Showing posts with label Karir. Show all posts
Showing posts with label Karir. Show all posts

Thursday, June 10, 2021


Pindah Klub dan Tempat Kerja
Oleh: Anwar Holid


 

Pindah klub atau tempat kerja kerap tak seoptimis sebagaimana diharapkan dari awal. Yang terjadi suka kompleks dan butuh adaptasi. Cristiano Ronaldo pindah dari Real Madrid ke Juventus dengan harapan bisa membantu klub menjuarai Liga Champions, yang terjadi mereka malah terpuruk baik di liga domestik dan antar-klub negara Eropa. Gianluigi Buffon pindah dari Juventus dan balik lagi ke sana namun tetap tak kunjung mampu meraih ambisi bersama. Antoine Greizmann pindah ke Barcelona dengan harapan jadi tandem maut buat Messi, tapi yang terjadi kerap kekecewaan. Pelatih dan rekan setim seperti ragu atas kemampuannya. Hingga kini dia tidak lebih gahar dari kemampuannya ketika masih di Atletico Madrid. Luis Suarez kecewa berat dicampakkan Barca, namun dapat energi baru begitu bergabung dengan Atletico Madrid dan dapat kepercayaan dari manajer Diego Simeone.

Waktu Manchester United merekrut Teddy Sheringham, banyak orang sangsi atas keyakinan Alex Ferguson karena Teddy seorang striker tua. Tapi Teddy penasaran bagaimana rasanya jadi juara liga. Itu yang membuatnya meninggalkan Tottenham Hotspurs dan menjalani petualangan baru. Di Manchester United Teddy sukses merasakan gelar treble.

Di dalam klub atau perusahaan selalu ada dinamika. Meski tidak selalu fokus pada seseorang yang dinilai paling menonjol, pemain bintang biasanya kerap jadi bahan omongan. Di Atletico Madrid, Joao Felix awalnya dianggap sebagai transfer gagal, tapi di musim 2020/21 perlahan-lahan ia dinilai memuaskan seiring mautnya kerja sama dengan Luis Suarez. Sebagai striker muda dia dianggap mau belajar pada striker berpengalaman. Barangkali tahun depan dia bisa lebih baik menjalani karirnya dan membuat rekor baru, misalnya dengan menjuarai Liga Champions.

Inter Milan menjuarai Liga Serie A musim 2020/21 berkat banyak pemain buangan yang dianggap gagal di klub sebelumnya atau pemain veteran yang ingin mencari petualangan baru. Di sana ada mantan pemain Manchester United: Young, Lukaku, Sanchez, Darmian; mantan Manchester City (Kolarov); Tottenham Hotspurs (Eriksen); Real Madrid (Hakimi); Barca/Juventus (Vidal); juga Bayern Munich (Perisic). Tokoh utama di balik kejayaan Inter Milan musim ini ialah manajer Antonio Conte. Dia dinilai berhasil membangkitkan potensi pemain seperti Romelu Lukaku jadi bermental lebih kuat dan memenangi laga-laga penting.

Motivasi orang pindah klub atau perusahaan sangat beragam. Ada yang karena kecewa sama bosnya, ingin penghasilan lebih besar (biasanya diawali oleh kekecewaan terhadap perusahaan), harapan baru, peran baru, penyegaran karir, kejengkelan tak tertanggungkan, kemarahan... bahkan karena dipecat. Ada yang pindah baik-baik dan memecahkan rekor transfer, ada yang pindah karena terpaksa — seperti David Beckham mendadak pindah ke Real Madrid setelah insiden dilempar sepatu oleh manajer Alex Ferguson.

Ada faktor penerimaan, kecocokan, juga atmosfer di tempat baru. Ada orang yang awalnya sangat optimis pindah, tapi segera menyesal karena mendapati tempat barunya lebih menyedihkan. Justru di tempat lama ia merasa dapat pelajaran mengesankan. Kalau seperti itu, jelas terasa menyesal pindah. Tapi mustahil mau balik lagi. Akibatnya dia berpikir siap-siap pindah ke tempat baru dengan membawa-bawa kemangkelan.

Nicolas Anelka pindah ke Real Madrid dengan harapan besar, namun di klub baru itu dia mengalami kenyataan buruk karena dari awal diperlakukan menjengkelkan, ada penolakan diam-diam sejumlah pemain atas kehadirannya. ‘Real Madrid memperlakukan aku seperti anjing!’ kata dia geram. Akibatnya dia segera sadar betapa mestinya tidak perlu meninggalkan Arsenal, klub yang membentuknya jadi bintang. Di sana dia dapat dukungan dari manajer tepercaya dan teman seklub. Setelah setahun yang sulit di Real Madrid, dengan segera Anelka terus berpindah-pindah klub dalam waktu singkat, namun ia dinilai kehilangan bakat dan kemampuan terbaiknya. Dia sungguh berbeda dibanding Karim Berzema yang betah bertahan dan bisa bersaing terus lebih dari satu dekade di Real Madrid.

Mayoritas orang pindah ke tempat baru karena ingin memperbaiki diri. Memperbaiki diri tidak selalu terkait dengan penghasilan atau uang. Ada orang rela pindah dengan penghasilan lebih rendah, tapi hati dan hidupnya jadi lebih tenang karena bisa berhenti melakukan praktik yang haram dan jahat. Dia merasa lebih berkah. Orang ganti profesi baru dengan pertimbangan bisa lebih baik dan bahagia menjalani hidup pilihannya.

Pindah kerja ke tempat baru mungkin saja merupakan peningkatan karir, pencapaian baru, atau peluang berbuat lebih baik. Tapi tak ada jaminan buat itu. Mungkin segala sesuatunya sudah dipertimbangkan sebelum pindah, tapi hal-hal di luar bayangan tetap bisa terjadi. Sering ada drama, adaptasi, dan risiko di tempat baru. Lepas dari berbagai faktor itu, pindah klub atau tempat kerja baru membuktikan betapa hidup memang terus bergulir dan berganti peran. Bisa jadi peran itu di satu titik berlangsung lama — misalnya jadi pekerja, jadi manajer, jadi petani — lantas berganti dengan cepat, misalnya dipilih sekadar sebagai selingan hidup. Jadi ya terus jalani saja.[]


Anwar Holid — editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Note: foto dari internet.


Monday, December 16, 2013

6 Pertanyaan tentang Editor dan Penerbitan
--Anwar Holid


Beberapa minggu lalu aku dapat email dari kawan yang baru lulus kuliah. Dia suka baca buku, terutama fiksi, bacaannya luas, aktif di komunitas menulis, tulisannya pun sudah pernah dipublikasikan. Karena itu ia terpikir berkarir di dunia penerbitan atau berniat bikin penerbit. Dia mengajukan enam pertanyaan, yang aku bilang bagus sekali bila dibagi buat banyak orang.

Saya ingin jadi editor buku fiksi karena senang baca novel. Apa itu merupakan alasan yang salah?
Jelas enggak salah kamu pengen jadi editor fiksi karena suka baca novel. Banyak orang jadi editor semata-mata karena mereka suka buku, apa pun jenis/genrenya. Dulu ada senior (beliau sudah meninggal) jadi editor karena sejak kecil suka baca majalah Si Kuncung, mengirim tulisan ke majalah itu, dan akhirnya bergaul dengan para penulis sampai berkarir di dunia penerbitan seperti keinginannya, aktif di asosiasi penerbitan, sampai akhirnya membuat usaha penerbitan (artinya jadi pengusaha) dengan kesuksesan tertentu.

Seperti apa pekerjaan editor itu?

Sederhananya: kamu menyiapkan naskah hingga siap dilayout dan diproduksi jadi buku.
Editor ialah seorang pengawal buku itu. Dia melayani penerbit dan penulis, menjembatani keduanya. Di perusahaan penerbitan, definisi editor jadi rada kompleks karena ada jenis atau tingkatan, misalnya editor kepala, kepala penerbitan, asisten editor, atau cuma 'editor'. Tugas mereka rada beda satu sama lain. Di Indonesia, editor kepala barangkali semacam acquisition editor; mereka cari naskah, cari dan menghubungi penulis, menyeleksi kelayakan naskah, menawari calon penulis untuk menulis sesuai kebutuhan penerbit, mencari desainer cover atau buku, dan bisa jadi sangat jarang mengedit/menyunting naskah. Mereka mungkin sudah bosan melakukannya atau baru terpaksa menyunting lagi kalau ada target dan bantu target produksi buku. Penerbit Indonesia di akhir dekade pertama tahun 2000-an banyak mengalami transisi semacam ini. Artinya mereka tidak lagi terkungkung menyunting naskah, melainkan merencanakan penerbitan, bahkan bernegosiasi dengan pihak lain untuk menerbitkan buku atau mencari celah agar terbitannya langsung laku.

Asisten editor tugasnya antara lain membantu editor seperti proof reading, buat indeks (yang juga bisa dibuat oleh penulis), menyiapkan detil kelengkapan naskah, sampai diberi kepercayaan penuh menyunting buku (biasanya mereka memang disiapkan jadi editor).

Editor (saja) adalah posisi standar. Ia menyunting naskah dan menanganinya sampai layak terbit; yang diurus biasanya terkait bahasa dan isi naskah. Bisa jadi mereka tidak berhubungan penulis, karena hal semacam itu ditangani editor kepala atau administrasi perusahaan.

Contoh sebagai editor freelance, tugas standarku ialah menyunting naskah, menyiapkannya biar sudah siap dilayout atau didesain jadi buku oleh penerbit. Tugas tambahanku biasanya diminta kasih ide/usul bagaimana cara mendesain calon buku itu jadi lebih punya nilai lebih, menarik, dan bisa memikat calon pembaca/pembeli sekuat mungkin. Misalnya aku kasih ide soal format, keterangan soal higlight naskah, sebaiknya ada ilustrasi di bagian tertentu atau tambahan dan pengurangan lainnya. Ide itu diolah lebih lanjut desainer buku. Editor freelance tidak bisa mengintervensi buku itu nanti akan disajikan/didesain seperti apa; tapi ia bisa memberi saran barangkali naskah itu bagusnya diolah bagaimana biar jadi buku yang menarik.

Bagaimana sifat-sifat orang yang cocok menjadi editor?

Orang yang cocok jadi editor pertama-tama mutlak dia harus suka buku, suka baca, suka bahasa, suka sastra, suka menulis, tertarik seni, kreatif---punya selera tertentu terhadap keindahan, visi bagaimana sebaiknya menyajikan naskah, mengemas buku, juga menggagas proyek perbukuan. Soal ini aku yakin akan berkembang seiring waktu dan pengalaman.

Orang yang terbiasa dengan buku, bergumul dengan penulisan kreatif, peduli bahasa, biasanya bisa menjadi editor yang bagus. Sebagian besar kenalanku yang jadi editor tidak belajar bahasa secara khusus (misalnya sekolah di jurusan editing atau sastra); tapi mereka punya kepekaan yang hebat terhadap bahasa, terbiasa berlatih menulis efektif, suka pada cara sesuatu disampaikan. Latar belakang mereka bisa fisika, astronomi, agama, geologi, apa pun; tapi ketertarikan terhadap buku, sastra, seni akan membuat mereka jadi editor yang punya nilai lebih.

Sifat tambahan buat orang yang cocok jadi editor menurutku harus luwes/fleksibel, rapi, suka detil, tertib. Luwes ini untuk berhadapan dengan orang maupun naskah, untuk bernegosiasi, berkompromi, dan lain-lain. Menurutku sendiri, aku kurang luwes dalam menghadapi orang atau situasi tertentu. Editor, apalagi editor naskah, harus rapi, tertib, dan suka detil, karena ia harus bertanggung jawab mengurus hal-hal kecil, mulai dari salah eja, kelengkapan naskah (yang bisa sangat sepele), dan menatanya hingga rapi dan siap cetak. Tak ada harapan bagi editor yang luput memeriksa bahwa KATA PERTAMA di buku yang disuntingnya sudah salah. Lebih parah lagi kalau judul/subjudulnya salah eja. Gawat. Aku cukup belajar banyak untuk jadi lebih teliti, termasuk dengan diperingatkan bos, diberi tahu sesama editor, atau pembaca buku yang aku edit.
Foto dari Internet.

Saya ingin bekerja di penerbitan karena ingin tahu bagaimana buku terbit, dipasarkan, dan menumpuk di gudang ketika tidak laku. Saya bercita-cita punya penerbitan. Apa ini masih merupakan alasan yang salah? Pekerjaan apa yang cocok bagi saya di penerbitan?

Menurutku memiliki penerbitan dan jadi editor cukup berbeda jauh. Memiliki penerbitan ialah jadi pengusaha di industri buku atau dunia penerbitan; sementara jadi editor ialah salah satu sisi/bidang di dunia penerbitan. Memang sebagian pengusaha penerbitan berawal dari editor, suka buku, atau manajer penerbitan yang beralih dari editor; tapi bisa jadi jalurnya beda. Ada pengusaha/pemilik penerbitan yang tidak bisa menyunting buku, tapi dia jago mencari celah atau proyek buku yang menguntungkan, misalnya cari order dari pemerintah, instansi, atau perusahaan yang mau buat buku. Contoh: Haidar Bagir (salah satu pendiri/pemilik dan CEO Mizan) berawal dari suka nulis/baca sejak mahasiswa, dia jadi editor di penerbit Salman, terus mendirikan Mizan. Di Mizan dia juga masih suka menulis buku.

Menurutku, untuk jadi pengusaha penerbitan modal utamanya ialah keberanian, jiwa enterpreneurship, modal, berisiko untung/rugi besar. Sementara jadi editor adalah karir yang bisa ditempuh berjenjang. Editor lebih merupakan 'profesi.'

Sekadar memberi tahu, sebagian editor setelah beberapa tahun kerja di penerbitan bisa beralih ke bagian marketing, promosi, sales, bahkan distribusi. Bisa jadi karir dan jabatan mereka akan lebih menanjak di sana. Mereka berhenti berhubungan dengan naskah, tapi mereka masih berhubungan dengan buku, atau malah memberi masukan dan bocoran naskah seperti apa yang harus diterbitkan penerbit. Bisa jadi, di perusahaan penerbitan, nanti kamu akan menyaksikan bahwa pegawai yang paling makmur ialah di bagian marketing, distribusi, keuangan, sementara layouter yang menyiapkan buku dari awal terkaget-kaget betapa karir mereka tertinggal. Ada kenalan seniorku yang lebih sukses kerja di bagian marketing, setelah awalnya pindah sebagai editor.

Sebagai bayangan, sebagian editor di penerbit yang berkembang besar setelah jadi kepala editor bisa beralih tugas menangani perusahaan yang lain banget produknya (misalnya film). Harus diakui tidak semua editor yang pernah sukses di penerbitan atau berpengalaman mengelola anak buah (editor junior) dijamin kembali berhasil setelah mendapat mandat mengelola perusahaan baru. Artinya mengembangkan perusahaan itu butuh kemampuan lain.

Kalau niat mau punya penerbitan, mending kamu rajin cari naskah yang potensial di pasar, kontak editor (bisa juga diedit sendiri, atau kalau nekat gak usah diedit), terbitkan. Jual. Banyak pemilik penerbitan basisnya penjual buku, ia tahu ada sebuah buku bisa laris gila-gilaan atau tahu ada channel proyek penerbitan dengan pihak/instansi tertentu. Tapi kalau kamu mau 'punya gengsi' dengan perusahaan atau terbitanmu, ingin image bahwa terbitanmu bermutu, mencerahkan, kamu harus sewa editor atau menjadi editor agar buku itu lebih artistik, punya nilai lebih, bukan sekadar barang kodian. Ha ha ha... aku kayak jago teori dunia penerbitan, padahal belum bisa buat penerbitan---sesuatu yang ada di urutan paling rendah dalam skala prioritasku di dunia penerbitan.

Di penerbitan, entah awalnya jadi editor atau masuk di bagian yang kamu sukai, misalnya promosi atau marketing, kamu bisa pindah ke bagian lain yang lebih prospektif atau cocok sesuai kemampuan dan potensi terbaikmu. Tinggal kamu perhatikan saja kemampuan dan minat utamamu. Contoh, ada kenalan yang sejak awal kerja di penerbit kerja di bagian event (pameran, bazaar, lomba, dan lain-lain). Dia tidak pernah terlibat di dunia editing. Dia sangat sukses di situ; semua event besar di penerbitnya dia urus acaranya. Di penerbit lain ada karyawan yang awalnya sukses di bagian keuangan, pernah jadi karyawan teladan, entah karena restrukturisasi perusahaan atau performa pribadi, lantas pindah-pindah ke bagian lain, termasuk ke bagian editing, sampai akhirnya ke luar. Aku sendiri merasa karirku berjalan biasa saja, tapi aku belum pernah pindah ke bagian marketing, percetakan, atau sales. Paling aku punya sedikit pengalaman di bagian promosi, publisitas, dan literary agent.

Bagaimana suasana kerja di penerbitan? Apa dari bekerja di penerbitan seseorang memperoleh kecakapan yang bisa digunakan di luar bidang penerbitan? Apa dari bekerja di penerbian seseorang punya teman yang bertahan dalam jangka waktu lama?

Pernah mengalami situasi kerja freelance dan tetap sebagai pekerja (karyawan), kesimpulanku ialah kerja pada dasarnya sama dan semua punya tantangan atau keunggulan maupun kekurangan masing-masing. Orang bisa sukses dan gagal baik sebagai karyawan tetap atau pekerja freelance. Aku selalu salut pada orang yang bisa mendirikan perusahaan. Meski aku sering dengar pengusaha itu tega, suka licik, enggak mau rugi sepeser pun, dan aku pernah dengar serta lihat buktinya, satu hal sih mendirikan perusahaan itu susah dan berat. Aku lihat sendiri beberapa kawanku jatuh-bangun mendirikan perusahaan, ditinggalkan ratusan karyawan, termasuk diancam masuk penjara dan pengadilan. Jadi karyawan mungkin lebih simpel; namun risiko dan pendapatannya pun lebih sedikit. Sebagian besar pasti buat pengusaha dan pemodal.

Kerja pada dasarnya soal kepercayaan, kinerja yang bagus, dan tidak mengecewakan orang lain. Ada yang yakin bahwa kerja itu soal melayani, service, memuaskan customer.

Perusahaan dan personal punya tabiat masing-masing, yang penting ialah kompromi atau 'main cantik' selama kerja. Ada motto: What’s best for you is often best for the company in the long run.

Dulu, waktu berhenti kerja pertama kali, di hari terakhir itu aku gemetar dan nangis, karena aku tahu persis kerja di sana adalah a dream come true, satu-satunya penerbit yang ingin aku masuki. Di penerbit, bisa jadi kita bekerja dengan para visioner, cerdas, antusias, dan kita hormati. Tapi jangan bodoh sampai tidak sadar bahwa bekerja di perusahaan itu penuh tekanan, ada target yang harus dipenuhi, kecemburuan profesional, juga kompromi dengan orang lain dalam organisasi. Aku dulu gagal sadar ada apa di balik kejadian kenapa beberapa seniorku pada ke luar setelah aku kerja di sana. Setelah dua tahun, aku baru ketemu batunya, yaitu gagal kompromi dengan perusahaan, persisnya dengan manajer sendiri, yang tentu punya target yang harus beres bareng anak buahnya (yaitu aku dan kawan-kawan). Parahnya aku juga tidak punya loyalitas korps. Lama setelah itu aku merasa bahwa di dunia kerja loyalitas lebih utama daripada kinerja. Kalo kamu setia pada bos apa pun kondisinya, insyaallah secara posisi kamu aman. Aku bahkan pernah lihat seorang karyawan yang jadi tangan kanan sampai dianggap sebagai adik/sodara oleh bosnya.

Kita bisa kerja entah karena rekomendasi, lulus tes, dan punya kualifikasi. Di dunia penerbitan, kita juga bergaul, ada komunitas, punya asosiasi, berkawan. Banyak kawan lama di dunia penerbitan yang bertahan hingga kini dan aku salut dengan kinerjanya. Aku pernah konflik berat dengan kawan dekat, yang malah ribut gara-gara uang dan berbeda pandangan soal cara bekerja---tapi untunglah seiring waktu dan kesadaran hubungan kami baik lagi. Sebagai pekerja freelance, aku pernah nyaris putus asa menagih honor dari kawan lama yang kasih order atau salah paham dengan editor lain yang aku ajak kerja sama. Kerewelan sebagai peresensi membuat aku dimusuhi seorang editor yang bukunya aku kritik sampai mengorbankan pertemanan.

Kekurangan terbesar kerja freelance yang kadang-kadang bikin putus justru rasa sepi karena enggak ada feedback dari orang lain, terutama customer/klien, apa kerja kita bagus atau buruk. Gila, customer itu sibuk semua; parahnya mereka suka kasih order di kala mepet. Reaksi feedback mereka cuma bisa ditebak dari kasih order berikutnya kalau puas atau berhenti kasih order kalau kecewa. Di dunia freelance, aku bisa dapat order sebanyak mungkin, tapi kalau enggak beres juga apa artinya? Nama sendiri yang hancur. Sebaliknya, ada orang memilih kerja freelance karena menawarkan hal yang tidak dimiliki karyawan, misalnya fleksibilitas.

Apa yang menyebabkan seseorang tidak betah bekerja di penerbitan?

Banyak hal bisa bikin seseorang tidak betah kerja di penerbit. Yang pertama ialah gajinya kecil. Sejak dulu semua orang di dunia penerbitan/perbukuan selalu bilang bahwa perputaran uang atau modal di dunia buku itu lambat dan nilainya kecil, misalnya jika dibandingkan industri konstruksi. Coba kamu hitung berapa banyak penulis yang semata-mata mencari nafkah dari menulis. Banyak penulis mengaku mereka mengalami 'split personality' karena harus ngantor atau kerja sampingan lain yang tidak terkait penulisan.

Aku ingat para seniorku ke luar karena bilang gajinya kecil dan kurang buat hidup. Sampai sekarang orang masih berpendapat begitu dan aku masih dengar bahwa gajinya kurang. Orang juga bisa ke luar karena ingin dapat posisi lebih tinggi (misalnya punya anak buah) atau fasilitas lebih, yang sulit mereka dapat dari perusahaan awal. Orang juga bisa pindah kerja karena ingin dianggap penting/berpengaruh atau dipecat dan terpaksa pindah karena wanprestasi. Ada pekerja berhenti kerja karena gagal kompromi dengan bos atau rekan kerja, meski ia masih punya prestasi, kemampuan, atau daya tawar yang mungkin bisa dikembangkan di perusahaan lain.

Tipe perusahaan beda-beda dan itu membuat perilaku, etos, budaya perusahaan, dan karyawan beda. Ada perusahaan yang dikelola terbuka, milik keluarga, atau semau-maunya (situasional). Modalnya juga lain-lain; ada dari investasi seseorang, utang bank, atau pinjaman mertua. Ada orang yang bisa balik lagi setelah mereka berhenti, ada pekerja tipe kutu loncat demi menaikkan karir. Banyak orang bisa betah kerja sangat lama dan membangun karir di perusahaan yang bisa jadi sulit kita bayangkan, lepas bahwa mereka juga memendam ketidaksukaan terhadap sistem yang dibangun pendirinya. Apa pun jenisnya, perusahaan yang baik pasti berusaha mengelola dan mengembangkan dengan berbagai sistem yang dianggap cocok, misalnya menerapkan standar tertentu maupun ISO.

Contoh perusahaan keluarga. Bisa jadi mengelola kepentingan keluarga pemilik dan pendiri malah lebih sulit lagi dibanding mengelola roda bisnis dan perusahaan, karena di situ ada emosi, kekerabatan, share modal, ikatan darah, bahkan status. Bagi yang tidak cocok atau tidak puas, kondisi itu bisa mudah membuat seseorang ke luar. Intinya, semua perusahaan dan pekerja ingin maju dan berkembang. Mereka mencari berbagai cara ke arah sana.

OK, semoga komentarku berguna dan bisa kasih pandangan alasan seseorang untuk jadi editor dan berkarir di industri perbukuan.[]

Anwar Holid, aka Wartax, penulis buku Keep Your Hand Moving.

Wednesday, May 22, 2013

[Halaman Ganjil]

Moyes, Ferguson, Guardiola, dan Mourinho
--Anwar Holid

Ketika pada 2008 Josep Guardiola dipilih menggantikan Frank Rijkaard sebagai manajer Barcelona, semua analis sepakbola menyangsikan kemampuannya. Umur Pep masih muda, nol pengalaman melatih klub senior, dan minim bekal kompetisi sebagai manajer. Bekal utama beliau hanya dianggap pemain legendaris di klub dan loyalitas penuh pada Barca. Hasilnya, dia membungkam semua kritik dengan prestasi mencengangkan. Di tahun pertama kepemimpinannya ia meraih treble: juara La Liga, meraih Copa del Rey, dan memenangi Champions League. Sebuah prestasi yang belum pernah diraih klub sepakbola Spanyol manapun dan cuma disamai oleh Manchester United di Premier League tahun 1999.

Tahun 2013 David Moyes dipilih menggantikan Alex Ferguson menjadi manajer Manchester United. Nyaris semua analis sepakbola pun menyangsikan Moyes, bahkan membuat saham klub tersebut langsung merosot. Hampir semua orang berharap Manchester United ditangani oleh manajer high-profile seperti Jose Mourinho. Hanya 1-2 opini yang menyemangati Moyes, terutama karena karakter dia mirip Ferguson. Mereka sama-sama menggugah, keras, loyal, dengan integritas terjaga. Kualitas itu tampak tipikal. Semua orang bisa seperti itu. Tapi bedanya juga jelas: Ferguson telah bergelimang piala, sementara Moyes belum punya apa-apa.

Sebagai penikmat siaran langsung pertandingan sepakbola, aku berharap-harap cemas pada Moyes. Salah satu pujian utama pada Moyes ialah karena beliau mampu menemukan dan memberi kepercayaan pada talenta muda, seperti pada Wayne Rooney dan Marouane Fellaini. Ini persis dilakukan Ferguson seperti pada Ryan Giggs dan Phil Jones.

Sebelas tahun bersama Everton jelas bukti loyalitas Moyes pada sebuah institusi. Meski tidak fenomenal, loyalitas ternyata sudah merupakan sebuah prestasi sendiri---apa lagi bagi klub "sekelas" Everton. Orang selalu respek pada seseorang yang loyal dan institusi yang solid. Kesetiaan, meskipun bukan segala-galanya, merupakan ikatan yang sangat berharga dalam lembaga apa pun. Belajarlah dari pernikahan dan kitab suci tentang hal itu. Karakter ini sangat kontras pada Jose Mourinho. Dia hanya loyal pada dua hal, yaitu menang dan juara. Kalau enggak, lebih baik kabooor!

Dengan segala dukungan dan fasilitas, barangkali Moyes bisa menjadi manajer high-profile, mencapai puncak nan gemilang, melanggengkan prestasi dan bisnis Manchester United. Tapi mampukah ia bersaing dengan Guardiola yang tahun ini menangani Bayern Munich? Guardiola dua kali menaklukkan strategi Ferguson di final Champions League dan Manchester United selalu kalah oleh manajer berkarakter seperti Mourinho.

Jelas tugas Moyes berat. Apa karakter dan kemampuannya mampu makin menguatkan karir, loyalitas, dan prestasinya? Apa pemain, ofisial, dan fans mau "mengerti dan sabar" (aih, Islami banget istilahnya!) bila di tahun pertama dia gagal meraih piala satu pun? Mari kita saksikan di awal dan akhir musim, kalau mau dari pertandingan ke pertandingan lain.

Tapi seperti pada politik, analisis sepakbola juga kerap prematur. Orang terlalu lihai lebih dulu berubah sebelum gejala mereka terbaca dan jadi kenyataan. Aku mau di depan kaca saja memperhatikan para manajer berteriak, merengut, memerintah, atau marah-marah di pinggir lapangan, seolah-olah menggenapi pemain jadi dua belas orang.[]

Anwar Holid hanya berpengalaman di Championship Manager dan Winning Eleven.