Thursday, December 15, 2011


Memang Aku Ini Selaknat Apa?
---Anwar Holid

Apa cap terlaknat yang pernah kamu terima?

Ada orang bilang bahwa aku keras kepala, kaku, pilih-pilih pekerjaan dan malas bantu orang lain, tidak kreatif, membangkang, tanpa inisiatif, mengabaikan orang lain, makan gaji kegedean, ditambah meremehkan orang lain dan berani menyepelekan atasan. Yang paling gawat, aku pernah dicap tidak beriman. Tidak beriman kan sama dengan kafir!

Bagi orang yang tidak pernah ke pelacuran, bersih dari rokok, minuman beralkohol dan narkoba, masih berusaha beribadah, takut masuk neraka dan belum pernah masuk night club, secara umum punya niat berbuat baik, bukan kriminal, bersih dari KKN, berniat jadi orang sederhana, setia pada pasangan dan keluarga, tidak selingkuh, tidak terlibat dengan organisasi separatis maupun teroris, berusaha rendah hati, bukan bagian dari sekte ekstrem dan dianggap sesat, mengaku masih terus mau belajar, berusaha memahami kehidupan, bahkan suka menggantungkan doa, ratapan, dan bertanya-tanya tentang Tuhan itu apa, cap seperti itu merupakan skandal besar. Keterlaluan. Memang aku ini selaknat apa?

Dari daftar pendek itu kalau mau kamu bisa bayangkan betapa baik dan terpuji sebenarnya aku. Tapi apa klaim itu nendang? Hah, bukan sombong! Aku mau menunjukkan betapa kebaikan ternyata tidak ada apa-apanya! Ralat: bukan tidak ada apa-apanya, tapi masih kurang. Jauh dari cukup. Sifat-sifat itu baru jadi syarat minimal, hingga orang tertentu menuntut lebih dari sifat tersebut. Padahal mungkin tidak semua orang memiliki kualitas sehebat itu. Buktinya kejahatan terjadi setiap saat tanpa henti.

Bayangkanlah kalau aku terkenal suka berzina, selingkuh, mabuk-mabukan, ketagihan narkoba, penipu, pencuri, korupsi triliunan rupiah, rantai dari mafia perjudian dan perdagangan narkoba, menyandera anak kecil untuk minta tebusan atau menculik gadis perawan, jadi kriminal, jadi buronan Interpol, dicokok aparat negara gara-gara memperkosa atau jadi otak pembunuhan serial... wah, tentu makin busuk saja diriku. Tambah laknat. Tak terbayang lagi bahwa aku pernah menerjemahkan, mengedit, menulis, suka mempromosikan kebaikan, dan berusaha terus waras menghabiskan sisa umur.


Drama orang beda-beda

Soalnya, ada fakta aneh di dunia ini: Kita saksikan ada banyak orang yang terbukti bangsat raksasa, otak bajingan, merugikan negara atau masyarakat, sangat berbahaya, ternyata masih dibela-bela, dilindungi, disebut-sebut jasa, upaya, dan keberaniannya, baik oleh para ahli maupun orang bayaran. Ini gawat banget. Kenapa orang sungkan atau takut melaknat penjahat dan cenderung baru berani kalau banyakan?

Yah, nasib orang bisa sangat aneh. Puluhan tahun berniat jadi orang baik hanya berujung menerima berbagai cap yang merontokkan mental dan moral.

Memang sulit mengetahui niat orang lain terhadap kita, maka mereka bisa memberi cap atau berprasangka apa pun. Lebih menyebalkan lagi ketika cap busuk itu terlontar di zaman "talent management" yang bermaksud memaksimalkan kemampuan terhebat dalam diri seseorang, sehingga otomatis kekurangan dirinya terkubur dan dirinya bisa fokus mengembangkan kreativitas terbaiknya. Contoh gampangan: bakat dan kemampuan terbaik Brian May ialah jadi musisi, bukan fisikawan.

Sayangnya talent management tidak terjadi pada setiap orang dan itulah yang membuat nasib orang beda-beda dengan drama sendiri-sendiri. Bayangkan ada striker produktif yang pada suatu periode mandul sampai membuat dirinya seperti bakal tak becus lagi melesakkan gol. Awalnya orang prihatin sambil bertanya-tanya apa yang salah. Tapi lama-lama mereka mencemooh dan mencaci-maki. Ada apa sebenarnya? Apa strategi kesebelasan, gagal beradaptasi, chemistry dalam tim, persaingan negatif, atau masalahnya terjadi di luar lapangan, mungkin karena gaya hidupnya kacrut, dia bermasalah dengan pasangan dan keluarga, atau disuap, dililit utang luar biasa besar, dan mendapat ancaman pembunuhan. Dia sendiri kesulitan mengungkapkan inti masalah yang membuatnya jadi buruk dan gagal segera membuktikan lagi bahwa ia sehebat dulu. Sementara orang lain hanya mau tahu dia membobol gawang. Kalau gagal menyelesaikan masalah, lama-lama dia frustrasi, dan gagal bangkit lagi.

Orang bisa memberi cap apa saja

Di sisi lain bisa jadi seseorang mengutuk karena merasa berhak disertai alasan kuat. Mereka punya kepentingan dan sering hanya bisa melihat dari sudut pandang sendiri. Pendapat mereka mengandung kebenaran. Mungkin mereka tidak sepenuhnya salah. Parahnya, mereka membombardir titik terlemah kita, membuat limbung dan kalap. Sebagian orang diumpat dengan nama-nama binatang, diancam, atau diserang secara fisik.

Di luar itu, mungkin persoalannya memang sungguh berat, taruhannya amat besar, menyangkut kepentingan banyak orang, sehingga mereka merasa berhak menuntut dan minta bagian. Sayang, chemistry maupun sinergi sudah buruk. Gaya kepemimpinan tidak cocok, tingkat kepercayaan rendah. Inti masalah sulit ditemukan. Semua mampet. Ketidakpuasan menggelegak, kecurigaan membludak, konflik meledak. Yang tadinya kawan jadi lawan, yang tadinya percaya jadi curiga, yang tadinya ramah bawaannya jadi marah, yang dulu baik kini jadi menuduh, yang dulu utuh kini jadi pecah.

Bila sudah separah itu, tinggal kita lihat cara orang menyelesaikan persoalan. Apa tetap berusaha baik-baik atau dengan merentetkan laknat dan makian.

Sejumlah masalah baru bisa disadari sebabnya setelah sekian lama jadi misteri padahal kondisinya sudah parah. Begitu sadar, orang pelan-pelan paham, berusaha memperbaiki, mencoba bangkit, dan menyelesaikan baik-baik. Mereka berjuang, punya niat baik, tidak gampang mengeluh, berani berisiko, bertanggung jawab, tahu konsekuensi dari pilihan dan tindakannya. Tapi bisa jadi rekan kerjanya sudah kehabisan kesabaran, penanam modal tidak percaya lagi, bos tidak paham dan bosan dengan janji, mitra menghentikan kerja sama, pelanggan pergi dan komplain, sementara kawan menghindar dan cepat-cepat mau cuci tangan.

Bila sudah segawat itu, tinggal kita lihat cara orang menyelesaikan masalah. Apa dia akan sukses dan akhirnya berbalik dipuja-puja atau berakhir hancur-hancuran dan jadi bahan cemoohan. Atau lebih parah lagi: jadi contoh buruk, dianggap kriminal, dan mendapat cap selaknat-laknatnya.

Ada yang bilang orang tidak butuh kisah sukses. Tapi kayaknya orang dan dunia masih butuh pahlawan. Pahlawan tidak selalu sukses kan? Buktinya ada antihero. Boleh jadi di situlah pentingnya perjuangan, konsistensi, pendirian, prinsip, adaptasi, termasuk mau menerima atau mau berubah. Orang lain silakan mencap semau mereka, seburuk apa pun. Biarkan saja mereka dengan keinginannya. Itu hanya menunjukkan karakter mereka sendiri. Yang lebih penting ialah cap oleh kita sendiri. Sebenarnya kita menganggap diri sendiri seperti apa. Toh orang hidup dengan cara dan takdir masing-masing. Mau berusaha tetap waras atau lama-lama kalap. Sebagian besar dari kita juga tidak tahu cerita diri kita akan berakhir sampai di mana. Sebab hidup kadang-kadang hanya merupakan peralihan dari satu periode ke periode lain.[]

* Gambar dari searching di Internet.

Anwar Holid, penulis Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Belum pernah bersumpah dengan cap jempol darah.

No comments: