Monday, February 02, 2009





Hudan Hidayat: Sapardi adalah Pembunuh Terbesar Sastra Indonesia
--Oleh Anwar Holid
Diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra pada 31 Januari 2009 saat ulang tahun apresiasi-sastra@yahoogroups.com memunculkan pernyataan kontroversial dan gugatan terhadap media cetak.
JAKARTA - Acara ultah grup milis apresiasi-sastra@yahoogroups.com di PDS HB Jassin berlangsung meriah, akrab, banyak kejutan, menyenangkan, dan berbobot. Acara bertema "Sastra Milik Siapa?" itu berlangsung singkat-singkat, tapi berkesan. Yang paling mengesankan--dan berlangsung paling lama--boleh jadi diskusi Sastra Internet dan Masa Depan Sastra, bersama para pembicara yang telah lama bergelut dengan media tersebut, ialah Enda Nasution, Saut Situmorang, Nuruddin Asyhadie, ditambah Hudan Hidayat, dimoderatori Agus Noor.

Diskusi puncak itu penuh dengan gugatan, terutama dari Hudan dan Saut. Enda memberi siasat bagaimana agar sastra di Internet bisa memanfaatkan kekuatan yang mereka miliki dan justru tak terdapat pada media cetak, salah satunya ialah immediacy (kekinian), yang bersifat langsung, tanpa jeda dan ada link yang memungkinkan setiap hal bertaut. Celetukan Agus Noor menarik dan sering bikin ketawa, membuat diskusi hidup dan setia pada jalur. Sementara uraian Nuruddin Asyhadie terlalu serius untuk forum yang sudah cair oleh acara sebelumnya; dia menerangkan signifikansi sastra di media Internet, meskipun sampai sekarang tampaknya makin mirip dengan sastra cetak. Uraiannya mirip dengan tulisan Eka Kurniawan beberapa bulan lalu, mengusung jargon "code is poetry."

Ajakan Saut Situmorang untuk melawan sastra koran dan menguatkan sastra Internet memang bersemangat dan berapi-api. Dia bilang, kalau mau menguatkan sastra Internet, penulis (sastrawan) harus berani meninggalkan sastra koran, jangan menulis atau langganan harian. Dia menyatakan sastra Internet sampai sekarang masih belum diakui keberadaannya oleh sejumlah kalangan, terutama kritikus dan para redaksi sastra koran--apalagi 4-5 tahun lalu. Sebagian kritik menilai, sastra Internet ialah tong sampah. Ironik, sekarang para pengkritik itu beberapa di antaranya malah menfaatkan blog dan semacamnya, terutama situs jaringan sosial seperti milis dan Facebook.

Gugatan Hudan Hidayat serius dan bikin telinga pendengar panas. Berkali-kali dia bilang, "Sapardi adalah pembunuh terbesar sastra Indonesia. Termasuk di antaranya Agus R. Sardjono dan Putu Wijaya." Hudan dan Saut secara terbuka menyatakan kecaman terhadap Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, juga Dewan Kesenian Jakarta. Pernyataan keras seperti ini memang butuh klarifikasi atau forum lebih khusus lagi. Bila aku perhatikan dari Internet, pertentangan mereka berlangsung terbuka, terutama terkait persoalan politik sastra. Penyair senior Suparwan G. Parikesit meminta Hudan menjelaskan pernyataannya yang kontrovesial.

Mungkin perlu ada acara semacam "Pengadilan Sastra" untuk polemik yang justru berpotensi kontraproduktif (buruk) terhadap perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan. Tapi di sisi lain, publik sastra butuh orang berani, revolusioner, dan kuat seperti Saut. Aku dengar dia dijuluki "the lone wolf" sastra Indonesia atas sikap dan pendiriannya. Dalam beberapa hal, antara lain keberanian, kehadiran Saut memang bikin rusuh, menggemparkan. Hudan menyemangati peserta agar lebih tangguh berkarya, lebih kuat, biar mampu merebut masa depan sastra Indonesia. Dia menilai bahwa koran masih penting (terutama karena ada faktor kekuatan finansial di sana), tapi jelas memperlihatkan pemihakan kepada sastra Internet. Memang banyak yang mendukung sastra Internet, tapi ranah ini juga masih memiliki persoalan genting, misalnya tentang mutu/isi yang juga harus diperhatikan dan diperbaiki, juga ada kesan bahwa Internet malah menghadirkan fenomena kesekilasan yang melunturkan kedalaman dan perenungan.


Media massa cetak jelas masih memiliki keunggulan, namun sastra Internet juga punya faktor menentukan, misalnya interaktivitas, yang justru mampu melibatkan publik secara lebih intens. Apa persoalan terbesar sastra Internet ialah bahwa media ini masih gagal memenuhi kebutuhan finansial para sastrawan dan pegiatnya? Acara seperti ini melontarkan lagi pikiranku pada diskusi tradisi sastra Indonesia di Jawa Barat. Namun fakta menunjukkan bahwa media kini bukan merupakan persoalan. Makin banyak penulis mampu menulis baik di Internet dan media cetak. Persoalan kini lebih pada ekspresi, aktualitas, dan kedekatan pada media.

Beranggotakan beberapa ribu orang, milis apresiasi-sastra@yahoogroups.com--dikenal dengan sebutan "apsas"--termasuk komunitas sastra Indonesia terbesar di Internet. Milis ini dimoderatori delapan orang, yang rata-rata tinggal di luar negeri. Salah satu moderatornya ialah Sigit Susanto, penulis dua jilid buku Menyusuri Lorng-Lorong Dunia, yang tinggal di Swiss. Sejumlah anggota milis ini telah menerbitkan buku, baik sendiri maupun bersama.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com/.

KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Copyright © 2009, oleh Anwar Holid