Showing posts with label hartono ye. Show all posts
Showing posts with label hartono ye. Show all posts

Friday, October 17, 2008



Menunggu
Oleh: "Hartono Ye"



Bintang-bintang yang baru muncul di langit tampak berjarak. Beberapa lagi seakan hendak menyusul; berbaur bersama bintang lain membentuk suatu koloni. Tapi aku tidak tahu kapan persisnya bintang-bintang itu akan bersatu dan membentuk kelompok sinar yang cantik. Sama seperti halnya aku tidak tahu kapan kau akan muncul lagi di hadapanku. Mestinya jangan kupaksakan mengunjungimu. Tiba-tiba muncul niat begitu saja. Seharusnya kupikirkan matang-matang. Kau memang tidak menentang. Tapi ketika kutelepon, suaramu sarat kekhawatiran dan terdengar gelisah. Mungkin kau ingin menolak kedatanganku. Tapi kau khawatir mengatakannya. Dan karena ketidakpastian darimu, sekarang aku duduk menunggu seperti orang dungu.

Kau dan aku berbagi hal-hal yang sulit dijelaskan. Banyak hal yang tidak kita bicarakan, dan karena itu banyak hal yang secara kebetulan membuat kita saling tidak nyaman. Membingungkan juga, hal-hal yang jarang kita bicarakan juga membuat kita saling terikat. Sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. Kau hanya perlu menatap mataku, dan aku cukup menangkap senyum di bibirmu. Sangat cepat. Seperti kilat. Dan kadang sulit dijelaskan apakah yang kurasakan sama seperti yang engkau rasakan.

Pada saat-saat tertentu aku suka menatap matamu. Tetapi di saat lain aku gagal menatap matamu. Terkadang, sorot matamu menyejukkanku, terkadang menelanjangiku. Sering juga adalah kombinasi kedua-duanya. Kupikir, aku benar-benar tidak memahamimu.

Gelagatmu, yang terkadang terlihat ragu saat bertatapan denganku, yang kau ekspresikan dengan melirik ke arah lain, sering kau tunjukkan ketika aku mulai serius. Kau seperti malu-malu. Binar matamu bersinar-sinar dan bergerak cepat dan gelisah antara mataku, wajah, mungkin hidung atau bibir. Kau takut membalas tatapan mataku. Dan di lain waktu, ketika kau berbicara dan menatapku dengan tulus, karena suatu perasaan cita yang sulit kau ungkapkan, aku juga berubah menjadi pemalu. Kau sering memainkan rambut bila sedang berbicara padaku. Dan senyummu, agak samar-samar dan dikulum. Ketika kau tertawa, sederet gigimu muncul dan itu membuatku sulit menahan senyum. Kau sungguh manis entah ketika kau tersenyum maupun tertawa. Sepertinya, kau suka menatap beberapa meter ke depan namun tidak benar-benar memperhatikan gerakan dan kejadiannya, lalu kau akan menyapu pandangan horizontal tepat ke arahku. Sangat cepat, lurus, tegas dan membuatku sigap mambalas matamu. Kukira itu adalah instingku. Respons terhadap makna tersurat yang pada detik itu sungguh memikat, mengikat dan di kepalaku hanya memikirkan dirimu.

Memang, saat terindah ialah ketika mata kita kontak. Saat itulah aku merasakan pesan, kesan, semacam gairah yang sulit dijelaskan. Semua terasa begitu tulus, membius dan melenakan. Tentu saja, itu juga saat yang paling menggelisahkan. Kita telah cukup lama sering kenal. Membuatmu tersenyum dan tertawa, sudah kulakukan. Membuatmu marah dan kecewa, sesungguhnya tidak pernah ingin kulakukan.

Entah karena abai, ternyata banyak hal yang jadi mengganggu. Awalnya hanya sepele. Dan begitu lalai diperhatikan, hal kecil itu telah tumbuh menjadi duri yang menyakitkan, rasanya membuatku ingin menjerit.

