Sunday, October 16, 2005

Nasib Manusia dalam Pusaran Politik

Angsa-Angsa Liar
Judul asli: Wild Swans: Three Daughters of China
Penulis: Jung Chang
Penerjemah: Honggo Wibisana
Penerbit: GPU, 2005
Tebal: 600 hlm; format: 15 cm x 23 cm
ISBN: 979-22-1394-5
Harga: Rp100.000,-


POLITIK, sebagaimana cuaca, adalah salah satu hal yang sulit sekali diramalkan. Orang boleh memperkirakan akan hujan karena melihat awan, tapi cuaca ternyata memiliki 'logika' sendiri, mudah berubah dan terlalu sulit diperkirakan hanya oleh satu faktor. Politik pun begitu: orang boleh menganalisis berdasar banyak faktor dan kecenderungan yang tampak, tapi politisi terlalu pintar untuk dikira-kira dan mereka bisa melakukan perubahan lebih cepat dari yang diduga siapa pun. Tepat sekali yang ditulis E.A. Freeman (1823-1892) dalam Methods of Historical Study: Sejarah adalah politik masa lalu, sementara politik adalah sejarah hari ini. Ini memberi maklumat manusia sebenarnya hanya bisa menulis sesuatu yang pernah terjadi dan sadar betapa tak berdaya mereka di hadapan waktu dan sejarah, apalagi jika disempitkan menjadi 'negara', 'revolusi.' Di hadapan negara, orang mirip debu di udara, terlalu rapuh untuk membuat perubahan dan perbedaan. Pernyataan Socrates seperti 'Aku bukan orang Athena, tapi warga Dunia' tentu merupakan utopia, sebab kematiannya ditentukan oleh dewan kota; begitupun parodi ucapan John F. Kennedy 'Jangan tanya yang engkau berikan pada negara, tapi tanya apa yang negara berikan kepadamu' juga terlalu muluk untuk mampu mengubah wajah kaku politik, sistem, negara, pemerintahan, agar lebih luwes memandang manusia sebagai individu.

Angsa-Angsa Liar yang luar biasa ini rasanya juga tak akan mampu memberi banyak pengaruh pada subjek tulisannya, yaitu sejarah dan politik China. Rekor dan pencapaiannya bisa dihempaskan begitu saja oleh keangkuhan kekuasaan. Jutaan pembacanya boleh tergetar, terpukau, berharap bisa berbuat lebih dari kebanyakan buku, tapi negara terlalu tinggi hati untuk mau mendengarkan pendapat seseorang. Bahkan tanpa alasan jelas bisa secara tidak resmi melarang beredar di negara bersangkutan. Setelah tamat mencerap isi, terpesona penyampaian, memuji dan mengakui kedalaman dan kejujuran penulis, pembaca akan sadar bahwa faktor terpenting perubahan politik adalah kepentingan. Bisakah politik atau negara berubah hanya karena sebuah buku, berdasar catatan seorang warga negara mantan 'korban' perubahan politik? Keinginan itu terlalu muluk, meski tetap layak menanti jadi kenyataan. Jadi andai tak mampu mengubah apa pun kondisi China minimal impak buku ini bisa diukur dengan beberapa hal.

Waktu terbit di Inggris pada 1991, Angsa-Angsa Liar mencatat rekor mencengangkan. Ia merupakan buku nonfiksi paling laris dalam sejarah penerbitan Inggris, waktu itu terjual lebih dari tiga juta kopi, dan lebih dari sepuluh juta di seluruh dunia, menerima dua penghargaan buku bergengsi di Inggris, mendapat pengakuan kritik dari berbagai media massa serta raksasa sastra antara lain Martin Amis, Penelope Fitzgerald, dan Ian McEwan. Dengan reputasi sebagus itu, cukupkah membuatnya memiliki energi untuk mendobrak lebih banyak hal, misalnya mengubah tabiat ideologi? Setidak-tidaknya ada sedikit yang terjadi karena buku ini, misalnya menjadi pembuka tabir terbesar tirai bambu ketertutupan Republik Rakyat China sampai tahun 2000-an ini, boleh diperdebatkan merupakan buku nonakademik paling berpengaruh tentang China sampai kini; merupakan buku tentang China yang paling disarankan sekaligus contoh autobiografi standar, antara lain oleh Bloomsbury Good Reading Guide (2001). Bahkan orang bisa tersenyum oleh komentar begini, 'China? Saya tahu sedikit tentang negeri itu; tapi saya sudah baca Angsa-Angsa Liar.'

Buku tebal ini memang berisi semua hal tentang China, sejak akhir kekaisaran Manchuria (1870) sampai 1978, terbit dua tahun setelah demonstrasi di Lapangan Tiananmen pada 1989. Rentang 108 tahun ini mampu dimanfaatkan secara efektif oleh Jung Chang untuk menceritakan sejarah China modern menemukan format politik negara-bangsa. Fokusnya memang mengisahkan tiga generasi wanita China (nenek, ibu, anak), namun dengan sempurna pula mengisahkan muatannya untuk menceritakan seluruh aspek sosial, budaya, politik dengan kecermatan dan ketabahan tiada tara. Dalam skala kecil buku ini adalah wasiat kisah cinta sebuah keluarga yang hidup di masa pemerintahan komunis; namun dalam skala besar merupakan catatan sejarah China yang gelombang politiknya bergolak hampir tak pernah henti. Hasilnya, nasib ketiga wanita itu dapat dijadikan wakil warga China pada umumnya. Neneknya hidup di masa akhir runtuhnya tradisi lama, meski dia sendiri masih terkena berbagai kewajiban tradisi seperti ikatan kaki agar kelak bila gadis bentuknya mungil dan memikat pria, mengalami perebutan wilayah antarpanglima perang; ibunya tumbuh pada masa komunisme perlahan-lahan menjadi ideologi negara dengan Mao Zedong sebagai pusat kuasa; sementara Chang sendiri hidup ketika komunisme memperlihatkan sisi brutal kekuasaan, yang dampaknya tidak saja dia rasakan sendiri, termasuk menghancurkan keluarga---bagian paling emosional dalam diri seseorang. Chang dengan sangat baik pertama-tama fokus pada sejarah panjang keluarga, untuk kemudian ditautkan secara paralel dengan peristiwa politik dalam sejarah China.

Saking kaya, buku ini bisa masuk dalam berbagai kategori. Di sejumlah situs, ia masuk kategori autobiografi dan memoar, sejarah, isu sosial/politik, dan kajian wanita, yang bila ditilik isinya memang relevan. Di Indonesia, GPU mengategorikan buku ini sebagai novel (sejarah), yang mungkin ditempuh agar pembaca mudah menerima drama keluarga Chang, ini pun masih sah mengingat kemampuan Chang bercerita begitu memukau sekaligus sangat sederhana. Penelope Fitzgerald memuji, 'Chang adalah pendongeng klasik yang menggambarkan sesuatu yang sulit dipercaya dengan gaya bercerita yang mengalir tenang.'

KISAH CHANG sekeluarga memang sulit sekali dipercaya bila pembaca tak menyisakan adanya faktor keberuntungan (berkah) atau kasih sayang dalam diri seseorang. Dia bukan saja memperlihatkan betapa tak berdaya manusia di hadapan nasib, takdir, namun juga menegaskan bahwa individu, keluarga, kesetiaan, bisa tak berarti apa-apa di hadapan revolusi, negara, partai, dikendalikan secara tiranik-despotik oleh satu orang yang sangat mudah curiga oleh sedikit manuver lawan. Chang sendiri ada kalanya gagal menerima kenyataan bahwa ayah dan ibunya yang patriotik, loyal, jujur, bangga dan berbakti pada revolusi, negara, dan Partai Komunis China, akhirnya terkena fitnah---disebut kontrarevolusi dan antek borjuis di masa Revolusi Kebudayaan---bersama gelombang gelombang politik yang senantiasa gelisah, melindes seluruh keluarga inti. Ayah, ibu, kakak, adik, dan dia sendiri dipisah-pisah menjalani kerja paksa di daerah terpencil, berbahaya, dan hanya selamat karena dihentikan keadaan. Kurang puas, politik bahkan memerintahkan dia dan saudara-saudaranya mengingkari orangtua. Begitu loyal, ayahnya kadang-kadang berdalih terpaksa mengingkari hati nurani dengan berkata, 'Penderitaan akan membuatmu jadi komunis yang lebih baik.' Saking keras kenyataan menimpa mereka, ayah Chang akhirnya gila, skizofrenia, dan mati dalam keadaan namanya belum bersih politik. Hanya keteguhan, kehormatan, kasih sayang seorang ibu (istri), yang mampu menenangkan terjangan dahsyat yang membolak-balik hidup sekeluarga.

Ibunda Chang sebenarnya jadi protagonis dan suri teladan, sekaligus merupakan sumber lahirnya buku ini. Pada 1988 ibunya mengunjungi Chang yang memutuskan tinggal di Inggris setelah meninggalkan China karena meraih beasiswa di Universitas York. Dia menceritakan seluruh kisah diri dan neneknya. Dibantu Jon Halliday---sejarahwan Inggris, kelak jadi suaminya---ditulislah kisah tiga anak angsa liar di danau kehidupan negeri China. Disertai derai air mata, kenangan, trauma, juga kesedihan, Chang menyelesaikan buku ini selama dua tahun. Dia menyempurnakannya dengan riset keluarga, menapaktilasi China, mengunjungi sahabat orangtua, kolega, sahabat pejuang gerilya ayahnya, dan mengecek kebenaran pada ibu dan saudara-saudaranya. Hasilnya memang pantas dipuji; dari sisi finansial saja penjualan Angsa-Angsa Liar memungkinkan pasangan itu membiayai riset selama sepuluh tahun untuk proyek buku selanjutnya, Mao: The Unknown Story (2005).

'TULISAN SAYA adalah cara saya sendiri menghadapi masa lalu,' ujar Chang dalam sebuah wawancara. Dalam buku ini dia berusaha berdamai dengan kehidupan personal, artinya sebagai individu menghadapi drama maupun memandang hidup sebagai anak, wanita, bagian keluarga, penduduk yang seumur hidup tunduk dan hanya mengenal satu nama pemimpin negara; namun pada saat bersamaan memiliki idealitas, berusaha lepas dari kerangkeng kuat sekalipun. Meski hidup dalam rezim yang mengabaikan perkembangan mental dan intelektual manusia; Chang tetap bisa bertahan waras berkat disiplin didikan, limpahan kasih sayang orangtua, mencintai ilmu pengetahuan, menghargai dan membaca sastra, dan secara umum lebih terbuka.

Di titik ini sebenarnya intervensi totaliter negara bisa dimentahkan oleh individu tertentu. Negara memang memiliki banyak teknik dan instrumen untuk mengendalikan warga baik secara fisik maupun psikis, tapi kerap terbukti secara mental orang bisa mengabaikan dan terus menerus melakukan resistensi, salah satu yang paling efektif ialah dengan sikap kritis, jujur terhadap pengalaman dan penglihatan, perasaan dan kenyataan. Keluarga Chang yang jujur, secara tradisi pun memiliki modal sosial dan intelektual, membuktikan bahwa prahara akhirnya takluk juga, minimal oleh ketabahan dan waktu, dan keyakinan selalu ada kesempatan perubahan. Dengan cara sangat sederhana Chang membuktikan orang memang harus memiliki integritas untuk mampu mengalahkan kegilaan politik atau tekanan totaliter, memaksa, mampu menghancurkan mental. Dia lebih jelas lagi menekankan dengan dukungan keluarga, respek, orang yang tulus mencintai, tak ada petaka yang mustahil dilawan.

Satu-satunya yang pantas dikritik pada edisi Indonesia ini adalah keputusan penyunting tetap menggunakan satuan standar tradisional Barat, alih-alih dikonversi dalam satuan yang langsung bisa dirasakan emosinya oleh pembaca Indonesia. Kita, misalnya, biasa menggunakan ukuran Celcius, meter, gram, liter; jadi mungkin pembaca sedikit kesulitan membayangkan seberapa dingin -20° F, sebab itu berbeda dengan -20°C; sejangkung apa orang tingginya 6 kaki, sebab pasti bukan 6 meter. Selebihnya, buku ini perlahan-lahan pasti akan menjadi bacaan klasik, terus dicari, baik karena amat kaya berisi khazanah informasi maupun kandungan nilai universal kemanusiaannya.[]

Anwar Holid, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

No comments: