Thursday, October 27, 2005

"Aib" JM Coetzee
------------------

>> Katrin Bandel, Peneliti Sastra Indonesia, Tinggal di Yogyakarta

Aib
Judul asli: Disgrace
Penulis: J. M. Coetzee
Penerjemah: Indah Lestari
Penerbit: Jalasutra, 2005
Tebal: 317 hlm; format: 15 cm x 21 cm
ISBN: 979-3684-33-X
Harga: Rp.35.000,-


David Lurie, tokoh utama novel Aib karya JM Coetzee (1999), adalah seorang antihero. Sebagai dosen senior dengan keahlian sastra Inggris zaman Romantik, dia seperti sudah hampir dengan sendirinya melambangkan segala sesuatu yang 'ketinggalan zaman' di Afrika Selatan pasca-apartheid. Sebagai orang kulit putih, dia menjadi bagian dari bekas penguasa/penjajah yang dapat dianggap mesti 'tahu diri' dalam sebuah negeri dengan mayoritas penduduk kulit hitam yang baru membebaskan diri dari sistem rasis.

Sebagai laki-laki, apalagi laki-laki tua hidung belang yang meniduri mahasiswinya, dia merupakan prototipe laki-laki yang dicurigai para feminis. Keahliannya pun menjadi ciri khas 'sistem lama', yaitu mempelajari dan mengajarkan karya para 'master' sastra Eropa (kebanyakan Inggris) yang semuanya laki-laki kulit putih.

Dalam studi pascakolonial, pendidikan kolonial, antara lain pendidikan sastra, sering disebut sebagai salah satu cara pengukuhan kekuasaan. Karya-karya pengarang Eropa diajarkan sebagai kanon yang 'universal', sedangkan sastra dan budaya lokal tidak diacuhkan sehingga anak didik mendapat kesan hanya Eropa yang berbudaya dan 'beradab'.

David Lurie dalam novel Aib mewakili kanon lama tersebut, tetapi kanon itu kini sudah kehilangan pamor dan kekuasaannya. Di Cape Technical University, tempat dia mengajar, Fakultas Sastra dan Bahasa telah ditutup dan kini dia terpaksa mengajar Ilmu Komunikasi. Hanya satu mata kuliah sastra yang masih bisa diajarkannya setiap semester. Akan tetapi, mahasiswanya tampaknya hanya mengikuti kuliah sebagai kewajiban saja. Sebagian teman kerjanya pun menganggap dia sebagai 'peninggalan masa lalu' yang sebaiknya disingkirkan.

Lurie bukan hanya mengajar dan berkarya ilmiah tentang 'kanon lama' tersebut, karya dan kisah hidup para sastrawan itu---terutama Lord Byron (1788-1824), penyair Inggris yang sedang menjadi fokus studinya---selalu menjadi rujukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Tidak pernah dia menyebut sastrawan Afrika Selatan atau negara Afrika lainnya, yang kulit putih atau kulit hitam. Juga tidak ada sastrawan perempuan yang mendapat perhatiannya. Kesempitan wawasan ini membuat Lurie terasing di negeri dan lingkungannya.

Keterasingan Lurie makin mendalam setelah dia dipecat sebagai dosen, lalu tinggal di pedalaman bersama anaknya yang menjadi petani. Pada suatu saat dia duduk di halaman belakang rumah seorang kawan sambil menyanyikan syair opera tentang Byron yang sedang dikarangnya. Ketika dia memergoki beberapa anak kecil sedang mengintipnya, dia menyadari betapa bagi mereka dirinya tentu tampak seperti orang gila. Bagaimana mungkin sebuah opera dalam bahasa Italia tentang seorang pengarang Inggris yang sudah lama mati dapat memiliki makna bagi penduduk kampung di pedalaman Afrika!

Ada dua peristiwa utama yang dialami David Lurie yang membawa perubahan besar dalam hidupnya. Keduanya adalah kasus pelecehan seksual: yang pertama melibatkan dirinya sebagai pelaku, yang kedua terjadi pada Lucy, anak perempuannya.

Kasus pertama adalah affair Lurie dengan seorang mahasiswinya, Melanie Isaacs, yang berakhir dengan sangat memalukan bagi Lurie: Melanie mengadukan hal itu sebagai pelecehan seksual (sexual harassment), dan Lurie dipecat oleh universitasnya.

Kasus ini jauh dari sederhana. Meskipun pada saat meniduri Melanie pertama kali, Lurie menyadari bahwa persetubuhan itu tak diinginkan Melanie, toh tidak terjadi pemaksaan. Melanie tidak menolak, dia memilih bersikap pasif dan membiarkan Lurie menggaulinya.

Beberapa waktu kemudian, Melanie bahkan muncul di rumah Lurie dan minta diizinkan tinggal di sana untuk beberapa waktu. Setelah terjadi hubungan seks beberapa kali, Melanie kemudian menghilang kembali. Lalu, pacarnya melibatkan diri, juga keluarganya. Akhirnya Lurie tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya sedang dituntut karena melakukan pelecehan seksual.

Setelah dipecat, Lurie 'melarikan diri' ke tempat anaknya yang memiliki sebidang tanah di pedalaman Eastern Cape. Lucy hidup sebagai petani, menanam bunga dan kentang yang dijualnya di pasar, dan di samping itu membuka tempat penitipan anjing. Kasus kedua terjadi di situ, pada Lucy. Suatu hari mereka didatangi tiga laki-laki kulit hitam yang tidak mereka kenal, dirampok, dan Lucy diperkosa. Lurie tidak dapat membantu anaknya sebab dia dilukai dan dikunci di kamar mandi.

Kasus ini pun jauh dari sederhana. Pemerkosaan yang terjadi pada Lucy bisa dipahami sebagai semacam aksi balas dendam orang kulit hitam terhadap orang kulit putih. Di samping itu, ternyata Petrus, laki-laki kulit hitam yang bekerja untuk Lucy dan telah membeli separuh tanah darinya, terlibat dalam kasus tersebut.

Bentuk keterlibatan itu tak dapat sepenuhnya dipahami Lurie dan Lucy, tetapi tampaknya bukan secara kebetulan saja Petrus sedang tidak di tempat saat perampokan dan pemerkosaan itu terjadi. Juga, ternyata salah satu dari ketiga penjahat itu, seorang pemuda yang tampaknya terganggu kesehatan mentalnya, merupakan kerabat Petrus yang bahkan kemudian ikut tinggal bersama Petrus dan keluarganya.

Tampaknya hubungan antara Petrus dan Lucy menjadi kunci peristiwa itu. Petrus awalnya bekerja pada Lucy sehingga relasi kekuasaan tidak jauh bergeser daripada yang lazim di zaman apartheid: Si kulit hitam menjadi tenaga kasar yang bergantung pada majikannya yang kulit putih. Tetapi kemudian Petrus membeli sebagian tanah Lucy.

Setelah mendapat dana bantuan dari pemerintah, dia pun mampu membangun rumah. Petrus kini lebih pantas disebut tetangga meskipun dia masih bekerja pada Lucy. Relasi kekuasaan berubah, status Petrus tidak lagi lebih rendah daripada Lucy. Namun, Petrus belum puas dengan keadaan itu. Dia menginginkan tanah yang lebih luas lagi. Kehadiran Lucy terasa mengganggu.

Tampaknya peristiwa perampokan dan pemerkosaan berfungsi sebagai semacam ancaman: Lucy 'disadarkan' bahwa tanpa perlindungan Petrus keamanannya tidak terjamin. Di akhir novel, Lucy pasrah: dia menerima tawaran Petrus untuk menjadi 'istri ketiga' atau 'simpanan'-nya, menyerahkan seluruh tanahnya dan sebagai imbalan menerima perlindungan dari Petrus. Relasi kekuasaan sama sekali berbalik, kini Lucy yang sepenuhnya tergantung pada Petrus.

Dalam kedua kasus ini, David Lurie tidak dapat sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Apa yang dipikirkan dan dirasakan Melanie tetap menjadi rahasia baginya. Karena seluruh novel diceritakan dari perspektif Lurie, bagi pembaca pun kisah Melanie tetap menjadi teka-teki. Mengapa Melanie tidak menolak dengan tegas ketika diajak berhubungan seks oleh Lurie? Mengapa dia tiba-tiba mengadukan peristiwa itu sebagai pelecehan seksual? Benarkah dia merasa dilecehkan atau dia ditekan oleh keluarga dan pacarnya?

Persoalan jarak antargenerasi juga sangat berperan dalam hubungan Lurie dengan anaknya. Cara Lucy menghadapi musibah yang terjadi padanya sama sekali tidak dapat dipahami ayahnya. Lucy memilih tidak melaporkan kasus pemerkosaan itu kepada polisi. Dia juga memilih tidak menggugurkan anak yang dikandungnya akibat pemerkosaan itu. Dia bertahan hidup di rumah dan tanahnya, dan dengan tegas menampik desakan ayahnya untuk meninggalkan tempat itu.

Bagi Lucy, Afrika Selatan pasca-apartheid dengan masyarakatnya yang tidak lagi disegregasi adalah apa yang perlu dihadapinya. Dia berpendapat mungkin pemerkosaan yang dialaminya adalah bayaran yang harus direlakannya sebagai orang kulit putih yang ingin berdiam di tempat itu. Dia sangat trauma dan sadar bahwa dengan menerima tawaran Petrus untuk menjadi 'istri ketiga'-nya dia sangat merendahkan diri, tetapi dia tidak melihat jalan lain yang lebih baik.

Ketika di akhir novel David Lurie menemui keluarga Melanie untuk berusaha sekali lagi memberi penjelasan dan menyampaikan permintaan maaf, ayah Melanie berkomentar: 'How the mighty have fallen'---betapa yang berkuasa telah jatuh. Kata 'mighty' membuat Lurie tercengang. Apa dirinya pantas disebut 'berkuasa'?

Sebetulnya, dalam kedua kasus yang dialami Lurie, relasi kekuasaan telah berbalik dan dia tidak dapat lagi dikatakan berada di pihak yang kuat dan berkuasa. Ketika dituduh melakukan pelecehan seksual, Lurie sadar bahwa dirinya berada di pihak yang lemah.

'Kesadaran jender' di kampusnya telah dengan sangat kuat memengaruhi pandangan dan perasaan orang maupun prosedur kampus dalam menangani kasus semacam itu sehingga Lurie tidak bisa mengharapkan simpati dan pembelaan. Hal yang serupa berlaku dalam peristiwa yang menimpanya bersama Lucy. Dia dan Lucy sebagai orang kulit putih kini berada di pihak yang lemah, tanpa perlindungan orang kulit hitam mereka tak dapat hidup dengan aman.[]

NOTE:Resensi ini awalnya dimuat di rubrik 'Buku', Kompas, Minggu, 23 Oktober 2005.

No comments: