Monday, November 05, 2012


Puber ke Dua Mendengar Musik
---Anwar Holid

Aku praktis berhenti membeli album beberapa tahun sebelum kematian mantan Presiden Suharto di awal tahun 2008. Waktu itu aku menjual sekotak koleksi terakhir kasetku buat beli sembako. Yang tersisa dari koleksiku adalah kaset atau cd yang mungkin tidak punya nilai jual, kebanyakan berupa album tanpa sleeve atau rekaman kopian karena waktu itu aku sangat kesulitan mendapat yang asli atau terlalu malas untuk beli, juga rekaman yang masuk dalam kategori "rare". Setelah penjualan itu, keinginanku untuk membeli rekaman nyaris hilang dengan sendirinya. Memang sesekali aku dihadiahi rekaman cd oleh kawan dan kenalan, atau dalam kesempatan yang sangat jarang aku beli rekaman ketika berada di kota lain. Belinya pun tidak lagi di toko musik, melainkan di toko oleh-oleh---tempat yang dari dulu kuanggap kurang pantas menjual rekaman.

Tapi meski begitu aku tetap antusias mendengar musik, menyimak album, membaca rilisan baru, atau memperhatikan berita musik. Kali ini medianya mayoritas berasal dari Internet. Sebenarnya, ini tampak sebagai kelanjutan dari kebiasaanku mencari musik-musik susah di awal tahun 2000-an, ketika aku punya akses Internet bagus. Terus terang, untuk alasan tertentu sejak itu aku pilih mendengar album via mp3 atau mwa. Ketika itu aku masih punya Walkman dan Discman dan kalau ada niat aku membuat mixtape. Tapi karena Discman boros batere, akhirnya barang itu aku jual. Waktu itu aku pikir bahwa komputer/laptop sudah bisa memuaskan antusiasmeku terhadap musik, dan ternyata keyakinan itu bertahan hingga sekarang. Apalagi sekarang aku juga punya mp3 player.

Kenapa pilih mp3? Alasan utamanya adalah karena murah. Tentu tidak bisa dibilang 100 % gratis, tapi lebih terjangkau dan yang jauh lebih penting download memungkinkan kita mendapatkan musik apa pun dan dari mana pun, bahkan mendapatkan yang tidak bisa dibeli di toko musik biasa dalam negeri. Singles, EP, reissued, remastered, maupun deluxe edition, termasuk rekaman dadakan pemusik yang hanya muncul di negeri tertentu--yang industri musiknya bagus--mustahil didapatkan di negeri ini.

Industri dalam sudut pandang mereka yang berdaya beli kecil memang menyebalkan. Kita dirayu membeli semua produk, padahal bisa jadi tidak semua artis ingin mengomersilkan karya ciptanya. Apalagi tidak setiap orang mampu membeli dan lebih ingin mendapatkan sesuatu dari penciptanya, bukan pengganda atau pemilik hak edarnya. Sejak awal, tampaknya orang lebih peduli pada musisi karena karyanya, alih-alih memilih perusahaan rekaman, meski perusahaan jelas berjasa dalam menyebarkan musik.

Ada musisi yang awalnya cuma ingin karyanya didengar sebanyak mungkin orang tanpa harus dibebani target penjualan. Pikirkan ketika Wilco menyimpan Yankee Hotel Foxtrot di Internet dan menyilakan orang mendownloadnya. Kadang-kadang musisi hanya lebih ingin populer dan berhasil menyampaikan pesan dibandingkan ingin kaya karena berhasil menjual jutaan keping album. Kata seorang musisi pendukung download mp3, "Seperti seks, musik itu lebih bagus kalau gratis." Ambil contoh Coldplay. Rugikah band ini bila nyaris semua lagunya didownload secara ilegal? Mungkin tidak. Mereka bisa jadi justru harus berterima kasih karena memiliki tambahan penggemar. Yang jelas rugi adalah perusahaan pengganda CD karena gagal mendapatkan uang dari jualan, produksi, atau anak asuhnya. Sebagian musisi lebih memprioritaskan orang mendengar dan suka musiknya. Tapi industri dan artis bisa jadi berpandangan berbeda.

Perdebatan antara gratis dan harus beli maupun ilegal vs legal masih berlangsung hingga kini. Tetapi sudah terbukti bahwa internet, teknologi multimedia, dan cyberspace menjadi biang turunnya penjualan fisik industri musik. Tapi bisa jadi karena hal itu pula maka fans sebuah group musik jauh lebih banyak dan beragam. Kalau mau, orang bisa memenuhi cyberspace dengan hasil download atau menyimpan hasilnya agar bisa dibagikan kepada yang tertarik. Biarlah cd, kaset, vinyl, menjadi semacam kebutuhan eksklusif jika seseorang memang ingin mendapatkan barang itu secara fisikal, lebih rinci, bisa diraba-raba, ada aromanya.

Tentu mp3 juga masih belum menjadi segala-galanya, meski cyber bisa menyediakan banyak hal. Daya tawar terpenting teknologi ialah betapa mp3 dan cyberspace memberi kemudahan untuk mendapatkan sesuatu. Di Internet, kita masih harus mencari sejumlah hal yang kerap terpencar, baik artwork (sleeve), lirik, kredit, dan "keutuhan" bahwa file tersebut memang album. Pada rilisan fisik, itu sudah sepaket atau semacam one-stop shopping. Di internet kita harus meluangkan waktu mencari itu semua demi merasakan keutuhan sebuah album dan itu berarti lebih menghabiskan energi, waktu, serta ribet, menghambat banyak hal lain. Buruknya, kadang-kadang kita dikecoh oleh nama file yang salah, dipersulit password menyebalkan, juga kualitas suara yang mengerikan. Kita memang harus memilih dan berendah hati menerima kekurangan. Dari sisi ini, industri rekaman tentu masih bisa bangga bahwa layanan mereka jelas tidak bisa begitu saja dihapus oleh tawaran kemudahan yang sering menipu. "Namanya juga gratisan," begitu gurau seorang kawan.

Di tengah ketidakberdayaanku, aku jelas bersyukur atas penemuan mp3, teknologi p2p, file sharing, serta para penyedia dan penyimpan file. Bayangkan saja, setelah dulu agak putus asa cari album Nusrat Fateh Ali Khan atau Youssou N'Dour di dunia nyata, kini aku bisa mendapatkannya gratis dan dalam jumlah yang justru bisa membuat aku gelagepan karena enggak tahu lagi apa yang mesti diambil saking banyaknya. Walhasil kadang-kadang aku kepayahan juga dengan file-file itu, cuma didengar selintas untuk kemudian tertelantar atau sekalian dihapus permanen. Sebagian orang meledek bahwa mengumpulkan album sebesar 287 gb di komputer jelas lain dengan punya 287 rekaman fisik yang bisa ditilik-tilik.


Secara fisik, aku cukup meminjam rekaman koleksi Kineruku atau dari kawan-kawan yang kerap beredar di situ bila benar-benar merasa perlu. Beberapa kenalanku punya antusiasme jauh lebih ganas terhadap musik, apalagi mereka rela dan mampu belanja rock. Jakartabeat.net berhasil mengumpulkan banyak orang yang mampu menyimak dan menjelajahi musik secara lebih solid. Memang cara mereka mengungkapkan cinta pada musik kadang-kadang nadanya terdengar agak snob, berlebihan, atau over-intelektual, tapi antusiasme, penemuan, penafsiran, maupun pendalaman mereka betul-betul menyegarkan gairahku terhadap musik. Dengan idealisme mereka bekerja keras dan bersenang-senang mendefinisikan lagi jurnalisme musik. Di sana, musik bukan cuma berisi album yang mencoba menelurkan hits, melainkan menjadi pernyataan dan berusaha memiliki makna sosial dan semangat zaman.

Di siang hari aku sekarang jadi pelayan Garasi Opa, toko barang vintage di Kineruku yang salah satu hot itemnya adalah vinyl. Toko ini juga menjual kaset, terutama album lawas yang dinilai legendaris dan dicari-cari pendengar. Hal itu membuat aku jadi kembali sering memegang kaset dan vinyl. Bukan hanya album pop rock Indonesia lama, melainkan juga keroncong, dangdut, orkes melayu, gambang kromong, kasidah, musik daerah, termasuk band-band kabur tapi dinilai penting dalam ceruk pasar tertentu, seperti Blossom Toes, Bonzo Dog Band, Young Marble Giants, The Fugs, juga Kelompok Kampungan. Di Garasi Opa aku jadi bisa mendengar dengan baik album Harry Roesli, Lemon Trees Anno '69, Leo Kristi, Waldjinah, Remy Sylado, Franky & Jane, Yockie Suryoprayogo, Bimbo, dan lain-lain setelah dulu waktu remaja cuma sepintas ikut dengar di kamar kawan yang suka mendengar musik lawas Indonesia . Aku jadi ingat waktu mendengar Kiayi Kanjeng, Uking Sukri, Kua Etnika, Zithermania, Slamet Abdul Sjukur, Suarasama, juga Mukti-Mukti, Keroncong Rindu Order, dan lain-lain yang pendengarnya barangkali terbatas.

Anak muda yang datang ke Garasi Opa suka menanyakan keroncong, gambang kromong, dan entah kenapa hal itu membuatku terharu dan penasaran apa mereka sedang mencari harta karun terpendam musik Indonesia dari masa lalu? Pernah suatu hari aku nyetel album Gesang, seorang pengunjung mendadak bilang, "Mas, aku mau ini dong. Dulu ibu saya sering nyetel musik kayak ini." "Wah maaf," jawabku. "Yang ini belum dilepas oleh bos saya. Hanya untuk didengar dulu." Di tengah sajian musik kodian lewat radio, televisi, dan jaringan supermarket, mendengarkan keroncong, gambang kromong, album seminal, atau musik eksperimental yang dirilis baik untuk ekspresi, eksplorasi nada, pernyataan estetika, kolaborasi ide, maupun bersenang-senang jelas lain nuansanya. Salah satu yang berharga ialah betapa tetap menarik membicarakan relevansi album itu di zaman sekarang. Masih menantang membicarakan jeroan atau visi musik Rhoma Irama, AKA, Gombloh; tapi musik setipe karya Obbie Messakh cuma enak didengar di karaoke atau bus antarkota. Di luar itu, musik mereka mati gaya. Mau dibolak-balik ulang kayak apa juga tetap terdengar kacangan dan merengek. Tapi harus diakui mau mendengar kaset juga ada kendala. Sebagian generasi muda bakan tidak pernah melihat atau punya pemutar kaset. Mereka mendengar lewat hp atau mp3 player dan parahnya mendengar per lagu, bukan menyimak per album.

