Showing posts with label buku puisi. Show all posts
Showing posts with label buku puisi. Show all posts

Tuesday, January 31, 2017



Kami Memosisikan Diri sebagai Pembaca
yang Butuh Bacaan Bermutu
Wawancara dengan Kun Andyan Anindito, Penerbit Gambang

--Anwar Holid

Penerbit Gambang menyembul ke permukaan industri penerbitan dengan cara yang simpel. Mereka merilis sejumlah buku puisi, berukuran kecil dan tipis, dengan cover eye-catchy, yang bagi banyak calon pembaca seperti merayu ingin disentuh dan dibuka-buka. Penerbit ini seperti hendak membangun brand image yang jelas dan mudah dikenali. Mereka juga kerap mengadakan acara di berbagai toko buku di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan tempat lain.



Berikut wawancara dengan Kun Andyan Anindito seputar proses penerbitan, bagaimana memilih dan mengelola naskah, juga memelihara kerja sama dengan penulis.

Kun Andyan Anindito.
* Bagaimana awalnya Gambang menerbitkan buku?
Gambang terlahir karena kecintaan kami terhadap buku. Sederhana saja, waktu itu saya dan Rozi Kembara awalnya hanya ingin membaca buku yang ingin kami baca, kebetulan banyak karya yang ingin kami baca belum diterbitkan, terlebih karya luar yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu kami memiliki keinginan memperkenalkan penulis-penulis luar negeri yang namanya jarang didengar di Indonesia. Sementara ini kami memang baru bisa menerbitkan dua terjemahan, Borges dan Rulfo. Borges memang sudah sangat familiar untuk pembaca Indonesia, meski begitu karyanya masih sedikit yang baru diterjemahkan. Sedangkan Rulfo adalah penulis yang banyak mempengaruhi penulis lain padahal seumur hidupnya dia hanya menerbitkan dua buku, satu novel dan satu kumpulan cerpen. Untuk itulah kami menerbitkan novelnya yang berjudul Pedro Paramo beserta 6 cerpennya. Di awal penerbitan kami memang fokus kepada penulis lokal karena salah satu misi kami adalah menerbitkan karya penulis yang belum pernah memiliki buku tunggal, padahal secara kualitas penulis tersebut sudah layak menerbitkannya. Penulis yang kami maksud antara lain Yopi Setia Umbara, Nissa Rengganis, Aprinus Salam, Mira MM Astra, Zulkifli Songyanan, Risda Nur Widia. Nama penulis berikutnya yang segera akan menerbitkan karya pertamanya adalah Indrian Koto, Nermi Silaban, Mutia Sukma, dan Rozi Kembara. Berawal dari hal itulah kami muncul ide untuk membuat sebuah penerbitan.

* Mengapa Gambang seperti mengambil ceruk yang sangat spesifik, yaitu penerbitan buku puisi?
Sebenarnya kami tidak spesifik dalam menerbitkan genre karya sastra, namun kami lebih sering menjumpai naskah puisi dibanding prosa seperti cerpen atau novel. Karena sering berjumpa dengan puisi itulah kami akhirnya memutuskan untuk memberi porsi lebih pada buku puisi.

* Bagaimana Gambang menyeleksi naskah dan memutuskan untuk menerbitkannya?
Gambang menyandarkan sepenuhnya pada kualitas karya tersebut. Pertimbangan lain yang juga sangat diperhitungkan adalah rekam jejak penulis tersebut di media masa.

* Bagaimana cara Gambang menilai/memutuskan bahwa naskah layak diterbitkan?
Tim penyeleksi dari kami ada tiga orang: saya, Yopi Setia Umbara, dan Rozi Kembara. Setiap dari kami memiliki selera masing-masing. Jika dua di antara tiga orang setuju, maka naskah akan diterbitkan.

* Apa yang paling utama dilihat/diperhatikan oleh Gambang dalam menerbitkan buku: keterjualan atau kekuatan naskah? Bagaimana mengukur kedua hal itu?
Kami percaya bahwa kekuatan naskah berbanding lurus dengan terjualnya buku. Kami sudah membuktikannya berkali-kali ketika menerbitkan karya-karya awal penulis yang kami sebutkan di atas. Karya-karya penulis seperti Nissa Rengganis, Mira MM Astra, Yopi Setia Umbara telah masuk cetakan kedua, yang lainnya hanya tinggal menunggu waktu. Buku karya Nissa Rengganis mendapat penghargaan di Hari Puisi Indopos tahun 2015, sedangkan buku kumpulan cerpen Risda Nur Widia, yang juga merupakan buku pertamanya, mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta.

* Bagaimana Gambang memperkirakan keterjualan sebuah buku?
Kami mencetaknya dengan dengan oplah terbatas, antara 300 sampai 500. Karena rata-rata buku akan terjual sejumlah itu tiap tahunnya. Jika habis, segera kami cetak ulang dengan oplah kurang-lebih sebanyak itu.

* Apa Gambang sengaja memilih penyair atau penulis tertentu untuk diterbitkan naskahnya?
Tentu saja. Kami akan memprioritaskan karya penulis yang sesuai dengan selera kami bagi penulis yang mengirim naskahnya ke redaksi kami. Untuk penulis yang sangat kami inginkan naskahnya agar berkenan diterbitkan di Gambang, kami berupaya untuk mendapatkannya. Untuk itu kami sangat bersyukur karena Acep Zamzam Noor dan Agus Noor mengizinkan naskahnya diterbitkan di Gambang.

* Tantangan apa saja yang dihadapi Gambang? Bagaimana cara menyiasati dan menanganinya?
Satu-satunya tantangan yang dihadapi Gambang adalah mempertahankan reputasinya sebagai penerbit serius. Cara menyiasatinya dengan menjaga kualitas karya yang diterbitkan. Kami tidak ingin mengecewakan pembaca, karena kami sendiri selalu memposisikan diri sebagai pembaca.
Diskusi Pinara Pitu di GIM Bandung.
* Bagaimana Gambang mendistribusikan dan menjual bukunya?
Kami memiliki reseller yang sangat selektif dalam memilih buku yang ingin mereka beli. Mereka tersebar di berbagai kota. Di Jogja ada JBS, Pocer, Mojok, Stand Buku. Di Jakarta ada Post Santa dan Demabuku. Di Medan ada Umbara Books. Di Bandung ada Toco. Di Malang ada Griya Pelangi. Di Makassar ada Pelangi Ilmu. Di Ambon ada Ksatria Book. Seluruhnya adalah toko buku online.

* Bagaimana hubungan editor dan penulis/penyair di Gambang? Seperti apa kerja sama yang dibangun?
Editor akan rutin menghubungi penulis terutama dalam hal pembahasan naskah. Mulanya penulis mengirim naskah ke redaksi dan langsung dibaca oleh editor, lalu setelahnya mengirimkan balik ke penulis hingga mencapai kesepakatan antara penulis dan penerbit yang diwakili editor.

* Program apa yang dibuat Gambang untuk mempromosikan bukunya?
Kami rutin membuat sistem preorder dengan memberikan diskon hinggal 15% kepada pembeli. Program baru yang awal bulan ini selesai kami kerjakan adalah pemberian workshop secara gratis kepada pembeli buku Rahasia Dapur Bahagia karya Hasta Indriyana, yang sekaligus menjagi pengisi workshop.

* Bagaimana Gambang memandang penerbit mapan yang juga menerbitkan buku puisi?
Kami selalu menganggap penerbit lain, baik indie atau mayor, dalam atau luar negeri, sebagai bahan referensi kami. Kalau buku yang mereka terbitkan baik, maka kami akan mencontohnya. Jika buku yang diterbitkan buruk, maka cukup penerbit itu saja yang menerbitkannya.

* Seperti apa Gambang memperlakukan penulisnya? Mereka dianggap sebagai aset perusahaan atau komoditas? Servis apa yang diberikan Gambang pada mereka?
Kami memperlakukan penulis selayaknya penulis harus diperlakukan, misalnya membayar royalti sebesar 20% dari harga jual secara cash tepat ketika buku selesai cetak. Jika penulis berkenan membantu penjualan bukunya, penerbit akan memberikan 30 % dari harga cetak, sehingga jika ditotal penulis akan mendapatkan pembayaran sebesar 50 % dari harga jual.
Workshop menulis puisi bersama Hasta Indriyana.

* Apa Gambang 'memelihara' penulis? Dalam arti mempertahankan agar terus bisa menerbitkan karya-karya berikutnya dan tidak beralih ke penerbit lain? Apa yang dilakukan Gambang untuk 'mengikat' para penulisnya agar juga mau terus menerbitkan karyanya di Gambang?
Kami tidak pernah memaksa penulis untuk menerbitkan buku di Gambang. Kami hanya bisa mengupayakan, jika memang penulis tersebut tidak berkenan memberikan naskahnya, maka kami juga tidak akan memaksa.

* Jika penulis Gambang kemudian menerbitkan buku di penerbit lain, dengan kemasan produk yang lebih bagus atau garapan yang tak dapat disediakan Gambang, kira-kira apa tanggapan Gambang?
Sandaran kita adalah kualitas naskah tersebut. Jika penulis Gambang kemudian menerbitkan buku di penerbit lain, dengan kemasan produk yang lebih bagus atau garapan yang tak dapat disediakan Gambang, kami akan turut senang, senang karena kemasannya bagus, dan senang karena naskah yang kami cari dari penulis tersebut telah kami terbitkan.

* Seperti apa Gambang menanggapi gerakan literasi yang dikampanyekan pemerintah? Apa gerakan tersebut berpengaruh pada siasat perusahaan?
Kami rasa pemerintah belum menggerakkan literasi dengan serius, jadi kami juga tidak perlu menanggapinya secara serius.

* Tahun 2017 Gambang merencanakan apa? Kira-kira seperti apa kondisi penerbitan buku puisi tahun ini?
Minimal kami akan melakukan apa yang telah kami lakukan di tahun-tahun sebelumnya dengan konsisten menerbitkan buku-buku bermutu. Kami rasa, penerbitan puisi masih akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya, beberapa penerbit masih takut menerbitkan buku puisi. Tapi semoga kami keliru, karena sekali lagi, kami juga memposisikan diri sebagai pembaca yang butuh banyak referensi bacaan bermutu.[]

Foto-foto milik Penerbit Gambang.

Link terkait:
Alamat Penerbit Gambang
Perum Mutiara Palagan B5, Sleman, Yogyakarta 55581
Telepon: +6285643039249

*****


Tuesday, May 01, 2012


Penerbitan adalah Bisnis, Begitu Juga dengan Buku Puisi
--Anwar Holid

Penerbitan buku puisi punya tantangan sendiri, terutama karena ada anggapan umum bahwa ceruk ini sama dengan proyek rugi. Benarkah? Bagaimana dong dengan penyair yang ingin menerbitkan puisinya?

Pertama-tama, pastikan dulu: buku puisi itu mau diterbitkan atas biaya sendiri atau akan ditawarkan ke penerbit. Mode penerbitan keduanya bisa sangat lain, denga konsekuensi masing-masing. Kalau akan diterbitkan sendiri, mau isinya dibilang mentah, belum pantas, enggak ikut selera pasar, aneh... cuek aja. Yang penting proses penerbitannya disiapkan dengan baik, antara lain lewat penyuntingan, jangan sampai salah eja, rapi, konsisten, dan padu. Ini pun boleh ada pengecualian, misal sengaja mengabaikan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).

Kalau akan ditawarkan ke penerbit, urusannya bisa kompleks. Karena melibatkan kepentingan penerbit, buku harus: (1) menarik perhatian editor; (2) punya nilai jual. Makin besar kemungkinan daya jualnya, makin bagus. Kuncinya memang ada pada cara meyakinkan editor bahwa puisi kamu berpotensi menguntungkan mereka---baik secara finansial maupun reputasi---dan karena itu layak terbit. Cara meyakinkannya bisa lewat presentasi, diskusi, juga mengajukan proposal penerbitan.

Kalau akan menawarkan puisi ke penerbit, perhatikan puisi itu keunggulannya seperti apa, daya jualnya bagaimana, kalau perlu bayangkan segmen pembaca dan pasarnya siapa. Mintalah pendapat teman dekat jujur yang mau mengkritik paling pahit (jangan hanya bisa kasih pandangan menyenangkan, karena itu bisa berat sebelah) atau menyewa orang yang dianggap kompeten menilai karya kamu. Atau kamu punya standar puisi yang pantas ditawarkan ke publik itu seperti apa.

Naskah seperti apa yang bisa terbit?
Penerbit tertarik pada naskah karena berbagai hal. Bisa jadi karena penyampaiannya segar, ungkapannya dalam, pendapatnya thought provoking dan kontroversial, atau pendekatannya lebih kena. Intinya: naskah harus punya kelebihan, ada sesuatu yang bisa dijual, diangkat ke permukaan. Isi bisa tentang apa saja. Persoalannya penyair mampu tidak menyampaikannya secara lain, menggunakan cara baru yang menarik, sehingga menarik buat penerbit. Kalau tertarik, penerbit bisa membayangkan naskah itu akan jadi buku seperti apa, dan marketing tahu cara menjualnya, memperlakukannya sebagai komoditas. Biasanya naskah ditolak karena penerbit takut bertaruh atau kesulitan membayangkan bahwa naskah itu bisa menguntungkan atau susah dijual.

Penerbit punya berbagai pertimbangan untuk menolak atau menerbitkan naskah. Mereka selektif, apa pun alasannya. Terkadang ada kisah aneh bagaimana sebuah buku bisa diterbitkan. Sebaliknya, ada fakta buku yang sudah dijanjikan akan diterbitkan, bahkan ada dummynya, akhirnya ternyata enggak terbit karena berbagai alasan. Penerbit menilai produknya sebagai komoditas yang harus bisa dijual. Nah, dengan isi seperti itu, apa yang kira-kira bisa dijual dari karya kamu? Ini tentu bisa bareng dengan kemasannya. Kemasan memang tidak menjamin buku bisa laku, tapi minimal desainer bisa menampilkan buku biar indah dan elegan buat dipajang.

Kita tahu, ada buku bagus dan yang jelek. Kalau isinya jelek, kita bisa mengira-ngira kenapa naskah seperti itu tetap bisa terbit, malah kemudian laris. Mungkin yang penting asal terbit, atau sebaliknya: segitu saja sudah bisa menguntungkan penerbit... apalagi kalau disiapkan dengan lebih baik. Tapi kalau benar-benar jelek, ya bilang saja itu produk gagal.

Selama proses penerbitannya disiapkan dengan baik, itu cukup. Artinya, penulis dan penerbit sungguh-sungguh menanganinya, ingin menghasilkan produk yang baik. Soal nanti ditanggapi bagaimana oleh pasar, tidak masalah; orang bisa komentar apa saja, baik atau buruk. Salah satu aspek naskah yang sangat penting untuk diperhatikan ialah kepaduan dan kelengkapan isi. Kalau isinya sudah dinilai padu, naskah siap diterbitkan. Kalau belum, ya isilah bolong-bolong di naskah tersebut.

Penerbitan adalah bisnis 
 Sebagian penulis suka sedih atau merasa sombong kalo karyanya dinilai sebagai komoditas. Mereka anggap itu rendah. Tapi sadarilah, buku harus bisa dijual. Karena membuatnya mengeluarkan modal. Sebagian penulis bilang peduli amat bukunya seret penjualannya, tapi aku yakin kalau bukunya laris---atau mendapat kritik besar-besaran---dia akan lebih seneng lagi, karena bukunya punya pengaruh ke publik luas. Buat apa buku kalau cuma numpuk di gudang?

Kalau penjualan buku seret, semua orang yang terlibat dalam proses penerbitannya bisa sedih dan sebel. Memang selalu ada buku puisi bagus yang gagal terbit ketika penulisnya masih hidup dan baru terbit setelah dia meninggal. Emily Dickinson contoh klisenya. Dia penyair yang baru terkemuka dan dianggap penting setelah meninggal. Selama hidupnya dia belum pernah menerbitkan buku dan hanya beberapa saja dari puisinya yang pernah dipublikasi, dan sayang disayang dia tidak sempat ngeblog..

Karena itu, percaya diri saja menawarkan naskah. Bekalnya ialah kamu tahu persis kekuatan dan kualitas puisimu. Cara paling aman untuk memulainya ialah dengan kenal editor di penerbit yang kita tawari naskah. Nanti kita bisa tanya perkembangan naskah itu pada dia. Tapi jangan terlalu sering bertanya, bisa-bisa kita dianggap rewel. Editor itu sibuk. Tuntutan kerjanya banyak. Mereka mengurus beragam naskah. Kalau perlu, kamu presentasi soal naskah kamu ke editor. Di mana-mana penerbit mau yakin soal pasar dan penjualan dagangannya. Mungkin dengan berargumen bahwa kemasan yang bagus bakal punya nilai jual lebih. Isinya sudah diakui lingkaran dekat dan reputasi penyair juga bisa menjadi pertimbangan penerbit untuk menerima naskah.

Diterbitkan ke mana?
Bentang, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Grasindo, menerbitkan puisi. Dari kuantitas, Grasindo tampak unggul. Buku puisi terbitan Grasindo sepertinya wajib koleksi. Kebanyakan berupa kumpulan puisi yang diambil dari beberapa buku yang terbit sebelumnya, semacam 'the best' puisi penyair tersebut. Tapi kemasan buku Grasindo biasa banget. Dari segi kemasan, Bentang kayaknya paling bagus. Buku puisi mereka mayoritas hardcover, pakai jaket, membuatnya terlihat indah dan kolektibel. Tampilan buku puisi terbitan GPU juga bagus, meski sering softcover. Coba lihat Jantung Lebah Ratu (Nirwan Dewanto). Dari segi cover, pewarnaan, tipografi, lay out, ilustrasi, indah banget. Tampilan buku puisi Joko Pinurbo terbitan GPU juga bagus.

Ketiga penerbit besar ini selektif. Aku dengar, Bentang hanya menerbitkan satu-dua buku puisi setahun. Ini gila. Gramedia juga jarang, seolah penerbit ini merilis buku puisi hanya demi keragaman dan kelengkapan katalog, syaratnya pun tampak harus dari penyair mapan.

Di Jakarta ada penerbit yang cukup fokus menerbitkan buku puisi, namanya Buku Pop, dari penerbit Wedatama Widya Sastra. Tapi tampilannya cenderung sekadarnya. Penerbit Banan juga pernah menerbitkan beberapa buku puisi. Tampilannya cukup bagus, terutama dari segi cover. Di Bandung, kita harus menyebut Ultimus yang konsisten menerbitkan buku puisi hingga sekarang.

Soal percetakan
Karena pasarnya kerap terbatas dan penjualannya biasa, sebagian penerbit menganggap buku puisi cuma untuk formalitas. Atau baru mau menerbitkan atas biaya produksi dari penyair. Cara ini tidak direkomendasikan, kecuali kamu mau mengorbankan uang untuk itu. Karena kerap tipis, bisa dibilang biaya penerbitan buku puisi biasanya lebih murah dibanding novel. Bila memilih mode ini, kita perlu membicarakan percetakan.

Percetakan adalah soal harga dan permintaan. Kalau ada biaya, semua bisa dipenuhi. Semua bergantung pada jumlah halaman, ukuran, jenis kertas isi dan cover, kualitas cetakan, dan detail-detail lain yang bisa diurai satu-satu. Makin bagus kualitas cetakan, biasanya akan makin mahal, dengan hasil maksimal dan makin memuaskan penulis dan penerbit. Makin murah, biasanya makin turun kualitas cetaknya, termasuk hingga ke soal tinta. Jadi wajar kalau tintanya blobor, tembus, kelihatan kotor, dan seterusnya.

Sebagai pemanis maupun nilai tambah, buku puisi memuat biasa ilustrasi, baik berupa vignette, sketsa, gambar pensil, juga foto. Penataannya bisa satu puisi satu foto, atau tiap beberapa halaman. Tentu ini bisa memberi kesan lain. 'Puisinya menggetarkan, lay outnya enak, ilustrasinya juga keren-keren.' Ilustrasi yang bagus butuh mutu percetakan berkualitas. Tapi lebih penting lagi: terbitkan buku dengan unik dan tonjolkan kelebihannya. Kalau perlu, pertahankan idealitas bahwa buku itu akan dicetak sesuai cita-cita penyair. Jangan dikurangi kualitasnya. Mungkin harganya jadi lebih mahal, tapi akan tetap berharga dalam waktu lama, dengan begitu peluang dijual tetap terus ada.

Endorsement
Ada dua pendapat soal endorsement atas buku yang baru terbit. Sebagian orang rada anti dengan endorsement. Mereka anggap itu cuma pujian basa-basi, apalagi bila pemberinya dianggap irelevan. Kita perlu hati-hati soal ini. Aku sendiri moderat soal endorsement. Kalau irelevan, lupakan saja. Tapi kalau dinilai tepat, bagus. Untuk endorsement, carilah tokoh yang dinilai kompeten menanggapi soal puisi.


Baik, sekarang, apa puisimu siap diterbitkan? Memang banyak pihak bilang buku puisi jarang ada yang sangat laris. Tapi percayalah buku puisi bukan proyek rugi. Kalau merugikan, manusia sudah lama menghapus puisi sebagai salah satu pencapaian budi tertinggi. Tetap saja ada penerbit yang mau merilis buku puisi, apa pun mode produksinya. Puisi adalah bagian dari pencapaian budaya dan industri kita. Karena itu sampai kapanpun ia akan ada.[]

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

Friday, October 24, 2008



Betapa sulit saya memahami puisi Nirwan Dewanto
Oleh: Anwar Holid


Jantung Lebah Ratu (Himpunan Puisi)
Penulis: Nirwan Dewanto
Penerbit: GPU, 2008
Tebal: 94 hal.
ISBN: 978-979-22-3666-8



Seorang kawan menghadiahi Jantung Lebah Ratu, buku puisi karya Nirwan Dewanto (ND). Tentu saya senang. Dulu, persis saat buku itu terbit kira-kira pada bulan Mei, saya sangat antusias kapan kira-kira bisa baca, bahkan kalau bisa memilikinya. Rumah Buku, perpustakaan favorit saya, sebenarnya segera mengoleksi himpunan puisi tersebut, tapi entah kenapa saya tak sempat juga meminjamnya. Ternyata buku itu sedang dipinjam anggota lain ketika saya ingin membacanya. Seorang teman sealma mater ND yang saya tahu langsung beli buku itu saya tanya, seperti apa sih puisi-puisi dia? Dia menjawab samar, "Yah, begitulah. Khas Nirwan, agak-agak susah dipahami dan berbau filsafat." Sementara waktu kawan yang menghadiahi buku itu saya tanya kenapa memberikan buku itu, dia menjawab tanpa pretensi, "Hm... susah ya. Mungkin puisinya bukan selera saya. Kurang nikmat bacanya."

Nirwan Dewanto merupakan penulis dengan reputasi terkemuka di Indonesia. Dia menulis esai budaya dengan beragam subjek, termasuk kritik buku, menjadi salah satu eksponen posmodern paling awal di Indonesia, ikut mendirikan jurnal Kalam (yang merayakan posmodern secara besar-besaran), bergabung dengan Teater Utan Kayu (TUK), dan sudah menulis puisi sejak lama. Boleh dibantah, peristiwa yang membuat namanya melambung ialah ketika dia jadi salah satu pembicara kunci di Kongres Kebudayaan 1991; dia membawakan makalah berjudul Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991. Esai ini pula yang jadi andalan pada buku pertamanya, Senjakala Kebudayaan (Bentang, 1996)---sebuah buku yang kini sudah turun dari rak toko umum dan hanya bisa ditemui kembali di perpustakaan seperti Rumah Buku.

Namun harus disebut pula reputasi dia kadang-kadang membuat orang lain jengkel atau penasaran. Sebagai kritikus sastra, pilihannya kadang-kadang digugat, yang paling terkenal boleh jadi "Siapa Takut, Nirwan Dewanto?" oleh Richard Oh dan "Yth Tuan Nirwan" oleh Damhuri Muhammad---isinya kira-kira debat seputar kritik dan standardisasi penilaian karya sastra. Saya sendiri menganggap reputasi ND di Indonesia mirip dengan Michiko Kakutani di AS---kritikus buku The New York Times. Michiko dijuluki "kritikus yang paling ditakuti sedunia." Keberanian Michiko memuji atau mengecam buku membuat posisinya sering ekstrem. Sebagian penulis jengkel sekali pada Kakutani. Saya juga tahu satu-dua penyair jengkel sekali pada ND dan bahkan ada yang menggunakannya sebagai bahan olok-olok dalam puisi ciptaan mereka.

Saya lebih bisa mencerap beberapa esai ND daripada puisinya. Meski begitu, saya selalu kelelahan bila baca tulisan dia di Kalam, misalnya, meski kecenderungan itu hilang bila saya baca kolom atau resensinya. Saya merasa standar dia terhadap sastra atau buku tinggi sekali, dan itu mungkin membuat posisinya jadi terasa adi luhung. Lagi pula, tampaknya, puisinya pun lebih jarang dipublikasi media massa daripada esainya; dan bila kebetulan bertemu puisinya, saya lebih banyak bingung daripada bisa asyik menikmatinya. Bagi saya, dalam selintas baca, puisinya sulit dipahami dan kurang nikmat dibaca. Ini lain sekali bila saya bertemu dengan puisi Joko Pinurbo, misalnya. Kadang-kadang, sebagian puisi Joko Pinurbo mengambang dan sulit dipahami karena makna dan kosakatanya ambigu; tapi saya masih bisa merasakan samar-samar nuansa keindahan di sana. Dalam puisi ND yang sukar, saya bahkan langsung merasa gagal meraba sebenarnya apa yang dia ungkapkan.

Di dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993), Saini K.M. sudah memuji bakat dan kemampuan Nirwan Dewanto. Waktu kuliah di ITB, Nirwan Dewanto merupakan salah satu penyair muda yang puisinya mendapat perhatian Saini K.M. di Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat. Kata Saini: "Nirwan Dewanto, dalam bentuk kesamar-samaran, memperlihatkan kemungkinan yang dapat diharapkan di masa depan. Dia tidak saja peka terhadap kehidupan batinnya, melainkan juga terhadap dunia (lahiriah) di luar dirinya. Sajaknya menyajikan renungan yang cenderung falsafi." Puisi Nirwan Dewanto yang dimaksud Saini berjudul Agustus.

-*-

Jadi, kegirangan saya menerima buku puisi yang didesain dengan elok dan mencolok ini segera berubah jadi semacam bencana dan kejengkelan karena setelah membolak-balik ke sana-kemari, saya tak jua menemukan puisi yang enak atau bisa dipahami. Saya nyaris putus asa dan merutuk, karena tak kunjung ngerti, maksud dia menulis puisi itu apa? Hampir tak ada nikmat-nikmatnya. Jauh lebih nikmat bila saya baca puisi amatir kawan-kawan lama. Memang satu-dua puisinya ada yang cukup saya pahami atau cukup bisa saya rasakan keindahannya; tapi secara keseluruhan, bukunya merupakan himpunan puisi yang sukar.

Begitu baca puisi pembuka, Perenang Buta, saya seperti ditubruk oleh moncong pesawat terbang. Blas, buta sama sekali apa maksudnya. Betapa sulit saya mengira-ngira dia mau menulis tentang subjek apa. Seolah-olah ada batu karang yang begitu besar dan saya harus bisa mengangkatnya agar mampu beranjak dari sana dan segala sesuatu mengalir. Saya memaksakan lanjut ke puisi kedua, sama saja nasibnya. Rasanya ada yang mampat, "nggak bunyi." Seterusnya, sampai akhirnya saya kacau, mencari dari halaman sana-sini, berusaha menemukan puisi yang kira-kira bisa pahami atau nikmati.

Betapa susah menemukan frasa pada puisi-puisi yang bisa dengan mudah saya pahami sebagai sesama pengguna bahasa Indonesia. ND jauh lebih semangat menggunakan kokakata yang terasa asing, jarang digunakan dalam ungkapan sehari-hari, misalnya campuhan, zuhrah, bubu---bahkan tak terdaftar dalam Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko. Tiga frasa yang membagi himpunan puisi ini pun asing sekali, yaitu Biru Kidal, Kuning Silam, dan Merah Suam; bahkan makna tersirat ketiganya pun sulit sekali diraba apa maksudnya.

ND tampak sengaja cenderung memilih cara ungkap yang sulit dipahami dan berbelit-belit, misal:
Ia seperti hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya.

Atau:
Lihat, betapa durinya melimpah ke luar mimpi, seperti hujan pagi.

Dengan cara seperti itu, mau bicara apa ND dengan puisi-puisinya?




ND menempuh cara yang sama sekali tidak populer dalam menulis puisi. Dia sengaja menggunakan bahasa adi luhung dan menyembunyikan makna serapat mungkin, malah seolah-olah ingin menaruh setinggi mungkin dari jangkauan penafsiran para pembaca. Ada kesan dia ingin menyimpan puisi-puisi itu sebagai rahasia yang sulit dipecahkan maknanya baik oleh para pembaca awam maupun kritikus ahli. Dia sengaja menyulitkan pembaca. Hasan Aspahani, seorang penyair produktif, berusaha memahami puisi-puisi ND dalam rangkaian esai cukup panjang: Tiga Belas Cara Saya Membaca Sajak Nirwan. Hasilnya, dia bahkan berhenti pada cara kesepuluh. Paragraf terakhir di esai kesepuluhnya, Hasan menulis: "Bagi pembaca yang suka kerumitan mungkin mengasyikkanlah menebak-nebak apa maunya sajak itu. Bagi saya, tidak. Ini sajak melelahkan. Dan saya kesal karena perburuan saya sepertinya sia-sia. Tapi, bukankah Nirwan sudah mewanti-wanti agar pembaca jangan berburu lambang dalam sajaknya?"

Via email, Saut Situmorang, penyair asal Yogyakarta yang baru-baru ini menerbitkan buku puisi Otobiografi, mengomentari buku Nirwan begini: "Dia memilih mana yang kira-kira akan membuat pembacanya tahu kalau dia baru saja habis baca sajak-sajak orang lain."

Karena saya langsung kesulitan membaca buku puisi itu, seorang teman yang sama-sama pernah jadi ketua Grup Apresiasi Sastra (GAS) ITB seperti ND, menanggapi: "Komentar kamu mirip orang yang ngomel pada lukisan Picasso tentang wanita cantik. Kotak-kotak nggak karuan kok dibilang wanita cantik?! Enakan melihat karya Basuki Abdullah... begitu ya. Saya rasa Nirwan mencoba menggunakan metafora baru, dengan latar belakang bacaannya tentang negeri Amerika Latin, sejarah bangsa-bangsa, dan seterusnya. Mungkin terasa asing buat imajinasi kita. Tapi ya nikmati saja kalau ada metaforanya yang enak atau kata-kata yang unik."

Ajakan yang persuasif sebenarnya. Dalam sajak, kita berharap mendapat inti makna yang lebih sensitif dibandingkan membaca prosa atau berita. Boleh jadi karena ada proses internalisasi di sana. Para penyair memiliki ruang yang lebih sempit untuk menaruh kata-katanya demi membangun makna. Dibandingkan esais sekalipun, pilihannya kurang leluasa. Dia harus lebih hati-hati memutuskan kata yang dipilih. Tapi bila hasilnya menyulitkan sebagian pembaca, apa yang sebaiknya dilakukan?

Mari kita mulai dari orang yang mula-mula mengomentari buku puisi Nirwan. Melanie Budianta, seorang ilmuwan sastra, berpendapat bahwa puisi Nirwan merupakan sehamparan momen estetika. Menurut Melanie, buku Nirwan ini berusaha memperluas potensi kata, sensasi imajinasi dan nuansa makna.

Berbeda dengan penyair yang kerap mengejar imajinasi batin, menerangkan idealisme, atau membangun suasana, Nirwan banyak bicara tentang binatang, tetumbuhan, juga benda-benda mati. Pilihan subjek ini tampak ajaib sekaligus menantang. Di dunia binatang, dia bicara tentang kunang-kunang, ubur-ubur, cumi-cumi, harimau, semut, ular, lembu, kucing persia, anjing, burung hantu, keledai; di dunia tetumbuhan dia menulis tentang apel, semangka, putri malu, nenas, makanan, kopi, mawah, garam; tentang benda mati dia bicara tentang peniti, kain, kancing, akuarium, gerabah, patung, bubu, biola, selendang, bayonet, lonceng. Subjek itu sangat aneh bila dibandingkan penyair yang gemar bicara cinta atau romantisme. Tapi bukan pula Nirwan anti membicarakan perasaannya, sebab dia menyisakan ruang untuk menulis tentang puisinya (Semu) juga tentang musim gugur dalam dua belas rangkaian haiku yang imajinatif (Dua Belas Kilas Musim Gugur.)

Pemikir Islam Ulul Abshar-Abdalla, menyatakan bahwa Nirwan berusaha membiarkan benda-benda dan peristiwa mengalir lewat dirinya, menjadi sebentang sajak yang mirip cangkang telur putih dan kabur. Dengan begitu, boleh jadi sajak Nirwan sebenarnya rapuh karena sudah berusaha menetaskan kata sebagai makna.

Baik setelah membaca urut dan membolak-balik, dari ke 46 puisi itu saya hanya menemukan tiga sajak yang terasa paling mudah untuk dimasuki, yaitu Kain Sigli, ode tentang keindahan kain dari sebuah daerah di Aceh; Kopi, ode tentang kenikmatan minum kopi; dan Dua Belas Kilas Musim Gugur, ode ala haiku tentang musim gugur. Sisanya saya merasakan persis yang dikhawatirkan Enin Surpiyanto terhadap puisi bebas, yakni saya menghadapi kabut kata dan kalimat yang sulit saya cerna untuk sekadar beroleh kenikmatan kata dan bahasa.

-*-

Setelah berbagi kesulitan membaca puisi Nirwan Dewanto, saya menaruh buku itu di antara himpitan buku lain dalam rak, entah kapan lagi saya akan membukanya. Jelas saya gentar, lantas teringat komentar Farid Gaban tentang tulisan-tulisan sulit karya sejumlah cendekiawan Indonesia. Kata dia: Tulisan itu mengandung ide yang bagus dan jarang dibicarakan, namun ide yang bagus itu ditulis dengan bahasa yang sulit dipahami orang awam. Buku Nirwan Dewanto boleh jadi salah satu buku paling sulit yang pernah saya baca. Tapi untunglah, seorang kawan mengirim pesan, "Tax, apa boleh pinjam buku Nirwan?" Wah... tak sabar saya ingin mengirim buku itu kepadanya.[]

ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com

Situs terkait:
http://www.gramedia.com