Aku benar-benar sulit mengungkapkannya. Karena aku sendiri seorang peragu. Apa yang kupikirkan dan mungkin kuharapkan berbeda dengan simpang siur di pasar malam. Aku menjadi seorang penggerutu, sesekali malah menyalahkan diri sendiri. Entahlah, apa aku akan baik-baik saja jika tak mengenalmu. Tetapi aku sulit sebahagia ketika bersamamu jika orang yang bersamaku bukan kau. Dan setelah berkali-kali kupikirkan, memang, tidak akan ada orang lain kecuali kau.

Terakhir kali kulihat tatap matamu, sinarnya tak lagi seindah dulu. Ketulusan, kesan, dan pesan yang sering kutangkap meski hanya beberapa detik menyelami matamu, telah digantikan semacam tembok es yang kukuh, upaya untuk merentang jarak. Kau perlihatkan keangkuhan dan ketidakpedulian, meskipun kenyataannya, kau sesekali masih melirikku.

Entahlah tatapan dan senyum manismu masih akan kau perlihatkan padaku, atau pada seseorang yang lebih bisa mengerti dirimu. Kau telah membuatku maju susah, mundur tak rela. Dan aku setiap saat masih memikirkan saat indah ketika kita bersama; ketika binar di matamu meloncat ke dalam hatiku.

Aku masih duduk beratapkan langit. Menunggu.

Rembulan memancarkan sinar lembut, seperti tersenyum dalam malam yang berkabut. Kau katakan mungkin akan terlambat datang. Aku membiarkannya, juga karena kurasa tidak perlu tahu. Kau menyuruhku pulang saja bila jam telah berdentang sembilan kali, karena itu berarti kau tidak bisa menemuiku tepat waktu. Kataku: aku akan menunggumu. Mungkin akan sampai tengah malam, ujarmu. Aku tetap akan menunggumu.

Jam barusan mengakhiri dentang kesebelas. Malam semakin gelap dan dingin. Dan aku masih menunggumu. Apakah benar-benar sampai tengah malam? Entahlah. Aku hanya ingin menunggumu. Juga ingin tahu, apakah kau akan menemuiku? Aku duduk diam dan memikirkan lagi; kegelisahan menjadi teman yang cepat mengusir kantuk dan membuatmu kehilangan kepercayaan diri.

Lalu jika kau ternyata tidak menemuiku? Ah, aku tidak tahu....[]



Buku Tahunan
Oleh: "Hartono Ye"



Setelah membolak-balik buku tahunan yang kini terlihat lusuh, kuning dengan bintik-bintik hitam yang mungkin sekali kotoran kecoa, kamu bertanya tentang kabar si anu. Kujawab, "Entahlah."

"Apa kamu tahu," tanyamu, "si anu akan menikah bulan depan?"

Aku melayangkan pandangan tiga meter jauhnya. Menembus suatu dimensi abstrak penuh misteri tertumpuk di kepalaku. Mencari-cari, sesuatu untuk pertimbangan perkataanku.

"Baru dengar. Tapi kabar dia akan menikah sudah cukup lama kutahu."
"Kau akan datang?"
"Tidak. Aku ragu dia masih mengingatku. Terus terang, aku sendiri sudah lupa padanya kalau kamu tidak menyebutnya."

Dan bukan hanya dia. Banyak temanku yang kini tidak pernah lagi kudengar kabarnya.

Kamu membalik beberapa halaman lagi dan semburan tawamu menggangguku. Tubuhmu bergetar dengan jari telunjuk mengarahkanku pada sebuah gambar. Dan aku ikut menjadi gila sepertimu. Tertawa sampai terpingkal-pingkal. Lalu setelah tawa mereda, kami saling menggeleng-geleng. Wajah itu, entah berapa kali pun kami melihatnya, hanya akan membangkitkan ingatan yang kurang ajar.

Kami melihat halaman khusus guru-guru. Beberapa kami maki-maki. Meski sudah lima tahun berlalu, tapi kenangan buruk masih membuat kami benci.
"Kudengar dia sudah mati," katamu sambil menatap guru yang dulu paling kami benci.

Aku terdiam. Dulu, ketika aku dihukumnya, aku berharap agar dia cepat mati. Setiap kali melihat wajahnya amarahku meninggi. Ingin memencetnya seperti jerawat merah muda dengan nanah yang membuat tanganku gatal.

Tapi sekarang, mendengarnya betul-betul sudah mati, aku merasa begitu hampa. Tidak ada tiupan terompet kemenangan yang dulu sering kubayangkan. Dan aku mendadak tidak lagi membencinya. Juga guru-guru yang lain. Aku tidak merasa perlu membenci mereka lagi.

"Eh!" ujarmu sambil mengibas-ngibaskan tangan. Menyadarkanku dari lamunan. "Kamu masih ingat dia kan? Coba baca ini."

Kuperhatikan sebuah kalimat: "Untuk dia yang tak pernah mencintaiku. Semoga dia tahu jatuh cinta padanya itu sungguh berat!"

Kuperhatikan wajah itu. Yang tak pernah lagi kuajak bicara begitu aku tahu dia ternyata diam-diam menyukaiku.

Waktu masih SMU, kami orang-orang yang bebas. Suka bercanda dengan siapa saja. Semua kami gauli. Tidak peduli anak-anak, remaja tanggung, seumuran, mbak-mbak hingga tante-tante dan nenek-nenek. Kami cukup menikmati ketika tante-tante---termasuk ibu teman-teman kami tentu saja---memuji kami. Rasanya lebih bangga dibandingkan remaja tanggung atau anak-anak yang memuji. Teman-teman seumuran? Jangan harap mereka terang-terangan memuji. Di depan kami biasanya mereka mengatakan kami kasar, jorok, dan tak punya otak. Tapi di belakang kami, mereka membicarakan kebalikannya.

"Tunggu," aku menunjuk sebuah wajah sendu dan menikmati kegelisahan yang tergambar di wajahmu. "Kamu masih menyukainya?"

Kamu membuka kedua tanganmu seperti tangan Yesus pada perjamuan terakhir.

Hanya sedikit yang tahu. Kamu putus dengannya dengan keadaan masih cinta. Dia, yang plin-plan dengan keputusannya membuatmu tidak tahan. Kamu memutuskannya dan dia berderai air mata. Selama beberapa hari, matanya dilapisi cairan duka.

Kamu menunjukkan padaku teman-teman yang menikah begitu lulus SMU. Beberapa lagi, menikah tahun berikutnya. Aku memberi tahu ada satu teman yang tidak ada di buku tahunan ini. Dia hamil tiga bulan sebelum kita EBTANAS. Dan dia menikah tepat saat kami sedang ujian penentuan kebebasan terkekang selama dua belas tahun tanpa mengundang seorang pun dari kami.

Kamu mengatakannya sampah. Kukatakan padamu kamu jangan mengatakannya sampah. Kalau kamu sudah tua, anaknya akan mengatakanmu tua bangka. Kita kembali tertawa seperti orang gila.

Akhirnya kita bosan melihat-lihat kenangan masa lalu. Tapi aku tiba-tiba penasaran dengan diriku lima tahun lalu. Kucari kelas kami dan aku lebih dulu melihatmu. Kurus dengan muka pucat dan senyum terpaksa. Di bawahnya kamu menulis: "Aku ingin mengubah dunia!"

Aku menatapmu. Kamu seperti tercengang dengan pemikiran lima tahun lalu itu. Semacam cita-cita luar biasamu. Kulanjutkan mencari bagianku. Ketemu. Bocah hitam kurus dengan senyum menyebalkan. Dengan yakin aku menulis: "Jadilah dirimu yang terbaik!"

Kamu menutup buku tahunan dan menyandarkan kepala di dinding. Matamu menatap lampu yang berdenyar. Tapi pikiranmu, sebetulnya telah kembali ke masa lalu. Setelah melihat sesuatu yang sangat lama, akan menimbulkan suatu keinginan untuk membongkar kenangan masa lalu yang telah terkubur di dalam kepalamu. Semakin kamu mencari, semakin banyak rasa ingin tahu yang tergali. Dan akhirnya kamu akan berputar-putar dalam lingkaran masa lalu.

Sebagian mungkin kenangan manis yang membuat bibirmu tersunging dan sebagian lagi membuat keningmu berkerut. Dan mungkin ada beberapa hal yang kini kamu sesali.

Begitu juga aku.[]