Meski kini paling banyak menyimpan musik di harddisk, keinginan untuk membuka-buka kaset atau cd terbit lagi, bahkan sengaja merawat lagi agar kondisinya tetap baik. Yang berjamur aku bersihkan satu-satu. Memang sudah pupus niat mewariskan barang itu kelak pada anakku seperti dulu, karena aku sadar mereka membentuk selera dan punya zaman sendiri, cuma aku jadi memelihara yang ada. Tape playerku kembali bersaing dengan Windows Media Player untuk memutar lagu, bahkan menyetel kaset nasyid generasi awal The Zikr milik istriku, ceramah Aa Gym, atau mengumandangkan lagu Sunda karya Doel Sumbang yang akhirnya jadi disukai Ilalang (12 tahun). September lalu aku memboyong puluhan kaset adikku dari rumah orangtuaku di Lampung yang sudah masuk kardus karena tapenya rusak dan tidak diperbaiki. Wah, senang banget! Rasanya aku menemukan lagi jalur bisa yang membuatku sedikit lebih bergairah dan melihat-lihat panorama.

Apa aku pelan-pelan kembali pada kebiasaan lama yang sebenarnya nyaris punah? Entahlah. Cuma beberapa minggu lalu untuk pertama kali aku tersenyum-senyum sendirian di sebuah toko rekaman, menilik berbagai album sampai tangan penuh debu, dan akhirnya memutuskan mengambil Pulau Bali, Keroncong Instrumental Vol. 3 oleh Orkes Keroncong Irama Jakarta. Itulah kaset pertama yang aku beli barangkali setelah lebih dari sepuluh tahun lalu. Rasanya mirip dulu waktu aku pertama kali beli kaset Queen. Gemetaran.[]

Link terkait:
http://halamanganjil.blogspot.com/2008/03/selamat-jalan-kaset-dan-mantan-presiden.html

3 comments:

wawa.n said...

terima kasih tulisannya yang--seperti biasanya--selalu menarik, mas.

terkait bangkitnya kembali kegemaran anak-anak muda ke musik keroncong, saya pingin bilang: semoga saja ini artinya kita akan menemukan band-band baru yg terpengaruh musik2 bagus lokal dari masa dulu. kayaknya jarang sekali cengkok2 vokal musisi lokal yg bermain2 dengan nada-nada lokal atau daerah. padahal, banyak sekali penyanyi yg mahir dengan gaya dan warna vokal penyanyi R&B dan soul.

saya pribadi suka sudjiwo tedjo yg pilihan cengkoknya bisa memetik harpa di solar plexus saja (haiyyah! apa lagi ini) atau anggun yg nge-bali di beberapa lagu.

(sebentar, sholat maghrib dulu, nanti saya lanjut komennya) :D

w.awan said...

kalau saya sendiri (ini curcol :D), saya dengar lagu dangdut dan keroncong lagi justru setelah lewat punk dan country. istilah gaulnya, saya balik ke dangdut lagi setelah lewat satu putaran penuh. hahaha. setelah mendengar musik yg memanjakan telinga (eddie vedder, chris cornell), memukul-mukul telinga dan hati (bad religion, black flag), menggelitik hati (country), saya akhirnya mencapai filosofi, segala musik--asalkan dibuat dengan sepenuh hati dan tulus dan dilandasi keinginan luhur--pasti punya aspek2nya yg layak diapresiasi.

dari situlah, waktu di amazon lihat cd Popular Music of Indonesia 2 dengan gambar bang haji dan isinya mengandung dangdung, gambang kromong plus keroncong, saya langsung sabet. rasanya seperti jadi anak durhaka kalau sampai liriknya zack brown band, tim mcgraw, taylor swift dan brad paisley bisa hapal tapi sampai gak tahu hits pertamanya Elvis Sukaesih.

jadi begitulah ceritanya curcol saya :D

makasih telah memicu mikir sendiri :D

Anwar Holid said...

:D makasih banget komentarnya mas wawan. suka banget dengan rasa bersalahnya he he he... benar, kayaknya musik lawas indonesia memang menyimpan harta karun yang perlu ditilik-tilik. bahkan kalau sampai ada orkes keroncong yang bisa menyaingi musik pop biasa, tentu menggembirakan banget. kemarin sempat ada keroncong protol (bondan & fade2black) yang menurutku menarik, tapi belum ada gerakan musisik lain.

btw Popular Music of Indonesia 2 merupakan pilihan yang ok.