Showing posts with label kisah. Show all posts
Showing posts with label kisah. Show all posts

Friday, September 16, 2011


[KISAH]
Ulat yang Ingin Jadi Kupu-Kupu 

Apakah cukup menjadi diri sendiri?


Seekor ulat bermimpi ingin jadi kupu-kupu yang cantik, tapi kawan-kawannya menyarankan agar dia tetap menjadi diri sendiri. Suatu hari dia ketemu semut merah.

"Aku ingin jadi kupu-kupu," ujar ulat itu.
"Kenapa kamu mau jadi kupu-kupu?"
"Aku ingin membuat taman jadi lebih indah. Aku juga mau membantu penyerbukan tanaman ke tanaman lain. Itu akan membuat mereka menghasilkan biji, dan akhirnya jadi tanaman baru. Aku ingin terbang. Aku akan mempercantik taman ini dan orang-orang senang melihatku."
"Ah, kamu bercanda. Kamu ini binatang melata. Takdirmu merayap. Jadilah diri sendiri! Jangan mimpi dan tunggu sampai kamu dipatuk burung," kata semut merah sambil tertawa.

Ulat kecewa dengan jawaban semut merah, kemudian dia pergi ke tempat lain dan ketemu dengan ulat belang. Dia mengutarakan lagi keinginannya untuk jadi kupu-kupu. Temannya berkata, "Jadilah diri sendiri. Keinginanmu itu akan mengecewakanmu. Jangan mencoba macam-macam. Enggak usah berusaha terbang. Kamu bukan kupu-kupu. Terlalu keras berusaha akan membuat kamu kecewa. Jadi diri sendiri saja. Jangan mengubah apa pun!"

Jawaban itu juga tidak memuaskan dirinya. Jadi dia terus berkelana ke sela-sela daun lain, merenung, dan masih sedih. Dia bermimpi jadi kupu-kupu, tapi saat melihat dirinya sendiri sekarang, dia adalah ulat. Saran temannya membuat dia berpikir bahwa menjadi kupu-kupu berarti tidak menjadi diri sendiri. Dia ingin berkembang dengan tetap menjadi diri sendiri.

Seekor kupu-kupu yang terbang melintas di situ melihat dia dan penasaran kenapa ulat ini kelihatan sangat sedih.

"Kenapa kamu kelihatan sedih begitu?" tanya kupu-kupu.
"Aku ingin jadi kupu-kupu seperti kamu," jawab ulat.
"Memang kenapa kamu ingin jadi kupu-kupu?"
Ulat kembali mengutarakan alasan ingin jadi kupu-kupu, namun teman-temannya menasihati agar dia "jadi diri sendiri." Pendapat itu membuatnya bingung.

"Teman-teman kamu benar, tapi jadi ulat saja tidak cukup. Kamu memang harus jadi diri sendiri, tapi jangan membunuh mimpi-mimpimu. Jangan tolak kesempatan untuk berkembang. Tidak berbuat apa-apa dan bersikap pasif bukanlah menjadi diri sendiri," demikian kata ulat.
"Jadi aku bisa jadi kupu-kupu yang cantik seperti kamu?"
"Tahu enggak, dulu aku pun seekor ulat, tapi sekarang aku sudah jadi kupu-kupu. Kamu punya kesempatan untuk jadi kupu-kupu. Teruslah merayap sambil makan yang cukup dan bagus. Cari tempat yang aman untuk membuat kepompong dan melindungi dirimu dari pemangsa dan setelah itu tunggu prosesnya. Percayalah kamu bakal bisa jadi kupu-kupu. Jadilah yang terbaik untuk dirimu!"

Penjelasan itu memberi harapan bagi sang ulat.

"Tumbuhlah lebih baik. Jadilah yang terbaik untuk dirimu!" dukung kupu-kupu sambil terbang untuk menunaikan tugas lain pada hari itu.

Hari demi hari setelah itu sang ulat terus merayap dan makan daun. Dia berusaha keras melindungi diri agar tidak dipatuk burung maupun predator lain. Sampai saatnya dia siap bertransformasi, bisa membuat kepompong yang kuat, dan di dalam kepompong itu dia pelan-pelan berubah jadi kupu-kupu yang cantik.

Mimpi ulat jadi kenyataan. Dia bisa terbang. Dia membuat taman lebih cantik. Dan dia masih tetap menjadi diri sendiri, menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri.[]

Disadur oleh Wartax dari "Butterfly’s Story: Is It Enough to be Your Self?" Sumber: http://authspot.com/short-stories/butterflys-story-is-it-enough-to-be-your-self/?1247472

Gambar dari Internet.

Friday, March 06, 2009



Dicaci-maki dan Dipuji-puji

--Anwar Holid


SUATU HARI seseorang bertanya kepada temannya, "Andai kata kita dicaci maki oleh seseorang, padahal kita tahu itu salah; apa yang pantas kita lakukan kepadanya? Bagaimana cara kita membalas perlakuan itu? Bagaimana memandang peristiwa itu secara menyeluruh agar bisa memandang lebih baik? Di satu sisi kita ingin menyatakan bahwa kita tidak seperti yang dia caci maki, di sisi lain kita ingin memperlihatkan harga diri, mengingatkan bahwa dia salah, serta memperlihatkan ketegasan, bahwa orang tidak pantas dicaci maki?"


Temannya menjawab, "Well, bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, misalnya kamu dipuji, diberi penghargaan, dibilang baik? Padahal kamu sebenarnya tidak seperti itu sepenuhnya dan ada orang lain yang lebih pantas menerima penghargaan? Apa kita lantas merasa pantas menerima perlakuan itu? Atau menolak? Dicaci maki hanya sebuah peristiwa. Yang penting bagaimana reaksinya. Orang cenderung reaktif, mudah tersinggung, defensif.

Ada baiknya kita berjarak dulu dengan itu. Andai kita dicaci maki padahal tahu persis tak pantas menerima perlakuan itu, kita diam dulu. Ada apa dengan peristiwa itu? Barangkali benar kita tak pantas menerima perlakuan itu, tapi peristiwa apa pun bisa terjadi begitu saja. Tak ada yang bisa mencegah peristiwa bila itu harus terjadi. Barangkali tanpa sepengetahuan kita sengaja terpilih mengalami peristiwa nahas itu sebagai latihan akan seperti apa kita bereaksi atau menganggap kejadian itu. Hati-hatilah saat bereaksi. Barangkali peristiwa itu terjadi untuk membangunkan ego, sisi gelap kita, dan kita tahu, betapa mudah itu muncul.

Semua orang punya kelemahan, dan persis dengan hal itu dia diuji. Bila orang merasa punya harga diri, persis dengan harga diri itu dia diuji. Bila orang merasa saleh, dengan kesalehan itu dia dicoba. Cacian, pujian, peringatan, keberhasilan... semua itu kurang lebih sama saja. Yang berbeda adalah bagaimana kita menghadapinya, sampai kita tahu apa itu sebenarnya."

Semoga dengan memilih pikiran, orang bisa bahagia.[]

Perampokan yang Gagal

--Anwar Holid

Seorang manajer perusahaan asuransi suatu hari ingin membeli anggur. Dia sukses, kaya, berselera. Waktu menerima botol anggur dari penjual, dia lihat label anggur itu tergores merusakkan merknya. Dia menolak dan minta ganti yang baru. Penjual dengan senang hati melayani, meminta pelayan mengambil botol baru yang ada di gudang. Waktu mereka ngobrol sambil menunggu pelayan kembali, saat itulah seorang perampok bersenjata masuk.

Perampok mendorong manajer itu sampai jatuh ke lantai, segera menyanderanya dan menodong pemilik toko untuk segera mengumpulkan uang dan menyerahkan kepadanya. Pemilik toko tak melawan, lebih aman menyerahkan harta daripada nyawanya. Ketika uang hendak dia serahkan, sang pelayan muncul dari pintu belakang, memegang botol anggur baru. Terkejut karena menyangka hendak diserang, seketika perampok menembak pelayan itu kena persis di perut, dan seketika juga tumbang, tapi tangannya tetap menggenggam botol. Perampok langsung panik. Dia tahu kecelakaan itu bisa membuat hidupnya terancam. Maka perampok itu segera kabur tanpa sempat membawa uang yang sudah di hadapannya.

Pemilik toko berusah mengejar perampok di luar toko; sedangkan manajer asuransi itu langsung menolong dan memegang pelayan yang roboh. Berusaha membantu menenangkannya, meskipun panik karena nyawa pelayan itu kritis. Pikirannya berkecamuk, bagaimana mungkin keinginan mendapat anggur dengan label sempurna sampai harus ditebus oleh sebuah nyawa, disertai insiden, kecelakaan, dan kejadian tragis seperti itu?

Meski menurut kita itu sebuah kebetulan, peristiwa itu terjadi, dan semua jadi guncang. Peristiwa berbahaya itu membuat sang manajer berpikir:


  • Apa kejadian ini hanya kebetulan?

  • Apa perampok itu betul-betul ingin menganiaya, bukan semata-mata ingin merampok uang? Perampok ini betul-betul nekat, sampai dia gagal mencari alternatif untuk mendapatkan nafkah buat hidupnya.

  • Kenapa yang jadi korban malah pelayan toko, orang yang mau membantu dan melakukan kebaikan mengambilkan botol anggur yang sempurna untuk dirinya?

Pikir manajer perusahaan asuransi itu: "Andai aku menerima botol dengan merk cacat itu, tentu tak seperti ini kejadiannya. Tak perlu sampai ada yang tewas. Kenapa aku begitu terganggu oleh gores kecil itu? Tapi sebaliknya, kalau semua ini tak terjadi, aku tak mengalami peristiwa dramatik ini, terlibat dalam peristiwa yang bersentuhan dengan nasib orang lain, kapan lagi aku tambah sedikit bijak, atau muncul kemungkinan perubahan jalur hidupku?"

Manajer itu jadi sadar betapa manusia kerap mudah bertindak dengan pandangan picik. Entah karena terdesak oleh kebutuhan hidup atau memang seorang kriminal, perampok itu sampai membunuh orang lain demi mendapat uang. Pikir manajer itu: Dia pasti kesulitan mendapat perspektif hidup yang lain, pandangannya terhalang oleh sejumlah hal, terpaksa menggunakan kekerasan. Tapi manajer itu juga mengira-ngira: bila perampok itu minta uangnya, apa dia tetap mau kasih?

Memang sulit mengira yang bakal terjadi sedetik kemudian. Kerap manusia kurang sabar menanti keutuhan cerita agar bisa menyaksikan lebih utuh. Padahal orang baru bisa paham setelah mengalami banyak hal, ujian, pengorbanan, termasuk waktu. Wawasan dan kebajikan tidak datang begitu saja, dia perlu tempaan. Untuk mengerti secara utuh kadang-kadang orang harus hancur dulu, egonya perlu dikalahkan.

Renungilah diri sendiri, betapa sering kita terlalu cepat menyimpulkan, terburu-buru ingin 'menyelesaikan' atau bereaksi, kemudian baru sadar ternyata kita hanya kurang sabar menunggu satu detik lebih lama agar semua berjalan sempurna.[]

Aku menulis kisah ini setelah nonton film Auggie Rose.