Monday, May 23, 2011

Gambaran paling klise tentang Malaikat Maut

Kehidupan, Kematian, dan Kekhawatiran
---Anwar Holid

Kenanganku soal kematian amat buruk. Padahal ia terjadi di sampingku. Waktu aku kelas 3 dan kakakku kelas 6 SD, kami sakit muntaber (diare), sampai merenggut nyawa kakakku. Kenangan paling jernih dari peristiwa ini ialah aku sebentar-sebentar minum oralit (yang rasanya sangat aneh) atau air kelapa, tapi itu pun gagal mencegah kami dari sebentar-sebentar terbirit-birit ke kakus, dan sebelum sampai ke sana aku atau kakakku sudah keburu jongkok di lantai dan pantatku basah oleh kotoran.

Meski sama-sama kritis, aku enggak tahu bagaimana kakakku meninggal. Apa aku juga sekarat atau kejang-kejang, hanya orangtua kami yang tahu, tapi tentang itu pun ayah atau ibuku tidak pernah cerita. Yang jelas ialah aku hidup dan kakakku meninggal. Mendadak rumah kami penuh orang, ibuku menangis, dan beberapa orang menyiapkan patok. Patok itu rupanya tanda nisan kuburan kakakku. Ketika ayahku untuk pertama kali mengajak aku ziarah ke kuburan kakakku, yang terlintas dalam pikiranku ialah: oh, kuburannya kecil sekali. Ayahku sengaja membiarkan kuburan itu apa adanya. Setiap kali ziarah, dia hanya mencabuti rumput yang tumbuh di gundukan tanah itu. Lama-lama kuburan itu rata dengan tanah, dan nisan kayunya pun hancur. Sejak itu setiap kali aku ingin mengajak ziarah, ayah menolak, karena letak kuburannya pun sudah hilang. Agaknya dia sudah melupakan kematian anak sulungya dengan sempurna.

Aku melewatkan pemakaman kakek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah. Aku kehilangan alasan kenapa bisa melewatkan prosesi kematian orang-orang dekat dengan diriku. Apa aku terlalu abai atau sibuk hingga tak menyempatkan diri melawat orang di hari terakhirnya? Entahlah. Begitu juga ketika adik iparku meninggal, dan ketika baru-baru ini satu-dua kawan baik lama mendahuluiku berangkat ke alam baka. Memang waktu dan jarak telah memisahkan kami; tapi kabar kematiannya yang aku dengar dari kawan baik lain tak membuatku berjanji untuk melayat ke rumah duka. Aku kuatir lama-lama kehilangan rasa kasih sayang.

Kematian membuat aku bingung. Jelas ini karena aku buta pada kematian, dan aku juga enggak akrab-akrab banget dengan dirinya. Kematian hanya sekali terjadi, namun setiap kali terjadi, dia menghenyakkan. Dia membuat jeda sebentar dengan kehidupan.

Dari dulu aku punya keinginan romantik terhadap kematian: aku ingin mati muda, mati dalam keadaan sehat, dan makamku tak usah dikasih nisan. Aku malas membayangkan bila ada orang kerepotan mengurus aku bila berlama-lama menghadapi kematian dalam kondisi payah atau tanpa daya. Aku ingin makamku segera rata, ditumbuhi tanaman, dan tubuhku lengket melebur bersama tanah. Aku cukup berharap dapat doa keselamatan. Aku enggak tahu apa keinginan sejenis itu normal atau muluk.

Tapi, dengan umur sekarang sudah 37, aku jelas bakal mati tua. Dengan umur segitu, apalagi punya anak, tak akan ada orang yang bilang bahwa aku masih muda. Mati muda itu kalau orang belum berumur 27, apalagi kalau dia masih bujangan. Beberapa temanku mati muda. Waktu kemarin reuni dengan teman SMA, salah satu yang membuat aku sangat terharu ialah ada sekitar lima orang sebaya kami yang telah berangkat duluan ke alam baka dengan berbagai alasan.

Per hari ini aku merasa sehat. Tapi karena aku tahu kematian terus memburu, ia bisa datang kapan saja. Kematian tidak ada hubungannya dengan kesehatan atau kebiasaan baik memelihara kehidupan. Ada banyak orang dengan gaya hidup sehat mati setelah berolahraga atau minum suplemen demi stamina. Ada orang yang minum alkohol tiap hari, pecandu rokok dan narkoba, main cewek gonta-ganti, sampai tua hidup baik-baik saja dan jaya. Tapi itu juga jangan sampai membuat kamu berpikir kelakuan begitu patut dicontoh dan tanpa risiko. Itu hanya membuktikan kematian tak ada hubungannya dengan cara hidup.  Kalau kamu jemput paksa jadi dosa. Dia hanya datang tepat waktu yang mungkin tak disangka-sangka. Jadi siap-siap saja. Malaikat maut hanya perlu mendapat perintah Tuhan kapan harus mencabut nyawa, dan begitu datang, orang itu mustahil bilang, "Tunggu dulu, aku belum siap." Dia menolak meladeni permintaanmu seolah-olah bilang, "Tidak bisa." Dan... krasss. Nyawa kamu putus. Lepas dari tubuh. Dibawa ke alam kubur.

Selama menanti kematian yang enggak jelas jadwal kedatangannya, kita bisa berusaha mengisi kehidupan dengan kegiatan bermanfaat. Namun, di sela-sela energi positif, semangat, kebahagiaan, dan kebaikan, kehidupan ternyata juga bisa membuat kita kuatir, sengsara, dan sulit. Sebagian orang pernah menilai aku dalam keadaan putus asa, tertekan, depresif, atau bahkan malas sama sekali.

Masa depan bisa membuat kita kuatir. Di sela-sela rasa syukur dan puas, kadang-kadang masih saja timbul penyesalan atas utang yang belum terbayar, asuransi yang belum terjangkau, benda yang belum dimiliki, biaya yang masih membebani, penghasilan yang masih kurang. Apa dong arti rasa syukur? batinku. Aku berusaha senantiasa bersyukur, tapi itu masih gagal membuatku mengakui kekurangan faktual atas banyak hal. Berbagai pertanyaan tentang hidup kadang-kadang hanya berakhir jadi gumpalan kegelisahan yang membuat pikiran dan hati jadi kacau. Coba-coba menjawab sering membuat aku tambah sinis dan skeptis.

Bergumul dengan hidup butuh stamina dan kewarasan tinggi. Sebagian orang malah berani mengambil risiko tinggi dengan harapan mendapat kehidupan lebih baik secara gila-gilaan. Mungkin itu yang membuat hidup jadi sangat berharga, tiada tara ternilai, dan jauh lebih menarik daripada kematian. Demi hidup, orang mau terpaksa menghabiskan harta untuk transplantasi organ tubuh, ikut asuransi jiwa atau kesehatan untuk mengantisipasi keadaan, atau menukar kekayaan demi mendapatkan kembali kehidupan atau kesehatan agar pulih normal. Apa ini tanda di bawah sadar kita enggan menghadapi maut karena terlalu misterius dan menakutkan untuk mengetahui sosoknya?

Anehnya, secara alamiah hidup juga menciptakan persoalan, ujian, bahkan tantangannya bisa luar biasa pelik. Semua itu kerap membuat manusia lapuk dan tanpa daya. Dan hanya manusia hebat yang mampu berkompromi atau mengatasinya dengan baik. Bila sudah begitu, dia lulus ujian, dan silakan mati, bagaimanapun caranya. Sebagian orang hebat mati ditebas lehernya, disalib, dan mati mengenaskan dengan berbagai sebab lain, tapi itu tidak mengurangi kualitas hidup yang mereka jalani. Bila sudah selesai urusan di dunia, kematian hanya tahap berikutnya dalam kehidupan manusia. Perhatikanlah: ternyata urusan manusia belum selesai waktu mati, padahal secara fisik kita tak bisa melakukan apa pun. Hidup ada lanjutannya. Bagaimana memahami hal itu? Kita hanya perlu jadi orang beriman; sebab bagi orang ateis, pernyataan tadi nonsens dan terdengar bohong.

Satu lagi harapanku tentang kematian: aku ingin hidupku berakhir baik. Aku berharap itu bukan cuma spekulasi, melainkan menjadi kekuatan dan kunci untuk menjalani kehidupan sekaligus menghadapi kematian.[]

Anwar Holid, hidup sejak 1973. Masih bekerja sebagai editor dan penulis.

LINK TERKAIT:
Yang Lebih Diri, oleh Heru Hikayat
http://en.wikipedia.org/wiki/Death

No comments: