Wednesday, July 05, 2006

Waktu adalah Jiwa Dunia
-----------------------
>> Anwar Holid

RENUNGKANLAH pada saat kita bahagia, renungkanlah pada saat kita sedih; apa yang terjadi dalam hidup kita? Ketika bahagia, waktu begitu cepat berlalu; sementara ketika sedih, waktu terasa begitu lama bergulir, seolah-olah tak mau berakhir, sampai suatu saat ada sesuatu, atau seseorang, mengingatkan diri kita lagi: semua itu akan berlalu.

Katakanlah kita sakit hati, baik oleh seseorang atau keadaan. Pada saat kejadian kita sulit menerima kenyataan itu, menyalahkan diri dan orang lain, termasuk keadaan. Tapi seiring waktu berlalu, suasana jiwa yang berubah, kondisi yang berlainan, tanpa terasa disembuhkan oleh waktu. Kita jadi maklum, bisa menerima peristiwa tersebut, berusaha mengambil pelajaran dari sana, atau bahkan menertawakan kebodohan saat itu. Benar yang ditulis Seneca (5 SM-65 M): Waktu menyembuhkan hal yang tidak dapat dilakukan oleh akal.

Waktu mengubah keadaan: mulai dari cuaca, kehidupan sosial, politik, ekonomi, mode, semangat zaman, seluruh peristiwa baik yang telah diperkirakan maupun mustahil terjadi, termasuk jiwa orang. Kalau kecewa melakukan atau gagal mendapat sesuatu, kita kerap dinasihati begini: Barangkali memang belum waktunya; terimalah dengan tabah. Kalau sudah waktunya, kita tak kuasa melakukan apa-apa.

Waktu dipersepsi berbeda-beda dari zaman ke zaman. Jika dahulu orangtua menasihati agar kita sabar menunggu sesuatu sampai saatnya tiba, jangan tergesa-gesa; di zaman kapitalisme mutakhir ini kita tahu bahwa waktu adalah uang. Kalau bisa segala-galanya berlangsung cepat, agar dalam waktu singkat bisa dapat sebanyak-banyaknya. Prinsip ini terus-menerus dilawan oleh mereka yang ingin menghargai waktu apa adanya, bahwa segala sesuatu harus terjadi bila memang dikehendaki oleh takdir, diizinkan oleh keadaan. Mereka khawatir bila individu sampai tercerabut dari waktu maupun keadaan, sampai akhirnya terasing atau teralienasi dari realitas maupun lingkungan sosial.

Di stiker mobil angkutan kota, kerap terbaca versi parodinya: ‘Anda butuh waktu, kami butuh uang.’ Maka sopir angkot sering ugal-ugalan dan tergesa-gesa, karena mereka mengejar setoran, sementara penumpangnya sejak awal telah merasa terdesak oleh sempitnya waktu. Orang jadi merasa wajar bila menjalankan segala sesuatu dengan tergesa-gesa, padahal sebenarnya semua orang tahu: waktu tak menunggu siapa pun, waktu tak menunggu seorang pun.

KITA HANYA bisa memaknai waktu sekarang (persis saat kini), bukan masa lalu sebab telah ada dalam kenangan, bukan pula masa depan karena masih dalam angan-angan. Yang sedang terjadi selalu ada dalam masa kini, tak peduli berapa lama. Itu sebabnya kita selalu bilang masa lalu tak perlu jadi ancaman, sementara masa depan jangan sampai dikhawatirkan.

Konsep waktu memungkinkan kita memberi tanda pada kehidupan: peringatan, janji, rutinitas, prioritas, sejarah, revolusi, evolusi, cita-cita, kematian, kehidupan. Peringatan, misalnya memperingati peristiwa tertentu atau ulang tahun, memberi kesadaran bahwa manusia telah melakukan sesuatu dalam jangka waktu tertentu: mencapai apa dia, telah melakukan apa saja dalam hidupnya, apa yang dia dapat dari sana.

Waktu melahirkan kesadaran akan hidup: ada sesuatu yang terus bertambah tua, sampai suatu ketika akhirnya mati. Tapi waktu tetap ada, entah kapan akan berhenti. Barangkali dia abadi. Karena mungkin abadi itulah, sudah ada (diciptakan) sebelum manusia sadar atas kehadirannya, manusia---baik fisikawan, filosof, astronom---masih terus berdebat tentang apa sebenarnya waktu. Namun satu hal pasti, waktu terus bergerak; andai dia berhenti, sesaat saja, segalanya akan berhenti dan setelah itu tak akan ada waktu lagi.

Apakah waktu itu mengalir, hilang, atau berlalu? Yang sesungguhnya terjadi malah manusia tambah tua, anak-anak tumbuh jadi remaja, orang dewasa beruban dan keriput; keadaan terus berubah, segala sesuatu justru berlalu, Bumi terus berputar, sementara waktu terus ada. Dia satu-satunya yang tetap, bertahan, ada. Seluruh peristiwa terjadi dalam ruang dan waktu, mau yang besar-besaran, melibatkan banyak sekali orang dan faktor, maupun yang dilakukan diam-diam tanpa ketahuan seorang pun.

Meski kadang-kadang berulang---makanya ada sejarah, evolusi, masa lalu, masa depan, orang terkenang kejayaan masa silam atau berhasrat menyelamatkan masa depan---fenomena waktu berbeda dan berubah secara konstan. Pagi ini, meski terasa sama dengan pagi kemarin, kejadiannya berbeda, keadaannya telah ganti, peristiwa-peristiwa yang dihadapi lain lagi, bahkan tanggal definitifnya pun telah berubah. Meski dalam periode tertentu waktu berulang---hari, minggu, bulan, musim---kita tahu dia tidaklah berulang persis seperti prasangka kita.
Satu hal pasti, kita yakin, selama ada waktu, segalanya masih mungkin terjadi; hanya saja kita sendiri yang bisa merasakan apa kesempatan tersebut masih terbuka lebar atau sudah sempit dan nyaris tertutup.

ADANYA waktu memungkinkan manusia memikirkan segala hal relevan: merencanakan, memprediksi, menangguhkan, mendahulukan; pada saat bersamaan tahu kemungkinan berhasil dan bisa menerima kegagalan. Karena berencana, manusia belajar menentukan prioritas; apa yang penting, mendesak, harus didahulukan, atau ditunda.

Sebenarnya manusia diajari agar benar-benar awas terhadap keadaan, hati-hati terhadap setiap peristiwa, agar mereka bisa maksimal menikmatinya; tujuannya agar manusia senantiasa sadar bahwa yang paling penting dalam hidup adalah menghargai saat kini, apa pun kondisinya. Pepatah Cina dengan tepat menjelaskan itu: Anggur hari ini aku minum hari ini; derita esok aku tanggung besok. Tegas Seneca: hiduplah sekarang, sebab segala yang akan terjadi adalah milik wilayah tak menentu.

Manusia memang belajar dari waktu; ironiknya, mereka kerap alpa, suka mengulang-ulang kesalahan, persis pernyataan Hegel (1837): Yang diajarkan oleh pengalaman dan sejarah adalah bahwa orang dan pemerintahan tidak pernah belajar apa pun dari sejarah, atau bertindak berdasar pada pelajaran yang mungkin diambil dari sana. Kebenaran atas pernyataan ini jelas: bila di sisi ideal manusia berusaha mencapai peradaban setinggi-tingginya, menciptakan tanda kemanusiaan seagung mungkin, di sisi lain manusia masih gagal meninggalkan sifat barbarnya: perang, mencaplok milik orang lain, tiran, egoistik. Sangat sulit menemukan seorang individu genius yang mampu melampaui massa yang cenderung bodoh, bermental lemah, pengecut, beraninya keroyokan.

Barangkali itu sebabnya kenapa waktu diberikan nyaris tanpa batas kepada manusia, sejak manusia perlahan-lahan berusaha memaknai dan mendefinisikan 'waktu' sesuai argumen masing-masing, hingga kini dia belum berhenti---setidak-tidaknya masa berakhirnya masih ditunda, ditangguhkan, dipelihara menjadi misteri.

APA di awal tahun ini kamu bikin resolusi? Mencanangkan janji-janji? Kamu yakin akan mampu melaksanakan salah satunya? Jawabannya mungkin tidak. Kalau tidak ditepati, kenapa harus bikin janji? Janji amat mudah dilanggar. Tapi kalau yakin bahwa dengan melaksanakannya hidup bakal lebih baik, lebih berarti, setiap saat, dengan segala perubahannya, barangkali memang saatnya dilakukan, semampu kamu.

>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.

Alamat:Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2502261 - HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com

No comments: