Sunday, July 20, 2008




Taslima Nasrin

Perlu Lebih Banyak Baca Kisah Kedamaian


Lajja
Penulis: Taslima Nasrin
Penerjemah: Anton Kurnia dan Anwar Holid
Penerbit: LKiS, 2003
Tebal: xxvi + 336 halaman; Ukuran: 12x18 cm


Genre: Novel Sejarah


Diterjemahkan oleh Anton Kurnia dan Anwar Holid, buku ini mengangkat tema sastra, konflik antaragama, dan tokoh feminisme.

Buku ini ditulis sebagai refleksi dari peristiwa 6 Desember 1992, ketika pada tanggal tersebut Masjid Babri di Ayodhya, India, warisan sejarah abad ke-16, dihancurkan dan dibakar oleh para anggota "Kebangunan Hindu." Yang kemudian mengakibatkan kerusuhan susulan yang tidak hanya terjadi di India, namun justru terjadi di Bangladesh. Di sini, para pemuda Muslim fanatik menyerang dan membunuh umat Hindu, membakar rumah dan toko, menjarah dan merampas harta benda---(mirip Peristiwa Mei 1998 yang menimpa etnis Cina di Indonesia).
Dalam versi Inggrisnya, Lajja diterjemahkan menjadi Shame, artinya malu. Judul ini sangat singkat, jitu, dan bersifat semiotik. Secara harfiah, malu berarti "merasa tidak enak hati, rendah, bahkan hina, karena melakukan sesuatu yang kurang baik." Lalu, apa yang malu, mengapa malu, dan siapa yang malu?

Sudhamoy merasa malu karena ia yang selama ini menganjurkan orang-orang beragama Hindu tetap di Bangladesh, dan selalu menghardik serta memarahi mereka yang mempunyai gagasan untuk berimigrasi ke India, pun pada akhirnya berimigrasi ke India.

Suranjan, yang selama ini dikenal sebagai aktivis antikomunal, merasa malu pada dirinya, karena ia pada akhirnya menjadi komunalis dan melampiaskan dendam pada orang Muslim. Sebelumnya, bagi Suranjan, "rasa malu itu tidak ditujukan pada dirinya sendiri, namun ditujukan kepada mereka yang memukulinya. Rasa malu adalah milik mereka yang menyiksa, bukan mereka yang disiksa..."

Rasa "malu" inilah yang hendak digedor oleh Nasrin, dan diharapkan membuka refleksi yang mendalam mengenai "imigrasi", "agama", "kemanusiaan", dan seterusnya.

TASLIMA NASRIN adalah seorang dokter, penulis, dan penyair. Ia lahir di Mymensingh, Bangladesh Selatan, pada tahun 1962 dari keluarga Muslim kelas menengah. Ayahnya seorang fisikawan andal dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Setelah menjadi dokter, ia bekerja di kalangan petani perempuan miskin di Bangladesh. Pengalaman ini membuka mata dan perhatiannya akan perlakuan yang tidak pantas di dalam masyarakat.

Novel Lajja ini sendiri mengundang kemarahan kaum Islam garis keras di Bangladesh. Mereka menuntut agar Nasrin ditangkap dan dihukum gantung. Pemerintah Bangladesh secara resmi menyatakan ia telah melakukan blasphemy (penghinaan terhadap agama). Nasrin kemudian lari dari negaranya sendiri. Ia terus hidup berpindah-pindah sebagai eksil di berbagai negara. "Penaku adalah senjataku," katanya.

Ada satu hal yang tidak saya setujui di novel ini, yakni terhadap pernyataan: "Biarlah Agama berganti nama menjadi Kemanusiaan." (Seharusnya ia tahu, bahwa manusia tidak akan pernah mengerti arti kata "kemanusiaan" tanpa ada agama. Sebab agama lebih dulu ada, jauh sebelum kemanusiaan itu ada. Tidak ada kemanusiaan tanpa agama, sebab nilai-nilai hidup diletakkan berdasarkan ajaran agama).

"Agama yang selama ini mengklaim membawa kasih dan perdamaian, ternyata lebih banyak membawa petaka dan tragedi." (Benarkah? Benarkah lebih banyak membawa petaka dan tragedi? Seandainya ia tahu, betapa jauh... jauh lebih banyak orang yang mendapatkan ketenangan setelah mendalami agama... Oh, betapa picik dan sempitnya ia berpikir...)
"Agama dengan demikian, kehilangan rasa malu, karena gagal menegakkan prinsip kehadirannya yang paling hakiki: perdamaian dan keselamatan." (Malu adalah sebagian dari iman. Sebuah penilaian yang subjektif yang salah besar. Taslima Nasrin mungkin belum paham, bahwa "agama yang haq" tidak pernah gagal dalam segala hal yang menyangkut kebaikan. Yang gagal adalah oknum. Yang gagal adalah orang-orang yang tidak pernah mendalami agama itu sebagaimana mestinya).

Ada satu hal yang belum direnungi lebih dalam oleh seorang sekaliber Taslima Nasrin, yaitu bahwa: "Orang-orang yang kejam TIDAK DATANG DARI AGAMA ATAU KULTUR TERTENTU!" Sebab, fakta yang ada menunjukkan bahwa kekerasan terjadi di mana-mana, melintasi agama, tingkat ekonomi, kelas sosial, warna kulit, dan budaya. Jadi, menurut saya, tidak benar agama telah gagal menegakkan prinsipnya yang paling hakiki, yaitu perdamaian dan keselamatan. Sebab, agama tidak dapat dipersalahkan dalam hal ini. Sungguh, satu hal yang ironis untuk pemulis sekaliber Taslima Nasrin yang masih mendudukkan agama di kursi pesakitan." Mungkin saran saya, Taslima Nasrin perlu lebih banyak membaca kisah-kisah kedamaian di zaman Nabi Muhammad Saw.[]


Diambil dari Jayanti's Site, http://irjayanti.multiply.com/, dirapikan seperlunya oleh Anwar Holid.

No comments: