rela 'menjual' diri menikahi Eunice Cintra, putri tunggal seorang pemilik perusahaan raksasa, mengkhianati cintanya pada Olivia Miranda, teman kuliahnya yang bukan saja mencintainya pula, melainkan ikhlas. Tanpa pernah dia sangka, kencannya dulu dengan Olivia menghasilkan seorang anak, yang baru dia tahu menjelang Olivia meninggal dunia.
Saking miskin dan malu, pernah waktu kumpul bareng teman-teman kuliahnya, dan tampak ayahnya di seberang jalan membawa jahitan, dia merasa hina bila ayahnya sampai berpapasan dan menyapa di tengah kawan-kawannya, khawatir atas pandangan hina mereka. Peristiwa itu membuatnya merasa sangat bersalah; kenapa aku harus malu, padahal dia adalah ayahku, orang jujur, sangat baik, yang banting tulang menyekolahkan aku, sesal dia. Akhirnya Eugenio mengejar, tapi dia sudah menghilang di balik gang.
Menyaksikan Eugenio saya harus bilang anak bisa begitu mudah kecewa dengan kenyataan orangtuanya. Padahal orangtuanya baik, mengupayakan yang terbaik, merawat, tidak menganiaya, meninggalkan, atau menelantarkan mereka. Tapi anak kadang-kadang memang naif dan sembrono.
MENAMATKAN buku ini memang sangat sentimental dan membuat tersayat, tapi saya puas dengan keindahan bahasa dan kemampuan tulisan Veríssimo.
Yang saya sesali, ternyata tujuh halaman buku ini kosong. Untuk ini saya tak bisa apa-apa. Buku lama, beli bekas, dan waktu beli tak diperiksa. Tak ada celah untuk mengeluh. Kata teman sekantor, 'Wah, ini buku cacat ya?' Memang, barangkali. Tapi mau apa lagi? Saya harus mau menerima hal ini sebagai biasa. Saya tak akan rewel hanya untuk hal ini.[]
Anwar Holid, editor dan penulis.
Esai ini awalnya dimuat di Republika, Minggu, 11 Desember 2005.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment