Friday, October 17, 2008




Buku Tahunan
Oleh: "Hartono Ye"



Setelah membolak-balik buku tahunan yang kini terlihat lusuh, kuning dengan bintik-bintik hitam yang mungkin sekali kotoran kecoa, kamu bertanya tentang kabar si anu. Kujawab, "Entahlah."

"Apa kamu tahu," tanyamu, "si anu akan menikah bulan depan?"

Aku melayangkan pandangan tiga meter jauhnya. Menembus suatu dimensi abstrak penuh misteri tertumpuk di kepalaku. Mencari-cari, sesuatu untuk pertimbangan perkataanku.

"Baru dengar. Tapi kabar dia akan menikah sudah cukup lama kutahu."
"Kau akan datang?"
"Tidak. Aku ragu dia masih mengingatku. Terus terang, aku sendiri sudah lupa padanya kalau kamu tidak menyebutnya."

Dan bukan hanya dia. Banyak temanku yang kini tidak pernah lagi kudengar kabarnya.

Kamu membalik beberapa halaman lagi dan semburan tawamu menggangguku. Tubuhmu bergetar dengan jari telunjuk mengarahkanku pada sebuah gambar. Dan aku ikut menjadi gila sepertimu. Tertawa sampai terpingkal-pingkal. Lalu setelah tawa mereda, kami saling menggeleng-geleng. Wajah itu, entah berapa kali pun kami melihatnya, hanya akan membangkitkan ingatan yang kurang ajar.

Kami melihat halaman khusus guru-guru. Beberapa kami maki-maki. Meski sudah lima tahun berlalu, tapi kenangan buruk masih membuat kami benci.
"Kudengar dia sudah mati," katamu sambil menatap guru yang dulu paling kami benci.

Aku terdiam. Dulu, ketika aku dihukumnya, aku berharap agar dia cepat mati. Setiap kali melihat wajahnya amarahku meninggi. Ingin memencetnya seperti jerawat merah muda dengan nanah yang membuat tanganku gatal.

Tapi sekarang, mendengarnya betul-betul sudah mati, aku merasa begitu hampa. Tidak ada tiupan terompet kemenangan yang dulu sering kubayangkan. Dan aku mendadak tidak lagi membencinya. Juga guru-guru yang lain. Aku tidak merasa perlu membenci mereka lagi.

"Eh!" ujarmu sambil mengibas-ngibaskan tangan. Menyadarkanku dari lamunan. "Kamu masih ingat dia kan? Coba baca ini."

Kuperhatikan sebuah kalimat: "Untuk dia yang tak pernah mencintaiku. Semoga dia tahu jatuh cinta padanya itu sungguh berat!"

Kuperhatikan wajah itu. Yang tak pernah lagi kuajak bicara begitu aku tahu dia ternyata diam-diam menyukaiku.

Waktu masih SMU, kami orang-orang yang bebas. Suka bercanda dengan siapa saja. Semua kami gauli. Tidak peduli anak-anak, remaja tanggung, seumuran, mbak-mbak hingga tante-tante dan nenek-nenek. Kami cukup menikmati ketika tante-tante---termasuk ibu teman-teman kami tentu saja---memuji kami. Rasanya lebih bangga dibandingkan remaja tanggung atau anak-anak yang memuji. Teman-teman seumuran? Jangan harap mereka terang-terangan memuji. Di depan kami biasanya mereka mengatakan kami kasar, jorok, dan tak punya otak. Tapi di belakang kami, mereka membicarakan kebalikannya.

"Tunggu," aku menunjuk sebuah wajah sendu dan menikmati kegelisahan yang tergambar di wajahmu. "Kamu masih menyukainya?"

Kamu membuka kedua tanganmu seperti tangan Yesus pada perjamuan terakhir.

Hanya sedikit yang tahu. Kamu putus dengannya dengan keadaan masih cinta. Dia, yang plin-plan dengan keputusannya membuatmu tidak tahan. Kamu memutuskannya dan dia berderai air mata. Selama beberapa hari, matanya dilapisi cairan duka.

Kamu menunjukkan padaku teman-teman yang menikah begitu lulus SMU. Beberapa lagi, menikah tahun berikutnya. Aku memberi tahu ada satu teman yang tidak ada di buku tahunan ini. Dia hamil tiga bulan sebelum kita EBTANAS. Dan dia menikah tepat saat kami sedang ujian penentuan kebebasan terkekang selama dua belas tahun tanpa mengundang seorang pun dari kami.

Kamu mengatakannya sampah. Kukatakan padamu kamu jangan mengatakannya sampah. Kalau kamu sudah tua, anaknya akan mengatakanmu tua bangka. Kita kembali tertawa seperti orang gila.

Akhirnya kita bosan melihat-lihat kenangan masa lalu. Tapi aku tiba-tiba penasaran dengan diriku lima tahun lalu. Kucari kelas kami dan aku lebih dulu melihatmu. Kurus dengan muka pucat dan senyum terpaksa. Di bawahnya kamu menulis: "Aku ingin mengubah dunia!"

Aku menatapmu. Kamu seperti tercengang dengan pemikiran lima tahun lalu itu. Semacam cita-cita luar biasamu. Kulanjutkan mencari bagianku. Ketemu. Bocah hitam kurus dengan senyum menyebalkan. Dengan yakin aku menulis: "Jadilah dirimu yang terbaik!"

Kamu menutup buku tahunan dan menyandarkan kepala di dinding. Matamu menatap lampu yang berdenyar. Tapi pikiranmu, sebetulnya telah kembali ke masa lalu. Setelah melihat sesuatu yang sangat lama, akan menimbulkan suatu keinginan untuk membongkar kenangan masa lalu yang telah terkubur di dalam kepalamu. Semakin kamu mencari, semakin banyak rasa ingin tahu yang tergali. Dan akhirnya kamu akan berputar-putar dalam lingkaran masa lalu.

Sebagian mungkin kenangan manis yang membuat bibirmu tersunging dan sebagian lagi membuat keningmu berkerut. Dan mungkin ada beberapa hal yang kini kamu sesali.

Begitu juga aku.[]

No comments: