Sunday, October 16, 2005

[HALAMAN GANJIL]

Tiga Buku yang Indah
--------------------

>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.

1/
Pada akhir Juli 2005 ini datang lagi buku ke rumah kami. Dua dari GPU, satu lagi dari Jalasutra. Semua terbitan baru. Dan aku belum tahu akan memutuskan baca mana lebih dulu.

Sebenarnya aku sedang berusaha menamatkan buku tentang Said Nursi, karya Ihsan Kasim Salih, yang diterjemahkan Nabilah Lubis. Buku itu sudah cukup lama aku miliki, tapi terus tersendat-sendat menuntaskannya. Barangkali karena buku itu pengemasannya buruk. Padahal aku suka sekali isinya. Aku merasa perlu berjanji untuk bila sudah menamatkannya. Lepas dari bahasa, penyampaian, terjemahan, dan kemasan buruknya, aku suka buku itu---terutama pada sosok Said Nursi, sisanya dengan perjalanan hidup dan pemikirannya. Sebelumnya, buku terakhir yang aku tamatkan adalah Sosok Seorang Pejuang (Chinua Achebe), terbitan lama YOI. Buku ini juga bagus, tapi aku kehilangan semangat menulis usai baca---barangkali karena aku putus-putus membaca hingga tamat. Setidak-tidaknya aku bersyukur telah menamatkannya. Komentarku tentang Sosok Seorang Pejuang: Buku ini ternyata bisa sangat Indonesia kalau mau menarik simbol-simbolnya, apalagi bila musim kampanye dan pemilihan penguasa setempat. Khas Dunia Ketiga.

Di tengah-tengah baca Said Nursi ini tiga buku ini muncul, dan aku tak bisa janji mana yang akan aku baca lebih dulu. Tapi di sisi lain pembacaanku tentang Said Nursi ini juga terganggu. Begitu datang tiga buku ini segera merasuk pada antusiasme bacaku. Setidak-tidaknya ketiga buku ini sudah aku baca bab pertama dan terakhirnya.

2/
Yang pertama ingin aku ceritakan adalah buku A Beautiful Mind (Sylvia Nasar), biografi tentang John Nash, jenius matematika yang pemikirannya berdampak besar dalam teori ekonomi. Banyak di antara kita sudah tahu tentang A Beautiful Mind karena sudah nonton film berjudul sama, dibintangi Russel Crowe. Tapi perhatian: Begitu membuka buku ini, kita akan tahu betapa beda Russel Crowe dengan John Nash. Kita akan tahu betapa pintar Hollywood membuat drama, betapa serius mereka berusaha menghidupkan cerita. Waktu pertama kali sadar wajah Nash seperti apa, aku tertawa sendiri karena tak pernah punya keinginan mengecek seperti apa hidup dan Nash sebenarnya.

Buku ini merupakan bahan dasar film tersebut. Jadi ada banyak bahan yang akhirnya tak diolah dalam film itu. Buku ini adalah khazanah untuk banyak hal yang karena keterbatasannya, tak bisa disajikan dalam film. Bagaimanapun buku ini sudah membuktikan sendiri reputasinya. Ia adalah pemenang Natioal Book Critics Circle Award 1998 (untuk biografi) dan finalis Pulitzer Prize. Dengan seluruh daya jangkaunya, buku ini tentu saja berpotensi lebih berharga dari filmnya. Tepatnya: Karena buku inilah film itu ada; jadi keliru bila kita (calon pembaca) berpikiran akan menempatkan buku ini sebagai pelengkap. Fakta malah sebaliknya. Aku sendiri sudah sempat sedikit sekali menyebut buku ini waktu meresensi buku Ken Steele (Mereka Bilang Aku Gila). Waktu itu aku bilang, kira-kira seperti ini: 'Karena buku Nasar tidak diterbitkan dalam Indonesia---sementara filmnya sudah---bolehlah buku Ken Steele itu mendampingi film tersebut. Sekarang, setelah buku itu terbit Indonesianya, mungkin ada baiknya aku membuktikan sendiri keunggulan yang sebelumnya aku yakinkan. Aku harap janji itu terpenuhi. Sekarang perlahan-lahan aku memulainya.

Seorang temanku---juga editor di penerbit lain---langsung bilang begini waktu buku ini tanpa sengaja aku perlihatkan kepadanya, 'Siapa yang akan baca buku ini ya?' Aku sepakat. Maksud kami: Siapa pangsa pasar/pembaca target buku ini? Ini jadi pertanyaan menarik buatku, tapi mungkin bisa mudah dicari penjelasaannya. Kenapa menarik, karena John Nash, lepas dia menerima Nobel bidang ekonomi, bukanlah ilmuwan yang sosok pribadinya terkenal secara
umum. Dia bukan Feynman, apalagi Einstein---yang relatif sudah begitu dikenal masyarakat umum. Barangkali persamaannya ialah: sama-sama mengurus angka, perhitungan, nomor. Tapi barangkali mengingat keunggulannya, buku ini tetap punya pesona bagi pembaca Indonesia, meski akan mudah dianggap memanfaatkan terkenalnya film A Beautiful Mind dan akting Crowe yang sangat mengesankan. Bagiku sendiri, ini buku-tebal-lain terbitan GPU yang aku baca. Sebelumnya, sektiar Juni lalu, aku tenggelam dalam pesona Angsa-Angsa Liar (Jung Chang). Buku yang sangat bagus, luar biasa---bisa disarankan pada banyak pembaca umum, terutama keluarga, peminat sejarah dan politik, apalagi China. Aku berharap resensiku atas buuk itu bisa dimuat sebuah media, jika dinilai layak.

Di sisi lain tentu timbul pernyataan: 'Apa sih yang tak bisa diterbitkan GPU dengan segala kemampuan dan keunggulannya? Seskeptik apa pun kita dipersilakan mengomentari, sebagai seorang book enthusiast, pembaca yang bersemangat, yang berusaha mendedikasikan hidup dan kemampuan di dunia pustaka, terbitnya buku ini layak disyukuri. Aku ingat kata temanku, 'Kalau demi kebaikan, kita dukung saja. Ambil sisi baiknya.' Aku sepenuhnya sepakat. Aku sudah baca prolog, epilog, dan bab pertama A Beautiful Mind. Semua berlalu dengan mengesankan. Aku terpaku oleh akhiran prolognya: Ini kisah tentang John Forbes Nash, Jr. Ini kisah tentang misteri pikiran manusia. Sebuah kisah dalam tiga babak: genius, ketidakwarasan, kebangkitan.

3/
Buku kedua adalah Aib (J.M. Coetzee), yang diterjemahkan dari Disgrace oleh Indah Lestari. Kebetulan aku yang menyunting terjemahan itu, jadi tentu saja sempat menyelami novel itu cukup dalam, bahkan saking terpikat, selesai menyunting aku tak bisa menunda lagi menulis tentang David Lurie, protagonis novel itu. Sebagai individu, dia diceritakan sangat mengesankan. Aku yakin orang akan mudah tertipu bila bertemu dia, tapi bila sudah berkenalan akan bingung juga menentukan sejenis apakah dia sebenarnya. Gara-gara tulisan tentang David Lurie itu aku kenalan dengan seorang penerjemah dari Malang,
namanya Wawan Eko Yulianto. Sejauh ini perkenalan kami cukup intens. Aku menyarankan agar Jalasutra menghadiahi dia Aib, minimal untuk diresensi. Aku berharap editan itu berhasil; kalaupun tidak, semoga ada kritik yang memberi tahu kesalahan dan kelemahanku. Aku senang bila bisa mengetahui kesalahan, mempelajari, dan berusaha tak mengulanginya.

Reputasi Aib dan Coetzee juga sangat mengagumkan, bahkan sangat sulit dicari tandingannya. Aib (1999) adalah buku yang menyebabkan dia menjadi satu-satunya peraih Booker Prize dua kali. Dia pertama kali meraih Booker Prize pada 1983, untuk novel berjudul Life and Times of Michael K. Pada 2003 Coetzee dianugerahi Nobel Sastra. Di negerinya sendiri, Afrika Selatan, dia tiga kali menerima anugerah sastra paling terkemuka di sana, yaitu Central News Agency (CNA), pada 1978, 1980, 1983. Buku seperti ini terlalu sayang dibiarkan berlalu tanpa mendapat perhatian dari seorang pembaca. Aku sendiri masih terobsesi menulis tentang Coetzee, minimal biografi singkatnya. Sejauh ini aku browsing cukup banyak di Net tentang dia. Aku berharap bisa menulis tentang dia, aku rencanakan untuk Matabaca.

Bagaimana cara menyarankan agar buku ini betul-betul bisa diterima pembaca umum di sini, dengan sesedikit mungkin keberatan? Ini selalu jadi kekhawatiran bagi penerbit kecil yang tak punya anggaran khusus untuk mengiklankan buku agar punya daya tonjol khusus di tengah-tengah ribuan judul yang hadir di rak buku. Tapi barangkali penerbit sudah cukup lega sekadar karena menyaksikan buku itu terbit dan berusaha mampu menguatkan reputasinya? Dari sekian komentar review atas Aib, aku paling suka yang berasal dari The New
Yorker: 'Aib adalah buku yang mudah dan jelas---bahkan dalam banyak hal mampu mengikat pembaca; tapi yang paling menarik buku ini merupakan catatan kesaksian jiwa, ratapan jiwa dari abad yang memalukan.'

Di luar harapan-harapan pribadi atas Aib, aku juga ingin memuji cover yang dibuat oleh Antorio Bergasdito (aka Rio). It's a really fine art cover. Tapi, harus diakui juga, sebagaimana aku sering khawatir terhadap kualitas cetakan cover Jalasutra, hasilnya lebih buram daripada yang tampak di komputer. Bukan WYSIWYG. Baru-baru ini Rio kembali menggarap cover untuk buku kumpulan cerpen Kurniasih, Kembang Kertas, yang sebentar lagi diterbitkan Jalasutra. Cantik; tapi aku tetap khawatir detail-detail rumit dan gradasi desain itu seperti biasa tak terkejar oleh percetakan. Tapi semoga ada perbaikan.

3/
Blink (Malcolm Gladwell) adalah buku ketiga yang ingin aku tulis singkat kali ini. Buku ini desain covernya sederhana, berupa permainan tipografi pada dasar hijau yang unik. Blink ditulis warna perak, ditambah ikon bintang. Blink-blink. Apa yang indra kita dapat dari bunyi seperti itu? Mengerjapkan mata. Apa maksud Gladwell dari situ? Itu dia jelaskan sebagai 'Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir.' Apa bedanya dengan impuls kalau begitu? tanya temanku waktu aku
cerita tentang review buku itu. Atau insting? Aku belum bisa jawab. Tapi pendahuluan dan kesimpulannya menguatkan keyakinan Gladwell itu. Waktu baca sekilas buku ini, aku bingung dengan kategori buku seperti ini. Apa ini sejenis buku ilmu sosial kontemporer seperti The Tao Physics atau The Little Book of Philosophy? Sekali lagi buku ternyata bisa sulit dikategorikan, kalau bukan berusaha meleburkan sejumlah disiplin ilmu.

Saat selesai baca pendahuluan, aku ingat saudara sebayaku yang tinggal di Kuningan, persis di pinggir jalan besar. Jalan itu dilalui bus antarkota. Sejak kecil dia bercita-cita jadi sopir bus. Saking banyaknya bus lewat di depan rumahnya, dia lama-lama tahu nama bus dari kejauhan hanya dari bunyinya saja. Ternyata dugaannya selalu tepat. Hm, itu semacam blink? Atau apa bisa dicontohkan dengan semacam instingku pada musik. Sekali dengar, rasanya aku bisa memutuskan musik seperti apa yang menurutku 'menarik' atau 'bagus.' Padahal aku tidak bisa main musik. Ini rasanya sudah terbukti berkali-kali. Yang terbaru adalah kasus Opeth (album Damnation), A Perfect Circle---yang akhirnya bisa aku dengar utuh berkat kebaikan Iit dan Trie dari Omuniuum---juga Damien Rice. Harus blink sekali lagi. :D

Ada sisi menarik lain dari Malcolm Gladwell. Salon.com memberitakan dia adalah penulis dengan rekor uang panjer terbesar dalam sejarah dunia penerbitan, US$ 1,5 juta, yaitu untuk buku pertamanya, The Tipping Point. Ini kan gila. Penulis yang belum terkenal (meski dia staf New Yorker), bisa mendapat kontrak sebesar itu. Sampai-sampai Salon.com perlu bertanya sangsi: Layakkah mendapat panjer sebesar itu?

ZLINK!

Fakta itu tentu akan membuat para penulis kita tersenyum kecut.

4/
Tiga buku (sebenarnya: lima), terjemahan semua. Mana karya penulis Indonesia sendiri? Di sela-sela pertanyaan itu, naskah Pak Purnama Salura tentang arsitektur Sunda yang aku sunting belum aku serahkan ke Rani buat didesain. Untuk sementara naskah itu siap dilay out. Tapi secara keseluruhan editing belum selesai. Di lain pihak, Rani tampaknya masih di puncak kesibukan membuat film tentang gambang kromong. Aku penuh harap menanti novel Rama Wirawan segera terbit; tinggal menunggu cover dan lay out ulang karena komputer Acia jebol. Dari dulu aku ingin beli Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman El Shirazy) tapi belum juga punya duit yang bisa dialokasikan; dulu aku sempat tanya tentang 5 cm (Donny Dhirgantoro), tapi tampaknya begitu juga. Tertumpuk oleh kesibukan, bacaan dan tulisan lain.

Tapi kesempatan untuk mensyukuri segala keadaan tetap terbuka dan tersedia.[]2:17 AM 7/30/05 Kali ini berterima kasih khusus kepada AYH, GPU, Jalasutra

No comments: