Friday, April 27, 2007

SURAT ANGGORO
------------------------------------
>> Indah Darmastuti


Gemuruh ombak terdengar dari kejauhan. Membentur karang menghempas di bibir pantai. Angin laut bertiup membawa kabar bahwa kemarau masih panjang. Hembusannya menerpa wajah dan rambut bocah lelaki tengah tekun memintal benang layang-layang. Mata coklat itu mengamati lilitan yang dihasilkan. Berkali ia menimbang, cukupkah untuk menerbangkan layang-layang di ketinggian. Bibir mungil mengatup rapat namun pikirannya sibuk merencanakan apa yang hendak ia tulis. Tepatnya sepucuk surat buat Tuhan yang akan ia kirim lewat layang-layang. Kata ibu,
“Anggoro, jika kita mempunyai keinginan besar atau kecil, kita harus meminta kepada Tuhan. Ia berada di tempat tinggi, di Surga. Tetapi tetap mau ditemui.”
Semalaman ia terus terjaga. Sibuk memikirkan cara menyampaikan keinginan-nya, yaitu bertemu bapak. Ia sungguh merindukan. Bapak memang tidak pulang lagi sejak malam itu, yaitu saat ada tamu datang ke rumah, lalu bapak pergi bersama tamu-tamu itu hingga kini. Ia tidak mengerti mengapa sejak kejadian itu, sering terlihat ibu menangis diam-diam. Kehilangan dirasakan jika sore datang lalu beranjak malam. Kesedihan kian sempurna ketika ia pernah memergoki orang-orang kampung berkumpul seperti sedang membicarakan sesuatu yang penting. Ternyata benar, ada yang mengatakan bahwa bapak pergi bersama tamu-tamunya karena tulisan bapak di koran buruk, sebagai seorang wartawan seharusnya bapak bisa menulis bagus tetapi ternyata tidak. Ia berpikir, mungkinkah hanya karena tulisan yang tidak bagus itu bapak tidak pulang sehingga ibu menjadi murung? Sering menangis? Tidak lagi memeluk dirinya?
Hari-hari panjang terlewati dengan kerinduan semakin besar pada bapak. Hingga akhirnya ibu memutuskan pindah ke rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri yang bekerja sebagai nelayan, tinggal dekat pantai di Gunung Kidul. Barangkali karena ibu sudah jemu menunggu kepulangan bapak atau karena ibu bosan melihat orang-orang asing sering melintas di depan rumah sambil mengamati, seakan menyelidik setiap kegiatan di rumah. Tetapi jelas keputusan ibu untuk pindah membuat bocah itu sedih karena harus berpisah dengan teman-teman sekolah dan teman bermain bola di kampungnya. Ia kelelahan oleh rasa bingung dan tidak mengerti akan semua kejadian itu. Itulah yang sering mengganggu tidurnya. Tak terkecuali tadi malam. Terpetik dari hatinya sebuah pertanyaan “Bapak, di manakah engkau sekarang?”
Namun akhirnya ia terlelap oleh kelelahan yang mendera. Waktu menunjuk pukul 00.10 BBWI. Di kejauhan suara ombak gemuruh mengirim buih-buih putih ke tepi. Mengetuk-ketuk pintu khayal si Bocah. Namun semua indra terlalu lemah untuk mendengar hingga fajar menyingsing. Pagi hadir memenuhi janji.
Kaki telanjang si Bocah terayun, berlari kecil menuju pantai. Menyusuri setiap tepian hingga ombak menyentuh jari-jarinya. Tatapan menyipit, lurus memandang ke depan menembus batas cakrawala. Kian merona oleh sinar matari yang menimpa. Selalu begitu yang ia lakukan jika Minggu tiba. Saat sekolah libur. Ia akan datang ke tepi pantai menunggu bapak pulang. Melabuhkan seikat pertanyaan “Kapan kau akan pulang bapak?” Pertanyaan itu terlahir karena ibu pernah bilang:
“Bapak pergi berlayar di lautan yang sangat jauh dari daratan.” Ketika ia bertanya:
“Ibu, pergi kemanakah bapak, mengapa sampai sekarang belum pulang? Tidak kangenkah dengan kita?” Ia selalu membayangkan ada kapal mendarat di pantai tempat ia berdiri menunggu mengantar bapak kembali padanya dengan membawa banyak oleh-oleh. Tetapi selalu saja hanya ombak penyambut kedatangannya. Ia tak tahu bahwa pantai tempatnya berdiri bukan tempat perhentian atau singgahnya kapal layar.
Seperti pagi ini. Ia berdiri memandang laut. Di tangan kiri menggenggam pintalan benang, di tangan kanan sepotong layang-layang. Terhela napas, lalu berbalik memunggungi laut berjalan menjauh. Duduk menimbang, membaca kembali tulisan pada kertas layang-layang. Sepucuk surat buat Tuhan.

Kepada Tuhan yang baik.
Tuhan, saya tidak bisa menulis banyak-banyak. Saya hanya mau mengatakan kepadaMu, saya ingin bapak segera pulang karena saya merindukannya. Saya ingin seperti Aji yang selalu dipeluk bapaknya sepulang sekolah. Saya menulis ini karena ibu bilang saya harus meminta kepada-Mu. Tetapi saya tidak tahu caranya, jadi saya menerbangkan surat ini bersama layang-layang. Saya tahu pasti Tuhan segera menangkapnya saat melintasi mega-mega lalu segera membacanya. Saya mengucapkan terimakasih karena Tuhan mau membacanya meskipun saya masih kanak-kanak.


Salam dari saya
Anggoro

Bocah itu membaca lagi berulang. Memikirkan tentang apa yang telah ia tulis. Ketika dirasa puas, ia bangit. Dia buka lilitan benang dan mulai berusaha mener-bangkan layang-layang. Angin menggerakkan layang-layang, juga mengacak rambut si Bocah yang berwarna kemerahan. Beberapa menit, layang-layang itu mulai meninggi serupa bersayap ia terbang tinggi......menyentuh mega, bersaing dengan camar. Kini lehernya mulai pegal karena lama mendongak, bibirnya sedikit terbuka. Mata kanak-kanak itu membelah awan memastikan layang-layangnya sudah sampai ke Surga tempat Tuhan tinggal. Lilitan benang lepas senti demi senti hingga tinggal ujung benang yang ia pegang. Ia menunduk menimbang untuk mengambil keputusan akankah benang ini dilepas, atau menunggu Tuhan mengambil dan menjawab dengan menulis balasan pada layang-layangnya. Akhirnya ujung benang dilepas. Kini hanya tinggal kaleng bekas benang ada di tangannya. Sekali lagi ia mendongak, terharu. Hatinya bahagia, air mata bening menitik membelah pipi gembul. Sebutir demi sebutir jatuh ke pasir seiring keyakinan bahwa Tuhan menjawab. Mungkin tidak secepat bayangannya, sebab ia tahu bahwa tentu bukan hanya dirinya yang memiliki permintaan. Ia tahu harus mengantri dulu hingga tiba giliran. Seperti ada bongkahan karang terangkat terbuang dari hatinya, ia pulang. Ia akan menunggu bapaknya pulang.
“Ibu, saya sudah mengirimkan permintaan kepada Tuhan di Surga. Saya menitipkan surat itu pada layang-layang.” Katanya sesampai di rumah.
“Permintaan apa Nak?”
“Aku ingin bapak segera pulang.”

***

Hari-hari pergi dan sambut menyambut seperti ombak pantai tanpa putus. Sekarang sudah memasuki bulan ke tiga si Bocah menunggu bapaknya pulang. Ia mulai diserang gelisah. Apalagi jika melihat ibu sering melamun jika sore merambat petang. Ia sedih mengapa Tuhan tak kunjung menjawab suratnya. Mungkinkah Tuhan masih sibuk, banyak pekerjaan sehingga belum sempat menjawab suratnya atau bahkan membacanya saja juga belum sempat? Atau Tuhan mengabaikan karena ia hanya kanak-kanak? Ia kecewa. Merasa dibohongi oleh ibu, oleh Tuhan, juga oleh harapannya sendiri. Jika pagi tiba, ia melangkah mencetak bekas telapak kaki di bibir pantai. Mata itu mencari kalau-kalau ada layang-layang tergolek di pasir atau ada suara dari ketinggian yang memberi tahu tentang bapaknya berada. Nihil.
Si Bocah putus asa. Ia bertekad menerbangkan lagi sepotong layang-layang dengan sebaris kalimat: Tuhan, mengapa Engkau tak mau menjawabku?

***

Pagi cerah. Burung-burung camar melintas angkasa dengan damai. Angin laut menerpa paras bocah lelaki yang mulai jengkel karena layang-layang itu tak juga beranjak naik. Benang hanya membawa layang-layang berputar-putar horizontal. Kesabaran tinggal setipis garis. Ia mulai menangis dalam hati. Menjerit tanpa suara. Lengan sudah terasa panas. Ia hentak lagi benang layang-layang, tak juga terbang. Akhirnya ia putuskan untuk membuang, melempar semua ke laut. Lunglai ia duduk mengemas kejengkelan. Tujuh menit berlalu. Kepala yang diletakkan pada kedua lutut yang tertekuk terasa penat. Ia menghela napas seraya bangkit hendak meraih layang-layang yang tadi dihempas. Namun ia terkejut karena layang-layang itu dipegang sepasang tangan dewasa. Terasa tak percaya ia menyaksikan bahwa tangan itu adalah milik seseorang yang selama ini dirindukan. Seorang laki-laki yang ia panggil bapak berdiri sedikit jauh dari ibu. Secepat ia berlari menghambur dalam dekap. Melarutkan segala harapan dan rasa kangen yang selama ini terpendam. Terasa cukup, ia melepaskan diri turun dari gendongan. Mata kanak-kanaknya mencari sesuatu sambil ia bertanya,
“Ibu, di mana Dia?”
“Siapa yang kau cari Nak?” heran bapak bertanya.
“Aku mencari Tuhan.”[]

Indah Darmastuti tinggal di Solo, di sana sehari-hari ia bekerja sebagai karyawati ssebuah perusahaan batik. Novelnya pertamanya, Kepompong (2007) diterbitkan Jalasutra.

No comments: