Tuesday, October 18, 2005

Metafora Sejarah Bangsa dari Sebuah Keluarga

Harafisy
Judul Asli: The Harafish
Penulis: Naguib Mahfouz
Penerjemah: Fajar Sri Wahyuni
Penerbit: Bentang Pustaka, 2004
Tebal: 549 halaman
ISBN: 979-3062-21-5


Andai kata keinginan menulis sempat meninggalkanku, aku ingin hari itu jadi hari terakhirku.
--- Naguib Mahfouz

Menurut semua kritik sastra, Harafisy sebenarnya bukanlah karya Naguib Mahfouz yang disarankan untuk mula-mula dibaca oleh khalayak pembaca sastra. Tapi bagi pembaca Indonesia, tentu saja kedua judul tersebut bolehlah dipilih dan dijadikan alternatif menarik, sebab karya Mahfouz yang sangat direkomendasikan tidaklah mudah ditemui di toko buku. Buku Mahfouz yang paling direkomendasikan sebenarnya ada dua: Pertama, Al-Thulatiya Al-Qohirah (The Cairo Trilogy), yang terdiri dari Bayn Al-Quasrayn (Palace Walk, 1956); Quast Al-Shawq (Palace of Desire, 1957); Al-Sukkariyah (Sugar Street, 1957). Menurut Joko Suryatno, seorang penerjemah sastra Arab, trilogi itu tebalnya kurang-lebih 1500 halaman. Kedua adalah Aulad Haratina (Children of Gebelaawi, 1959).

Setahu saya The Cairo Trilogy sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tapi sejauh ini belum diterbitkan; sedangkan Aulad Haratina sudah diterjemahkan Joko Suryatno dan diterbitkan menjadi beberapa judul, setelah sebelumnya dimuat secara berkala di harian Republika dan Pikiran Rakyat. Patut dicatat bahwa Joko Suryatno pun berhasil menerjemahkan karya Mahfouz lainnya, antara lain Al-Liss Wa-Al-Kilab, Al-Sarab, Al-Hubb Taht Al Matar, Al-Karnak, dan Hams Junun. Karya Mahfouz yang pernah beredar di pasar selain judul di atas ialah Awal dan Akhir, Pengemis, Kisah 1001 Siang dan Malam, Miramar, Yawm Maqtal Al Za'im, dan lain-lainya. Dengan daftar itu, rasanya tidak berlebihan ternyata pembaca Indonesia sebenarnya sudah cukup familiar dengan Mahfouz; bahkan barangkali kitaa boleh berspekulasi dia adalah penulis Arab yang karyanya paling banyak diterjemahkan setelah Kahlil Gibran.

Produktivitas dan kualitas Mahfouz dalam menulis tentu saja sudah tidak perlu diragukan lagi, apatah lagi dia mendapat Hadiah Nobel Sastra pada 1988. Kemenangan ini di satu sisi menjadikannya penulis Arab pertama yang menerima hadiah tersebut, tapi di sisi lain menurut sejumlah pengamat pemberian itu terlambat, sebab baru diberikan setelah dia berkarir di dunia sastra lebih dari 30 tahun lamanya. Dalam rentang waktu yang begitu panjang itu, sudah puluhan buku dia tulis, dan hanya karena kini kesehatannya buruk saja dia tidak mampu lagi menulis karya panjang. Punggung Mahfouz cacat karena ditikam oleh seorang Muslim fundamentalis, sementara matanya kini menjelang buta. Sedangkan kecenderungan menulisnya pun mengalami perubahan ciri khas dan periodisasi. Sebelum menulis novel, pada awalnya Mahfouz sempat menulis nonfiksi, yakni dalam bidang filsafat dan sejarah, sesuai dengan jurusan yang dia ambil di universitas.

Dengan memperhatikan karya dan ciri khasnya, kritik mengategorikan karyanya dalam empat fase. Salah satunya diajukan Rasheed El-Enany, dalam Naguib Mahfouz: The Pursuit of Meaning (Routledge, 1993), yakni:

1. periode novel 'roman sejarah' yang bersumber pada sejarah Mesir kuno, termasuk alegori dan simbolisme cerita-cerita nabi (1939-1944).

2. periode realistik/naturalistik, yakni mengubah ketertarikan pada isu kekinian, pada pengaruh psikologis karena perubahan sosial pada masyarakat umum. Puncaknya ketika menghasilkan The Cairo Trilogy.

3. periode modernis/eksperimental, yang menghasilkan sejumlah novela dengan alur cepat disertai unsur narasi stream of consciousness dan dialog seperti dalam script film. Periode ini banyak menghasilkan novel alegoris, simbolik dan filosofis.

4. periode simbolik-sufistik, yang komposisinya lebih pendek-pendek namun kembali pada bentuk penulisan tradisional, dengan tema lebih spiritual.

Dari bentuknya, Harafisy dapat dimasukkan ke dalam periode realistik. Meskipun jarak penciptaannya cukup lama dengan periode kedua, rupanya Mahfouz kembali pada narasi-narasi pendek yang memang sangat dikuasainya; dalam Harafisy hal itu diperkuat lagi melalui pembabakan yang enak sekali untuk diikuti. Pembabakan itu dia gunakan baik untuk pergantian alur cerita maupun memaparkan suasana dan kesimpulan. Sebagaimana lazim dalam novel epik-sejarah, rentang waktu dalam Harafisy juga sangat panjang, beralih-alih generasi, dari awal pembentukan kejayaan hingga pergantian dan perebutan kekuasaan yang kerap memakan korban, melahirkan permusuhan antarkeluarga, fitnah, dengki, konspirasi, konflik kepentingan, tak jarang malah memunculkan rasa jijik atas sesuatu yang dimaknai sebagai 'kejayaan', 'keagungan,' dan 'kemuliaan.'

Harafisy berfokus pada sejarah keluarga Al-Nagi, yang awal kejayaannya dibangun oleh Asyur bersama istrinya Fulla. Asyur membangun keluarga sederhananya di perkampungan kumuh yang porak-poranda karena bencana alam. Dibimbing oleh mimpi agar lebih dahulu meninggalkan kampungnya agar tidak terkena bencana, dia seolah-olah merupakan penjelmaan manusia setengah dewa yang jadi begitu bijak setelah mengalami sejumlah tempaan hidup. Begitu kembali dan menyaksikan kampungnya hancur dan nyaris menghabiskan seluruh penghuni, dia menjadi manusia dewasa yang mampu mengayomi seluruh penduduk, tempat para harafisy tinggal. Harafisy adalah gelandangan, orang kebanyakan, yang dalam novel ini berusaha dimaknai secara positif. Mereka terdiri dari pekerja kasar, buruh, pengangguran, dan tunawisma. Karena miskin, mereka tinggal di perkampungan kumuh, yang biasanya dipimpin oleh seorang kepala suku. Kepala suku dalam sebuah harafisy menempati posisi yang sangat penting, karena perannya yang sangat sentral terhadap kondisi psikologis dan sosial masyarakat itu. Perebutan menjadi kepala suku biasanya berlangsung dalam suatu pertarungan brutal; pemenangnya menjadi kepala suku, sementara yang kalah, kalau tidak tewas, harus bersumpah setia terhadap pemimpin baru. Yang aneh, kadang-kadang perebutan kekuasaan itu terjadi begitu saja, bisa dipicu oleh kejadian yang tidak disangka-sangka. Lain halnya dengan Asyur, yang menjadi kepala suku secara alamiah, lebih disebabkan karena kebesaran jiwa dan kearifan menghadapi penduduk yang perlahan-lahan memenuhi perkampungan itu. Dia rendah hati, disegani, dan menjadi legenda abadi setelah meninggal dunia.

Peran paling penting yang dilakukan kepala suku adalah melindungi penduduk setempat serta menyantuni dan mengayomi mereka. Kepala suku inilah yang melindungi mereka seandainya aparat pemerintah sewenang-wenang atau bila kampung lain tiba-tiba menyerang. Kekuasaan kepala suku yang besar, penghormatan penduduk kepadanya, menjadikan kedudukan itu merupakan prestise yang layak diperjuangkan dengan segala cara. Ketika Asyur beranak-pinak, dan akhirnya meninggal, keturunannya secara alamiah juga masuk ke dalam pusaran kepentingan itu, meskipun sebagian di antara mereka kadang-kadang sebenarnya tidak kompeten, bahkan menggunakan kekuasaan itu untuk menindas atau mengumpulkan keuntungan pribadi. Kadang-kadang mereka dikalahkan keluarga lain, atau ada juga yang sejak awal tidak tertarik dengan kepemimpinan seperti itu, lebih ingin mengurus kesejahteraan dan menjadi orang biasa. Namun menjadi keturunan Al-Nagi tidaklah semudah yang dibayangkan siapa pun. Mereka hidup dalam legenda, arus kepentingan, bertaruh reputasi dan kehormatan. Dalam novel ini akhirnya muncul seorang keturunan Al-Nagi yang dengan sempurna mampu mengembalikan idealisme keluarga sebagaimana diwariskan Asyur Al-Nagi.

Di tangan Mahfouz sejarah panjang sebuah keluarga yang berlangsung puluhan generasi, berlangsung di suatu tempat di Mesir, dengan drama dan peristiwanya diolah begitu memikat. Pembaca mungkin sedikit kesukaran langsung mampu mengingat sejumlah nama yang jumlahnya banyak, dengan karakter yang masing-masing kuat dan mengesankan, datang dan menghilang apabila sudah waktunya, namun sebagai epik, novel ini tampil dengan segala kekuatan dan pesonanya. Berbeda dengan Lorong Midaq yang lebih menampilkan tempat alih-alih karakter (tokoh), Harafisy menampilkan potret panjang sebuah keluarga yang silsilahnya dipelihara baik-baik demi menjaganya dari keruntuhan. Mahfouz mengolah mitos, sifat dan hasrat manusia, dihadapkan dengan kondisi sosial-politik, moralitas, persaingan, di dunia yang kompleks dan senantiasa diintai perubahan. Bila dalam Awal dan Akhir Mahfouz menampilkan kronik keluarga dalam satu generasi; sementara Children of Gebelawi menggunakan folklor Mesir kuno dan Islam sebagai medium narasi, Harafisy memperlihatkan paduan teknik bercerita di antara keduanya, dan hasilnya memikat.

Harafisy dengan jelas memperlihatkan bahwa Mahfouz sangat memperhatikan Mesir dan masyarakatnya. Negeri itu bukan semata-mata bernilai geografis dan historis, melainkan telah menjadi semacam jiwa, yang nilainya tak bisa diganti oleh apa pun dalam karir kepenulisannya. Edward W. Said menegaskan arti penting Mesir bagi Mahfouz itu dalam sebuah artikel di New York Review of Books, 30 November 2000: ‘Mesir bagi Mahfouz tidak memiliki bandingan dengan bagian dunia manapun. Kuno melampaui sejarah, perbedaan geografis disebabkan Nil dan pegunungan suburnya, Mesir bagi dia adalah akumulasi sejarah yang sangat panjang, dengan rentang waktu ribuan tahun, dan meskipun berkali-kali berganti penguasa, rezim, agama, dan ras (bangsa) tetap mampu mempertahankan identitas tanpa pernah putus.’[] Terima kasih kepada Tobucil dan Penerbit Bentang Pustaka. Kontak: wartax@yahoo.com sms: 08156140621

Anwar Holid, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

SEJUMLAH KARYA NAGUIB MAHFOUZ:

01. ABATH AL-AGDAR, 1939 - Mockery of the Fates
02. RADUBIS, 1943
03. KIFAH TIBAH, 1944
04. KHAN AL-KHALILI, 1944
05. AL-QAHIRAH AL-JADIDAH, 1946 - New Cairo
06. ZUQAQ AL-MIDAQQ, 1947 - Midaq Alley
07. IGNIS FATUUS, 1948
08. AL-SARAB, 1949
09. BIDAYAH WA-NIHAYAH, 1949 - The Beginning and the End
10. AL-THULATIYA, 1956-57 - The Cairo Trilogy;
- BAYN AL-QUASRAYN (1956) - Palace Walk
- QUAST AL-SHAWQ (1957) - Palace of Desire
- AL-SUKKARIYAH (1957) - Sugar Street
11. Children of Gebelaawi, 1959 - Children of the Alley
12. AL-LISS WA-AL-KILAB, 1961 - The Thief and the Dogs
13. AL-SUMMAN WA-AL-KHARIF, 1962 - Autumn Quail
14. AL-TARIQ, 1964 - The Search
15. AL-SHAHHADH, 1965 - The Beggar
16. THARTHARAH FAWQ AL NIL, 1966 - Adrift on the Nile
17. AWLAD HARITNA, 1967 - Children of Gebelawi / Children of the Alley
18. MIRAMAR, 1967 - trans.
19. AL MARAYA, 1971 - Mirrors
20. AL-HUBB TAHT AL MATAR, 1973
21. AL-KARNAK, 1974 - Three Contemporary Egyptian Novels
22. QUAB AL-LAYL, 1975
23. HADRAT AL-MUHTARAM, 1975 - Respected Sir
24. MALHAMAT AL-HARAFISH, 1977 - The Harafish
25. ARS AL-HUBB, 1980
26. AFRAH AL-QUBBAH, 1981 - Wedding Song
27. LAYALI ALF LAYLAH, 1981 - Arabian Nights and Days
28. AL-BAQI MIN AL-ZAMAN SA'AH, 1982
29. RIHLAT IBN FATTUMAH, 1983 - The Journey of Ibn Fatouma
30. AMAM AL-'ARSH, 1983
31. AL-A'ISH FI AL-HAQIQAH, 1985
32. Akhenaten, Dweller in Truth, 1985 (translated from the Arabic by
Tagreid Abu-Hassabo)
33. YAWM MAQTAL AL ZA'IM, 1985 - The Day Leader Was Killed
34. HADITH AL-SABAH WA-AL-MASA, 1987
35. THARTHARAH ALA AL-BAHR, 1993
36. Echoes from an Autobiography, 1994

No comments: