Showing posts with label Queen. Show all posts
Showing posts with label Queen. Show all posts

Thursday, August 06, 2020

TIGEBROS KU QUEEN

Mengapa Jadi ‘Kolektor’ Queen??

Oleh: Yudhi Purwa

 

Pagi itu saya ditodong Anwar Holid lewat WAG Queen Fans Jabar: “Gimana sih awal mula suka Queen dan memutuskan jadi kolektornya?”  Wah, saya jadi langsung diam dan mikir: “Dulu gimana ceritanya ya?”

Seperti halnya semua orang, saya pikir pengaruh awal Queen selalu dimulai dari orang terdekat, dalam hal ini terutama keluarga. Yang saya ingat, waktu masih SD dulu (sekitar 1980) ada tape deck di rumah dan paman sempat mutar album Jazz, terutama Bicycle Race. Jadi itu yang teringet samar-samar hingga kini. Kemudian disambung waktu ke rumah saudara menggunakan mobil, diputarlah album Greatest Hits di tape mobil selama perjalanan pulang-pergi. Alhasil seperjalanan itu mulai teracuni karena terus-terusan dengar Flash, "Don't Stop Me Now", "We Are the Champions", dan lain-lain.

Tanpa sadar pengalaman itu terpatri. Pas saat SMP (sekitar 1985) saya bergaul sama teman-teman yang juga suka Queen. FYI, saat itu sebetulnya wabah glam rock sudah mulai melanda. Era itu musimnya Van Halen, Bon Jovi, Europe, dan lain-lain yang lagi digilai teenagers macam kami inidi samping wabah genre techno semacam Duran-Duran, Alphaville, A-ha, dan lain-lain.  Jadi, kalau kami saat itu suka band-band ‘oldies’ semacam Queen, The Beatles, The Rolling Stones, Deep Purple, dan lain-lain kadang-kadang suka dilirik aneh karena dianggap ‘dinosaurus’ he he he... Tapi untung waktu itu saya bergaul dengan teman-teman yang cukup terbuka selera musiknya, yang menggasak semua genre music tanpa kecuali, alias ‘omnivora’! Ha ha ha.... Kami juga jadi sering saling pamer band/lagu fave, saling tukar juga pinjam-meminjam kaset, walaupun lebih banyak gak dibalikin!…😊

Balik lagi ke kesan awal... setelah hanya mengingat-ingat masa kecil dan numpang dengar kaset teman, akhirnya pas SMP itu pula saya memutuskan beli kaset Queen pertama: Live in Rio, produksi Billboard. Kalo gak salah harganya masih Rp.1.250,- dibeli di toko kaset dekat sekolah (SMPN 2, Jl. Sumatera). Karena baru punya 1, ya itu kaset diputar bolak-balik dan jadi paling senang dengar “It’s A Hard Life”.

 

Memorabilia Queen koleksi Yudhi Purwa. Foto: Yudhi Purwa


Saat itu selain kaset sebagian dari kami juga senang hunting poster, kalender, hingga majalah bekas, biasanya di daerah Cikapundung, Alun-Alun Bandung, Dewi Sartika, hingga Cicadas. Sampai-sampai saya pernah waktu itu malem-malam uang yang tersisa di saku hanya tersisa cukup untuk ongkos pulang  naik DAMRI saja, ha ha ha... maklum cekak.  Duitnya habis buat beli majalah Hai yang ada artikel Queen-nya. Pokoknya, sekecil apa pun berita yang memuat foto atau artikel Queen pasti segera dibeli, dibaca, dan dikliping dalam album/bundel khusus. Sampai sekarang bundel-bundel itu masih saya simpen rapi.  Istilahnya, mata ini jadi selalu awas bin terlatih kalau buka-buka majalah, koran, atau apa pun. Sampai saya juga sempatkan memfoto kopi artikel-artikel Queen dari majalah agar bisa digunting-gunting. Atau, pinjem sampul CD punya  teman buat difoto kopi dan dikliping (waktu itu CD masih belum terbeli…).  Saya ingat pasti: pekerjaan mengkliping sudah jadi candu buat saya, walaupun sangat menyita dan menghabiskan waktu, tenaga, dan kesabaran. Itu juga yang mungkin buat saya jadi sedikit ‘nerd’... karena lebih senang mengeram diri di kamar dibanding beraktivitas di luar seperti teman-teman seumuran.

Mohon diingat, waktu itu akses ke internet masih terbatas banget. Boro-boro internet, komputer dan laptop aja masih jauh dari bayangan, dan kalaupun ada juga gak mampu terbeli. Jadi, surfing dan download saat itu masih sangat-sangat jarang dilakukan. Andalan sumber berita musik kami hanya majalah, dan untungnya saat itu banyak majalah musik yang bagus: Aktuil, Vista, Hai, hingga tabloid Citra Musik. Juga sejumlah majalah musik impor seken yang kadang-kadang nyasar di lapak tukang majalah bekas langganan. Untuk mengakali bahan kliping, biasanya saya suka kerja sama sama teman dan saling titip: saya akan gunting dan simpenkan kalau nemu artikel/foto fave dia, demikian juga sebaliknya. Begitu saling ketemu baru kami saling barter. What a lovely friendships.... 

Balik lagi ke soal kaset.… Habis beli kaset pertama tadi, karena keranjingan, saya putuskan beli kaset-kaset berikutnya. Kali ini produksi Aquarius seri album 2LPs in 1:  A Night At The Opera A Day At The Races, kemudian The Works The Game, disambung produk lainnya: The Best, Hot Space, A Kind Of Magic. Saya juga memberi terbitan lama produksi Perina, Ultra Dynamic, dan lain-lain.  Baru kemudian akhirnya asya memutuskan beli produksi Team Records seri album (totalnya ada 9 kaset). Ironisnya, hingga sekarang seri ini kok masih belum komplet juga: minus no.6 (Live Killers) dan no. 9 (A Kind Of Magic). Hiks…

Keranjingan mengoleksi berlanjut hingga zaman kaset lisensi, kalau gak salah pas akhir SMP mau ke SMA (1989-1990). Setiap album Queen yang ke luar pasti selalu digasak. Apalagi setelah mulai kenal dan gaul sama anak-anak ‘old skool of rock’ di Pasar Loak Cihapit, pusatnya jual-beli kaset seken di Bandung saat itu. Walaupun masih cekak dan serba terbatas, saya selalu nabung agar bisa terus beli dan mengumpulkan semua kaset Queen, album apa pun, terbitan apa pun. Sampai-sampai teman di Cihapit selalu memanggil saya “Yudhi Queen” he he he... Saat itu memang kami suka saling memanggil sesuai nama band/artis fave, semisal Ipunk Rush, Arie Dewa, Sofyan Blackmore, dan lain-lain.  Saat itu sekalipun ada di tengah-tengah komunitas kolektor fanatik di Cihapit, tetap saja ada yang geleng-geleng gak habis pikir, kok ya saya masih terus beli kaset/rilisan fisik Queen sampai sekarang, ha ha..ha... Alasan saya sih macam-macam: karena covernya beda, buat cadangan (dobelan atau tripelan), perlu isinya aja, dan lain-lain alasan yang mungkin tetap ‘gak masuk di akal sehat’…😊

Jadi boleh dibilang ‘racun’ paling dahsyat ini memang saat saya terjun di Cihapit Old Skool of Rockitu, dari 1990 sampai sekarang —apalagi ditambah kondisi kantong yang semakin membaik (alhamdulillah…). Koleksi saya juga akhirnya semakin merambah luas ke materi rilisan fisik lainnya: LD, CD, DVD, PH (vinyl), buku, majalah impor, dan lain-lain.  CD pertama yang saya miliki adalah The Miracledari toko kaset Palaguna dibeliin pacar karena saya ulang tahun... huhuyyy…😊  Vinyl pertama yang saya beli adalah pas mulai kerja. Seingat saya berturut-turut membeli 4 album awal. Baru kemudian disambung membeli LD, DVD, dan buku-buku tentang Queen.

Puncak ‘kegilaan’ saya sebagai kolektor (termasuk memorabilia Queen) adalah saat keranjingan action figures di 2005, dan punya rumah serta 1 kamar khusus untuk koleksi. Saat itu saya putuskan mulai lebih fokus dan rapikan semua memorabilia Queen di satu tempat, dari action figures Freddie, poster, majalah impor, buku, sampai yang kecil-kecil hingga pin, lego, perangko, T-Shirt, dan lain-lain.  Bahkan kalau tidak puas, kadang-kadang saya membuat sendiri (memesan) pin, kalender, poster, kartu, dan lain-lain.  Saya juga sering minta tolong teman membuatkan desain kaos, jaket, dan lain-lain biar terkesan jadi eksklusif karena cuma saya yang punya. Karena kegilaan ini pula, teman-teman sudah saling tahu betapa saya ‘really addicted’ ha ha ha....

Lama-kelamaan baik teman maupun keluarga semua mafhum bahwa saya memang fans fanatik Queen. Bahkan almarhum Bapak pun bikin saya masih terkenang hingga sekarang. Beliau sebetulnya paling anti lihat saya suka music rock, bahkan pernah tiba-tiba mematikan video konser Queen yang sedang saya tonton. Tapi, sehari setelah wafat Freddie, pagi itu dia begitu saja kasih saya uang sambil bilang, “Nih, sana pergi cari koran-koran yang muat berita idolamu itu!” What a memorable scene. Thanks Dad

Kalau ditanya item koleksi Queen apa yang paling berkesan? Mungkin saya akan jawab: perangko Freddie! Saya dapet itu gak sengaja pas hunting bareng pacar di Kantor Pos Besar Alun-Alun Bandung, saat ada pameran filateli (saya dan dia sempat keranjingan filateli pas masa kuliah). Jadi, itu gak sengaja kami dapat pas lagi korek-korek tumpukan perangko bekas, dan.… “GOTCHA!” What a great gift…

Sebetulnya koleksi saya sih masih kalah jauh dibanding kolektor lain yang lebih eksklusif, lengkap, serta original. Sebagai contoh, saya tidak punya patung dada Freddie yang jadi merchandise kota Montreux, Swiss. Saya tidak punya t-shirt Queen orisinal, permainan monopoli Queen, dan exclusive item lain. Vinyl dan singels-singels Queen koleksi saya juga masih jauh dari lengkap, namun saya tidak ngoyo kejar-kejar item ini (mungkin karena faktor harga ya, he he he...)

IMHO, tentu kita kembalikan ini semua ke hobi dan selera masing-masing saja ya. As long as it makes you happy..... jalani saja. Sekalipun banyak orang menganggap kita aneh, misalnya berkomentar ‘kok kayak gitu aja capek-capek dikumpulin?’, saya sih cuek dan senang-senang saja. Yang jelas selain amat sangat bahagia menikmati koleksi, hal terpenting dari setiap item Queen yang saya kumpulkan semua menyimpan cerita-cerita yang amat berkesan. Kadang-kadang saya kayak orang aneh saja bengong-bengong sendiri di depan koleksi. 😊

Tanpa terasa, jika dihitung dari awal mulai teracunitahun 1980-an hingga sekarang, berarti sudah sekitar 40-an tahun saya tidak tergoyahkan dengan Queen. Berarti Queen sudah ngagebroskeun (menjerumuskan) saya hampir sepanjang hidup, baik dalam hal selera musik maupun semangat sebagai kolektor kecil-kecilan.

Saya pribadi bersyukur atas hal ini: karena saya punya kesukaan yang utamanya untuk stress-release, juga dihiasi indahnya kenangan di baliknya. Ini juga akhirnya mengajari saya melihat ke belakang: ternyata ada sebegitu banyak dan besar perubahan di sekeliling kita, dan sejumlah di antaranya mempengaruhi dan membentuk diri saya, hingga saya seperti sekarang. Kehangatan keluarga, persahabatan, perburuan, kesabaran, pengalaman, dan lain-lain mungkin sebetulnya merupakan nilai paling inti dari koleksi kita ini. Kenangan manis yang menghiasinya tentu tak mudah kita lupakan begitu saja.

“…Those were the days of our lives…, the bad things in life were so few…”

Yudhi Purwa, 25062020

Wednesday, June 15, 2016



Ketika sang Raja Tak Bisa Pura-Pura
Oleh: Anwar Holid


Aku mendengar kabar kematian Freddie Mercury dari TVRI. Waktu itu hampir tengah malam. Aku sedang sendirian menatap televisi hitam putih. Semua orang sudah tidur. Ketika penyiar memberitakan kematian Freddie, aku langsung terpana. Aku dengar baik-baik sampai selesai. Setelah itu aku terdiam beberapa saat. Rasanya ada yang menghilang dari dalam diriku. Seakan-akan ada yang kosong... tapi setelah itu pikiranku langsung membeberkan album dan lagu Queen favoritku.

Queen adalah band favorit nomor satuku. Aku tumbuh ketika lagu I Want to Break Free atau Radio Ga Ga sering diputar atau diminta agar disetel di radio. Sumber utama informasi Queen berasal dari majalah Hai. Tambahannya dari seperti Vista atau entah dari mana saja. Freddie meninggal setelah Queen merilis Innuendo. Namun spekulasi bahwa Freddie menderita HIV-AIDS sudah terdengar sejak Queen merilis The Miracle. Di beberapa video clip era itu, Freddie terlihat sudah sangat kurus, tulang pipi menonjol, dan matanya cekung. Dia mencukur kumis tebalnya, namun mengganti dengan membiarkan cambang dan kumis tumbuh tipis. Penampilan seperti itu menguatkan dugaan banyak fans, meski dia belum mengakui kepada umum.

Dokumenter Days of Our Lives bahkan mengungkapkan bahwa Freddie merahasiakan dirinya terjangkiti HIV-AIDS dari May, Roger, dan Deacon, dan malah mengutarakan pertama kali pada Jim Beach, manajer Queen. Bisa jadi pilihan tersebut membuktikan betapa dalam hal tertentu Freddie memang seorang tertutup dan pemilih. Tentu saja ini kontradiktif dengan image Freddie di panggung yang kharismatik, memikat, meledak-ledak, dan sangat komunikatif. Di sinilah dirinya sebagai seorang great pretender jadi kentara. Dia seperti bermain peran sesuai tuntutan personanya. Dia suka mengganti-ganti 'topeng' sesuai kebutuhan untuk diperlihatkan dan dilampiaskan semaksimal mungkin, entah sebagai seorang rock star (musisi), teman, makhluk sosial, dan pecinta. Bisa dibilang dia mengeksplorasi berbagai peran itu hingga ujung, berani mendobrak tabu, bahkan melampaui batas, misalnya dalam hal seks.

Apa yang kira-kira ingin dilampiaskan atau disembunyikan seorang rock star jika pada dasarnya dia berkeliaran dari satu puncak ke puncak lain? Apa dia sebenarnya kebingungan dan akhirnya terjebak dalam kepura-puraan akut? Freddie sangat ekspresif, terbuka, banyak ide dalam bermusik dan seni, juga mudah berempati atas nasib manusia. Tapi sebaliknya, dia tampak sengaja menutupi kehidupan pribadinya, yang hanya dibagi pada orang tertentu yang dianggapnya mengerti dan sudah benar-benar dianggap dekat.


Beberapa detil kebiasaan memperlihatkan bahwa secara bawah sadar Freddie tetap tidak bisa berpura-pura atau menyembunyikan diri. Ini terlihat misalnya dari kebiasaan mengusap bibir atas kumis, tidak percaya diri karena gigi tonggosnya, kuatir dengan kulit dan latar belakangnya yang cukup berbeda dari kebanyakan orang di sekitarnya, juga kesukaannya pada wanita tegap berpayudara besar. Soal kecenderungan biseksualnya, bisa jadi itu tidak terlepas dari pengaruh lingkaran gaya hidup sangat bebas. Manajer hebat di awal karir Queen ialah seorang gay, teman-teman dekat Freddie banyak yang homoseksual dan biseksual, asisten pribadinya pun gay, sementara kehidupan asmaranya sering berakhir buruk. Semua itu membuatnya lebih parah. Gaya hidup Freddie memang sangat berisiko, sementara saran ketiga temannya agar meninggalkan dan berhati-hati tak digubris.

Momen paling menyedihkan sekaligus menggugah dalam dokumenter Freddie Mercury: The Great Pretender ialah ketika menyadari dirinya bakal tak tertolong lagi. Kondisi itu mengubah jalan hidupnya sekaligus memaksa orang-orang di dekatnya harus sangat hati-hati berinteraksi dengan dia, dan membuatnya ringkih. Namun justru saat itulah dia berusaha terus berdiri dan total memaksimalkan bakat demi melampiaskan kemampuan terbaiknya. Dari sini lahirlah Barcelona bersama Monserrat Caballe yang ambisius, diteruskan dengan kerja terakhir bersama Queen untuk menghasilkan Innuendo yang pantas dikenang. Freddie seperti memberikan 'perlawanan' terakhir dengan penuh gaya. Dia berusaha mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebelum akhirnya kalah oleh HIV-AIDS dan meninggal secara tragis.

Enigma dan magnet terkuat Queen memang Freddie Mercury. Di atas panggung, aksinya sungguh menawan. Dia membuat ribuan penonton terkesima, terperangah, sekaligus mampu menggerakkan orang agar kompak melakukan aba-abanya, entah berdendang dan menyanyi bersama, tepuk tangan, dan lainnya. Namun di balik panggung, ketika hingar-bingar pertunjukan sudah usai, ketika proses kreatif di studio berakhir, dia seperti sengaja memisahkan diri dari sebuah unit bernama Queen. Saat itulah dia sendiri, ada di lingkaran lain yang membuatnya mungkin nyaman atau malah bisa melampiaskan hasratnya yang paling liar. Dalam kondisi seperti itu tentu hanya sedikit orang tahu kepribadian Freddie Mercury sesungguhnya seperti apa. Dan kita sebagai fans Queen barangkali hanya bisa memandang dia dari bangku penonton. Pertama untuk mendengar dan menikmati karyanya; kedua penasaran siapa sesungguhnya Mr. Bad Guy ini. Apa dia memang seorang rock star atau raja berpura-pura?[]

Freddie Mercury - The Great Pretender
Sutradara: Rhys Thomas | Produser: Rhys Thomas, Jim Beach | Editor: Christopher Bird | Rilis:16 Oktober 2012 | Genre: Dokumenter | Asal negara: Inggris | Bahasa: English | Durasi: 87 menit | Produksi: Eagle Rock; Mercury Songs Release



Anwar Holid, fans Queen tinggal di Bandung

Tuesday, April 03, 2012

[Review Album]
Mendengar Lagi Kabar Sang Ratu

News of the World
Musisi: Queen 
Jenis: album studio
Rilis: 28 Oktober 1977
Rekaman: July – September 1977 di Basing Street Studios dan Wessex Studios, London
Genre: Rock 
Durasi: 39:30
Label: EMI Records, Parlophone (Inggris)
Produser: Queen, dibantu Mike Stone

News of the World adalah album keenam Queen, dirilis tahun 1977 ketika genre punk mencapai puncak pengaruh sosialnya. Hampir semua album seminal punk terbaik lahir di masa ini. Roger Taylor---drummer Queen---pernah menyatakan di sebuah wawancara bahwa kebanyakan band punk awal dia pikir hanya sedikit sekali punya bakat main musik.

Ketika itu Queen mulai menjadi salah satu magnet utama musik rock, setelah mereka sukses gila-gilaan berkat masterpiece berjudul A Night at the Opera. News of the World adalah rilisan kedua pasca A Night at the Opera, yaitu setelah A Day at the Races. Queen mulai menjadi headliner konser, menggelar tur dunia, dan mampu menyedot penonton secara massif. Mereka bereksperimen dengan konser-konser skala stadion yang melibatkan puluhan bahkan ratusan ribu orang. Dari situasi semacam itulah istilah 'arena/stadium rock' muncul. Dalam konser rock seperti itu keempat anggota Queen mulai menganggap bahwa penonton jadi lebih penting daripada band, dan memikirkan bagaimana cara melibatkan fans agar bisa benar-benar terserap ke dalam konser. Queen berhasil melibatkan semua penonton ke dalam pertunjukan terutama lewat karisma Freddie Mercury yang secara komunikatif mampu mengomandoi semua orang untuk koor atau memprovokasi mereka bergerak seirama.

Album ini menghadirkan singles yang menjadi major hits, yaitu We Are The Champions dan We Will Rock. Lagu pertama hingga kini senantiasa diputar dibanyak final kejuaraan olahraga, terutama sepakbola. Lagu seperti We Are The Champions bukan saja mampu menggerakkan penonton untuk terlibat bersama, melainkan juga menyentuh sisi emosional karena seolah-olah merekalah yang menjadi bintang pertunjukan. Sementara pola irama lagu We Will Rock You simpel dan bersemangat memang sangat kena untuk diteriakkan bersama-sama di dalam stadion. Di awal, lagu ini hanya mengandalkan irama gebrakan drum dan tepuk tangan yang bisa diikuti penonton dengan gampang sekali, baru diakhiri oleh kocokan gitar Brian May yang cepat dan rumit. Dua lagu ini merupakan tipikal lagu arena rock yang sempurna.

News of the World juga menandai Queen lebih berorientasi pada mainstream hard rock, sedikit meninggalkan kesan mengeksplorasi nada progresif di lima album sebelumnya. Mereka perlahan-lahan mengurangi aransemen kompleks maupun mengolah multi track berlapis-lapis a la Bohemian Rhapsody, malah memilih lebih memunculkan nada-nada keras. Hasilnya, banyak orang menyebut ini adalah album Queen paling keras. Contoh ekstremnya ialah Sheer Heart Attack yang sangat cepat dan rusuh, cenderung mirip speed metal.

Sisanya cuma ada dua balada, pertama sebuah lagu bernuansa Latin/Hawaiian yang santai dan terkesan main-main berjudul Who Needs You; kedua lagu jazzy sedih berpijak pada permainan piano Freddie Mercury, My Melancholy Blues.

Waktu pertama kali kelar, Wikipedia menyatakan bahwa album ini mendapat tanggapan beragam, namun berkat We Are The Champions dan We Will Rock yang abadi perlahan-lahan memantapkan posisi album ini menjadi jauh lebih positif dan penting, terutama untuk genre classic rock. Di sisi lain, kemampuan John Deacon dan Roger Taylor dalam menciptakan lagu mulai menonjol di album ini, mengimbangi dominasi Freddie Mercury dan Brian May dengan masing-masing menyumbang dua lagu. John Deacon menciptakan Spread Your Wings, sebuah power ballad tentang harapan yang optimistik.

Meski jauh kalah catchy bila dibandingkan dengan cover Nevermind the Bollocks, Here's the Sex Pistols yang sama-sama dirilis tahun itu, bahkan tampaknya tidak dianggap cukup iconik, cover dan packaging News of the World menarik juga disinggung karena menampilkan situasi futuristik dan memperlihatkan ketertarikan Queen pada sains fiksi. Satu robot raksasa meneror penduduk bumi yang kocar-kacir berusaha menyelamatkan diri namun sudah berhasil merampas dan mencederai keempat anggota Queen. Kelak tema-tema sejenis ini muncul lagi di album Flash Gordon dan The Works.

Sekarang, album ini barangkali menjadi lebih mengesankan lagi karena judulnya jelas mengingatkan orang pada sebuah koran legendaris Inggris yang di era Internet akhirnya mati tragis dan dipenuhi skandal jurnalisme, yaitu News of the World.[]

Tertarik pada musik hebat lain? Klik http://garasiopa.wordpress.com dan http://jakartabeat.net.

Anwar Holid, kontributor Kineruku.com dan jakartabeat.net.

Tuesday, November 08, 2011

Menuntaskan Keriaan Ulang Tahun
---Anwar Holid

Deep Cuts, Volume 3 (1984–1995)
Band: Queen 
Jenis: album kompilasi
Rilis: 5 September 2011 
Rekaman: 1984–1995 
Genre: Rock 
Durasi: 57:01 
Label: Universal Music, Island Records


Deep Cuts, Volume 3 (1984–1995) adalah paket ketiga seri kompilasi seleksi lagu-lagu minor dari lima album studio terakhir dalam karir Queen, yaitu The Works, A Kind of Magic, The Miracle, Innuendo, dan Made in Heaven.

Pada periode ini sejumlah kritik menyatakan bahwa Queen sebenarnya sudah lelah dan habis. Meski begitu faktanya Queen tetap masih mampu menciptakan sejumlah hits lepas betapa di sepanjang periode ini karir mereka naik-turun. Buku panduan 1001 Albums You Must Hear Before You Die dengan tega menyatakan bahwa kelima album Queen tersebut tak ada yang pantas didengarkan untuk sepanjang dekade '80 - '90-an. Pendapat ini mungkin ada benarnya. Tahun 80-an adalah milik Michael Jackson, sementara tahun 90-an dilanda gerakan grunge dan alternatif rock. Band-band seangkatan Queen menjadi dinosaurus: besar, bagian dari klangenan generasi tua dan mapan, tapi menjelang punah.

Queen juga berpikir ulang menimbang karir mereka: bagaimana agar tetap bisa berpengaruh dalam skala besar. Apa mereka harus merevitalisasi ciri khas grandeur, berlapis-lapis, dan rumit di awal karir atau menjadi band rock yang langsung dan simpel? Hasilnya beragam: The Works dan A Kind of Magic bisa dibilang straight rock, sementara The Miracle, Innuendo, dan Made in Heaven kembali terasa agung, dihiasi banyak elemen bernuansa orkestra dan harmoni berlapis-lapis. Di luar segi musikal, mereka menciptakan rekor baik sebagai band yang mampu mengumpulkan penonton paling banyak ataupun rekaman mereka paling banyak dikoleksi para audiophile.

Apa kompilasi ini bisa diabaikan?

Deep Cuts, Volume 3 secara aneh gagal menghasilkan kesan kuat sebagaimana dua Deep Cuts sebelumnya. Bisa jadi karena pilihan tracknya terasa begitu tipikal dan seragam sehingga menghasilkan nuansa yang nyaris sama dengan kompilasi Greatest Hits III atau kompilasi komersil Queen lainnya. Lagu minor dan big hits jadi terdengar tidak relevan dan sulit dibedakan.

Lagu yang distingtif dalam kompilasi ini bisa jadi hanya Is This The World We Created...?, Don't Try So Hard, One Year of Love, dan Bijou. Keempatnya lagu slow yang kontemplatif. "Bijou" membuktikan bahwa ketika zaman rock menilai solo gitar sudah usang, Brian May masih bisa menciptakan lick yang mencuri perhatian dan menyadarkan orang betapa hebat band ini secara keseluruhan. Namun lagu seperti I Was Born To Love You membuat kompilasi ini jadi parah. Ini adalah lagu pop cengeng yang diaransemen ulang setelah Freddie Mercury meninggal dunia agar terdengar jadi hard rock khas Queen.

Pendapat bahwa di dekade '80 - '90-an Queen sudah kepayahan mungkin ada benarnya, meski berkat pengalaman dan pendukung yang kuat, band ini tetap mampu mengolah formula untuk menciptakan lagu sukses. Karena itu kenapa tidak sekalian memasukkan lagu yang bernuansa sangat beda, seperti Rain Must Fall yang berirama Karibia, Pain Is So Close To Pleasure yang memperlihatkan kekuatan vokal falseto Freddie, atau Delilah yang lucu. Mungkin itulah cara mendengar Queen dari sudut pandang lain. Walhasil, kompilasi Deep Cuts, Volume 3 (1984–1995) ini seperti sekadar melunasi formalitas untuk merayakan ulang tahun ke-40 karir mereka mewarnai musik rock.[]

Anwar Holid

Link terkait:
http://en.wikipedia.org/wiki/Deep_Cuts,_Volume_3_(1984%E2%80%931995)

Friday, August 05, 2011


[Review Album]
Irisan Tajam dari Lima Album Queen Periode Kedua
 

Deep Cuts, Volume 2 (1977-1982) 
Musisi: Queen 
Jenis: album kompilasi
Rilis: 27 Juni 2011 
Rekaman: 1977–1982 
Genre: Rock, hard rock
Durasi: 52:09 
Label: Universal Music, Island Records
Rating: 5/5

Dibandingkan Deep Cuts, Volume 1 yang terkesan tengah mencari-cari bentuk inovasi dan menonjolkan eksperimen, Deep Cuts, Volume 2 secara gila-gilaan sukses menampilkan Queen sebagai band rock yang benar-benar nendang. Kompilasi ini berisi musik rock kelas berat yang langsung bersarang ke dalam sensasi musikal dan terus membombardir telinga dengan tenaga yang sangat kuat, variatif, dan penuh vitalitas. Irisan seleksi di album ini benar-benar mampu menampilkan permata lagu-lagu Queen dari lima album periode kedua karir mereka, yaitu News of the World, Jazz, The Game, Flash Gordon, dan Hot Space.

Kompilasi dibuka dengan "Mustapha", lagu rock sensasional beraroma kasidah yang intro lenguhan Freddie Mercury di situ bisa mengingatkan pendengar pada lolongan Robert Plant dalam "Immigrant Song." Bagi kita orang Indonesia, "Mustapha" terdengar sangat unik, memorable, menggugah untuk disimak, seperti gampang akrab, apalagi liriknya banyak mengandung kosakata Arab yang terdengar familiar. Track dilanjutkan dengan "Sheer Heart Attack" yang sangat ngebut, ugal-ugalan, dan bertegangan tinggi. Lagu-lagu hard rock bertempo cepat mendominasi kompilasi ini. Hanya empat lagu berjenis power ballads (slow rock) yang terpilih seolah-olah menandakan Queen ingin mengesankan sebagai band yang macho, matang, sekaligus terus inovatif.

Pada fase 1977–1982 Queen sudah menjadi band adidaya. Mereka merupakan pasukan rocker yang sangat diperhitungkan berkat album best-selling dengan daya jelajah luas terhadap berbagai unsur musik namun tetap dalam balutan rock yang kuat dan lagu-lagunya mampu menggerakkan seluruh pendengar untuk berkoar bersama-sama. Fase ini ditandai dengan makin jauhnya mereka meninggalkan kesan progresif-eksperimental yang cukup rumit dan penuh perhitungan di lima album pertama, beralih ke rock yang lebih "langsung" dan spontan. Pengalaman mengajarkan mereka menjadi tambah luwes dalam mengadon dan mematangkan berbagai unsur musik nonrock untuk menjadi karya yang segera terdengar sangat Queen. Contoh News of the World (1977) yang disebut-sebut sebagai album paling keras mereka, hanya menyisakan tiga lagu bernada Hawaiian ("Who Needs You" ), balada ("All Dead, All Dead" ), dan jazz ("My Melancholy Blues").

Di akhir era ini, yaitu ketika menggarap The Game (1980), Queen memasuki babak baru dengan sepakat untuk menggunakan synthesizers, terlibat dalam proyek soundtrack, dan mengubah image penampilan jadi lebih simpel, menghapus make up tebal dan jauh dari kesan glamor, meski tetap atraktif dengan poros berpusat pada aksi Freddie Mercury. The Game melahirkan hits bercorak baru sebagai penambah hits lama yang komposisinya senantiasa grandeur dan sangat rapi. Lagu seperti "Another One Bites the Dust" dan "Crazy Little Thing Called Love" terdengar sangat simpel dan ringan, namun mampu memantapkan posisi mereka sebagai band berstatus superstar.

Untuk Deep Cuts, Volume 2, Queen mengiris empat belas lagu minor yang atraktif dan powerful untuk ditatah sebagai paket yang rasanya terdengar sebagai album studio utuh, begitu padu dan kukuh. Lagu-lagu yang bertumpu pada permainan gitar Brian May memang terdengar dominan, karena dia menyumbang tujuh lagu dalam kompilasi ini, namun John Deacon (bass) dan Roger Taylor (drums, perkusi, dan vokal) juga mampu tampil secara maksimal. Chemistry itu begitu terasa dalam "Dragon Attack", ketika dentuman bass dan pukulan drum berkejar-kejaran sejak awal, diselingi raungan riff dan lengkingan gitar, kemudian sebentar memberi kesempatan untuk pamer solo, sehingga membentuk karya yang energetik dan rancak.

Deep Cuts, Volume 2 juga menandai Queen bersikap lebih lunak terhadap “kegagalan” Hot Space, dengan menempatkan tiga lagu ke dalam kompilasi, melebihi Greatest Hits (1981) yang cuma mengizinkan satu hit untuk disertakan, itu pun merupakan buah kerja sama dengan David Bowie. 

Mungkin hanya penggemar ngeyel yang akan meributkan kenapa lagu-lagu tertentu sampai tega disingkirkan ke dalam kompilasi ini. Di forum Queen Online, banyak orang heran kenapa bukan "Life Is Real (Song For Lennon)", "Let Me Entertain You", maupun "If You Can't Beat Them" yang dipilih. Lagu-lagu tersebut dinilai lebih jelas mewarisi tradisi Queen misal dibandingkan "Staying Power" yang terdengar seperti lagu disko tanggung. Di luar perdebatan yang meramaikan suasana, sungguh sulit mencari cacat Deep Cuts, Volume 2.

Bisa dibilang kompilasi ini merupakan greatest minor songs bila dibandingkan Greatest Hits, sekaligus merupakan kado sempurna untuk merayakan 40 tahun karir Queen.[]



Link terkait:
http://en.wikipedia.org/wiki/Deep_Cuts,_Volume_2_(1977%E2%80%931982)

Tuesday, July 19, 2011

Foto: Budi Warsito
'Hidden Gems' Lima Album Pertama Queen
---Anwar Holid

Deep Cuts, Volume 1 (1973-1976)
Musisi: Queen 
Jenis: album kompilasi
Rilis: 14 Maret 2011 
Rekaman: 1972–1976 
Genre: Rock 
Durasi: 50:01 
Label: Universal Music, Island Records
Rating: 4/5

Untuk merayakan ulang tahun ke-40, Queen merilis album kompilasi berisi 'hidden gems' dari lima album pertama mereka. Maksud 'hidden gems' ialah lagu-lagu minor yang dinilai membentuk karakter dan mewujudkan visi mereka dalam bermusik. Lagu-lagu ini jelas kurang dikenal oleh masyarakat luas, tapi bagi penggemar Queen maupun penggemar rock, bisa mewakili kreativitas terhebat mereka. Contoh "Stone Cold Crazy" yang pernah dibawakan lagi oleh Metallica. Ketika mereka meraih Hadiah Grammy atas lagu tersebut, orang sadar bahwa Queen bukanlah grup paduan suara yang menghasilkan satu hit berjudul "Bohemian Rhapsody."

Queen adalah sebuah band album. Mereka tidak mengandalkan satu lagu tertentu untuk menunjang kesuksesan sebuah album, tetapi mengerahkan semua lagu agar bisa diterima massa. Hanya tuntutan industri dan produser yang membuat mereka harus memilih 1-2 dua lagu untuk dilempar ke pasar, dengan kompromi semoga itu merupakan lagu paling komersil yang bakal mungkin menjadi "radio friendly." Karakter sebagai band album tampak jelas dari penempatan urutan lagu yang jarang menaruh single mereka di urutan pertama.

Maka, pilihan terhadap 'hidden gems' tadi menjadi rada dilematik, apalagi Queen kini hanya tinggal Brian May dan Roger Taylor, setelah Freddie Mercury meninggal dunia dan John Deacon pensiun. Deep Cuts, Volume 1 secara personal dipilih oleh dua anggota tersisa, ditambah saran Taylor Hawkins, drummer Foo Fighters, yang ternyata seorang pengagum berat Queen.

Di satu sisi, pilihan tiga orang tersebut bisa dibilang sukses. Empat belas lagu ini memperlihatkan betapa sejak awal Queen telah memperlihatkan kompleksitas dalam lagu-lagunya, namun sekaligus membuktikan daya jelajah mereka yang sangat luas untuk memperkaya musik rock. Mereka berhasil memaksimalkan kreativitas demi menciptakan lagu dengan beragam sentuhan, mulai dari klasik hingga balada dan folk. Semua itu didukung oleh virtuositas para anggotanya yang di atas rata-rata.

Band Pionir dan Inspirator

Fakta ini akan tampak lebih heroik lagi jika dikaitkan dengan cerita betapa teknologi rekaman dan musik zaman itu belum mampu mengakomodasi daya kreasi mereka, dan terlebih-lebih di tiga album pertama Queen hanyalah sebuah band rock biasa yang masih kesulitan uang, sedang susah payah menaklukkan panggung, dan mencoba menawarkan kebaruan, terutama dari segi penampilan. Penampilan mereka dalam sejarah musik rock disebut-sebut merupakan pionir dan inspirasi yang melahirkan genre glam-rock, sementara sejumlah lagu mereka menjadi contoh terbaik bentuk stadium rock.

Singel pertama mereka, "Keep Yourself Alive", yang ditolak sejumlah radio di Inggris, secara ironik menyemangati empat sekawan ini agar terus bertahan dan mengembangkan sayap. Mereka sempat bangkrut karena ditipu manajer dan baru bisa rekaman di kala jam-jam kosong studio demi menghemat pengeluaran. Hanya kegigihan dan keyakinan yang membuat mereka terus bertahan bekerja keras. Pada saatnya nanti semua akan berubah drastik setelah mereka mengeluarkan album A Night at the Opera, yang lagu pertamanya dipersembahkan untuk mengumpat mantan manajer sialan itu!

Track demi track dalam Deep Cuts, Volume 1 mampu memancarkan pesona 'hidden gems' dengan baik, namun pilihan itu tetap bisa menimbulkan keheranan. Sangat aneh betapa "Love of My Life" tidak masuk hitungan sebagai sebuah permata mahakarya, padahal mungkin semua orang juga tahu lagu ini merupakan salah lagu paling populer Queen, mudah dinyanyikan, termasuk paling banyak di-cover musisi lain, dan menjadi standar dalam "power ballads." Begitu juga dengan "The Prophet's Song", sebuah lagu terpanjang mereka dengan komposisi yang sangat kompleks---bahkan sebagian fans fanatik menganggapnya lebih hebat dari "Bohemian Rhapsody." Mengabaikan lagu yang bisa menarik minat massa luas sangat berpotensi membuat album kompilasi ini jatuh jadi sekadar membuat semangat para penggemar berat Queen.

Pasca album studio terakhir Made in Heaven (1995), sebagian penggemar mengkritik bahwa Queen sudah kebanyakan mengeluarkan kompilasi dalam beragam variasi, dan salah-salah secara sinis dianggap sebagai cara murahan untuk mencari uang. Tapi untuk Deep Cuts, Volume 1, ceritanya agak lain. Kompilasi ini digarap dan disiapkan dengan serius, termasuk dengan melakukan remastered. Apalagi komentar atas track demi track dari Rhys Thomas sangat informatif dan memperkaya latar belakang Queen di era tersebut. Kompilasi ini selain mempertontonkan kreativitas, karakter, dan chemistry sebuah band yang kuat, juga membuktikan betapa menarik hiruk pikuk musik rock tahun 1970-an. God save the Queen![]