Thursday, July 24, 2008




Aib Lurie
--Anwar Holid


Aib
Judul asli: Disgrace
Penulis: J. M. Coetzee
Penerjemah: Indah Lestari
Penerbit: Jalasutra, 2005
Tebal: 317 hlm.; format: 15 cm x 21 cm
ISBN: 979-3684-33-X


WAKTU itu Afrika Selatan baru saja mengakhiri politik Apartheid pada 1992. Perubahan tersebut membawa dampak signifikan, yakni membangkitkan kebanggaan dan percaya diri kaum kulit hitam, meski kadang-kadang bentuknya keras dan anarkis, yaitu membalas dendam dan mudah berusaha menyeret orang kulit putih yang dianggap jahat.



Adalah David Lurie, dosen flamboyan di Universitas Teknik Cape, Afrika Selatan. Sebagai orang yang secara bawah sadar merasa lebih terpelajar dan berkuasa, dia dibanting memasuki perubahan drastik tersebut, baik karena sudah terlalu tua atau merasa harusnya dunia memang tetap seperti sedia kala.



Keruntuhan hidup Lurie terjadi lewat sejumlah pergeseran: awalnya dia profesor lingustik, tapi karena universitas berubah, dia diturunkan jadi asisten profesor; awalnya mampu memikat perempuan sekali lirik, kini terpaksa membayar pelacur (yang dia tahu suka menertawakan pelanggan tua). Selama di universitas dia mendapat banyak previlese, tapi di dunia nyata dia tak bisa apa-apa, bahkan dengan enggan jadi relawan klinik penyayang binatang.



Perubahan drastik ini nyaris gagal dihadapi Lurie, sampai-sampai di batas nalar, dia kalap menghajar bocah lelaki yang disangka pemerkosa putrinya, sulit menerima keputusan putrinya tetap memelihara kandungan. Awalnya Lurie menolak fakta dia telah kehilangan semua keistimewaan, sampai perlahan-lahan tahu perubahan itu niscaya, bisa terjadi baik karena terpaksa, tak pernah diharapkan sekalipun. Ujung-ujungnya Lurie terhenyak, sebentar lagi dia jadi kakek dari bayi yang benihnya sama sekali beda, dengan pengaruh makin pudar dari dirinya. Bayi itu akan lebih merupakan bagian dari sejarah dan bangsa baru, alih-alih sekadar warisan biologis. Perubahan juga niscaya pada hubungan David dan putrinya, yang perlahan-lahan tapi tegas meninggalkan bayang-bayang sebagai anak penurut, lalu hidup sendiri, bebas menentukan langkah.



"Di Afrika Selatan, jadi miskin dan hitam itu normal; jadi miskin dan putih adalah tragedi," demikian kata Nelson Mandela, ikon gerakan anti-Apartheid. David Lurie persis mengalami hal itu; dia terhina menyaksikan putrinya diperkosa, apalagi oleh orang kulit hitam, sementara dia dituduh memperkosa; dipecat, mengganggur, kekayaannya habis, proses kreatifnya mandek, dan tak ada yang bersedia membela.

COETZEE membuka Aib dengan eksplisit: "Menurutnya, untuk lelaki seumurnya, lima puluh dua tahun, duda, dia telah menyiasati masalah seks dengan cukup baik." Awalan seperti ini pasti membuat siapa pun mengira novel ini akan dipenuhi seks atau pemuasan hasrat. Rupanya, itu intro kejatuhan David Lurie, antihero kulit putih yang hadir nyaris tanpa belas kasih dan rasa simpati. Segera beberapa bab berikutnya pembaca digelincirkan pada jungkir-balik manusia menghadapi nasib yang amat jauh dari prasangka siapa pun, melemparkan dia pada keadaan yang sama sekali asing.



Aib Lurie dimulai ketika dia diajukan ke pengadilan universitas dengan tuduhan pemerkosaan oleh keluarga mahasiswi dan tekanan pacarnya yang cemburu. Atas desakan komite, dia mengakui tuduhan itu, tapi menolak meminta maaf sebagai syarat peringanan hukuman, baik kepada universitas dan keluarga gadis. Alasannya jujur dan fundamental: menurutnya, mereka adalah sepasang kekasih. Karena itu dia dipecat dengan lumuran cela baik dari kolega maupun mahasiswa. Tak tahan oleh tatapan hina Lurie berencana tinggal sebentar bersama putri tunggalnya, di pinggiran Cape Town, hendak menyelesaikan libretto tentang Lord Byron. Yang dia temukan ternyata bukan ketenangan atau kelancaran proses kreatif, melainkan malapetaka. Mereka dirampok penjahat kulit hitam: anaknya diperkosa, dia dibakar, harta bendanya lenyap. Lurie kehabisan muka untuk menuntut keadilan, sebab dia sendiri merasa tercela, anaknya menolak menggugurkan kandungan karena trauma; dan ketika pulang ke Cape Town, ternyata rumahnya juga habis dijarah.



Aib merupakan kesempatan bagus bagi kita untuk menikmati dan merasakan kekuatan tulisan Coetzee. Kecuali masalah rasisme, bangsa dan negara Afrika Selatan memiliki kemiripan nasib dengan Indonesia, misal dalam hal rentannya hubungan sosial dan jaminan keamanan, apalagi bila diingat bahwa Afrika Selatan lama sekali mengidap trauma sejarah dan politik. Namun, mengakarnya bahasa Inggris sebagai media ekspresi sastra dan pertalian dengan persemakmuran Inggris memungkinkan pengarang Afrika memperoleh reputasi yang lebih baik dibandingkan penulis Asia. Pencapaian fiksi Inggris di Afrika memicu munculnya cultural studies dan sastra poskolonial, bahkan memberi banyak sumbangan bagi bahasa Inggris, termasuk melahirkan karya yang kualitasnya mampu menyaingi kanon karya penulis asli Inggris maupun Amerika Serikat.



Meski berlapis-lapis, kisah Aib membuat pembaca bisa mendapat banyak wawasan, boleh dibilang sangat kaya mengingat halamannya yang tipis. Aib adalah buku yang mudah dan jelas, memuaskan dan mudah dicerap dalam sekali baca. Tapi begitu diselami, ia menawarkan kedalaman dan keluasan universal dan fundamental. Dari sisi teknik novel ini ditulis sederhana, jelas, efektif, dengan plot cukup cepat; tapi pembaca masih bisa menarik banyak simpul dari setiap peristiwa dan narasi di dalamnya. Selain drama hidup David Lurie, pembaca bisa mendapat masukan tentang Afrika Selatan, isu seksualitas, ketidakadilan, ras dan gender, poskolonialisme, hubungan orangtua-anak, interaksi sosial, sejarah, serta tak kalah memikat: keuletan seorang sarjana menuntaskan idealitas dan proses kreatif.



Selain memperlihatkan betapa rentan kehidupan sosial suatu masyarakat yang baru berubah, Aib mampu menyamarkan alegori yang lebih krusial, misalnya mengembalikan nasib pada kaum pribumi, yang karena beberapa alasan memang hak mereka; betapa sebuah bangsa harus mengalami kejadian paling buruk sebelum akhirnya mengambil haluan baru. Tanpa sepatah kata "apartheid" novel ini mampu menghadirkan ancaman paling mengerikan yang muncul dari prasangka purba manusia, yakni saat seseorang merasa lebih tinggi, beradab, memandang orang lain lebih rendah dan buas, baik disebabkan warna kulit, perbedaan sosial, sejarah, dan sebagainya.



Pembaca bisa risih dan gelisah sendiri bila menghadapi dilema: "Bisakah saya belajar dari orang yang bermoral longgar?" Rasanya mustahil melupakan David Lurie yang begitu kasar, membuat orang segera jijik, namun berkarakter kuat. Kondisinya sebagai orang kehilangan harga diri, jatuh, tercelup aib amat mengenaskan. Padahal sebelumnya mungkin pembaca iba karena Lurie tipikal orang apolitik, sederhana, lebih peduli pada kesenangan dan kepentingan pribadi. Menurut pendapatnya sendiri, dirinya "tidak jahat, tapi juga tidak baik." Dia berdedikasi sebagai pengajar, pada mahasiswa, berani tanggung jawab.

SEBAGAI PENGARANG pertama yang dua kali memenangi Booker Prize; tiga kali mendapat hadiah Central News Agency (CNA); dan mendapat hadiah Nobel sastra pada 2003, reputasi J. M. Coetzee di Indonesia bisa dikatakan sangat kabur. Namanya tenggelam di antara penulis yang bukunya lebih banyak diterjemahkan, seperti Gabriel García Márquez, Paulo Coelho, Umberto Eco, Milan Kundera, bahkan yang lebih muda, misalnya Arundhati Roy. Satu-satunya jejak lama atas Coetzee ialah ketika pada 1991 YOI menerbitkan Jeritan Hati Nurani, Dilema Kehidupan Sang Hakim terjemahan atas Waiting for the Barbarians (1980). Novel ini merupakan karyanya yang sangat disarankan, dinilai sebagai karya matang pertamanya, dan kini telah masuk kategori "klasik modern."



Dibandingkan dengan Nadine Gordimer, penulis Afrika Selatan pertama yang meraih Nobel Sastra, Coetzee pun tampak kalah wibawa. Salah satu sebab paling mencolok ialah karena Coetzee dinilai tidak pernah terang-terangan mengecam ketidakadilan yang terjadi di negerinya atau bereaksi sangat keras terhadap Apartheid sebagaimana Gordimer. Anggapan ini sebenarnya tergesa-gesa, tapi agak sulit dijernihkan baik dilihat dari karya maupun tabiat Coetzee yang menghindari publisitas dan terkenal dingin terhadap pers; dia tak hadir dalam dua kali penyerahan Booker Prize, malah diwakili oleh editornya. Bila pesan politik dalam tulisan Gordimer senantiasa tegas dan langsung, karya Coetzee lebih bernuansa, diisi sejumlah lapis cerita, dengan pesan subtil yang perlu hati-hati dicerap agar langsung dipahami dalam sekali baca.




Coetzee sangat jeli mengangkat masalah sensitif tersebut dari tingkat paling dasar, ialah ketika politik, negara, dan sistem nyaris gagal berbuat apa pun untuk menyelamatkan seseorang dari kemalangan, gantinya dia harus mempertahankan keyakinan maupun nasib pada usaha dan iktikad baik untuk menerima keadaan. Tepat komentar Grant Farred atas kekhasan karya Coetzee, "Dia menulis tentang Afrika Selatan tapi tak terwadahi oleh Afrika Selatan." Itu bisa sedikit menjelaskan kenapa Coetzee juga kerap meninggalkan negerinya, hidup di Inggris, Amerika Serikat, dan sejak 2002 tinggal di Australia, tempat dia memegang posisi kehormatan di Universitas Adelaide. Di sana dia menerbitkan Elizabeth Costello: Eight Lessons (2004) dan Slow Man (2005). Wajar dalam sebuah memoar Coetzee menulis bahwa masyarakat tempat dia hidup mirip penjara. "Saya bukan pembawa pesan masyarakat atau apa pun," tegasnya, "Saya orang yang punya pesan tentang kebebasan dan menggagas harapan tentang orang melepaskan rantai dan menghadapkan wajahnya pada cahaya."[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com

Cover diambil dari Net; cover edisi Indonesia nanti saja ya.

No comments: