Menunggu
Oleh: "Hartono Ye"
Bintang-bintang yang baru muncul di langit tampak berjarak. Beberapa lagi seakan hendak menyusul; berbaur bersama bintang lain membentuk suatu koloni. Tapi aku tidak tahu kapan persisnya bintang-bintang itu akan bersatu dan membentuk kelompok sinar yang cantik. Sama seperti halnya aku tidak tahu kapan kau akan muncul lagi di hadapanku. Mestinya jangan kupaksakan mengunjungimu. Tiba-tiba muncul niat begitu saja. Seharusnya kupikirkan matang-matang. Kau memang tidak menentang. Tapi ketika kutelepon, suaramu sarat kekhawatiran dan terdengar gelisah. Mungkin kau ingin menolak kedatanganku. Tapi kau khawatir mengatakannya. Dan karena ketidakpastian darimu, sekarang aku duduk menunggu seperti orang dungu.
Kau dan aku berbagi hal-hal yang sulit dijelaskan. Banyak hal yang tidak kita bicarakan, dan karena itu banyak hal yang secara kebetulan membuat kita saling tidak nyaman. Membingungkan juga, hal-hal yang jarang kita bicarakan juga membuat kita saling terikat. Sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. Kau hanya perlu menatap mataku, dan aku cukup menangkap senyum di bibirmu. Sangat cepat. Seperti kilat. Dan kadang sulit dijelaskan apakah yang kurasakan sama seperti yang engkau rasakan.
Pada saat-saat tertentu aku suka menatap matamu. Tetapi di saat lain aku gagal menatap matamu. Terkadang, sorot matamu menyejukkanku, terkadang menelanjangiku. Sering juga adalah kombinasi kedua-duanya. Kupikir, aku benar-benar tidak memahamimu.
Gelagatmu, yang terkadang terlihat ragu saat bertatapan denganku, yang kau ekspresikan dengan melirik ke arah lain, sering kau tunjukkan ketika aku mulai serius. Kau seperti malu-malu. Binar matamu bersinar-sinar dan bergerak cepat dan gelisah antara mataku, wajah, mungkin hidung atau bibir. Kau takut membalas tatapan mataku. Dan di lain waktu, ketika kau berbicara dan menatapku dengan tulus, karena suatu perasaan cita yang sulit kau ungkapkan, aku juga berubah menjadi pemalu. Kau sering memainkan rambut bila sedang berbicara padaku. Dan senyummu, agak samar-samar dan dikulum. Ketika kau tertawa, sederet gigimu muncul dan itu membuatku sulit menahan senyum. Kau sungguh manis entah ketika kau tersenyum maupun tertawa. Sepertinya, kau suka menatap beberapa meter ke depan namun tidak benar-benar memperhatikan gerakan dan kejadiannya, lalu kau akan menyapu pandangan horizontal tepat ke arahku. Sangat cepat, lurus, tegas dan membuatku sigap mambalas matamu. Kukira itu adalah instingku. Respons terhadap makna tersurat yang pada detik itu sungguh memikat, mengikat dan di kepalaku hanya memikirkan dirimu.
Memang, saat terindah ialah ketika mata kita kontak. Saat itulah aku merasakan pesan, kesan, semacam gairah yang sulit dijelaskan. Semua terasa begitu tulus, membius dan melenakan. Tentu saja, itu juga saat yang paling menggelisahkan. Kita telah cukup lama sering kenal. Membuatmu tersenyum dan tertawa, sudah kulakukan. Membuatmu marah dan kecewa, sesungguhnya tidak pernah ingin kulakukan.
Entah karena abai, ternyata banyak hal yang jadi mengganggu. Awalnya hanya sepele. Dan begitu lalai diperhatikan, hal kecil itu telah tumbuh menjadi duri yang menyakitkan, rasanya membuatku ingin menjerit.
Aku benar-benar sulit mengungkapkannya. Karena aku sendiri seorang peragu. Apa yang kupikirkan dan mungkin kuharapkan berbeda dengan simpang siur di pasar malam. Aku menjadi seorang penggerutu, sesekali malah menyalahkan diri sendiri. Entahlah, apa aku akan baik-baik saja jika tak mengenalmu. Tetapi aku sulit sebahagia ketika bersamamu jika orang yang bersamaku bukan kau. Dan setelah berkali-kali kupikirkan, memang, tidak akan ada orang lain kecuali kau.
Terakhir kali kulihat tatap matamu, sinarnya tak lagi seindah dulu. Ketulusan, kesan, dan pesan yang sering kutangkap meski hanya beberapa detik menyelami matamu, telah digantikan semacam tembok es yang kukuh, upaya untuk merentang jarak. Kau perlihatkan keangkuhan dan ketidakpedulian, meskipun kenyataannya, kau sesekali masih melirikku.
Entahlah tatapan dan senyum manismu masih akan kau perlihatkan padaku, atau pada seseorang yang lebih bisa mengerti dirimu. Kau telah membuatku maju susah, mundur tak rela. Dan aku setiap saat masih memikirkan saat indah ketika kita bersama; ketika binar di matamu meloncat ke dalam hatiku.
Aku masih duduk beratapkan langit. Menunggu.
Rembulan memancarkan sinar lembut, seperti tersenyum dalam malam yang berkabut. Kau katakan mungkin akan terlambat datang. Aku membiarkannya, juga karena kurasa tidak perlu tahu. Kau menyuruhku pulang saja bila jam telah berdentang sembilan kali, karena itu berarti kau tidak bisa menemuiku tepat waktu. Kataku: aku akan menunggumu. Mungkin akan sampai tengah malam, ujarmu. Aku tetap akan menunggumu.
Jam barusan mengakhiri dentang kesebelas. Malam semakin gelap dan dingin. Dan aku masih menunggumu. Apakah benar-benar sampai tengah malam? Entahlah. Aku hanya ingin menunggumu. Juga ingin tahu, apakah kau akan menemuiku? Aku duduk diam dan memikirkan lagi; kegelisahan menjadi teman yang cepat mengusir kantuk dan membuatmu kehilangan kepercayaan diri.
Lalu jika kau ternyata tidak menemuiku? Ah, aku tidak tahu....[]
No comments:
Post a Comment