Thursday, June 07, 2012

Skizofrenia, Metafora Kondisi Masyarakat Kita
--Anwar Holid

Mereka Bilang Aku Gila: Memoar Seorang Penderita SkizofreniaJudul asal: The Day the Voices Stopped: Memoar of Madness and Hope
Penulis: Ken Steele dan Claire Berman
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Qanita Mizan, 2004
Tebal: 436 halaman
ISBN: 979-3269-16-2


YASRAF AMIR PILIANG---penulis prolifik dari Bandung---pernah bercerita bertemu seseorang yang tahu dirinya mengajar di Institut Teknologi Bandung. "Dulu saya juga pernah mau masuk ITB," kata orang itu kepadanya, "cuma gagal karena rambut." Katanya sambil menunjuk kepala, menyentuh rambut. Yasraf tersenyum. Bagaimana mungkin seseorang gagal masuk perguruan tinggi karena rambut? Atau Anda masih ingat John Nash dalam A Beautiful Mind yang dimainkan sangat menyentuh oleh Russel Crowe? Ketika berpesta kebun bersama rekan-rekannya, disebabkan oleh pantulan cahaya melalui gelas dan kaca pada dasi seorang temannya, dia berkata, "Mungkin ada penjelasan matematika kenapa dasimu jelek." Tentu saja temannya tersinggung.

Tapi demikianlah, seorang skizofrenia melihat hal berbeda dari orang normal, bahkan dalam banyak kasus melihat hal yang tak ada. Mereka mengalami sesuatu yang berbeda, baik mental maupun fisiologis, dan itu menyebakan kesulitan hidup dalam dunia umum. Mereka berpikir secara tak lazim, gerak-geriknya aneh, gagal berkomunikasi, hidup dalam dunia sendiri, yang parah disertai sejumlah simptom seperti delusi dan halusinasi---namun sama sekali tak sadar bahwa fungsi mentalnya terganggu. Dalam kasus Nash, dia merasa memiliki teman sekamar dan sepupunya, terus diikuti oleh agen Departemen Pertahanan. Mereka terus ada bahkan sampai ketika Nash pulih dari sakitnya, "Hanya aku memilih tak mengakuinya," begitu kata Nash untuk mengakhiri ajakan masuk ke dalam "dunia lain" itu.

Pengalaman Ken Steele dalam buku ini juga khas seorang penderita skizofrenia. Sejak remaja dia mendengar suara yang menitah menghabisi nyawanya karena dirinya dianggap tak berharga, terus-menerus menghina dan menyalahkan diri, kerap hidup dalam khayalan sendiri. Dia gagal berkomunikasi dengan keluarga dan lingkungan, akibatnya dia melarikan diri ke kota besar---namun langkah itu ternyata menuju pada malapetaka mengerikan, hidup di jalanan, dipaksa menjadi pelacur, tanpa rumah, pekerjaan, kawan. Puncaknya, tak tahan akan desakan suara-suara itu, dia akhirnya terjun dari sebuah gedung, untung nyawanya masih terselamatkan oleh polisi dan petugas kesehatan. Mujur negara seperti Amerika Serikat cukup mampu menjamin keselamatan dan kesehatan warganya, memberi layanan memadai kepada orang yang membutuhkan, Ken Steele diberi obat, diterapi perlahan-lahan, berkali-kali---bahkan ketika mencoba kabur sekalipun---sampai akhirnya sembuh meskipun harus terus mengonsumsi obat. Sisa hidupnya yang waras dia persembahkan untuk kembali menolong orang seperti dirinya, terutama kalangan lebih miskin, yang kadang-kadang jaminan sosialnya ditolak rumah sakit karena berbagai alasan, menerbitkan jurnal dunia skizofrenia dan penderitanya, menjadi relawan kegiatan kemanusiaan, aktif mengupayakan agar undang-undang bagi penderita skizofrenia bisa diterima menjadi hukum wilayah, dan berkampanye agar mereka lebih diperhatikan dewan perwakilan. Di balik deritanya, Ken Steel terus berusaha menjadi orang produktif, membantu dan melayani orang lain. Penuturan Steele yang ditulis Claire Berman dalam Mereka Bilang Aku Gila ini cukup memberi gambaran utuh bagaimana adanya penderita skizofrenia.

ORANG KEBANYAKAN memang lazim menyebut skizofrenia sama dengan gila---dalam beberapa hal memang mirip. Namun detailnya berbeda. Di zaman dahulu istilah yang mendekati skizofrenia adalah psikosis. Definisi skizofrenia paling tepat dijelaskan dalam psikoanalisis. Salah satunya adalah menurut Jacques Lacan---seorang ahli psikoanalisis paling terkemuka di akhir abad ke-20---sebagaimana ditulis Yasraf dalam Hipersemiotika: "putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna." Menurut Lacan, skizofrenia menganggap kata sama seperti benda sebagai referensi, dengan pengertian, sebuah kata tidak lagi merepresentasikan sesuatu sebagai referensi, melainkan referensi itu sendiri menjadi kata. Itu sebabnya kenapa bagi seorang penderita skizofrenia, rambut tak berbeda dengan otak atau kepintaran, pasar dengan pasir. Mereka tak bisa membedakan mana yang nalar dan tak masuk akal, juga tidak memiliki konsep waktu. Lebih dari kebanyakan sakit mental lain, skizofrenia memiliki efek melemahkan hidup penderitanya. Sangat umum penderita skizofrenia memiliki kesulitan membedakan pengalaman nyata dan tak nyata. Dalam kondisi normal pun orang fiktif dalam hidup John Nash itu tak lenyap juga, mereka berbaur dengan orang nyata dalam pandangannya. Maka satu-satunya cara adalah dengan bertanya kepada orang lain, "Apa kamu lihat orang di samping saya ini?" Lebih buruk karena orang fiktif ini lebih sering mengintimidasi atau mengancam penderita skizofrenia daripada menjadi pelindung atau menyenangkannya. Hingga saat ini belum ada obat antipsikotik untuk mengatasi skizofrenia sampai sembuh total, namun sejumlah obat bisa menenangkan penderita, meski kadang-kadang dampak sampingnya besar sekali. Tanpa pengobatan, fantasi itu bisa kembali mengambil alih.

Entah karena ditulis oleh Claire Berman yang normal, atau Ken Steele memiliki kemampuan jurnalisme yang bagus dan dituturkan setelah dia normal, memoar ini tidak sesukar yang akan disangka calon pembaca. Penuturan Steele terstruktur baik dan cara menulis Berman pun lancar. Sangat berbeda dengan Dunia di Balik Kaca (Donna Williams)---meski sama-sama hidup dalam dunia sendiri---yang hingga halaman 100 lebih masih kabur dan sukar dipahami, buku ini terasa normal saja. Berman memilih menyusun buku ini ketika Steele mulai disika suara-suara asing, menyisipkan pengalaman, penderitaan dan kegetiran hidup, upaya penyembuhan, diakhiri setelah normal dia berkampanye untuk sesamanya. Suara-suara asing itu setiap saat menjadi ancaman hidup, unsur menakutkan, berusaha menghancurkan mental Steele setiap kali melakukan hal buruk, salah tempat, atau gagal mengikuti kemauan suara asing tersebut.

Buku ini mungkin bukan yang sangat memikat menceritakan derita skizofrenia; biografi John Nash dalam A Beautiful Mind karya Sylvia Nasar jauh lebih mengharukan, luar biasa, mampu menguras emosi. Tapi untuk khalayak pembaca kita, buku Ken Steele ini boleh mendampingi film itu, karena buku karya Nasar tidak tersedia di toko buku kita. Skizofrenia masih cukup asing, kerap disalahpahami, dan sukar disadari oleh orang di sekeliling penderita, seperti orangtua, keluarga, tetangga, dan kawan sebaya. Orang lain yang menyaksikan seseorang tiba-tiba tertawa, mendebat hebat sendirian, ketakutan berlebihan atau berkelakuan membahayakan mungkin hanya bisa menertawakan atau menganggap dia tak waras---padahal pengalaman itu real bagi dirinya.

MENARIK BAHWA Qanita menerbitkan sejumlah memoar, biografi, dan autobiografi yang dekat realitasnya dengan kehidupan masa kini, memberi referensi pengalaman yang benar-benar autentik dari sudut pandang "orang dalam." Setelah menerbitkan anak tanpa kasih sayang, penderita autisme, tragedi pendakian Everest, kini penderita skizofrenia, barangkali di masa mendatang Qanita bisa menerbitkan buku tentang penderita ODHA (orang dengan HIV aktif), indigo, seorang psycho, atau pengidap kanker. Sebagian besar pembaca memoar berharap pada kejujuran penutur, kedekatan emosi, kedalaman perasaan, atau membayangkan andai peristiwa itu juga dia alami---karena kemungkinannya itu bisa terjadi di antara orang kebanyakan.Alasan itu cukup membuat memoar mudah diserap pasar. Mereka Bilang Aku Gila adalah produk lanjutan sejenis buku lain: tragedi atau penyakit yang dialami manusia modern, dan moralnya adalah usaha manusia untuk tak kenal lelah mengatasinya, berserah diri pada takdir, tabah menerima cobaan---seberat apa pun, dan karena ditulis “orang dalam” dijamin bisa menyentuh rasa kasih setiap orang.

Penyakit dan tagedi manusia modern sangat beragam, berbeda bentuknya dibandingkan malapetakan masa lalu. Kini tak ada lagi orang meninggal karena tuberkolosis (TBC) atau lepra, namun penderita sakit modern seperti AIDS dan skizofrenia bertambah banyak dan tipenya macam-macam. Maka benar kata Susan Sontag---filosof budaya Amerika---bahwa sakit merupakan metafora sebuah zaman. Metafora sakit masa kini di antaranya AIDS, kanker, juga skizofrenia. Kata Sontag, "Sakit adalah sisi gelap hidup, kewarganegaraan yang lebih sukar. Semua orang yang lahir memegang dua kewarganegaraan: kerajaan sehat dan kerajaan sakit. Meski kita semua lebih suka hanya menggunakan paspor yang sehat, cepat atau lambat kita wajib memperkenalkan diri sebagai warga negara kerajaan lain itu, setidaknya karena terserang. Sakit sudah selalu digunakan sebagai metafora untuk menekankan tuduhan bahwa sebuah masyarakat korup atau zalim. Metafora penyakit tradisional terutama adalah cara menjadi berapi-api, sebaliknya metafora modern relatif lebih menunjuk ketidakpuasan."

Bagi pembaca awam buku seperti ini bisa memberi pengaruh emosi, kasih sayang; namun bagi pembaca lanjut---seperti Yasraf Amir Piliang tadi---skizofrenia dapat digunakan menjelaskan fenomena lebih luas, di antaranya fenomena bahasa (Jacques Lacan), fenomena sosial ekonomi, sosial politik (Gilles Deleuze dan Felix Guattari), dan fenomena estetika (Fredric Jameson). Dalam kasus Steele misalnya, dia cukup beruntung karena ada negara yang bisa membantu menyelamat kehidupannya; sementara berjuta-juta penderita yang sama terlantar, diabaikan, disingkirkan masyarakat dan negara, dianggap itu penyakit yang tak bisa diapa-apakan. Bila ditarik ke sistem institusi sosial kita, akan terasa betapa buruk layanan kesehatannya, sangat egois karena tak mau peduli, bukan merupakan prioritas perjuangan banyak kalangan. Maka kerja keras Steele memulihkan kesehatan mental, mengusahakan agar penderita skizofrenia memperoleh hak sewajarnya bisa dijadikan bukti bahwa penyakit itu kini merupakan sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari semua orang, merupakan ciri masyarakat kontemporer.[]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.