[Resensi Buku]
Jeli, Elitis, Membius
---Anwar Holid
___________________________________________________
DETIL BUKU
Like This, Kumpulan Tulisan Pilihan 2009-2010 jakartabeat.net
Penyunting: Yus Ariyanto
Penerbit: Multimedia Jakartabeat.net, 2011
Tebal: 438 hal.
ISBN: 978-602-9149-02-09
Apa yang bisa dilihat dari sebuah buku berwajah dua berisi subjek yang sangat beragam? Pertama-tama ialah bagaimana para penulis (kontributor) mengutarakan isi subjek tersebut. Kedua, seberapa penting atau menarik subjek tersebut sehingga pantas diangkat. Dua alasan itu tampaknya cukup untuk segera membuat pembaca mengamini untuk menyukai buku ini.
Wajah pertama buku setebal 438 halaman ini ialah soal musik, sementara wajah keduanya berisi soal berbagai aspek humaniora. Jelas kedua wajah ini mustahil bisa bersua bila tidak ada jembatan yang mampu menghubungkannya, baik itu kepentingan ekonomi, sosial-politik, maupun hasrat libido. Meski sepertinya sisi musik dan humaniora itu tampak cerai alias enggak nyambung dan dipaksa kawin dalam satu ikatan buku, ada satu hal yang mampu menyatukan mereka, yaitu keunggulan para penulis mengungkapkan gagasannya dengan kemampuan bertutur yang hebat, ditambah kejelian memilih detil yang boleh dibilang mengagumkan.
Ambil contoh detil soal sejarah dan nasionalisme dari pengamatan Dandhy Dwi Laksono. Dia bilang, jargon nasionalisme itu omong kosong. Buktinya: para mantan presiden Indonesia ternyata pada menolak melaksanakan upacara 17 Agustus di Istana Negara setelah mereka turun jabatan, entah karena dipaksa atau kalah dalam pemilihan umum. Lihat saja misalnya B.J. Habibie: sejak dipecat MPR pada 1999, di memilih tinggal di Eropa alih-alih menghadiri upacara 17 Agustus di Istana Negara yang pernah jadi kantornya. Soeharto, Gus Dur, dan Megawati berperilaku serupa. Mari kita lihat apa nanti Susilo Bambang Yudhoyono bertabiat sama dengan mereka bila sudah berhenti jadi presiden. Kalau begitu pantas saja siswa-siswa sekolah juga sebenarnya malas banget kalau disuruh jadi petugas upacara. Contoh detil dari satu subjek itu saja sudah cukup untuk membius pembaca agar ketagihan terus menuntaskan bab demi bab isi buku ini, bahkan secara acak sekalipun.
Dari kejelian itu tampak bahwa para kontributor memang menulis dengan gairah (passion) yang amat tinggi terhadap pilihan subjeknya. Inilah yang agaknya membuat jakartabeat.net bisa menjadi pelabuhan yang riuh tempat penulis melemparkan ide-idenya dan segera menjadi bandar kolektif yang ramai.
Ciri menonjol lain yang muncul dari buku ini ialah membentuk wajah jakartabeat.net yang elitis. Istilah elitis ini bisa jadi dilematik, seperti seolah-olah menolak atau meledek orang kebanyakan yang punya selera pasaran (mainstream) sekaligus menyodorkan dan memperlihatkan pilihan tertentu yang dianggap sedikit lebih berkualitas. Tapi semoga anggapan itu muncul sekadar dari sinisme dan semangat untuk memperkenalkan dan mempertahankan argumen atas sesuatu yang dinilai lebih bagus.
Dilihat dari selera musik, misalnya, jakartabeat.net memperkenalkan nama-nama yang baru terkenal di tingkat komunitas terbatas, namun penggemarnya fanatik, dan diapresiasi secara gila-gilaan. Jadi persoalannya sebenarnya bukan tidak terkenal, tetapi belum mendunia karena berbagai alasan. Tentu tidak semua orang segera bisa menikmati Explosions in the Sky, Arcade Fire, Tears for Fears, Neutral Milk Hotel, atau yang lebih ekstrem seperti Slayer, The Mars Volta, Sunn O))), atau musik etnik Arab dan Afrika. Jangankan bisa mendengarkan, kepikiran untuk bisa mengakses musik-musik seperti itu pun hanya mungkin dilakukan oleh kalangan tertentu (alias elite) yang punya niat menggelegak di dada.
Lebih terasa elite lagi ketika karya musik tadi tak sekadar didendangkan atau disetel seperti dalam acara-acara musik lip-synch di berbagai stasiun televisi sekarang ini, tetapi dikuliti dalam konteks sosial yang luas atau ditarik dalam penghayatan kenikmatan personal yang bisa sangat subtil. Lebih mengutamakan selera dan kritik daripada sekadar gegap gempita bunyi dan nada. Begitulah kira-kira kredo jurnalisme musik yang muncul di sini. "Aduh, kok repot amat sih mau dengar musik saja?" begitu mungkin terdengar omelan orang. Begitulah. Komunitas jakartabeat.net percaya bahwa karya musik merupakan upaya menangkap semangat zaman atau memahami pergolakan kegelisahan pribadi, bukan alat untuk merayu, mencari popularitas dadakan, atau meramaikan industri.
Dari sisi humaniora kurang-lebih serupa. Para kontributor jelas tidak tertarik mendiskusikan ide pasaran seperti trend asesoris, misalnya, melainkan terbelah ke dalam perenungan personal atau persoalan berat dan besar terkait urusan negara, kegelapan sejarah, perdebatan agama, perubahan politik, strategi ekonomi negara, atau perubahan sosial-budaya. Sekalipun semua persoalan itu melibatkan massa, toh orang secara personal lebih sibuk dengan agenda dan target pribadi. Maka para kontributor bisa mendiskusikan urusan itu dengan pandangan yang jernih, detil, faktual, dan bahkan menggugat otoritas---meski sekali lagi bisa jadi pembaca akan menggugat dengan ketus, "Lantas apa pengaruhnya semua itu pada masyarakat langsung?" Kita tahu diskusi sejenis itu memang mencerahkan pikiran, tapi jelas gagal menghentikan kelaparan atau pertumpahan darah di tingkat bawah, kecuali dibarengi oleh kebaikan personal.
Dari ciri-ciri yang muncul dari isinya, mungkin kita boleh tebak-tebakan buah manggis bahwa buku ini mencerminkan kelas menengah-atas Indonesia di dekade awal abad ke-21. Para kontributornya berasal dari kalangan terdidik yang profesional (apa pun pekerjaannya), akademisi, politisi, juga peneliti. Lepas dari persoalan finansial dan kegelisahan personal yang bisa menjerat kalangan ini, mereka masih punya kesempatan untuk menikmati hidup secara maksimal, mengembangkan karir sampai puncak, bahkan sangat adaptif bila terjadi perubahan besar-besaran di sosial. Pokoknya menjalani hidup secara utuh dan seimbang. Basis pengetahuan mereka kuat, punya karakter, sementara modal kapital dan sosialnya kerap saling mendukung bila salah satu di antara mereka mengalami kejatuhan. Karena itu bila penerbit mengaku bahwa alasan terbitnya buku ini ialah fetisisme, itu justru tanda kejujuran yang hanya dimiliki orang berani. Mustahil dimiliki orang hipokrit. Untuk apa berharap duit bila yang dicari ialah kepuasan dan kebahagiaan bisa datang sendiri?
Silakan baca buku ini atau langsung jelajahi situs jakartabeat.net. Meski mungkin nanti masih tersisa ruang untuk kritik, perdebatan, dan penjelajahan lain, jangan lupa untuk memberi tanda "like this."[]
Anwar Holid, salah satu kontributor jakartabeat.net. Penulis dan editor. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com
SITUS TERKAIT
http://jakartabeat.net
No comments:
Post a Comment