Showing posts with label alternative rock. Show all posts
Showing posts with label alternative rock. Show all posts

Friday, January 29, 2021

I'm Not Well, debut album Black Foxxes.

Black Foxxes dan Daya Tahan Mark Holley

Oleh: Anwar Holid

 

Black Foxxes adalah salah satu band paling favoritku sejak sekitar 3 tahun belakangan. Mereka berasal dari kota Exeter, Inggris. Mereka selalu disebut band indie. Genrenya rock alternative. Mereka tidak populer. Di Twitter dan Instagram followersnya masing-masing di bawah 5 k. Videoclip musiknya juga tak ada yang viral.

Motor band ini ialah Mark Holley. Ia berperan sebagai vokalis, gitaris, dan penulis lirik utama. Aku lupa kok bisa 'menemukan' band ini dan suka dengan karyanya. Mungkin dari daftar terbaik tahunan yang suka aku temui di media musik rock online. Waktu itu unit trio ini baru menghasilkan debut album, judulnya I'm Not Well (2016). Judul album dan covernya buatku sangat kuat. Gelap, berupa lukisan cat minyak menampilkan bocah laki-laki yang kelihatan lagi bermasalah dengan tato I'M NOT WELL di tangannya. Waktu menyimak I'm Not Well rasanya album ini dalam, mencekam, dan ekspresif, seperti melampiaskan luka. Benar-benar pantas jadi album favorit.

Setelah I'm Not Well mereka merilis Reiði (2018). Reiði diambil dari b. Islandia, artinya 'marah' (anger, rage). Album ini juga direkam di negara dekat kutub utara itu.

 

Reiði, album ke-2 Black Foxxes.

Yang bikin aku rada aneh sekaligus penasaran ialah pada Mark Holley. Dia sejak awal membentuk Black Foxxes diberitakan punya masalah kesehatan dan sakit mental, berupa kekuatiran berlebihan (anxiety) dan penyakit radang usus kronis (penyakit Crohn). Dia sudah lebih dari 8 tahun menderita radang usus dan belum sembuh sampai sekarang. Penyakit ini memang belum ada obatnya. Salah satu akibatnya si penderita bisa sering mencret dan kehilangan berat badan.

Aku ngebatin: kok bisa ya orang yang bertahun-tahun punya masalah kesehatan dan sakit mental tetap produktif menghasilkan karya bagus?? Buatku ini mengagumkan. Sakit dan depresi tetap membuatnya bertahan, gak membuatnya jadi runtuh, terus berkarya. Berarti mentalnya kuat. Dia terus berusaha mengatasi penyakit dan mengolah kondisi menyakitkan itu jadi sesuatu yang bermakna, bisa dinikmati — meski hasilnya memang tetap terasa murung dan tertekan. Sebagian orang bertahun-tahun mengidap penyakit mengerikan dan terus menerima konsekuensi dampak buruknya, namun mereka tetap mampu menghasilkan kebaikan, karya, yang tampak cemerlang dan seolah-olah bisa mengabaikan penyakit untuk sementara.

Black Foxxes mencerminkan betul merupakan media untuk menyalurkan ekspresi dan kondisi Mark Holley. Tidak ada lagu mereka yang nadanya ceria atau berirama cepat dan mendorong orang ajojing. Rata-rata lagu mereka bertempo sedang atau lambat. Hentakannya keras, seolah-olah tanpa halangan. 'Sataker kebek' dalam istilah Sunda. Sering ada jeda pelan di lagunya, biasanya membuat pendengar termangu atau ngelangut. Suara gitarnya terdengar rendah dan banyak distorsi. Di sejumlah lagu Mark Holley terdengar merintih dan menjerit penuh emosi, seakan ada rasa sakit yang mendorongnya melolong sejadi-jadinya. Itu membuat nyanyiannya terdengar menyerang atau kasar. Beruntung Mark Holley didukung dua temannya Tristan Jane (bass guitar) dan Ant Thornton (drums) hingga bisa menghasilkan dua album.

Black Foxxes (2020), photo by Connor Laws.

Setelah Reiði kelar, mereka kesulitan mendapatkan kontrak rekaman untuk merilis album ketiga. Kondisi ini bikin mereka putus asa. Di masa pandemi, mungkin mereka juga sulit melakukan tur dan tampil di festival. Tekanan itu membuat dua teman Holley ke luar dari Black Foxxes pada awal 2020. Jelas kondisi ini makin membuat Holley kesulitan merilis album sebagai band. Aku pikir mereka akan bubar. Tapi ternyata pada akhir Oktober 2020 mereka merilis album dengan nama sendiri, Black Foxxes, dari label Spinefarm Records, Finlandia. Kebayang kan kesulitan mereka, jika ada band asal negeri yang begitu subur industri musiknya malah mendapat kontrak rekaman dari label di negeri Viking.

Mereka menggunakan nama sendiri sebagai pernyataan kelahiran energi baru, ada transisi ke fase baru. 'Album ini nyaris batal rilis, tapi akhirnya kelar,' demikian kata mereka di akun @blackfoxxes. Ya, di album ini Holley didukung dua teman baru, yaitu Finn McLean (drums) dan Jack Henley (bass guitar). Di album ini mereka menyertakan 2 lagu berdurasi cukup panjang, yaitu "Badlands" (8:29) dan "The Diving Bell" (9:31).[]

Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

 

Thursday, May 30, 2013

Bintang yang Terlalu Cepat Menghilang
--Anwar Holid

Grace Around The World Musisi: Jeff Buckley
Jenis: DVD musik
Rilis: 2 Juni 2009 
Rekaman: November 1994 - Juli 1995
Genre: Rock, Alternatif Rock, Folk Rock
Label: Columbia
Produser: Mary Guibert, Tony Faske 


Menyaksikan musisi yang mati muda di awal karir dan baru terkenal setelahnya kerap membuat kita merasa antara miris dan nelangsa, sebab seolah-olah kreativitas, kehebatan kinerja, dan pencapaian itu jadi sia-sia, tidak bisa dinikmati keberhasilannya oleh diri sendiri, melainkan oleh ahli warisnya atau publik secara luas. Apa kondisi ini patut disayangkan?

Meski dipuji habis-habisan dan mendapat penghargaan baik dari banyak media musik dan media massa umum, satu-satunya album studio Jeff Buckley---Grace (1995)---sebenarnya hanya sedikit terjual waktu dirilis dan itu membuat lagu-lagunya terbatas pula mendapat kesempatan diudarakan di banyak radio. Tapi barangkali kualitas memang tidak bohong dan media pelan-pelan akhirnya berhasil mempengaruhi jutaan massa di luar sana bahwa album itu memang benar-benar "sesuatu." Hasilnya? Banyak orang menyesal kenapa mereka dulu lolos melewatkan begitu saja album ini sejak pertama kali kelar. Di sisi lain, para pendengar jadi begitu penasaran seperti apa penampilannya di konser selama promosi dan tur album tersebut.

Grace Around The World merupakan DVD berisi penampilan live dan dokumentasi Jeff Buckley bersama band semasa mempromosikan Grace. Sebagai musisi muda yang albumnya tidak meledak, Jeff Buckley masih cukup beruntung mendapat kesempatan serta dukungan label dan promotor untuk tur di berbagai belahan dunia, terutama Eropa. Wajar bila di awal-awal DVD ini, Jeff dan kawan-kawan tampil di cafe kecil yang penontonnya pun bahkan masih bisa memesan minuman, karena sama sekali tidak penuh. Dia hanya diperhatikan sejumlah penonton muda yang tampak khusuk menyimak nada-nada tinggi dari gitar dan vokal Jeff. Tapi satu hal, Jeff dan tiga kawannya: Michael Tighe (gitar), Mick Grondahl (bass), dan Matt Johnson (drums) tetap bermain dengan pol. Ini sungguh mengharukan, betapa dirinya memperlihatkan etos sebagai musisi yang berdedikasi dan disiplin, meski peralatannya standar dan krunya tak kelihatan. Soundnya jernih dan rapi, bahkan iringan rhythm bass dan drumsnya pun terdengar bergelora. Mereka main penuh perasaan, bertenaga, tak peduli penonton sedikit. Penampilannya di konser besar ialah gig bersama yang diselenggarakan MTV dan VH1.

Di antara konser ke konser, DVD diselipi dokumentasi obrolan dengan seorang host wanita terutama mengenai isi lagu-lagunya dan pandangan artistik dan spiritualnya, juga keseharian tur. Jeff berkali-kali menyatakan bahwa dirinya tidak mau berpura-pura, baik dalam kehidupan sehari-hari dan di panggung. Mungkin itu membuat penampilannya tidak mencolok berubah ketika di panggung. Sebagai musisi yang masuk kategori genre "alternatif rock", penampilannya sangat mencerminkan semangat zaman tersebut, yaitu pakaian casual dan bersahaja. Yang membedakan Jeff Buckley mungkin rujukan musikalnya. Dia cukup terpengaruh musik Qawwali (musik puji-pujian Islam dari Pakistan) dan penggemar berat Nusrat Fateh Ali Khan. Itu yang menyebabkan dia mengeksplorasi lolongan ekspresi vokal yang bisa dibilang jarang dilakukan musisi sealirannya. Penampilan dalam "Mojo Pin" dengan baik memperlihatkan itu, bahkan durasinya pun dibuat lebih lama dari versi aslinya. Bisa jadi lagu cover dia yang begitu legendaris dan brilian, "Hallelujah", diaransemen sangat hening dan "dalam" karena terpengaruh musik religius seperti itu.

Menonton Grace Around The World ialah seperti menyaksikan seorang bintang yang sinarnya redup karena terlalu cepat menghilang. Jadinya mengharukan. Kita sadar dia belum terkenal, namun tahu bahwa dirinya telah jadi legenda. DVD ini memperlihatkan betapa bakat dan pencapaian Jeff Buckley yang belum berkembang maksimal sesungguhnya sudah mulai mekar berkat eksplorasi dan disiplin yang dilatih setiap hari, baik dalam hidup sehari-hari maupun penampilan rutin di cafe tempat mangkalnya, Cafe Sin-é.[]

Ilustrasi dari Internet.

DVD Grace Around The World bisa ditonton atau disewa di Kineruku, Bandung.

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.