Wednesday, November 04, 2009



[BUKU INCARAN]


Sebundel Karya Jurnalistik Bermutu

Menuju Jurnalisme Berkualitas, Kumpulan Karya Finalis & Pemenang Mochtar Lubis Award 2008
Penyunting: Ignatius Haryanto
Penerbit: KPG, 2009
Halaman: 424 + xv
ISBN 13: 978-979-91-0174-7
Harga: Rp.55.000,-



Menuju Jurnalisme Berkualitas merupakan buku kumpulan karya finalis dan pemenang Mochtar Lubis Award 2008. Anugerah tersebut merupakan program penghargaan jurnalistik yang bertujuan memberi apresiasi dan menumbuhkan semangat kompetisi di kalangan wartawan Indonesia untuk menghasilkan karya unggul. Saya pertama kali dengar rencana acara anugerah bagi karya jurnalistik ini pada akhir 2006, ketika bertemu dengan Ignatius Haryanto, salah satu pendiri Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), juga seorang penulis prolifik---telah menghasilkan kira-kira lima belas buku populer dan banyak menulis di media massa. Ternyata dia sekaligus menjadi Direktur Program Mochtar Lubis Award 2008.

Ignatius Haryanto waktu diskusi di toko buku Ultimus, Bandung. (Foto: Anwar Holid)

Tolok ukur Mochtar Lubis Award ialah Pulitzer Prize di Amerika Serikat. Di awal inisiasinya, anugerah tersebut terdiri dari lima kategori, yaitu pelayanan publik, tulisan feature, pelaporan investigasi, foto jurnalistik, dan liputan mendalam jurnalisme televisi. Ada lima finalis untuk masing-masing kategori, hal tersebut membuat buku ini jadi cukup tebal. Dewan juri terdiri dari para macan jurnalistik dengan reputasi terkemuka, antara lain Farid Gaban, Sori Siregar, Yusi Avianto Pareanom, Arya Gunawan Usis, Maria Hartiningsih, Dwi Setyo Irawanto. Setelah menampilkan karya para finalis, di ujung setiap kategori dewan juri mengajukan alasan kenapa mereka memenangkan suatu karya.

Hal paling berharga dari buku ini ialah kita bisa membaca dan belajar tentang tulisan bermutu, sekaligus tahu alasan kenapa karya tersebut memang benar-benar mantap. Penilaian para dewan juri sangat tegas dan jernih. Ini memberi kepastian bahwa karya yang bagus itu memang bisa diukur, ada faktor dan kriterianya. Menurut Ignatius Haryanto sendiri: aneka contoh (karya ini) akan sangat berguna bagi para pembaca dan membuat mereka bisa mencecap langsung seperti apa karya jurnalistik yang baik tersebut. (Hal. ix).

Jadi buku ini terutama berharga sekali bagi mahasiswa jurnalistik dan siapapun yang tertarik dengan kepenulisan, orang yang ingin jadi citizen journalist, termasuk blogger. Kita bisa membaca baik tulisan pendek yang berisi, maupun tulisan (amat) panjang yang benar-benar memikat. Contohnya The Lost Generation (Muhlis Suhaeri), pemenang kategori pelaporan investigasi. Karya sepanjang seratus halaman tentang pembersihan etnik Tionghoa di Kalimantan Barat sekitar tahun 1967 oleh konspirasi TNI dan suku Dayak ini betul-betul memikat, menegangkan, membuat miris, hebat, dan memiliki unsur kemanusiaan yang dalam sekali. Komentar juri: juri terkesan pada gairah penulis untuk mencari data, menelusuri dokumen tua, dan hasil riset para peneliti, menelusuri fakta, dan menjumpai mereka yang terlbiat dengan mengandalkan ingatan. Tulisan ini memberikan pemahaman sejarah tentang praktik militerisme, politik pecah belah, operasi intelijen, kisah tragis manusia yuang terjebak di antara situasi pergantian politik negara, dan akar perdagangan perempuan, serta konflik komunal di daerah Kalimantan Barat (terutama daerah Pontianak, Singkawang, dan sekitarnya.)

Buku ini secara tersirat menguatkan kaitan antara industri pers yang sehat, berkembang baik, dengan kualitas karya jurnalistik yang juga hebat---meskipun ini bukan sesuatu yang mutlak. Mayoritas finalis awalnya dipublikasi media besar dan terkemuka, seperti Kompas, Pikiran Rakyat, dan Tempo, merupakan karya wartawan yang bekerja di sana atau sumbangan dari kontributor. Tapi itu bukan berarti media daerah, kecil, atau spesifik, kehilangan kesempatan untuk menghasilkan karya gemilang. The Lost Generation awalnya dimuat harian Borneo Tribune (Pontianak).

Kalau benar-benar mengharapkan kualitas, bisa jadi ada dua kekurangan dalam buku ini. Pertama dari tampilan kategori foto jurnalistik, yang hanya diwakili oleh sebuah foto untuk setiap finalis, alih-alih misalnya berupa esai foto yang terdiri dari rangkaian sejumlah foto untuk suatu peristiwa. Apalagi foto tersebut juga tak dicetak khusus pada plat art paper, melainkan kertas biasa yang kurang memadai untuk menampilkan kualitas karya foto. Kedua, untuk kategori liputan mendalam jurnalisme televisi, yang malah memilih menampilkan script alih-alih membungkus tayangan videonya dalam sekeping cd sebagai sisipan. Betul-betul sulit membayangkan kesuksesan kualitas sebuah liputan acara televisi sekadar dari script tanpa ada tayangannya. Zaman sekarang apa sulitnya menyelipkan cd untuk hal seperti itu? Ini patut disayangkan.

Anugerah yang menggunakan nama seorang wartawan legendaris Indonesia ini patut kita hargai dan dukung. Mochtar Lubis bukan hanya seorang wartawan hebat, ia juga seorang penulis yang lengkap, tokoh politik, aktif dan berani menyadarkan warga. Warisan intelektual dan karyanya banyak. Semoga Mochtar Lubis Award terus berkembang dan di masa depan mampu menambah kategori, termasuk merambah ke karya sastra, penerbitan, dan musik.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

2 comments:

Vicky Laurentina said...

Nampak menarik. Sudah ada di Togamas Supratman, belum?

Anwar Holid said...

sudah ada. sudah beberapa bulan lalu malah. semoga dapat.