Friday, June 08, 2012


Kisah Mengagumkan Seorang Penderita Autistik
--Anwar Holid

Dunia di Balik Kaca: Kisah Nyata Seorang Gadis Autistik
Judul asli: Nobody Nowhere: The Remarkable Autobigraphy of an Autistic Girl
Penulis: Donna Williams
Penerjemah: Lala Herawati Dharma
Penerbit: Qanita, November 2003
Format: 11,5 x 17 cm
Tebal: 478 halaman


ENDORSEMENT DANIEL GOLEMAN terhadap autobiografi perempuan autistik ini dengan jelas mampu menerangkan betapa buku ini memang layak dibaca dan disimak oleh siapa pun, tak terbatas bagi orangtua yang anaknya menderita atau keluarga yang salah satu anggotanya mengidap penyakit tersebut. Puji Goleman, "Ms. Williams berhasil membuat peta dari sebuah dunia yang paling sulit dijamah; sebuah kesaksian mempesona tentang kecerdasan yang tak lekang oleh derita mental." Buku ini merupakan catatan yang sangat gamblang tentang autisme dari sudut pandang "orang dalam", yakni pengidapnya sendiri. Autisme adalah salah satu kelainan pada anak-anak yang akhir-akhir ini sangat sering mendapat perhatian orangtua dan media massa, justru karena informasi dan terapi penanganannya masih sangat sedikit, sedangkan fenomenanya terus berkembang. Menurut keterangan, autisme bisa terjadi pada 2 hingga 5 dari setiap 10.000 anak, biasanya muncul sebelum usia tiga tahun.

Tanpa endorsement seperti itu tampaknya masih sulit meyakinkan orang bahwa ada pengidap autistik mampu menulis sebuah buku, mencoba menuturkan dunia mentalnya yang berbeda, tertutup, sangat jarang terjelajahi oleh instrumen penyelidikan apa pun. Di buku ini Donna Williams bukan hanya menuturkan kehidupannya sebagai gadis autistik, melainkan berusaha keras mencoba kembali menelusuri perasaan-perasaan, sisi dalam jiwanya, termasuk masuk mencari "jawaban" apa yang sebenarnya dia rasakan sebagai pengidap autistik. Bila tidak menulis buku ini barangkali dia sekadar pengidap autistik yang sama. Seorang pengidap autistik mampu menulis saja sudah merupakan semacam keajaiban yang jarang terjadi, apalagi mampu mengungkapkan kehidupannya dengan cukup baik, nalar, bukan semata-mata demi menimbulkan belas kasihan.

Pengalaman hidup Donna Williams yang tumbuh di Australia ini memang cukup mencengangkan dan mengharukan. Sebagaimana lazim terjadi pada keluarga pada pertengahan tahun 1960-an, tanpa pernah disadari sejak awal oleh orangtuanya, Donna Williams mengidap autisme. Perilaku aneh, hanya bisa hidup sendiri, mudah terganggu, obsesif, ekolalik, spastik, dan sejumlah kekhasan lain tidak membuat orangtuanya curiga sebagai gejala autistik. Mereka tetap menyekolahkan Williams ke sekolah umum, kendati setiap kali mengalami kesulitan, masalah, atau ketidaknyamanan hanya terus-menerus memojokkan kelemahan Donna. Kondisi ini diperparah oleh keadaan keluarga yang aniaya, abai, tak ramah, dan berpenghasilan rendah.

WAJAR BAHWA autisme merupakan kelainan yang masih sukar disadari keberadaannya, sebab baru pertama kali diterangkan oleh psikiatris Amerika Lee Kanner pada 1943. Kelainan ini sangat sering dinisbatkan sebagai keterbelakangan mental, begitu pula yang terjadi pada Donna. Karena gagal, dia kerap dipindah-pindah sekolah, sering diejek, tak punya teman, juga sangat penyendiri. Perlakuan itu membuat Donna makin tenggelam hidup dalam dunia sendiri, sering berkawan dengan karakter imajiner yang muncul dari angan-angan atau sosok pribadi kawannya. Seolah-olah mereka adalah kawan baik teman berbagi segala hal. Bagi gadis penyendiri yang memiliki pengalaman mental sendiri, tak mudah baginya membedakan yang mana karakter imajiner dan real. Dia hidup terasing dalam dunia imajiner sebagai Willie dan Carol, atau kadang-kadang muncul sebagai diri-lain, Donna. Padahal penuturan dalam buku itu disampaikan oleh orang pertama, aku (yakni Donna Williams sejati).

Split personality menjadi empat pribadi berbeda karakter inilah yang sebenarnya menyusahkan pembaca menentukan antara pengalaman dunia real dan imajiner semata-mata. Memang, melalui sejumlah upaya keras terapi, pencarian kesadaran, perkembangan intelek, Donna sendiri akhirnya mampu "menemukan" diri sebagai pribadi utuh lewat karakter-karakter itu; setidaknya mampu membedakan dengan baik. Hingga lebih dari halaman ke-100, di antara penuturan yang terasa membingungkan, kabur, struktur bahasa agak kacau, bahkan kehilangan konsep waktu, Donna sangat kesulitan mencari benang merah atau fokus topik tulisan. Bahkan dia juga kesulitan “menentukan” sejenis apakah kelainan yang diidapnya itu, apakah autisme, skizofrenia, kegilaan, atau spastik. Baru pada pertengahan buku, seiring dengan perkembangan emosi dan intelektualnya, penuturannya mulai lancar, bahkan di bagian akhir tampak Donna memang mampu mengungkapkan alam penderita autistik itu dengan baik sebagaimana pujian Goleman, termasuk memetakan autisme di antara sejumlah kelainan sejenis. Apalagi dia berusaha menerangkan secara khusus sejumlah "bahasa komunikasi" bagi orang autistik; setidaknya bagi dirinya sendiri, yakni di bagian “Catatanku” dan “Epilog.”

Sebagian penderita autistik memiliki kelebihan, Donna Williams adalah salah satunya. Kelebihannya ialah bahwa dia berbakat seni, berminat pada bahasa dan sastra, termasuk menikmati dan menciptakan puisi & seni rupa. Dia mampu mengapresiasi puisi T.S. Eliot dan lukisan Vincent van Gogh. Jika Raymond Babbitt dalam Rain Man mampu menghapal dengan tepat barisan panjang angka matematika, Donna Williams mampu menulis dengan baik alam batinnya yang mirip mimpi. Kemampuan itu dia gunakan seoptimal mungkin untuk memahami "keanehan" yang terjadi dalam jiwanya sendiri, untuk kemudian mencoba mengerti betapa dunianya begitu berbeda dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya; dia hanya berharap semata-mata agar orang memperlakukannya sewajarnya. Tulisnya, "Ini merupakan upayaku untuk secara otomatis mengembangkan identitas diri yang lebih stabil, lebih layak ditampilkan, dan lebih diterima masyarakat, di bawah bimbingan seorang manusia yang sama-sama sangat kuhargai; psikiaterku," (hal. 174).

Harapan sederhana ini pun sebenarnya sangat sukar dicapai karena orang autistik memang memiliki gangguan yang menghalangi perkembangan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, termasuk memelihara hubungan secara normal dengan dunia luar. Secara alamiah saja dunia mereka berbeda, termasuk cara berkomunikasi, memandang dunia, termasuk kebiasaan atau mengungkapkan perasaan. Perbedaan itu membuat ibunya sendiri menolak dia sejak awal melihat perilakunya yang berbeda dari balita pada umumnya.

TULISAN DONNA sejak awal membuktikan kegagalan menerima dan memperlakukan perbedaan itulah yang membuat hidupnya tambah sukar, terasing. Dia menyatakan, "Ketika aku menulis buku ini, aku percaya bahwa aku dilahirkan dengan keterasingan, dan kalaupun tidak, aku pasti sudah hidup dalam keterasingan ketika perkembangan emosionalku mulai terganggu, yaitu ketika aku berusia tiga tahun," (hal. 447). Padahal dari penuturannya, pembaca bisa merasakan upaya afeksinya kepada orang lain cukup besar.

Seperti dalam banyak memoar biografi maupun autobiografi yang jujur, gamblang, tanpa ingin berpura-pura, atau mendapat belas kasih semata-mata, kisah Donna Willams ini menghadirkan kenyataan yang manusiawi, bahwa tragedi itu ada, bisa terjadi kapan pun, menimpa siapa pun; dan orang dipaksa untuk mampu menerima dan belajar banyak hal dari sejumlah kesukaran itu. Moral utama kisah hidup Donna Williams ini ialah kasih sayang seharusnya menjadi terapi terbaik yang bisa disediakan setiap saat oleh setiap orang, terutama oleh mereka yang "normal" bagi mereka yang "berbeda." Inilah yang gagal diberikan sejak dini terutama oleh ibu Donna sendiri atau orang-orang terdekat di sekelilingnya; padahal hanya kasih tulus yang mampu membuat seseorang terus hidup, bahagia, dan nyaman, bagaimanapun buruk keadaannya. Sekali lagi pembaca diajari biarpun kehidupan bisa berlangsung sangat sukar, menderita, "kelainan" itu bukan akhir segalanya. Jika memiliki setitik keyakinan, iktikad pada kebaikan, dan keinginan keras, orang akan dibimbing untuk mampu mewujudkannya. Donna Williams membuktikan hal tersebut. Meski autistik, dia mampu melakukan sejumlah hal sangat berarti, salah satunya adalah mendirikan Alternative Approaches to Autism Consultancy (AAAC), yang secara khusus didedikasikan bagi penderita autisme seperti dirinya.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

No comments: