Saturday, February 21, 2009








[HALAMAN GANJIL]

Alangkah Sulit Membuat Sejarah
---Oleh Anwar Holid

Memperhatikan betapa antusias sebagian warga negara dan media Indonesia menyaksikan pelantikan Barack Hussein Obama sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44, aku membatin: kenapa bangsa ini begitu antusias dengan pelantikan seorang presiden sebuah negara yang jaraknya terpisah oleh Laut Pasifik? Sejumlah media massa jauh-jauh hari mengirim para reporter dan koresponden ke negara itu untuk melaporkan peristiwa tersebut secara langsung, agar keterlibatan bangsa Indonesia lebih dekat lagi.

Rasanya aku bahkan tak pernah menyaksikan pelantikan Presiden Republik Indonesia sendiri. Baik Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Tahu-tahu mereka jadi presiden, dan aku harus kembali menghadapi hidup tanpa manfaat dari pengaruh mereka sama sekali. Bila memperhatikan pelantikan presiden di negeri sendiri saja tidak pernah, ngapain juga aku harus nongkrongin tv untuk menyaksikan pelantikan Barack Obama?

Jelas peristiwa itu yang membuat kejadian tersebut sulit terlupakan. Tak peduli bahwa Barack Obama bukan presiden kamu, dan besok-besok kamu sadar bahwa kesejahteraan sosial kamu tak terjamin sama sekali, bahkan oleh kerja keras yang kamu perlihatkan. Begitu keras kerjamu, sampai tulang-tulangmu linu.

Aku sendiri hanya sekilas melihat berita pelantikan itu di tv, kira-kira sekitar 1-2 lamanya, terutama takjub oleh betapa banyak orang yang berkumpul di depan Capitol Hill untuk menyaksikan langsung pelantikan itu. Kata seorang teman, ada empat juta orang yang kumpul di sana. Aku sangsi. Cukupkah tempat itu menampung orang sebanyak itu? Ada yang bilang kira-kira dua juta; menurutku itu lebih masuk akal.

Setelah dengar berita itu, aku langsung sibuk lagi oleh berbagai hal yang harus dibereskan, baik di rumah, pekerjaan, pikiran, bikin minuman, menyiapkan kerja, dan sebagainya. Dalam hati aku bilang: Alangkah sulit bagi sebuah negara sebesar AS membuat sejarah. Setelah merdeka pada 4 Juli 1776, baru kali ini mereka punya presiden keturunan kulit hitam, itu pun bukan kulit hitam tulen, melainkan ibunya berkulit putih, penduduk asli AS. Butuh setingkat lebih tinggi lagi bagi AS untuk menciptakan sejarah, yaitu memiliki presiden yang asli keturunan Afrika-Amerika. Bangsa itu butuh 233 tahun untuk memenangkan Barack Obama. Luar biasa lama. Berapa waktu yang mereka butuhkan untuk memiliki presiden asli berkulit hitam? Sulit dibayangkan. Mungkin setelah itu butuh waktu lama juga untuk mendapatkan presiden perempuan. Bandingkan dengan Indonesia yang pernah punya presiden perempuan. Bukankah itu hebat?

Bangsa AS butuh nyawa Martin Luther King, Jr. dan Malcolm X lebih dulu sebelum sejarah itu terjadi. Mereka perlu menahan Rosa Park. Mereka belum yakin atas prestasi Wilma Rudolph. Belum percaya pada kemampuan Jesse Jackson. Pukulan Muhammad Ali dan Mike Tyson, lompatan Kareem Abdul-Jabbar, persuasi Oprah Winfrey, kritik Imamu Amiri Baraka, kecaman Spike Lee, juga masih gagal menghancurkan bayang-bayang ancaman rasialisme dan pluralisme di negara itu. Orang Indonesia suka dengan sinis menyebut pengorbanan itu dengan "tumbal." Oh, alangkah besar tumbal mereka untuk melantik Barack Obama. Pada 1966 Imamu Amiri Baraka berkata, "Jika kamu orang kulit hitam, satu-satunya jalan menuju daratan kehidupan Amerika Serikat ialah dengan menjadi budak, kepengecutan, dan melenyapkan keberanian. Itu semua merupakan jalan orang kulit putih. Sekaranglah waktunya kita membangun jalan kita sendiri."


Jadi lama-lama aku kok merasa sayang dan menyesal sebagian media massa Indonesia, terutama televisi, menghabiskan waktu, energi, dan biaya untuk meliput pelantikan itu. Seolah-olah bangsa sebesar ini dan negeri seluas ini kehabisan sesuatu yang layak diberitakan. Apa meliput sungai-sungai yang kotor dan butek oleh sampah, kota yang semrawut, banyaknya pengemis dan pengamen, kejahatan korporasi, ekonomi yang kacrut, sepakbola yang dodol, kreativitas yang miskin, jiwa pembajak, musik yang tentang cinta melulu, di negeri sendiri sudah begitu bikin putus asa, hingga kita perlu teater mimpi dari negeri lain untuk melupakannya? Wow, alangkah hebat Presiden AS Barack Obama ini. Dia berhasil menyihir sebagian penduduk Bumi agar terkesima oleh prestasi dan janji-janjinya. Dia mempesona dunia dengan orasi yang mantap, sempurna, dibalut penampilan yang begitu serasi di mata. Betapapun sengit aku bersungut-sungut, Obama tetaplah the newsmaker nomor wahid di dunia saat ini.

Tapi menurutku, alangkah kerdil bangsa Indonesia jadinya, bila mereka berharap akan ada sedikit keajaiban atau pengaruh dari pelantikan itu. Rupiah mustahil sejajar dengan dolar AS setelah pelantikan itu. Setelah AS baru-baru ini dihajar oleh krisis finansial dalam negeri, toh Indonesia malah terkena imbas buruknya; bukannya mengambil keuntungan atau mengadakan manuver untuk lebih maju. Betapa rentan negara kita ini. Indonesia bahkan gagal maju ketika ada raksasa yang sedang kesakitan dan terganggu. Bukannya bertindak lebih taktis agar bisa menyalip, malah kita ikut guncang akibat kejatuhan dan gelombang yang menerjang. Kamu sendiri membayangkan apa waktu menyaksikan pelantikan itu? Senang bahwa seorang Presiden AS ini pernah menghabiskan kira-kira empat tahun di Jakarta, punya ayah tiri dan adik kandung orang Indonesia? Alangkah senang membayangkan ada ikatan semu dalam kepala kita semua terhadap seorang kepala negara. Apa kita berharap begitu juga setiap kali Indonesia ganti presiden? Atau kita jelas apatis terhadap kinerja pengaruh politik dan pemerintahan pada kehidupan sehari-hari di dunia ini?

Aku sendiri belum pernah menyaksikan betapa besar ketertarikan massa dunia pada sebuah peristiwa politik di negara lain. Mungkin ini bisa dibandingkan ketertarikan bangsa Indonesia menjelang terjadinya Reformasi 1998---meski dengan catatan, tumbal dan kerusuhannya terlalu besar. Atau barangkali zaman memang sudah berubah, yaitu betapa kini setiap umat di dunia bisa terlibat dengan setiap peristiwa yang mungkin menarik perhatiannya; persis seperti aku tergerak oleh final Liga Champions, padahal aku bukan bagian apa-apa dari peristiwa itu selain sekadar penonton jarak jauh. Apa itu yang terjadi pada pelantikan Obama? Bahwa terutama kita yang ada di lingkaran luar peristiwa itu masuk dalam kategori masyarakat tontonan?
Lepas bahwa aku menyatakan apolitik, mungkin menarik bila kita berani membayangkan bahwa pelantikan presiden baru pada 2009 nanti akan semeriah inagurasi Barack Obama: acara dibuat semarak seperti pesta ulang tahun, dimeriahkan musik, baca puisi, tapi tetap khidmad dan penuh pengharapan.[]
Anwar Holid, warga negara Indonesia, tinggal di Bandung, sering mendengarkan musik rock & jazz dari AS.
NB: Awalnya kolom ini berjudul "Apakah Barack Obama Itu Presiden Kita?"

No comments: