Friday, March 01, 2013




Sastra dan Propaganda Agama (Islam)
---Anwar Holid

Islam kerap dicap sebagai agama yang ekspansif. Anggapan ini bisa jadi muncul mulai dari aktivitas dakwah yang memang terlihat ekstensif, beragam lembaga dakwah, banyaknya khatib (pengkhotbah, penceramah, ustad), sampai penilaian sumir terkait konspirasi terorisme dan kekerasan agama. Di Indonesia, ada banyak penerbit maupun perusahaan media massa yang mengkhususkan diri bergelut di pasar umat Islam, hingga muncul istilah "penerbit Islam." Istilah ini sebenarnya berlebihan, mengingat mereka pun suka menerbitkan buku non-Islam, bahkan tak segan menyerobot ceruk pasar "penerbit umum." Kasarnya, demi profit hajar saja.

Di sisi lain sayangnya buku-buku Islam juga kerap dianggap sebelah mata, kurang memberi sumbangan berarti bagi kemajuan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Anggapan ini makin terASA di ranah fiksi atau sastra umum. Karya yang berafiliasi dengan "sastra Islam" dianggap minor dibandingkan sastra umum, entah itu karya penulis Muslim maupun bukan. Adakah buku "sastra Islam" karya penulis Indonesia yang berusaha diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau Arab, misalnya? Itu merupakan tanda yang cukup jelas bahwa karya tersebut dianggap sepele.

Setelah pada dekade 2000-2010 dianggap mencapai puncak karena secara massif menelurkan beragam jenis karya dan mencetak bestseller, pasar sastra Islam mengalami masa surut. Ini tampak dari banyaknya penulis yang mengalami penolakan penerbit akibat stagnannya pasar sastra Islam, sementara penerbit seperti As-Syaamil dan Lingkar Pena Publishing House tutup buku, beralih rupa sebagai penerbit baru dengan pencitraan dan strategi baru pula.

Beruntung, dekade berikutnya memperlihatkan tanda kebangkitan . Pasar tampak bergairah kembali, terutama berkat karya yang bersumber dari kisah nyata atau berupa novelisasi dari kehidupan tokoh Islam. Pengikat Surga (Hisani Bent Soe) dan Sang Pencerah (Akmal Nasery Basral) membuktikan gejala itu. Salamadani, sebuah penerbit berbasis di Bandung, tampak aktif mengisi peluang ini dengan menerbitkan Sang Pemusar Gelombang (M. Irfan Hidayatullah) dan dikabarkan sebentar lagi menerbitkan novel berdasarkan kisah kehidupan Buya Hamka karya Akmal Nasery Basral.

Tanda-tanda tersebut seperti teramini ketika ada seorang editor memberi kabar bahwa penerbit Islam sekarang sudah tidak terlalu berharap agar buku fiksi terbitannya bisa mengungguli kesuksesan Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman El-Shirazy, 2003). Pernyataan ini tampaknya menjadi isyarat (harus) ada sesuatu yang baru dan berubah dalam pasar buku bertema keislaman. Karena itu mungkin wajar bila dalam dua tahun terakhir (2010-12) bisa kita lihat sekilas buku best seller bertema Islam antara lain berjudul Terapi Berpikir Positif dan Tuhan Tolong Aku. Yang pertama buku motivasional a la Islam, kedua buku memoar seorang anonim.

Membaca kecenderungan itu barangkali kita bisa menilik tiga hal:

1/ Barangkali ini tanda bahwa pembaca (pangsa pasar) membutuhkan karya yang lebih segar selain fiksi melodramatik setipe Ayat-Ayat Cinta. Saya mendapati penulis yang mampu menelusupkan nilai Islam secara halus dan implisit (nonverbal) ke dalam karyanya berpeluang memberi angin segar, bahkan bisa diterima khalayak yang lebih luas. Di sinilah massa seakan-akan butuh dan terus menanti penulis yang lebih luwes dan pandai menyihir cerita agar isinya tetap bisa membawa spirit dan nilai Islam, dibarengi cara bertutur atau pengolahan gaya baru yang memikat. Ini jelas formula abstrak yang hanya bisa dirasakan atau dikonfirmasikan kepada pembaca, tapi biasanya penerbit atau penulis bisa memberi kisi-kisi seperti apa gejala atau ciri cerita yang tengah disukai pembaca. Topik Mulyana berusaha melakukan hal itu dalam Melepas Dahaga dengan Cawan Tua. Buku tipis ini merupakan upaya revitalisasi kisah klasik Islam agar cocok menjadi urban legend (cerita yang beredar luas di masyarakat dan dianggap sebagai kenyataan) bagi masyarakat kota yang kosmopolit dan terbuka.

Menariknya, M. Irfan Hidayatullah---sebagai pelaku sastra dakwah dan orang dalam Forum Lingkar Pena---menyatakan bahwa banyak penulis fiksi Islam karena dipengaruhi latar belakang pendidikan maupun lingkungan, justru sengaja membuat karya yang eksplisit mensyiarkan Islam, menjadikannya sebagai media public relation agama. Ini terjadi bukan tanpa alasan. Situasi sosial-politik pun sudah berubah. Ini pula yang membuat istilah sastra dakwah muncul menggantikan berbagai istilah terkesan eufemistik mulai dari sastra profetik, sastra religius, dan sastra sufistik dari penulis Islam zaman Orde Baru. Irfan tampaknya bahkan bisa menerima bila sastra dakwah disebut juga sebagai sastra propaganda Islam. Memang ada ceruk pasar di situ, misalnya kalangan aktivis Islam dan golongan keluarga mampu yang memiliki gaya hidup Islami.

Umat Islam pasca-Reformasi berani dan bebas secara terang-terangan (jujur) bisa mengungkapkan seluruh identitasnya tanpa perlu kuatir diancam oleh otoritas negara. Mereka juga membutuhkan bacaaan Islami yang eksplisit.

Maka, sebagai eksponen pionir sastra dakwah yang awalnya "menghaluskan" pesan Islam lewat metafora dan bahasa bersayap yang bahkan kadang-kadang sulit dimengerti pembaca, kini Irfan justru bereksperimen menyampaikan pesan Islam lewat gelombang aktivitas gerakan Islam secara jelas dan tegas. Dia ingin merasakan seperti apa rasanya gemuruh dan dinamika aktivis Islam yang bersinggungan dengan tekanan politik, pertarungan ideologi, gerakan dakwah bawah tanah, dan kegelisahan spiritual masyarakat urban mencari jalan terang.

Dari pemikiran dan kerja keras itulah lahir novel Sang Pemusar Gelombang. Novel ini secara murni masih memperlihatkan kekhasan fiksi Islam dalam arti tradisional, misalnya penggunaan kosakata beserta adopsi gaya hidup dari Arab, dan mempertentangkannya dengan hedonisme maupun praktik yang dilarang agama. Namun yang paling menarik ialah upayanya memadukan dinamika sejarah Islam dengan realitas kehidupan masa kini para tokohnya. Pola ini patut mendapat sorotan pembaca, apakah upaya penulis telah berhasil mulus atau masih seperti tempelan yang terkesan dipaksakan?

2/ Saya mendapati dalam dua tahun terakhir terbit banyak buku motivasional sederhana yang sumber naskahnya dari tweets, blog, atau notes Facebook. Subjeknya maca-macam, mulai dari self-help/pengembangan diri, entrepreneurship, fiksi, sampai humor. Lepas dari kritik atas kualitas maupun kedalaman dari naskah seperti itu, penerbit bisa memanfaatkan penulis baru yang mengasah kemampuan menulisnya di Internet. Mungkin penerbit Islam bisa mengolah sumber-sumber literatur dunia Islam yang sangat kaya dengan cara segar, sesuai bahasa dan kebutuhan masyarakat kini. Penerbit bisa mengincar penulis yang memiliki banyak fans, baik itu di Twitter, Facebook, blog, ataupun forum komunitas online. Minimal dari sana penerbit bisa mengukur kira-kira seberapa besar nilai jualnya. Sejumlah penerbit besar malah sudah mengambil langkah tersebut.

3/ Mencari tema-tema baru yang barangkali belum tereksplor atau menjajal genre yang mulai mendapat tempat di hati pembaca, seperti memoar yang lebih sensitif, berani, bahkan bisa jadi memicu kontroversi. Dari sini kita akan bisa melihat seperti apa usaha atau tindakan umat Muslim dalam mencari solusi atas isu-isu ekstrem kontemporer, bangkit dari keterpurukan, mencari jalan terang ketika galau dihajar badai kehidupan, atau bingung oleh arus kehidupan. Contoh isu ekstrem kontemporer dalam dunia Islam misalnya seorang Muslim berani mengaku gay/lesbian, tetap bangga atas identitas itu, dan mengampanyekan agar mayoritas umat Islam toleran terhadap pilihan itu.

Tema-tema tradisional Islam sejauh ini terbukti tetap laku, apa lagi bila secara mengesankan diramu dengan kisah cinta, pendidikan, maupun perjuangan dari zero to hero. Sangkala Lima (Langlang Randhawa) di satu sisi secara jelas memperlihatkan gabungan teknik bercerita a la Laskar Pelangi dengan spirit Negeri 5 Menara, tapi di sisi lain berani mengangkat isu sensitif, mulai dari pacaran, konversi non-Muslim masuk Islam, aliran Ahmadiyah, termasuk sedikit menyerempet LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender). Bisa jadi ini tanda "kemajuan" terhadap berbagai fenomena yang muncul dalam Islam, meski nanti di karya ke depan harus dibarengi dengan kematangan dan kekhasan menemukan cara bertutur yang lebih menarik.

Akhirul kalam, terutama sebagai pembaca dan orang yang hidup dalam industri buku, saya sendiri terus berharap penulis yang berkomitmen atau berafiliasi dengan Islam terus melatih untuk mematangkan kemampuan menulisnya. Seperti dalam khotbah, nasihat ini pertama-tama ditujukan untuk diri saya sendiri agar lebih baik menulis; baru setelah itu saya berharap mendapat permata dan manfaat setiap kali bersinggungan dengan buku bertema Islam, apa pun jenisnya.[]

Anwar Holid
Editor, penulis, publisis
Blog: http://halamanganjil.blogspot.com
Twitter: @anwarholid
 

No comments: