Tuesday, December 14, 2010
[Halaman Ganjil]
Kesehatan, Kebaikan, Kesulitan, dan Keajaiban
---Anwar Holid
Tahun ini aku mendapati dua orang kawanku patah tangan dan seorang lagi patah kaki. Beberapa bulan lalu seorang lagi kawanku terpeleset waktu mau membuka gagang kunci kamar mandi, membuat jempolnya patah.
"Sekitar akhir Maret 2010 kemarin aku kecelakaan. Ketabrak ojek. Tangan kiriku patah. Dioperasi deh. Aduh, enggak kebayang kalau ketua yayasan tempatku kerja enggak membayari semua ongkosnya. Aku juga enggak cukup kaya bisa bayar 25-30 juta untuk operasi itu. Kesehatan ternyata kalau dihargai dengan uang adalah rejeki juga, ya...gede lagi jumlahnya..." demikian cerita temanku.
Patah tangan yang menimpa kawanku yang lain terdengar miris. Waktu itu dia survey ke desa. Jalan berlumpur, becek, dan licin. Mungkin karena kebiasaannya pakai sandal, dia terpeleset. Badannya yang gemuk menimpa tangan sampai patah. Dia terpaksa pulang kampung biar bisa dirawat maksimal oleh keluarga, sebab di Bandung dia hidup sebatang kara. Dia merasa malu kalau tambah merepotkan kawan-kawan yang selama ini berhubungan dekat dengannya.
Anak bungsuku, umur 3 tahun, jemarinya sempat terjepit oleh bantingan pintu mobil, tapi alhamdulillah baik-baik saja setelah dironsen. Ibu mertuaku dua kali terserang stroke, sampai membuat istriku mudik, ikut merawat berhari-hari, bahkan merelakan sebagian honornya untuk sedikit membantu pengobatan atau menyediakan makanan favorit bergizi untuk ibunya. Konyolnya, pada saat bersamaan kondisi keuanganku tengah buruk, membuatku memutuskan enggak menengok mertua. Sebab kalau tetap nekat konsekuensinya tambah berat dan merepotkan buat keluarga batihku sendiri.
Pada trimester kedua tahun 2010 aku terlibat menulis kisah perusahaan pembuat vaksin dan serum. Keterlibatan itu sungguh menyadarkan betapa kesehatan merupakan kondisi yang jangan sampai lengah kita jaga. Bahkan bila nahas, sudah kita jaga semaksimal pun bisa jadi penyakit menyerang tanpa permisi, dan orang langsung kelenger tanpa bisa menyalahkan siapa atau keadaan apa pun. Virus dan bakteri adalah dua sumber penyakit yang mustahil kita kendalikan. Bahkan sebagian penyakit belum ada obatnya atau belum ditemukan pencegahannya. Antivirus flu belum kita temukan. Penyakit malaria belum ada vaksinnya. Penyakit dari virus bisa menyerang kapan dan di mana saja. Kalau pasanganmu mengidap sirosis (gagal hati akut), kamu, keturunan (anak), bahkan anggota keluarga yang berinteraksi setiap hari bisa terkena tanpa disadari. Menggunakan gelas bekas minum orang lain, sikat gigi atau sisir orang lain berisiko menyebarkan penyakit karena virus. Ini bisa membuat kita mati kutu. Fakta: sejak Oktober 2010 ini wabah kolera menghantui negara Haiti dan telah merenggut nyawa lebih dari 5000 orang, seolah-olah merupakan lanjutan dari bencana gempa bumi di awal tahun di negeri itu dan menewaskan sekitar 300.000 jiwa. Kita di sini lebih peduli pada gunung berapi yang muntah-muntah tanpa kuatir bahwa bakteri kolera bisa menyebar entah lewat celah mana.
Kesehatanku sendiri prima sejak akhir 2009 dan hingga menjelang akhir 2010 tidak sakit ringan sama sekali, baik berupa flu, sakit perut, atau sariawan. Ini sangat menakjubkan dan rasa syukurku atas kondisi ini masih sangat kurang, mustahil bisa mengimbangi anugerah. Setiap kali ingat atas anugerah kesehatan yang hebat, aku berusaha berterima kasih kepada Tuhan, meski kerap tergesa-gesa dan cuma di dalam hati.
Kalau berkecukupan, asuransikanlah kesehatan maupun jiwa kita. Itu investasi yang pantas diambil. Di negara maju, itu jadi standar layanan masyarakat. Jujur, aku sendiri enggak punya asuransi kesehatan maupun jiwa. Kondisi ini kadang-kadang membuat aku nelangsa. Bayangkanlah kalau kamu mendadak celaka, mengidap penyakit fatal, langka, atau belum ada obatnya. Atau kalau ada ternyata harganya enggak terjangkau oleh penghasilanmu. Kita sudah sering tahu ada sebagian penduduk Indonesia gagal membayar obat dan yang bisa kita ekspresikan cuma mengulang umpatan Iwan Fals, "Hai modar aku. Hai modar aku!"
Kita baru bisa menghargai kesehatan setelah sengsara karena sakit.
Begitu juga dengan kebaikan.
Kebaikan itu semacam jaring pengaman bila kita ada di tubir putus asa dan gagal mengandalkan kekuatan sendiri untuk menolong diri sendiri. Kondisi paling khas dari situasi ini ialah ketika kita kehabisan uang, sementara kerjaan belum beres, deadline sudah lewat, dan kita frustrasi karena terdesak serta kesulitan menyelesaikan order dengan baik. Menagih panjer mungkin malah berisiko menghancurkan reputasi di mata klien. Siapa yang bisa menolong kamu? Bisa jadi teman dekat, teman jauh yang nyaman kamu utangi, mungkin orang tua kamu, atau saudara yang menurutmu baik dan lebih sukses.
Bentuk kebaikan sering mengejutkan dan rentangnya sulit kita perkirakan. Di awal bulan Puasa 1431 H perusahaan rekanan kerjaku mengirim sekarung beras kualitas prima, lima kilo minyak goreng, lima toples kue kering, lima kilo gula pasir, dua kotak susu bubuk, sirup, satu set jas hujan, dan sarung. Sampai Desember ini, sebagian di antara kiriman itu belum habis kami konsumsi. Buat aku sekeluarga, itu mencengangkan. Beberapa bulan sebelumnya, seorang kawan memberi aku laptop. Meski dia merendah bahwa itu barang lama dan baterenya sudah drop, tetap saja perangkat itu sebelumnya entah kapan bisa aku jangkau. Setelah Lebaran, seorang saudaraku membebaskan utang yang sudah terlalu lama sulit aku kembalikan. Dan di saat-saat kritis, aku ternyata sesekali masih kembali menelepon orang tua untuk minta bantuan. Pasti juga karena kebaikan bila aku diajak kerja sama oleh rekanan lama, yang insya Allah akan dimulai pada Januari 2011.
Memang tidak semua kebaikan terjadi sesuai keinginan. Aku sempat memohon bea siswa untuk ikut pelatihan jadi entrepreuner tangguh di sebuah lembaga milik seorang ahli perubahan perusahaan, tapi ditolak. Aku sesekali membalas para pengirim spam yang menjanjikan gaji tiga puluh tujuh juta per bulan sambil klak-klik di Internet mengikuti tawaran programnya untuk sekadar menyisakan dana CSR buat aktivitasku, tapi semua respons mereka negatif. Dari situ aku berprasangka mungkin mereka pun masih punya masalah finansial. Bahkan sempat terpikir menempel pesan begini: Tuhan, kamu tahu aku butuh keajaiban finansial, tapi kenapa transfer dari Gayus enggak sampai-sampai saja ke nomor rekeningku? Tapi baru sekarang berani aku tulis.
Bila kawan mentraktir, mengajak liburan, menghadiahi sesuatu, memberi keringanan, kenalan lama memberi pekerjaan, maupun klien memanggil kita lagi sudah merupakan kebaikan, apalagi bila kita pada tahun ini terhindar dari malapetaka akbar berakibat fatal dan menyengsarakan banyak orang. Rasanya konyol bila kita berdoa jangan mendapat cobaan, sebab Tuhan bisa berbuat semaunya dan bencana yang maha merusakkan belum terjadi, tapi kita mesti bersyukur karena masuk daftar orang yang selamat.
Kesehatan dan kebaikan adalah dua hal yang ingin aku tebalkan menjelang akhir tahun 2010 ini.
Kesehatan dan kebaikan berpadu melahirkan energi untuk aktivitas sehari-hari, meski hasil dan kualitasnya bisa diperdebatkan. Misal soal tulisan. Ada orang bilang tulisanku mencerminkan keputusasaan, karena suka mengungkap kesulitan keuangan; sebagian lagi menilai tulisan itu mencerminkan aku terus berjuang demi mendapat penghasilan mencukupi. Aku sendiri suka masih merasa kekurangan, meski tidak berarti aku kehilangan alasan untuk bersyukur. Situasi ini absurd bagi orang beragama. Kamu mesti menghindari bencana, tapi jangan takut mati; sebab mati itu pasti terjadi. Bila kamu mati di tengah jalan demi menghindari bencana, kamu ada di jalan Tuhan dan dalam kesaksian terhadapnya. Kawanku berkata, "Biar aja soal rejeki mah. Yang penting berusaha. Aku juga sering merasa kekurangan kalau nurutin semua keinginan mah. Meski kekurangan, toh sampai hari ini aku masih hidup dengan baik dan bisa bercanda ria ha ha ha."
Apa pun kondisinya, jangan putus asa dan kita harus bersyukur.
Betul kesulitan menghadang, situasinya bisa bikin kondisi mental dan emosi labil, gagal menenangkan diri, atau jadi gelap mata, tapi kesempatan selalu ada. Hukum menyatakan manusia hanya akan menerima cobaan atau ujian sesuai kadarnya. Jadi semua orang pasti mampu mengatasi cobaan. Tapi kalau faktanya dia gagal? Artinya dia putus asa dan kurang berusaha. Itu membuat aku berpikir, kesulitanku sebenarnya masih biasa. Akui saja, aku suka kurang keras berusaha atau terlalu santai, hingga ketinggalan kereta.
Pikirkan kondisi Julian Assange, salah seorang pendiri Wikileaks---situs pembocor informasi sensitif, terutama yang dianggap sebagai rahasia negara, korupsi gila-gilaan, konspirasi rencana jahat, penyiksaan, kecurangan, dan kesewang-wenangan terhadap kemanusiaan. Setelah semua saluran donasi untuk organisasinya ditutup dan rekening banknya dibekukan, dia diuber-uber Interpol sebagai penjahat, dan barusan saja ditangkap di Inggris untuk dibawa ke Swedia dengan dakwaan perkosaan maupun pelecehan seksual. Situasi dia sangat sulit dan menyengsarakan. Apa pernah penangkapan menyenangkan? Tidak. Kecuali yang kamu tangkap adalah ikan bernama Gayus, karena kamu bisa kecipratan duit dari dia.
Assange, Gayus, Anwar Holid, juga kamu, sama-sama mengalami kesulitan dengan kadar dan kelas berbeda-beda. Maksudnya: manusia itu sama saja, cuma beda nasib dan pendapatannya.
Selama 2010 tercatat juga cuaca di Indonesia agak aneh. Musim hujan berlangsung sepanjang tahun, bahkan di sejumlah tempat kebanjiran. Kasihan ketika banjir melanda pesawahan, desa atau perkampungan, sebab ia menimpa banyak petani dan penduduk biasa yang sulit untuk segera mengungsi atau mendapat bantuan. Entah berapa ribu hektar tanah terendam dan mengakibatkan gagal panen. Deras hujan membongkar selokan, mengelupaskan aspal, melongsorkan tanah, membobol tanggul. Dari akhir 2009 hingga akhir 2010 curah hujan tetap tinggi, membuat musim kemarau batal mentas. Bagaimana 2011 nanti? Apa gantian ia bakal tampil gila-gilaan setelah setahun ngumpet? Entah. Tuhan tidak mengirim bocoran ramalan cuaca tahun depan ke Wikileaks.
Intinya aku bersyukur. Lepas dari kekurangan, keburukan, maupun sikap keterlaluan yang sudah aku perbuat ketika dalam kondisi terpuruk kehabisan kesabaran atau sulit menerima keadaan. Ingat: Tuhan tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuannya. Sesengsara apa pun orang bakal diuji, potensi menang tetap ada, sebab ujian di bawah standar kemampuannya. Aku lega tahu kunci ini. Cobaan itu konon perlu bagi manusia, sebab ia jadi ukuran bagi kesempurnaan kualitas seseorang. Tapi kalau sudah menyangkut soal mental dan emosi, lain lagi reaksinya. Kadang-kadang suka kalap, terutama kalau lagi kesal karena kerjaan enggak selesai-selesai, penghasilan menipis, sementara transfer dari Gayus enggak datang-datang.[]
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Copyright © 2010 Anwar Holid
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment